ketiga jenis penanggulangan di atas, yang pertama dikategorikan dalam jalur penal hukum pidana, sedangkan dua jenis terakhir dapat dikelompokkan dalam jalur non
penal non pidana.
250
Terhadap ke-2 dua sarana tersebut, Muladi berpendapat:
251
Kebijakan kriminal adalah usaha rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal di
samping dapat dilakukan secara represif melalui sistem peradilan pidana pendekatan penal dapat pula dilakukan dengan sarana “non
penal” melalui pelbagai usaha pencegahan tanpa harus menggunakan sistem peradilan pidana, misalnya usaha penyehatan mental
masyarakat, penyuluhan hukum, pembaharuan hukum perdata dan hukum administrasi, dan sebagainya.
1. Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy
Berbicara tentang kebijakan kriminal criminal policy yang mencakup pendekatan penal melalui sistem peradilan pidana, dengan sendirinya akan
bersentuhan dengan kriminalisasi yang mengatur ruang lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana, dan sanksi yang dapat
dijatuhkan, baik berupa pidana punishment maupun tindakan treatment.
252
Sarana kebijakan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menggunakan sarana penal
hukum pidana, maka ”kebijakan hukum pidana” ”penal policy” harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial berupa
social welfare dan social defence.
253
250
Mahmud Mulyadi, Op.Cit. hal. 105.
251
Muladi, Opcit. hal. 182.
252
Ibid, hal. 201
253
Barda Nawawi Arief, Opcit, hal. 77.
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan hukum pidana, adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-
undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Lebih lanjut dikatakan, di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu
pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan
bagi suatu seni yang rasional, di mana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan
atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik,
humanis, dan berpikiran maju progresif lagi sehat.
254
Perumusan kebijakan kriminal tidak boleh lepas dari kebijakan sosial, perlu diperhatikan juga kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Sistem
Peradilan Pidana, sekaligus sebagai tolok ukur efektivitas Sistem Peradilan Pidana itu sendiri, yang terdiri dari:
255
a. Perundang-undangan pidana yang lemah dan belum tunduk pada suatu pola
perencanaan yang baku, baik dalam perumusan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana maupun sanksi yang diancamkan. Kelemahan
254
Barda Nawawi Arief, Opcit, hal. 4.
255
Muladi, Opcit, hal. 98-99.
Universitas Sumatera Utara
perundang-undangan tersebut disamping mempersulit penegakan hukum juga dapat menimbulkan kesan adanya kriminalisasi yang berlebihan. Sifat Sistem
Peradilan Pidana sebagai sistem yang tertib menjadi terganggu, baik dalam kaitannya dengan para penegak hukum maupun pelaku tindak pidana serta calon
pelaku tindak pidana. b.
Clearance rate, yang sering terganggu dengan masih banyaknya kejahatan yang tidak dilaporkan dengan berbagai macam alasan. Di beberapa negara, termasuk
Indonesia, pelaku kejahatan yang berada di luar Sistem Peradilan Pidana pelaku kejahatan yang tidak dilaporkan lebih banyak daripada yang dilaporkan.
c. Conviction rate, tingkat keberhasilan penuntutan masih rendah walaupun
menyangkut perkara yang meresahkan masyarakat. Hal ini dapat mengurangi kewibawaan penegakan hukum.
d. Speedy trial, kecepatan menangani perkara sering dikatakan mempengaruhi
efektivitas tujuan pemidanaan. Dari segi tujuan pemidanaan, penyelesaian kasus yang cepat akan membawa efek pencegahan yang lebih baik.
Selain kendala-kendala
yang disebutkan di atas, lemahnya penegakan hukum yang diawali dari lemahnya kebijakan kriminal juga disebabkan oleh kinerja aparat
penegak hukum, seperti kepolisian yang belum menunjukkan sikap yang profesional, dan integritas moral yang tinggi. Kondisi sarana dan prasarana hukum yang sangat
diperlukan oleh aparat penegak hukum juga masih jauh dari memadai sehingga sangat mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum untuk berperan secara optimal dan
sesuai dengan rasa keadilan di dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Politik kriminal yang dilakukan dengan menggunakan sarana penal berarti penggunaan sistem peradilan pidana, mulai dari kriminalisasi sampai dengan
pelaksanaan pidana. Pendekatan dengan sarana penal harus terus menerus dilakukan melalui pelbagai usaha untuk menyempurnakan sistem peradilan pidana, baik dari
aspek legislasi kriminalisasi, dekriminalisasi dan depenalisasi, perbaikan sarana- prasarana sistem, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan peningkatan
partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana. Secara sistemik, sistem peradilan pidana ini mencakup suatu jaringan sistem peradilan dengan sub sistem
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan yang mendayagunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya. Hukum pidana dalam hal ini mencakup
hukum pidana materiil, formil dan hukum pelaksanaan pidana.
