133
kepercayaan rakyat. Pertempuran kecil secara sporadis terjadi di sana-sini, seperti di desa Mongkrong, Jatirejo, Tajuk, Tengaran, Gunung Tumpeng,
Kalik-Rumpung, dan beberapa tempat lainnya Balai Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2006:137.
Barisan Kyai yang gugur di medan tempur hanyalah sebagian kecil dari pejuang yang tercatat, di luar itu masih banyak nama lain yang
merupakan pahlawan tak dikenal, baik yang gugur dalam pertempuran atau dieksekusi oleh Belanda, seperti pejuang RI Atno BPRI dan Karno
TNI yang dijatuhi hukuman mati pada tanggal 22 dan 23 Juli 1948 oleh pengadilan militer istimewa Belanda di Salatiga karena mengadakan
serangan besar-besaran terhadap pasukan Belanda di Suruh dan Dapadapayam Toer, dkk, 2003:486.
C. Berlakunya Pemerintahan Militer dan Akhir pertempuran
Peristiwa Srambatan Solo yang terjadi pada 13 September 1948, membuat situasi keamanan memburuk. Peristiwa tersebut terjadi karena adanya
penculikan pembesar-pembesar TNI Solo. Pasukan Siliwangi yang kala itu berada di Solo konon berada di balik penculikan itu. Pertempuran terjadi
antara kedua belah pihak hingga pemerintah mengambil tindakan dengan menjadikan Karesidenan Semarang dan Karesidenan Surakarta sebagai Daerah
Militer agar situasi keamanan pulih serta alat-alat kekuatan Negara bersatu Semarang Kodam VII, 1961:178-180.
134
Mulai tanggal 16 Sepetember 1948 berlaku Daerah Militer di Kabupaten Semarang, termasuk Salatiga. Ketetapan tentang daerah militer ini dikukuhkan
dalam Keputusan Presiden RI No. 72A.Mil.48. Dalam keputusan ini diangkat Kolonel Gatot Soebroto sebagai Komandan Daerah Militer Karesidenan
Surakarta dan Semarang. Komandan Militer dibantu oleh Kolonel Bambang Soegeng sebagai Kepala Staf Pertahanan Jawa Tengah dan Wakil Jaksa
Agung Mr.Muljatno. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan militer ini maka Kolonel Gatot Soebroto diberi gelar Gubernur Militer, sesuai Keppres
RI No. 73A.Mil.48 ANRI: Kementrian Penerangan No.9. Pada tanggal 1 Agustus diumumkan suatu gencatan senjata yang berlaku
di Jawa 11 Agustus 1949. Dengan adanya perintah penghentian tembak- menembak maka kedudukan masing-masing dalam status quo menyusul
kemudian perundingan antara kedua belah pihak. Pihak Belanda segera menyadari bahwa kemajuan militer mereka hanya menimbulkan berbagai
permasalahan. Hanya sedikit orang Indonesia yang bersedia lagi untuk bekerja sama dengan mereka dan operasi-operasi gerilya Indonesia berhasil
mengancam banyak posisi pihak Belanda sehingga mereka sebenarnya berada dalam keadaan terkepung Ricklefs, 1991:348.
Secara politis maupun ekonomi, Belanda mulai terdesak. Di forum internasional, mereka mendapat reaksi keras dari berbagai Negara seperti
India dan Australia, sementara tekanan ekonomi di dalam negerinya juga semakin berat karena besarnya anggaran biaya perang di Indonesia, sementara
dana bantuan untuk penyelenggaraan perang tersebut dihentikan. Amerika
135
menghentikan pemberian dana bantuan selanjutnya kepada Belanda yang dimaksudkan untuk pengeluaran Indonesia Ricklefs, 1991:348. Perlawanan
militer Republik sekaligus penduduk yang tidak mau bekerja sama berkembang pesat dengan skala intensitas besar sehingga Belanda tidak
berdaya lagi Kahin, 1995:495. Ini membuktikan bahwa perlawanan pejuang gerilya RI selama ini tidak sia-sia, aksi subversif mereka mengakibatkan
kerugian yang tidak sedikit bagi Belanda dan menjadi pertimbangan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada RI.
Gencatan senjata tersebut diikuti dengan Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Pelaksanaan persetujuan itu terjadi pada tanggal 23 Agustus hingga 2
November 1949. Persetujuan ini menetapkan bahwa penyerahan kedaulatan penuh dan tak terkekang oleh Negeri Belanda akan diberikan paling lambat
pada tanggal 30 Desember 1949, meliputi seluruh territorial yang dulu merupakan Hindia Timur Belanda kecuali Papua Barat, kepada Republik
Indonesia Serikat Persetujuan itu menetapkan agar pengambilalihan, nasionalisasi, likwidasi, penyerahan wajib atau penyerahan hak milik akan
dilakukan terang-terangan demi kepentingan rakyatsesuai dengan prosedur hokum Kahin, 1995:554. Dengan demikian jelas bahwa penyelesaian konflik
politik antara Belanda dan republik Indonesia dilakukan dengan mediasi, dengan PBB sebagai mediatornya.
Pada bulan Nopember 1949, aparat pemerintah RI yang mengungsi ke daerah Susukan Selatan mulai bergeser mendekati kota, yaitu di Desa Sruwen
dan Bener. Bupati Semarang Sumardjito dan Kepala Polisi Sutarjo berangkat
136
ke Semarang untuk membicarakan masalah penyerahan Kota Salatiga. Mereka kemudian menjadi anggota LJC Local Joint Committee Jawa Tengah, yang
merupakan suatu badan penghubung antara RI dan Belanda untuk menyelesaikan masalah serah-terima kekuasaan Handjojo, 1973:42. Hal ini
sesuai dalam keterangan R. Poniman Tonis bahwa Inspektur Polisi R.Sutaryo menjadi anggota joint board penengah dalam rangka penyerahan kekuasaan
dari Belanda ke RI Tonys, 2008b:4. Pada tanggal 27 Desember 1949 negeri Belanda secara resmi menyerahkan
kedaulatan atas Indonesia kepada RIS. Menurut kesaksian Poniman Tonys, penyerahan kedaulatan di Salatiga terjadi pada tanggal 25 Desember 1947.
Peristiwa ini dilakukan di Tengaran, di pinggir jalan raya. Timbang terima dari pihak RI diwakili oleh Kepala Polisi Sutaryo yang dikawal oleh R. Poniman
Tonys, sedangkan dari pihak Belanda diwakili oleh Kepala Polisi Letemea, seorang anggota KNIL, beserta ajudannya Wawancara R. Poniman Tonys,
Juli 2009.
D. Kota Salatiga Kembali ke Pangkuan Republik