2. Penelitian John Habba pada Jurnal Bhinneka Tunggal Ika yang berjudul
“Pancasila dan Kemajemukan Etnis di Indonesia”. Hasil penelitiannya adalah tentang pelaksanaan nilai-nilai Pancasila di Kupang, Makasar, dan
Denpasar, yang menunjukan bahwa sebetulnya di daerah-daerah lokal tersebut sudah lebih dahulu memiliki nilai tentang menghargai orang lain
alias “the other”, pun menghargai keberagaman, bahkan sebelum Pancasila dan Indonesia lahir.
C. Kerangka Pikir
Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikenal sebagai miniatur Indonesia sudah sejak lama mengadopsi ide multikulturalisme. Realitanya, sejak Kraton
Yogyakarta bergabung serta mendukung penuh ke Republik Indonesia di era 1940-an, tingkat keberagaman budaya Yogyakarta terus meningkat. Salah satu
penyababnya adalah banyaknya perguruan tinggi yang menjadi tempat belajar mahasiswa dari segala penjuru daerah di Indonesia. Dari Sabang sampai
Merauke. Dari luar Yogyakarta sampai luar pulau Jawa. Menyadari kondisi yang demikian, para pemangku kebijakan di DIY,
mulai dari Sultan Hamengku Buwono hingga pemimpin masing-masing kabupaten dan Kota Yogyakarta, sudah sejak awal kemerdekaan berusaha
untuk mempraktikkan kebijakan berlandaskan multikulturalisme ala Indonesia sebagai basis hubungan sosial masyarakatnya. Slogan “Jogja Berhati
Nyaman” sudah cukup menggambarkan niat baik Kota Pelajar yang ingin membuat seluruh elemen pendatang tinggal dengan nyaman. Sultan
Hamengku Buwono dengan filosofi Jawanya juga selalu berpesan agar Yogyakarta musti menjadi tuan rumah yang senantiasa mengayomi tamu-
tamunya. Namun pada kenyataannya mempraktikkan kebijakan berlandaskan
multikulturalisme tak selamanya bisa berbuah kestabilan dan ketenangan. Sebagai daerah yang disebut Mas‟oed dkk 2007 sebagai paradoks,
Yogyakarta juga kadang mengalami dinamika khas masyarakat multikultur: muncul ketegangan antar etnis. Yang berjalan beriringan juga adalah
ketegangan antara etnis mayoritas warga asli dan etnis minoritas warga pendatang.
Warga Papua sebagai salah satu warga pendatang sekaligus minoritas di Yogyakarta adalah contoh baik atas dinamika masyarakat multikultural
tersebut, sebab realitanya sampai mereka masih saja menjadi korban pelanggaran HAM nilai dalam multikulturalisme dan HAM selalu beriringan
dalam bungkus yang paling halus: stereotip, prasangka, hingga intimidasi dan diskriminasi.
Warga Papua adalah “the others” bagi warga Yogyakarta yang berbeda dalam banyak hal: suku, sub-ras, gaya hidup, budaya, agama mayoritas,
sampai ada yang berbeda secara ideologi. Namun sebagai warga negara yang setia pada HAM dan doktrin kebebasan berpendapat serta urusan
mengekspresikan diri, tentu tak adil jika perbedaan-perbedaan tersebut ditindak lanjuti lewat tindak kekerasan yang main hakim sendiri.
Pada akhirnya, kelindan persepsi yang terjalin antara warga Papua sebagai minoritas dan warga Yogyakarta sebagai mayoritas bisa dipakai untuk
menilai tingkat keberhasilan praktik multikulturalisme di Yogyakarta. Jika dalam tataran persepsi, terutama persepsi warga Yogyakarta terhadap warga
Papua, masih mengandung penyakit-penyakit budaya seperti prasangka, stereotip, rasisme, dan sebagainya, maka mudah disimpulkan jika praktik
multikulturalisme di Yogyakarta masih jauh dari kata berhasil. Apalagi jika interaksi sosial yang terbangun berkualitas buruk hingga menuntun terjadinya
kasus-kasus diskriminasi, intimidasi, atau intoleransi.
Bagan 1. Kerangka pikir Masyarakat multikulturalis Yogyakarta
Kelompok mayoritas etnis Jawa
Kelompok minoritas etnis
Papua Persepsi
negatif dan proses integrasi
dan akomodasi dalam interaksi
sosialnya
43
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tepatnya di Asrama Mahasiswa Deiyai di Dusun Tegalwaras, RT 05 RW 29, Desa
Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Provinsi DIY.
B. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan kurang lebih dua 2 minggu terhitung setelah seminar proposal dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2015. Observasi
sudah dilakukan sejak penyusunan proposal penelitian. Pada rentang tanggal 16-26 Oktober 2015 peneliti melakukan wawancara kepada para responden di
Asrama Deiyai. Sedangkan pada rentang tanggal 29-31 Oktober 2015 peneliti melakukan wawancara kepada para responden warga asli Dusun Tegalwaras.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Moleong 2010 menjabarkan sebelas karakteristik pendekatan kualitatif, yaitu:
menggunakan latar belakang ilmiah, menggunakan manusia sebagai instrumen utama, menggunakan metode kualitatif pengamatan, wawancara,
atau studi dokumen untuk menjaring data, menganalisis data secara induktif, menyusun teori dari bawah ke atas, menganalisis data secara deskriptif, lebih