Kebijakan Non Penal Non Penal Policy

b. Tahap kebijakan yudikatifaplikatif; c. Tahap kebijakan eksekutifadministratif. Tahapan formulasi dalam proses penanggulangan kejahatan memberikan tanggung jawab kepada aparat pembuat hukum aparat legislatif menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana disusun dalam satu kesatuan sistem hukum pidana kebijakan legislatif yang harmonis dan terpadu. Walaupun ada keterkaitan erat antara kebijakan formulasilegislasi legislative policy khususnya penal policy dengan law enforcement policy dan criminal policy, namun dilihat secara konseptualteoritis dan dari sudut realitas, kebijakan penanggulangan kejahatan tidak dapat dilakukan semata-mata hanya dengan memperbaikimemperbaharui sarana undang-undang law reform termasuk criminal lawpenal reform. Namun evaluasi tetap diperlukan sekiranya ada kelemahan kebijakan formulasi dalam perundang-undangan yang ada. Evaluasi terhadap kebijakan formulasi mencakup tiga masalah pokok dalam hukum pidana yaitu masalah perumusan tindak pidana kriminalisasi, pertanggungjawaban pidana, dan aturan pidana dan pemidanaan. 261

2. Kebijakan Non Penal Non Penal Policy

Pendekatan dengan cara non penal mencakup area pencegahan kejahatan crime prevention yang sangat luas dan mencakup baik kebijakan maupun praktek. Sarana non penal pada dasarnya merupakan tindakan preventif, mulai dari pendidikan 261 Ibid, hal. 214.-215. Universitas Sumatera Utara kode etik sampai dengan pembaharuan hukum perdata dan hukum administrasi. Kebijakan tersebut bervariasi antara negara yang satu dengan negara yang lain sesuai dengan latar belakang kultural, politik dan intelektual yang ada pada masing-masing masyarakat. Penanggulangan non-penal, baik dengan pencegahan tanpa pidana prevention without punishment maupun mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media influencing views of society on crime and punishmentmass media sebenarnya mempunyai peranan strategis sebagai preventif untuk mencegah orang berbuat judi. Karena sifatnya yang mencegah, maka penanggulangan non-penal mesti memperhatikan berbagai aspek sosial-psikologis yang menjadi faktor kondusif penyebab orang melakukan judi. Kongres ke-8 PP tahun 1990 di Havana, Cuba, mengidentifikasikan penyebab kejahatan ini lebih pada faktor yang tidak bisa diatasi semata-mata oleh tindakan penal pidana. Dalam kongres tersebut dinyatakan: “Convinced that crime prevention and criminal justice in the context of development should be oriented towards the observance of the principles contained in the Caracas declaration, the Milan Plan of Action, The Guiding Principles for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New International Economic Order and other relevan resolutions and recommendations of Seventh United Nations congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.” 262 Kongres PBB ke-8 menekankan pentingnya aspek sosial dari kebijakan pembangunan yang merupakan suatu faktor penting dalam pencapaian strategi 262 Eight United Nations Congress 1991. On The Prevention of Crime and The Treatment of offenders. New York: Department of Economic and Social Affairs, UN, hal. 9, seperti yang dkutip oleh Mahmud Mulyadi, Opcit, hal. 53 Universitas Sumatera Utara pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. Oleh karena aspek-aspek sosial dalam konteks pembangunan ini harus mendapat prioritas yang utama. Kongres ke-8 juga berhasil mengidentifikasi berbagai aspek sosial yang diperkirakan sebagai faktor- faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan yaitu: 263 1. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan, ketiadaan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok; 2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek harapan karena proses integrasi sosial dan karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial; 3. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga; 4. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain; 5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan; 6. Menurunnya atau mundurnya kaul lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan kehidupan bertetangga; 7. