3. Hambatan dari Budaya Hukum
Satjipto Rahardjo
382
melihat budaya hukum sebagai landasan bagi dijalankannya atau tidak suatu hukum positif di dalam masyarakat, karena
pelaksanaan hukum positif banyak ditentukan oleh sikap, pandangan serta nilai yang dihayatinya. Oleh karena itu budaya hukum bagi masyarakat modern dengan sistem
terbuka akan berbeda dengan budaya hukum masyarakat tradisional yang bersifat tertutup. Sedangkan bagi masyarakat yang mengalami perkembangan ia menyebut
sebagai budaya hukum personal sebagai perwujudan dari adanya kecenderungan untuk memperlakukan hukum serta lembaganya dengan cara yang mudah dan
menurut keinginan pribadi. Kultur hukum atau budaya hukum merupakan salah satu komponen untuk memahami bekerjanya sistem hukum sebagai suatu proses, di mana
budaya hukum berfungsi sebagai bensinnya motor keadilan. Dengan demikian tanpa didukung oleh budaya hukum yang kondusif niscaya suatu peraturan atau hukum
tidak bisa direalisasikan sebagaimana diharapkan baik oleh pembuat hukum maupun masyarakat sebagai sasaran dari hukum.
Budaya hukum merupakan unsur hukum yang akurat dan sepadan dengan tujuan untuk menjawab efektifitas hukum dalam rangka studi hukum dan masyarakat
dibanding metoda konvensional yang mengkaji hukum dari aspek historis semata. Demikian oleh karena melalui serangkaian nilai-nilai, kebiasaan, dan perilaku dapat
menunjukkan bagaimana kaidah-kaidah hukum itu dipersepsi secara logis rasional oleh masyarakatnya baik sasaran maupun pelaksana kaidah. Kajian seperti itu
382
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980, hal. 85.
Universitas Sumatera Utara
merupakan realitas sosial tidaklah sesuai atau sepadan dengan kaidah-kaidah normatif dalam rumusan peraturan hukum.
383
Lawrence M.Friedman,
384
menjelaskan bahwa setiap sistem hukum selalu mengandung tiga komponen yakni struktur, substansi, dan kultur. Budaya hukum
akan berfungsi sebagai jiwa yang akan menghidupkan mekanisme hukum secara keseluruhan akan tetapi sebaliknya bisa juga mematikan seluruh mekanisme
pelaksanaan hukum yang ditetapkan berlaku untuk masyarakat. Komponen kultur merupakan penentu dalam pelaksanaan kebijakan berjalan efektif atau tidak, sehingga
sikap dan perilaku masyarakat dalam berjudi terpengaruh oleh nilai-nilai yang kurang memperhatikan aspek hukum di masyarakat.
Judi sudah berurat akar dalam masyarakat sekalipun jenis dan wujudnya berbeda tapi esensinya sama yaitu judi. Pokoknya kegiatan yang mengandung unsur
harapan untuk menang, untuk kompetensi, adu nasib, untung-untungan, di dalamnya ada unsur judi. Tapi jangan lupa bahwa judi juga mengandung unsur seni yang tinggi.
Kadang orang tidak mempermasalahkan kalah atau menang, tapi akan bangga apabila hasil perkiraananalisisnya secara matematis tepat. Judi selalu memberikan harapan
kepada setiap orang, sekalipun harapan tersebut sulit untuk diwujudkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Marcello Truzzi 1974 yang dikutip Mardalli
385
yang
383
Lawrence M.Friedman Stewart Macaulay, Law and behavioral Science, New York : The Bobbs-McMill Company Inc, 1977, hal. 1028.
384
Ibid, hal. 9.
385
Mardalli, Profesionalisme Polisi Republik Indonesia Di Mata Masyarakat Sebagai Profesi Hukum, diakses dari www.mardalli.wordpress.com, tanggal 26 Januari 2009.
Universitas Sumatera Utara
berpendapat bahwa judi adalah bentuk dari penyimpangan atau penyelewengan budaya yang berhubungan dengan empat hal mengapa orang berjudi:
a. Judi adalah bentuk hiburan, oleh karenanya judi adalah bentuk pelarian dari
kegiatan rutinitas dan kebosanan dan kesibukan sehari-hari. b.
Judi adalah katup penyelamat safety valve, yaitu alat untuk memenuhi aspirasi, para penjudi akan melampiaskan kemarahan, frustasi dan kekecewaan mereka.
c. Judi membuat orang selalu berpengharapan karena judi menjanjikan suatu
kemenangan atau perbaikan kehidupan social para pecandunya, dan d.
Disamping berpikir irasional, lebih sering para penjudi berpikir secara rasional, akhirnya tindakan tersebut dapat mengatur dan melatih untuk berpikir rasional
dan logis dan hidup disiplin. Maraknya judi di Asahan dan semakin meningkatnya pembeli merupakan
fakta sosial bahwa judi menjadi hal yang biasa di masyarakat. Judi dianggap hanya sekedar permainan dan kebiasaan belaka dan bukan lagi sebagai pelanggaran
terhadap norma agama, norma kesusilaan, norma adat dan norma hukum. Banyak para penjudi yang awalnya dari coba-coba, ketagihan dan akhirnya bangkrut dan
jatuh miskin. Tadinya kaya raya tanpa terasa berjudi akhirnya meminta-minta.
