Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

Indonesia bagian Timur yang meliputi Maluku, NTT, NTB, dan terutama Papua sendiri, penduduk asli provinsi-provinsi tersebut ditandai dengan warna kulit yang gelap, hidung pesek, dan rambut keriting. Sesuai dengan ciri-ciri fisik ras Melanesia. Rekam jejak warga Papua di Yogyakarta memiliki dinamika sosial yang menarik. Mas‟oud, dkk 2007 menyebutkan bahwa pertukaran kultural antara pendatang terutama dari luar Jawa dengan warga asli Yogyakarta tak selamanya damai. Tak sedamai slogan dan branding Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah dikenal luas se-nusantara dan mancanegara. Ada saatnya, misal, ketika hubungan-hubungan antara mahasiswa dan tuan rumah mencerminkan ketegangan-ketegangan etnis, khususnya antara tuan rumah Jawa dengan mahasiswa-mahasiswa dari pulau luar Jawa. Konflik memuncak terkait dengan pandangan perilaku buruk mahasiswa-mahasiswa non-Jawa yang menderita akibat masalah finansial. Pengalaman getir tersebut membuat pada sekitar tahun 1960-1970an banyak keluarga Yogyakarta tidak bersedia memberikan pondokan tempat tinggal pada mahasiswa non-Jawa. Sampai sekarang masih ada banyak kos-kosan yang tak mengizinkan mahasiswa dari Timur Papua, Maluku, Nusa Tenggara untuk tinggal di tempat tersebut dengan alasan yang macam-macam. Secara umum biasanya berangkat dari persepsi yang mengandung stereotip yang jauh dari kebenaran. Kondisi tersebut tentu menyulitkan para mahasiswa tersebut saat mesti mencari tempat tinggal, sehingga pilihannya hidup bersama di kontrakan atau menempati asrama mahasiswa daerah yang dibangun oleh pemerintah daerah masing-masing. Warga Papua juga unik dari segi historis-politis. Etnonasionalisme Papua Barat tak tumbuh serta merta tanpa sejarah dan kondisi kompleks yang ada. Ada beberapa penyebab. Pertama, proses menghilangkan pengaruh kolonial Belanda, dan utamanya Pepera, pada tahun 1961 –1963 dianggap tidak pernah melibatkan rakyat Papua secara keseluruhan. Adalah wajar jika sampai saat ini masih ada tuntutan dari beberapa pihak untuk mengkaji kembali “aspek historis” dari proses “integrasi” wilayah Papua ke dalam NKRI. Kedua, masyarakat Papua telah mengalami peminggiran yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal lebih disebabkan oleh kapasitas dan kultur lokal. Sementara, bersamaan dengan itu, kehadiran faktor luar sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan Papua, baik dari sisi persaingan ekonomi, fenomena migrasi, dan disparitas pembangunan desa dan kota. Ketiga, Papua masih menyimpan masalah terkait hubungannya dengan pemerintah pusat. Hubungan Papua-Jakarta ini sampai sekarang tetap didiskusikan untuk mencari solusinya Asyhari-Afwan, 2015: 6. Tanggapan atas citra Papua dan gerakan Papua merdekanya oleh pemerintah Indonesia menimbulkan korban jiwa yang tak sedikit. Apalagi selama Orde Baru, tindakan militeristik yang sering menjadi penanggulangan masalah di Papua membuat kasus pelanggaran HAM di Papua sangat tinggi. Sampai era rezim Jokowi-JK, korban sipil masih berjatuhan di Papua. Bahkan banyak korban sipil yang tak ada hubungannya dengan hal-hal politis. Di Yogyakarta, kasus pelanggaran HAM pada warga Papua muncul dalam bentuk yang paling halus: berkembangnya persepsi negatif. Persepsi negatif yang muncul beragam. Bahwa orang Papua itu kasar dalam gestur maupun gaya berkomunikasi, tukang bikin rusuh dan onar, pemabuk, hobi melanggar peraturan dalam berkendara, tak nasionalis NKRI, dan lain sebagainya. Kadang persepsi negatif tersebut memicu tindak diskriminasi, intimidasi, atau intoleransi dimana warga Papua sebagai korbannya. Persepsi negarif disebut Sutarno 2007 sebagai bentuk dari penyakit budaya. Penyakit-penyakit budaya tersebut antara lain adalah etnosentrisme, stereotip, prasangka, scape goating, rasisme, dan diskriminasi, dikutip dari Herimanto dan Winarno, 2010. Beragam bentuk persepsi negatif tersebut tak hanya menciderai HAM, namun juga tak sejalan dengan semangat multikulturalisme yang mengagung- agungkan kesederajatan dan keadilan bersikap dengan orang lain terlepas dari bawaan identitas kultural dan ras-nya. Pandangan Will Kymlicka dalam “Multicultural Citizenship” dirujuk Hardiman untuk politik multikulturalisme yang diartikan sebagai politik tentang hak-hak minoritas. Kymlica sejalan dengan pemikiran Clifford Geerzt bahwa problem kelompok-kelompok etnis atau kultural dan kelompok sosial adalah sebab mereka dieksklusi atau dimarjinalisasi dari problem mayoritas semata- mata karena „keberlainan‟ mereka. Bersikap adil adalah komitmen untuk menghargai keberlainan dan kekhasan Hardiman, 2011.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang diatas, bisa dipaparkan identifikasi masalahnya antara lain sebagai berikut. 1. Dalam sebuah masyarakat multikultur seperti masyarakat Daerah istimewa Yogyakarta DIY, muncul dikotomi yaitu antara golongan mayoritas yang terdiri dari warga Yogyakarta asli atau yang sudah lama mendiami wilayah DIY secara turun-temurun, dan golongan minoritas yang bertatus sebagai pendatang dari luar DIY ataupun luar Pulau Jawa. 2. Kondisi masyarakat multikultur yang terdiri dari elemen masyarakat yang berbeda suku bangsa, agama, ras, dan golongan tak selamanya damai. Kadang ada dinamika yang cenderung menghilangkan semangat multikulturalisme tersebut dan didasarkan pada persepsi negatif berbentuk prasangka atau stereotip negatif, sikap primordialisme dan etnosentrisme, lalu berujung pada diskriminasi dan intimidasi dari satu kelompok etnis satu ke kelompok etnis lain. 3. Persepsi negatif berbentuk penyakit-penyakit budaya seperti etnosentrisme, stereotip, prasangka, scape goating, rasisme, dan diskriminasi kadang dialami kelompok minoritas, salah satunya elemen warga pendatang minoritas yang berasal dari Papua. 4. Stereotip atau sentimen negatif yang belum jelas kebenarannya dalam konteks sosial-budaya antara lain: warga Papua itu kasar dalam gestur maupun gaya berkomunikasi, tukang bikin rusuh dan onar, pemabuk, hobi melanggar peraturan misal, dalam berkendara, dan sebagainya. 5. Penyakit-penyakit budaya yang ada tersebut dikhawatirkan menjadi tanda kegagalan praktik multikulturalisme di Yogyakarta.