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya; 263 Ibid, hal. 56-57. Universitas Sumatera Utara 8. Penyalahgunaan alkohol, obat bisu dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas; 9. Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian; 10. Dorongan-dorongan khususnya oleh media massa mengenai ide-ide dan sikap- sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikap- sikap tidak toleran. Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itu, pemecahan masalah di atas harus didukung oleh pendekatan non penal berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat. 264 Salah satu bentuk pencegahan non-penal adalah dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat akan kejahatan perjudian, akibat-akibat dan konsekuensinya. Sampai di sini, kondisi sosial-budaya masyarakat Indonesia yang mayoritas merupakan masyarakat beragama religious society bisa menjadi alat yang tepat, dan dalam keberagamaan, seseorang cenderung memasuki kelompok, organisasi dan tarikat tertentu, meskipun tidak selalu mereka terikat secara ketat dan aktif. Namun, secara umum setiap orang mempunyai anutan akan pandangan keagamaan kepada kelompok tertentu. Loyalitas pada kelompok sosial-keagamaan bahkan tidak jarang lebih kuat dan besar dari pada kepada institusi struktural lain 264 Ibid, hal. 57. Universitas Sumatera Utara semisal negara, inilah yang bisa dijadikan media pemberian pemahaman tentang perjudian. 265 Umumnya strategi preventif terdiri atas tiga kategori yang mendasarkan diri pada “public health model” yakni; a pencegahan kejahatan primer primary prevention; b pencegahan sekunder secondary prevention; dan c dan pencegahan tersier tertiary prevention. 266 Pencegahan primer adalah strategi yang dilakukan melalui kebijakan sosial, ekonomi dan kebijakan sosial yang lain yang diorientasikan untuk mempengaruhi situasi kriminogenik dan akar kejahatan pre-offence intervention, seperti kebijakan di bidang pendidikan, perumahan, lapangan kerja, rekreasi, dan sebagainya. Sasaran utama dari model kebijakan ini adalah masyarakat luas. Pencegahan sekunder dapat ditemukan di dalam sistem peradilan pidana dan penerapannya bersifat praktis, seperti yang biasa dapat disaksikan pada peranan polisi dalam pencegahan kejahatan. Sasarannya ditujukan kepada mereka yang dianggap cenderung melanggar. Sedangkan pencegahan tersier terutama diarahkan pada residivisme oleh polisi atau lembaga-lembaga lain sistem peradilan pidana dan sasaran utamanya adalah mereka yang telah melakukan kejahatan. 267 Menurut Neil C. Chamelin dalam Mahmud Mulyadi 268 bahwa kejahatan berakar dari faktor-faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial masyarakat itu 265 Barda Nawawi Arief, Opcit, hal. 65. 266 Muladi, 2002. Opcit, hal. 184. 267 Ibid, hal. 185. 268 Mahmud Mulyadi, Opcit, hal. 58. Universitas Sumatera Utara sendiri. Oleh karena itu perlu langkah-langkah penanggulangan yang didasarkan pada penguatan sumber daya yang ada di dalam masyarakat community crime prevention. Program-program yang dapat dilakukan oleh community crime prevention antara lain 1 pembinaan terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, 2 pembinaan tenaga kerja, 3 pendidikan; 4 rekreasi; 5 pembinaan mental melalui agama, dan 6 desain tata ruang fisik kota. Di lain pihak dibedakan pula antara “pencegahan sosial” social crime prevention yang diarahkan pada akar kejahatan, “pencegahan situasional” situational crime prevention, yang diarahkan pada pengurangan kesempatan untuk melakukan kejahatan, dan “pencegahan masyarakat” community based prevention, yakni tindakan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengurangi kejahatan dengan cara meningkatkan kemampuan mereka untuk menggunakan kontrol sosial. Pelbagai pendekatan tersebut bukan merupakan pemisahan yang tegas, namun saling mengisi dan berkaitan satu sama lain. 269

C. Kepolisian dalam Kebijakan Kriminal Criminal Policy