Melawan Persepsi Negatif sebagai Upaya Berintegrasi

orang Papua di Yogyakarta. Atau, saat satu anggota suku tertentu melakukan satu hal menyimpang, semua suku kena getahnya. Untuk itu menurut Markus sampai hari ini persepsi negatif terhadap orang Papua masih tak jauh-jauh dari label pemabuk, pengacau, suka bikin onar, bahkan ada yang menilai bahwa orang Papua adalah pemakan daging manusia. Agus wawancara 16 Oktober 2015 memiliki pandangan yang serupa, bahwa yang memiliki perilaku sesuai stereotip hanyalah orang-orang tertentu saja. Para pelaku adalah oknum, dan yang jadi pertaruhan adalah nama mahasiswa Papua di Yogyakarta. Agus dan teman-temannya yang lain juga bisa membedakan mana oknum- oknum yang menjadi pelaku dan mana mahasiswa Papua yang bukan sebagai pelaku. Mikael memiliki pandangan bahwa situasi yang tidak nyaman antara masyarakat Yogyakarta dan para pendatang dari Papua serta pembetukan karakter yang berasal dari stereotip negatif sudah berlangsung lama, yaitu sejak awal kedatangannya ke Yogyakarta. Karena masyarakat Jogja dan Papua dari awalnya membangun situasi yang kurang baik. Orang Papua sendiri sudah dibentuk persepsi sebagai peminum. Wataknya dikatakan keras. Akhirnya gak saling konek. Itu semua jadi alasan untuk bilang orang Papua tukang bikin onar Mikael Kudiai, wawancara 23 Oktober 2015. Dalam analisis peneliti, belajar dari kondisi bahwa orang Papua memiliki beban stereotip yang lebih dibanding dengan pendatang dari daerah lain, para penghuni Asrama Deiyai kemudian berkomitmen untuk bersikap dengan baik selama tinggal di Yogyakarta. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk membuktikan bahwa stereotip tersebut salah dan tak berlaku bagi mereka. Pembuktian komitmen tersebut adalah bagian dari proses integrasi yang dilakukan mahasiswa Papua di Asrama Deiyai kepada Dusun Tegalwaras beserta warganya. Jika mereka gagal, maka stereotip buruk akan semakin nyata menempel pada mereka. Cara kerja stereotip yang kejam tak hanya akan memakan korban satu-dua orang saja. Ada satu warga asrama yang bertindak tak semestinya atau yang membuktikan stereotip yang berkembang saja sudah cukup untuk membuat nama penghuni satu Asrama Deiyai menjadi buruk. Stereotip tak akan menjauh, tetapi makin mendekat. Integrasi gagal, keberadaan diri mereka akan makin tak diterima, bahkan bisa ke tahap dianggap meresahkan dan memicu lahirnya tindak pengusiran oleh warga dusun lain. Misal, untuk mematahkan anggapan bahwa orang Papua itu keras dan kasar, para penghuni asrama menerapkan gaya berkomunikasi yang mengandung sopan-santun dan unggah-ungguh khas orang Jawa. Dalam setiap kesempatan semisal berpapasan di jalan, membeli barang kebutuhan sehari-hari di warung, membeli makan-minum di warung makan, dan lain sebagainya, para penghuni asrama berusaha untuk menerapkan 3S atau Salam, Senyum, dan Sapa. Seperti pendapat Agus berikut ini. [K]ami orang Papua tegas dalam bicara dan berbahasa, gaya komunikasinya juga. Kalau disini Jogja harus ramah. Perbedaan itu membuat mereka agak jauh dengan kami. Bahkan mereka bisa lari. Kami harus menyesuaikan diri . … Cerita dari teman-teman juga bilang kita di Jogja ini harus baik-baik, harus mengucap salam, dan salam itu penting, karena situasi di Papua dan disini sangat berbeda. Kalau disana Papua kita bisa buat aturan sendiri. Kalau di Jogja harus disapa, dekati dengan orang-orang di sekitar kita dimana pun kita berada. Kalau di kos juga harus dekat dengan ibu kos. Kalau di asrama juga punya dan menaati tata