256
Membicarakan masalah hukum pidana tidak lepas kaitannya dengan subjek yang dibicarakan oleh hukum pidana itu. Adapun yang menjadi subjek dari hukum
pidana itu adalah manusia selaku anggota masyarakat. Manusia selaku subjek hukum yang pendukung hak dan kewajiban di dalam menjalankan aktivitas yang
berhubungan dengan masyarakat tidak jarang menyimpang dari norma yang ada. Adapun penyimpangan itu berupa tingkah laku yang dapat digolongkan dalam
pelanggaran dan kejahatan yang sebetulnya dapat membahayakan keselamatan diri sendiri, masyarakat menjadi resah, aktivitas hubungannya menjadi terganggu, yang
256
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Center, 2002 hal. 156 dan hal. 182.
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan di dalam masyarakat tersebut sudah tidak terdapat lagi ketertiban dan ketentraman.
Hukum pidana dalam usahanya untuk mencapai tujuannya itu tidaklah semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana straaft tetapi disamping itu juga
menggunakan tindakan-tindakan maatregel. Jadi disamping pidana ada pula tindakan. Tindakan ini pun merupakan suatu sanksi juga, walaupun tidak ada
pembalasan padanya. Tujuan pemidanaan pada umumnya adalah :
257
1. Mempengaruhi perikelakuan si pembuat agar tidak melakukan tindak pidana lagi,
biasanya disebut prevensi spesial. 2.
Mempengaruhi perikelakuan anggota masyarakat pada umumnya agar tidak melakukan tindak pidana seperti yang dilakukan oleh si terhukum.
3. Mendatangkan suasana damai atau penyelesaian konflik.
4.
Pembalasan atau pengimbalan dari kesalahan si pembuat. Sementara, menurut Barda Nawawi Arief, tujuan pemidanaan berupa
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat merupakan induk dari keseluruhan pendapat atau teori-teori mengenai tujuan pidana pemidanaan.
Lebih lanjut Arief mengemukakan secara ringkas tujuan pemidanaan yang mengandung dua aspek pokok, yaitu : aspek perlindungan masyarakat terhadap tindak
pidana, dan aspek perlindungan terhadap individu atau pelaku tindak pidana. Aspek pokok pertama meliputi tujuan-tujuan: mencegah, mengurangimengendalikan tindak
257
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1983, hal. 187.
Universitas Sumatera Utara
pidana, dan memulihkan keseimbangan masyarakat yang perwujudannya antara lain: menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian atau
kerusakan yang timbul, memperkuat nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Aspek pokok yang kedua bertujuan memperbaiki si pelaku, seperti: melakukan rehabilitasi
dan memasyarakatkan kembali si pelaku, mempengaruhi tingkah laku si pelaku untuk tertib dan patuh pada hukum, melindungi si pelaku dari pengenaan sanksi atau
pembalasan yang sewenang-wenang di luar hukum.
258
Masih berkaitan dengan tujuan pemidanaan berupa perlindungan dan kesejahteraan masyarakat, Roeslan Saleh mengemukakan ada tiga tujuan yang harus
diperhatikan hakim dalam menjatuhkan pidana, yaitu koreksi, resosialisasi, dan pengayoman kehidupan masyarakat. Koreksi artinya bahwa terhadap orang yang
melanggar suatu norma, pidana yang dijatuhkan ini sebagai peringatan bahwa perbuatan seperti itu tidak boleh terulang lagi. Resosialisasi adalah usaha yang
bertujuan untuk menjadikan terpidana dapat hidup dalam masyarakat tanpa melakukan kejahatan lagi ketika ia telah selesai menjalani hukumannya. Dengan
demikian tujuan pemidanaan di sini adalah pengayoman kehidupan masyarakat berupa pengenaan sanksi pidana bagi mereka yang melakukan kejahatan.
259
Kebijakan hukum dengan sarana ”penal” pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri atas tiga tahap yakni:
260
a. Tahap kebijakan legislatifformulatif;
258
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Opcit, hal. 167.
259
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Grafika Baru, 1984, hal. 5.
260
Barda Nawawi Arief, Opcit, hal.78-79.
Universitas Sumatera Utara
b. Tahap kebijakan yudikatifaplikatif;
c. Tahap kebijakan eksekutifadministratif.
Tahapan formulasi dalam proses penanggulangan kejahatan memberikan tanggung jawab kepada aparat pembuat hukum aparat legislatif menetapkan atau
merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana disusun dalam satu kesatuan sistem hukum pidana kebijakan legislatif yang harmonis dan terpadu.
Walaupun ada keterkaitan erat antara kebijakan formulasilegislasi legislative policy khususnya penal policy dengan law enforcement policy dan criminal policy,
namun dilihat secara konseptualteoritis dan dari sudut realitas, kebijakan penanggulangan kejahatan tidak dapat dilakukan semata-mata hanya dengan
memperbaikimemperbaharui sarana undang-undang law reform termasuk criminal lawpenal reform. Namun evaluasi tetap diperlukan sekiranya ada kelemahan
kebijakan formulasi dalam perundang-undangan yang ada. Evaluasi terhadap kebijakan formulasi mencakup tiga masalah pokok dalam hukum pidana yaitu
masalah perumusan tindak pidana kriminalisasi, pertanggungjawaban pidana, dan aturan pidana dan pemidanaan.
261
2. Kebijakan Non Penal Non Penal Policy