C. Pembatasan Masalah

Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, maka penulis akan menitik beratkan permasalahan tentang 1 jalinan persepsi yang berkembang diantara warga Papua di Asrama Deiyai dan warga Yogyakarta asli di Dusun Tegalwaras RT 05 RW 29, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY tentang pandangan masing-masing pihak, dan 2 kualitas interaksi sosialnya. Analisis dua poin tersebut diharapkan bisa untuk menilai seberapa berhasil praktik multikulturalisme yang ada di Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah serta pembatasan masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitiannya yaitu: 1. Bagaimana praktik multikulturalisme di Yogyakarta dalam mengintegrasi dan mengakomodasi mahasiswa Papua di Asrama Deiyai di Tegalwaras RT 05 RW 29, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY? 2. Bagaimana upaya-upaya mahasiswa Papua di Asrama Deiyai dalam berintegrasi dengan masyarakat Yogyakarta khususnya warga Tegalwaras RT 05 RW 29, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY? 3. Apa saja tantangan dan hambatan praktik multikulturalisme di Yogyakarta khususnya yang menyangkut mahasiswa Papua yang tinggal Yogyakarta?

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan yang akan dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah: 1. Memahami praktik multikulturalisme di Yogyakarta dalam mengintegrasi dan mengakomodasi mahasiswa Papua di Asrama Deiyai di Tegalwaras RT 05 RW 29, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY. 2. Memahami upaya-upaya mahasiswa Papua di Asrama Deiyai dalam berintegrasi dengan masyarakat Yogyakarta khususnya warga Tegalwaras RT 05 RW 29, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY. 3. Mengetahui tantangan dan hambatan praktik multikulturalisme di Yogyakarta khususnya yang menyangkut mahasiswa Papua yang tinggal Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu sosiologi. b. Dapat digunakan sebagai ajang berpikir kritis, analitis, dalam mengembangkan teknikmetode penelitian sosial. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi para akademisi tentang kajian praktik multikulturalisme di Yogyakarta. b. Bagi Dosen Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap dosen, entah tambahan literatur untuk kepentingan mengajar, berdiskusi, penelitian lanjutan, maupun kepentingan akademis lainnya. c. Bagi Mahasiswa Hasil penelitian ini diharapkan untuk dapat menambah referensi sebagai bahan informasi dan menambah wawasan mengenai kajian praktik multikulturalisme di Yogyakarta. d. Bagi Peneliti 1 Penelitian ini digunakan sebagai syarat untuk menyelesaikan studi dan mendapat gelar sarjana pada jurusan Pendidikan Sosiologi FIS UNY. 2 Dapat mengetahui dengan lebih mendalam mengenai kajian praktik multikulturalisme di Yogyakarta.