125
blokade ekonomi, keadaan masyarakat di daerah pendudukan, dan peristiwa-peristiwa penting ANRI: Delegasi Indonesia No.555.
Belanda kerap menyebarkan jaringan mata-mata ke daerah RI. Mata- mata Belanda adalah orang Indonesia yang mau mengabdi pada Belanda.
Mereka menjadi musuh utama dan masuk target operasi gerilyawan untuk diculik dan dibunuh. Jika seseorang terbukti menjadi mata-mata Belanda,
mereka tak luput dari hukuman mati. Salah satu kejadian penangkapan mata-mata Belanda terjadi pada tanggal 19 dan 20 Mei 1948. Pasukan
BATU hendak menangkap mata-mata Belanda di Ngentak Salatiga, meski Pasukan BATU sudah melepaskan 14 tembakan, namun dua orang kaki
tangan Belanda itu Hardi dan Martosukar tidak dapat dibawa ke daerah RI karena terhambat gerakan kontrol dari pasukan Belanda ANRI:
Delegasi Indonesia No. 555.
d. Kesiapan Medan, Logistik dan Komunikasi
Sesuai dengan instruksi Panglima Besar Sudirman, dengan pecahnya agresi maka di sepanjang garis demarkasi di wilayah Divisi IV
Panembahan Senopati dibentuk komando operasi Pimpinan Pertempuran PP, yang terbagi menjadi enam sektor dengan kode PP IV a sampai
dengan PP IV f. Semua sektor tersebut berada di bawah komando Panglima Divisi. Garis pertahanan Divisi IV Panembahan Senopati itu
ialah:
126
1. Medan PP IV a: di Ngampel Merbabu sampai Desa Pager dan
bermarkas di Boyolali. 2.
Medan PP IV b: di Karanggede Wonosegoro sampai Desa Krobogan dan bermarkas di Karanggede.
3. Medan PP IV c: di antara Krobogan sampai Gandengan dan
bermarkas di Boyolali. 4.
Medan PP IV d: di Demak dan bermarkas di Purwodadi. 5.
Medan PP IV e: di Sumberlawang, Kedungjati, Krobogan sampai Repaking.
6. Medan PP IV f: di Gambringan Semarang Cabang 073, 1960:104
Melihat letak geografisnya maka daerah Republik yang langsung berhadapan dengan daerah pendudukan Belanda di Salatiga adalah daerah
PP IV a dan PP IV b Lihat Lampiran 15. Garis demarkasi di sektor ini berupa batas alam, yaitu aliran Kali Ketanggi atau Kali Bayarama yang
merupakan anak Sungai Serang Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisisonal Yogyakarta, 2006:126
Organisasi yang berada di bawah komando PP IV a adalah Markas Pertahanan Rakyat MPR. Sedangkan organisasi yang berada di bawah
komando PP IV b adalah Markas Kuda Besi Sabotase Servis atau MKBSS. Anggota organisasi ini terdiri dari laskar yang tidak dilebur
dalam TNI. TNI bagian masyrakat membentuk penampungan laskar-laskar
127
ini, kemudian digerakkan untuk pertahanan gerilya. MPR berhasil mengadakan sabotase di Pusat Tenaga Listrik Jelok, sedangkan MKBSS
mengadakan sabotase di pusat air leideng Salatiga, yakni di Senjoyo Semarang Cabang 073, 1960: 118-119.
Selain MPR, ada pula organisasi Pasukan Merbabu yang berada di bawah komando PP IV a Lihat lampiran 22. Pasukan Merbabu dibagi
menjadi: a.
Pasukan Merbabu I di Kecamatan Getasan. b.
Pasukan Merbabu II Pasukan BATUBarisan Tahan Uji di Tengaran Barat.
c. Pasukan Merbabu III di Tengaran Timur Handjojo, 1973:39.
Dengan adanya pertahanan gerilya, kesibukan rakyat di desa-desa yang menjadi pos pertahanan pejuang meningkat. Salah satunya dalam
pengadaan logistik bagi para pejuang RI adalah dalam menyelenggarakan dapur umum. Dapur umum dibedakan menjadi dua macam, yaitu dapur
umum besar dan dapur umum kecil. Dapur umum besar adalah dapur umum yang dibiayai divisi untuk melayani pasukan resmi dalam jumlah
besar. Petugas masak di sini dibantu sejumlah tentara dan laskar putri. Rakyat yang membantu mendapat imbalan setengah liter beras sehari.
Dapur umum kecil diadakan penduduk setempat di bawah koordinasi para pamong desa. Pamong desa melakukannya berdasar perintah Residen
128
untuk meminta kerelaan rakyat memberikan persediaan bahan pangan ANRI: Kementrian Penerangan 1945-1949 No. 9. Mereka bekerja secara
sukarela dan tanpa mendapat imbalan. Bahan makanan yang dikumpulkan dari rakyat kemudian dimasak dan diserahkan pada pejuang yang
kebetulan lewat atau singgah di desanya Wawancara Soertini, 9 Januari 2009.
Walaupun pasukan gerilya tidak masuk dalam formasi tentara resmi, namun secara periodik mereka masih mendapat bantuan dana dari pusat.
Sebagaimana dialami pasukan Markas Gabungan Angkatan Perang Getas, bantuannya berupa candu opium, yang kemudian dijual guna biaya
pasukan. Mereka mendapat jatah kiriman candu sebanyak 20 butir kemudian dijual kepada pelanggan gelap seharga 20 gulden per butir.
Sebagai gambaran betapa tingginya harga candu, harga beras waktu itu hanya 3,5 sen per kilogram Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta, 2006:134. Perdagangan candu untuk biaya pasukan menggunakan surat ijin atau keterangan, sehingga di luar itu
perdagangan candu tetap dilarang ANRI: Delegasi Indonesia 528. Dikarenakan terbatasnya sarana komunikasi maka hubungan antar
pasukan dan antar daerah dilakukan oleh barisan perjuangan. Kelompok gerilya yang berperan besar dalam kegiatan komunikasi adalah Barisan
Clurut. Dalam bahasa Jawa, clurut adalah nama binatang sejenis tikus. Sedangkan kata clurut bagi nama pasukan tersebut diambil dari kata
“clurat-clurut”, artinya bergerak melayang atau meluncur, sesuai dengan
129
kegiatan mereka yang menuntut mobilitas tinggi. Mereka harus bergerak cepat, meluncur Jawa: clurat-clurut dari satu tempat ke tempat lain untuk
menyampaikan informasi. Anggota barisan ini kebanyakan berasal dari
kelaskaran Islam. Mereka memiliki keahlian dalam gerakan penyusupan karena menggunakan kesaktian Wawancara Sarmuji, 21 Januari 2009.
Kelompok lain yang berperan besar dalam hal komunikasi adalah para pedagang lintas batas. Tugasnya menyelundupkan dokumen penting, obat-
obatan, dan senjata melewati pos-pos pemeriksaan musuh Balai Pelestarian sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2006:134-135.
Dengan demikian, jelas bahwa sumber utama dukungan logistik untuk kepentingan militer dan membiayai perjuangan adalah dari rakyat.
B. Agresi Militer Belanda II