Perubahan pemerintahan Kondisi Masyarakat Salatiga di Bawah Kekuasaan Belanda

107

a. Perubahan pemerintahan

Belanda bertujuan untuk memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Taktik ini diwujudkan dengan mendirikan Negara-negara kecil di wilayah Indonesia, diantaranya Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra Timur, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan tujuh buah daerah otonomi, yaitu Dayak Besar, Kalimantan Tenggara, Gabungan Kalimantan Timur, Banjar, Bangka, Belitung, dan Riau Handjojo, 1973:32. Dalam rangka menegakkan kekuasaan di daerah yang didudukinya, Belanda membentuk alat-alat pemerintahan. Di Jawa Tengah, mereka membentuk Regerings Commissie voor Bestuurs Angelegenheden Recomba yang bertindak sebagai pangreh praja. Mereka berusaha memikat rakyat dengan memberikan kedudukan-kedudukan kepada siapa saja yang mau bekerjasama dengan mereka, tentu orang-orang non- republiken menerima tawaran Belanda yang menjanjikan banyak bantuan ini Semarang Kodam VII, 1961:163. Pemerintahan buatan Belanda di Salatiga terbentuk dengan mempekerjakan orang-orang non-republiken itu. Asisten Residen dijabat oleh Emanuel, kemudian digantikan oleh Huson, Controleur dijabat Dr. Bakker, Wedana Salatiga dipegang oleh R. Iskandar Notosoegondo, sedangkan Kepala Polisi adalah Soen Kie dan De Groen, untuk bantuan 108 kepada pribumi diatur oleh Haji Ismail; sementara Gemeente Salatiga masa kolonial atau Kotapraja Salatiga Masa Kemerdekaan dihapuskan menjadi Distrik Salatiga Suara Merdeka, Mei 1975. Hal. IV dan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2006:127. Dikatakan dalam harian Soeloeh Rakjat bahwa di Salatiga sejak 23 Juli 1947 sudah tiga kali berganti kepala pemerintahan, Residen Holm, Residen Morsink dan Residen Stok, Wedana dijabat oleh S. Djojo Hadiprawiro dan dibantu 4 assisten wedana; Mereka mulai aktif bekerja pada 10 September 1947 Soeloeh Rakjat, 12 September 1947. Hal. 2. Belanda mendirikan beberapa jawatan seperti ADD, DLC dan RVD. ADD merupakan singkatan dari Algemeene Distribusie Dienst, yang bertugas memberi kesejahteraan kepada para pegawai di daerah pendudukan. ADD dibagi dalam dua bagian, yaitu plattelands distribusie pembagian untuk rakyat dan werkers distribusie pembagian untuk pegawai atau pekerja. Pembagian bagi pegawai dibagi menjadi tiga, yakni golongan tinggi, menengah dan rendah. Adapun bantuan yang diberikan atau dijual dengan harga murah adalah susu, keju, roti, mentega, buah- buahan kalengan, coklat, macam-macam minuman, daging dan ikan kalengan, pakaian, sabun serta hampir semua bahan kebutuhan sehari-hari. Adanya ADD tersebut selalu dijadikan alat propaganda bagi Belanda untuk menarik simpati orang-orang ‘republiken’ agar mau menyeberang ke daerah pendudukan. Bantuan untuk rakyat berupa distribusi pakaian kasar dan gula Semarang Cabang 073, 1960:145-146 109 Belanda berusaha menyiarkan propaganda untuk menanamkan kepercayaan rakyat melalui Jawatan Penerangan atau RVD Regerings Voorlichting Dienst. Jawatan DLC Dienst der Leger Contacten bertugas memberikan indoktrinasi kepada tentara KL dan KNIL tentang misi suci Belanda di Indonesia. Belanda menggunakan media komunikasi sebagai alat untuk menyebarkan kebudayaan Barat, seperti radio Semarang, dan Surat Kabar De Locomotif yang terbit di Semarang Semarang Cabang 073, 1960:145-146. Gerak-gerik rakyat di daerah pendudukan diawasi dengan ketat. Pengawasan ini diawali dengan kebijakan kewajiban memiliki surat penduduk semacam tanda pengenal, dan bagi warga yang tidak memilikinya akan ditangkap. Mobilitas penduduk dari daerah satu ke daerah lain, diawasi dan diperiksa dengan seksama melalui pos-pos jaga Belanda yang ditempatkan di perbatasan, baik itu pedagang maupun bukan pedagang ANRI: Delegasi Indonesia No.555.

b. Rongrongan IVG bagi para ‘Republiken’