tertib yang ada Agustinus Pekey, wawancara 16 Oktober 2015. Agus wawancara 16 Oktober 2015 menyatakan bahwa kondisi di Yogyakarta tak bisa disamakan dengan kondisi di Papua. Di tempat asalnya, tak ada kewajiban untuk bertegur sapa atau bersopan santun dengan orang lain. Tak ada kewajiban juga untuk membangun hubungan yang dekat dengan orang non-Papua, semisal orang Jawa, yang tinggal di Papua. Sedangkan di Yogyakarta, Agus harus lebih “halus”, tenang, dan guyub, baik atas permintaan Pariman, Bakuh, atau orang-orang Yogyakarta lain yang dekat dengannya tak tertulis —kultural, maupun atas dasar aturan-aturan yang berlaku tertulis —struktural. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh responden asal Papua lain. Sebagai ketua, sudah tugas Agus juga untuk senantiasa mengingatkan teman-teman satu asramanya tentang bagaimana cara bersikap saat berada di luar asrama terutama saat bertemu dengan warga Dusun Tegalwaras. Peraturan yang diterapkan di Asrama Deiyai mengandung manifestasi atas komitmen untuk melawan stereotip. Selain aturan tentang ketenangan, ada juga larangan untuk memasuki asrama dalam keadaan mabuk atau sedang dalam pengaruh minuman kerasalkohol. Ada juga larangan tak tertulis namun tetap ditaati dengan baik, mengutip Agus wawancara 16 Oktober 2015 , yang melarang membawa teman perempuan hingga melewati jam malam apalagi sampai menginap. Usaha perlawanan tersebut berhasil. Citra baik melekat ke para penghuni asrama, dibuktikan dengan pandangan dari semua responden warga asli Dusun Tegalwaras yang menilai bahwa penghuni Asrama Deiyai orangnya baik-baik. Tak pernah membuat masalah, ulah, atau tindakan kriminal atau asusila. Masing-masing responden dari Tegalwaras tak termakan prasangka yang melahirkan stereotip. Rekam jejak warga asrama juga dinilai Sri Priyono baik-baik saja. Ia bercerita wawancara 31 Oktober 2015 bahwa beberapa kali di Dusun Tegalwaras memang ada kejadian pelanggaran oleh para pendatang, yaitu mabuk hingga menimbulkan kekacauan, kasus pencurian, atau kasus menginapkan teman lawan jenis di kos-kosan. Namun kasus-kasus tersebut tak pernah dilakukan oleh penghuni Asrama Deiyai, melainkan pendatang dari daerah lain. Pariman menambahkan bahwa meskipun banyak persepsi negatif tentang orang Papua yang didengarnya, selama menjabat sebagai Ketua RW ia tak pernah menemukan pembuktian persepsi tersebut oleh para penghuni Asrama Deiyai. Yang saya tahu warga Papua yang disini saja. Mereka sopan-sopan. Maksudnya gak pernah bikin ulah gitu. Mereka baik-baik saja. Kalau saya cuma dengar-dengar orang Papua kan katanya keras, tapi kalau yang disini biasa saja. Denger-denger juga katanya orang Papua itu sering bikin ribut, yang disini ternyata aman-aman saja. Kalau soal mereka senang mabuk ya juga cuma dengar-dengar saja. Karena cuma denger-denger juga gak mesti bener Pariman Trisno S, wawancara 29 Oktober 2015. Penilaian yang serupa juga terbangun diantara para penghuni asrama saat diminta untuk menilai warga Dusun Tegalwaras. Warga Tegalwaras adalah orang-orang baik di mata para responden penghuni asrama. Selain fakta bahwa semua responden dari Dusun Tegalwaras tak pernah mempermasalahan keberadaan Asrama Deiyai dan mereka menyebut jika pendapat tersebut juga mewakili pendapat warga Dusun Tegalwaras yang lain, semua responden yang menjadi penghuni Asrama Deiyai juga merasa keberadaan mereka dianggap di Tegalwaras. Seluruh responden dari asrama tak pernah mendapat perlakuan tak menyenangkan, dari danatau kepada warga Tegalwaras.