386
Masih banyaknya masyarakat yang memandang bahwa dengan bermain judi mereka akan dengan mudah menjadi kaya dan mudah memperoleh uang menjadi
salah satu penghambat dalam pemberantasan perjudian. Faktor yang paling dominan yang menyebabkan orang melakukan perjudian adalah faktor pendidikan yang rendah
386
Wawancara dengan H. Achmad Safari, Tokoh Masyarakat Asahan, tanggal 22 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
membuat mereka bodoh, faktor kurangnya memahami kepercayaan terhadap agama yang membuat mereka lebih percaya terhadap hal-hal yang berbau mistis dan yang
terakhir adalah faktor ekonomi yang membuat masyarakat golongan kecil semakin terhimpit hidupnya dengan semakin buruknya perekonomian di Indonesia. Selain itu,
kurangnya partisipasi dari masyarakat untuk memberikan informasi tentang adanya perjudian dan sebagian masyarakat masih menutup-nutupi adanya tindak pidana yang
biasanya terjadi di sekitar lingkungannya. Terdapat dua macam pandangan atau penilaian, yang satu dengan yang
lainnya saling bertentangan dan masing-masing pandangan sulit sekali ditemukan. Ada sebagian masyarakat yang menerima dan senang melakukan perbuatan judi,
dan di lain pihak terdapat juga yang tidak senang dan menolaknya bahkan sampai menjauhi dan menganggap judi sebagai perbuatan yang terkutuk. Masyarakat yang
demikian ini menghendaki kehidupan yang baik dan yang bersih dari segala perbuatan yang dipandang kurang baik atau tidak patut dilakukan. Dengan
demikian, menurut Sugeng Tiyarto
387
bahwa pendapat masyarakat tentang perjudian di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, dapat dikategorikan sebagai
berikut: a.
Golongan pertama, yaitu masyarakat yang senang atau menerima judi atau perjudian.
b. Golongan kedua, yaitu masyarakat yang tidak senang atau menolak judi atau
perjudian.
387
Sugeng Tiyarto, Op.Cit, hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
Golongan pertama yaitu yang senang menerima perjudian. Tipe masyarakat ini berpandangan dan biasanya mereka menerima adanya judi tanpa menghiraukan
akibat-akibat yang ditimbulkan baik pada dirinya maupun pada masyarakat. Karena mereka hanya memandang dan memperhatikan pada segi keuntungannya saja, dan
mereka menerima judi sebagai salah satu di antara jalan keluar untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki. Misalnya ingin kaya secara cepat ingin mendapatkan hasil
sebanyak-banyaknya dengan tenaga dan biaya yang ringan. Golongan pertama ini beranggapan bahwa masalah judi dipandang sebagai perbuatan yang biasa, bahkan
merupakan mata pencaharian sehari-hari, dapat menghasilkan sebanyak-banyaknya dengan melalui permainan judi.
388
Golongan kedua yaitu yang tidak senang atau menolak terhadap judi. Golongan ini bertitik tolak pada kebiasaan-kebiasaan hidup tanpa membawa akibat
yang bersifat negatif termasuk permainan judi, karena ingin yang baik. Judi adalah merupakan suatu perbuatan yang dianggap bertentangan dengan aturan-aturan hukum
yang ada yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, yang biasa disebut norma, yaitu; kesusilaan, kesopanan dan agama. Karena pada prinsipnya semua agama
mutlak menolak dan melarangnya, sebagaimana telah dikemukakan pada bab terdahulu bahwa pada hakekatnya perjudian adalah bertentangan dengan agama,
kesusilaan dan moral Pancasila serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
389
388
Ibid, hal. 29-30.
389
Ibid, hal. 30-31.
Universitas Sumatera Utara
Dengan adanya hambatan-hambatan tersebut di atas Undang-Undang, aparat penegak hukum, dan hambatan budaya hukum yang selama ini menjadi penghalang
atau penghambat bagi aparat penegak hukum yang berada di jajaran Polres Asahan untuk mengungkap modus operandi perjudian di lingkungan masyarakat Kabupaten
Asahan, maka dengan meningkatkan profesionalisme kerja anggota Polisi khususnya personel Polres Asahan dan para aparat penegak hukum lainnya diharapkan dapat
mengurangi kendala-kendala yang ada serta dengan segala keterbatasannya anggota Polisi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat dapat menjalankan tanggung
jawabnya dengan baik dan yang paling terpenting adalah peran dari masyarakat itu sendiri di dalam membantu para aparat penegak hukum untuk mengungkap semua
tindak pidana perjudian.
B. Upaya Polri Mengatasi Hambatan dalam Penanggulangan Tindak Pidana