Kota Kolonial Landasan Teori

30 7. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, karena kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh luar. Hal ini sering menimbulkan pertentangan antara golongan tua dan golongan muda.

e. Kota Kolonial

Wertheim 1999:138 menyatakan bahwa sistem perusahaan bebas, yang dianut sebagai prinsip umum ekonomi sejak tahun 1870, mempunyai arti penting yang besar dalam bidang pembangunan perkotaan. Kota-kota yang berkembang di sepanjang jalan raya khususnya jalan-jalan raya yang menuju kota lain, perkembangannya menunjukkan corak yang tinggi dalam gaya rumahnya. Di kebanyakan kota di Indonesia, perumahan untuk orang Indonesia yang miskin sangat buruk. Demikianlah, kolonialisme tidak hanya terefleksi dalam segregasi serta perbedaan yang angat besar dalam karakter wilayah tinggal yang ditempati oleh berbagai kelompok penduduk perkotaan, tetapi juga dalam perjuangan mereka untuk memperoleh lingkup kehidupan antara lain terungkap dalam aspek eksternal kota-kota itu. Perselisihan masyarakat berlangsung ke arah disintegrasi yang lebih jauh lagi. Karena perencanaan kota belum mampu untuk menghilangkan kekacauan dari lingkungan perkotaan akibat adanya struktur seperti kasta dalam masyarakat kolonial, maka solidaritas kelompok tidak dapat mengakhiri disintegrasi dinamis baru ke dalam kehidupan sosial. 31 Utami dalam Paramita, Vol.15.No. 1 Juni 2005 mengemukakan bahwa pemerintah Kolonial berhasil memanfaatkan sumber daya dan mengeksploitasi daerah yang dianggapnya sangat menguntungkan bagi perkembangan dan stabilitas kekuasaaan kolonial di Indonesia. Dengan demikian kota dengan sendirinya berkembang dengan corak seperti yang dikehendaki oleh penguasa kolonial. Ekologi dan komunitas kota masa kolonial lebih memantulkan wajah kepentingan Eropa terutama pihak Kolonial Belanda. Pengelompokan tempat tinggal lebih didasarkan pada etnis, orang-orang Eropa bertempat tinggal di pusat kota. Orang-orang Cina dan Timur Asing lainnya tinggal di pusat-pusat perniagaan dan biasanya menyatu dengan tempat usaha mereka. Sebagian besar dari mereka berada di sepanjang ruas jalan utama atau di kampung-kampung yang telah ditetapkan oleh pemerintah kolonial terpisah dengan kampung orang-orang pribumi. Orang-orang pribumi golongan elite cenderung tinggal di sepanjang jalan raya bukan sentra ekonomi, dekat dengan kantor-kantor pemerintahan dari ibukota. Sementara itu rakyat kebanyakan tinggal di kampung-kampung. Kartodirjo 1999:73 mengatakan bahwa pola pemukiman kota menunjukkan jelas-jelas sifat pluralistis masyarakat Indonesia. Kompleks rumah tembok loji dengan halaman luas di pemukiman golongan Eropa dan elite pribumi, pecinan dengan bangunan yang padat dan rapat satu sama lain, kemudian kampung di mana terutama kaum pribumi tinggal, 32 yang biasanya merupakan konntras dengan daerah lainnya, baik kualitas bangunannya maupun sistem sanitasinya. Kuntowijoyo 1994:54 mengemukakan bahwa pada awal abad ke-20 sebuah kota Indonesia yang ideal akan mempunyai ciri-ciri tersendiri yang sekaligus menunjukkan sejarah kota itu. Pertama, sektor kota tradisional yang ditandai dengan pembagian spasial yang jelas berdasarkan status sosial dan dekatnya kedudukan pemukim dengan kraton. Kedua, sektor pedagang asing, terutama pedagang Cina, yang mewarnai kehidupan kota dengan gaya bangunan, kegiatan ekonomi, dan kehidupan sosial budaya tersendiri. Ketiga, sektor kolonial dengan banteng dan barak, perkantoran, rumah-rumah, gedung societeit, rumah ibadah vrijmetselarij. Keempat, sektor kelas menengah pribumi yang kadang-kadang mengelompok dalam kampung-kampung tertentu. Kelima, sektor imigran yang menampung pendatang-pendatang baru di kota dan berasal dari pedesaan di sekitar.

f. Perang Gerilya