3. Tantangan-tantangan Multikulturalisme Yogyakarta

Multikulturalisme kan kondisi dimana berbagai suku bangsa yang berkumpul menjadi satu. Sayangnya kita sebenarnya dipaksa menjadi satu. Memang proyek politis itu. Kalau masyarakat Papuanya belum terdidik dan pemahaman masyarakat Jogja tentang multikulturalisme dan persatuan juga belum baik, kita sebenarnya sedang membangun wacana untuk membuat konflik. Seakan sedang dipaksa membuat konflik. Pendidikan multikulturalisme tak cukup untuk dibicarakan di lingkungan akademik formal saja. Yang gak bersekolah itu akhirnya tak paham. Yang orang pendidikan saja tak mesti paham. Pahami secara baik dulu Mikael Kudiai, wawancara 23 Oktober 2015. Pendapat Mikael di atas bisa dianalisis sebagai kritik atas praktik multukulturalisme yang landasan pemahamannya kurang baik dalam tataran teori, sehingga praktiknya pun tak berjalan dengan maksimal. Multikulturalisme memang tak mesti dijalankan saat individunya sudah selesai di tataran pendidikan formal, sebab tak semua orang bisa mengenyam pendidikan formal dengan memadai. Masalah ini bisa teratasi oleh adanya proses transfer nilai-nilai toleransi, hidup damai, setara, adil, dan nilai multikulturalisme lain yang dimanifestasikan dalam bentuk nilai maupun norma sosial dari satu anggota masyarakat ke yang lain. Secara kultural, proses tersebut sudah ada di tengah-tengah proses sosial di masyarakat nusantara bahkan sebelum istilah dan wacana multikulturalisme muncul, atau bahkan sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri. Responden-responden dalam penelitian ini adalah 1 akademisi yang pernah mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah dan 2 masyarakat awam yang tingkat pendidikannya beragam. Namun tanpa penyamarataan tingkat pendidikan formal pun praktik multikulturalisme di Tegalwaras dan Asrama Deiyai bisa berjalan dengan baik. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai kultural yang mengandung kesamaan nilai yang dikandung multikulturalisme masih diwariskan dan disebarluaskan di tataran akar rumput di masyarakat Dusun Tegalwaras. Sayangnya, praktik multikulturalisme tak selamanya bisa berjalan dengan sempurna. Selalu ada cacat berupa pengalaman-pengalaman anggota masyarakat yang berlawanan dengan nilai –nilai di dalam multikulturalisme, entah mereka mendapat perlakuan intoleran, diskriminasi, hingga pelanggaran HAM. Kondisi ini juga dialami oleh rata-rata responden asal Papua penghuni Asrama Deiyai sebelum mereka tinggal asrama tersebut. Tak hanya mengalami, mereka juga menjadi saksi atas perlakuan tak menyenangkan maupun cerita miris yang dialami oleh teman-teman Papua mereka yang lain yang tinggal di Yogyakarta. Jadi, konteksnya bukan di Dusun Tegalwaras, melainkan lebih luas lagi di Yogyakarta.

a. Diskriminasi

Dikriminasi adalah tindakan membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinasinya, atau dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas Herimanto dan Winarno, 2010: 112-113. Di dalam konteks multikulturalisme sosial-budaya, diskriminasi terkadang berkaitan dengan rasisme atau sebuah sikap diskriminasi yang ditujukan pada ras tertentu. Agus wawancara 16 Oktober 2015 memiliki pengalaman yang menjadi tren di kalangan mahasiswa-mahasiswa Papua yang baru tiba di Yogyakarta: mendapat penolakan tinggal di kos baru. Setelah tiba di Yogyakarta, Agus ditemani kakaknya mencari kos- kosan mulai dari pagi sampai sore pukul 4 atau 5. Penolakan yang dialami Agus terjadi hingga 4 kali. Salah satunya, ia pernah bertanya dengan pemilik kos yang memasang tanda “Menerima kos putra” di depan rumahnya. Si pemilik rumah menolak dengan alasan yang tak jelas, semisal kamarnya sudah penuh, dan lain-lain. Agus menyayangkan sebab tanda yang terpampang tak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Penolakan tersebut menjadikan Agus berpikir bahwa ada unsur diskriminasi di dalamnya. Penolakan yang sama juga dialami oleh Markus wawancara 26 Oktober 2015. Saat masa kontrakannya habis dan berniat mencari tempat tinggal baru, ia merasa kesusahan sebab rata-rata syarat penghuni baru diharuskan seorang muslim, sedangkan ia adalah non- muslim. Ia mengalami penolakan hingga 8 kali, mulai dari alasan kamar sudah dipesan, sudah penuh, sedang direnovasi, dan lain sebagainya. Ia pun mengaitkan penolakan tersebut dengan persepsi negatif pada orang Papua sebab ia selalu menyambangi kos dengan tanda menerima penghuni baru di depan gedungnya. Yustinus wawancara 22 Oktober 2015 membenarkan bahwa kasus penolakan kos-kosan bagi mahasiswa Papua di Yogyakarta sudah biasa terjadi. Ia sangat menyayangkan fenomena tersebut. Ia juga pernah menemui sebuah tempat rental motor yang tak mau