Rongrongan IVG bagi para ‘Republiken’

109 Belanda berusaha menyiarkan propaganda untuk menanamkan kepercayaan rakyat melalui Jawatan Penerangan atau RVD Regerings Voorlichting Dienst. Jawatan DLC Dienst der Leger Contacten bertugas memberikan indoktrinasi kepada tentara KL dan KNIL tentang misi suci Belanda di Indonesia. Belanda menggunakan media komunikasi sebagai alat untuk menyebarkan kebudayaan Barat, seperti radio Semarang, dan Surat Kabar De Locomotif yang terbit di Semarang Semarang Cabang 073, 1960:145-146. Gerak-gerik rakyat di daerah pendudukan diawasi dengan ketat. Pengawasan ini diawali dengan kebijakan kewajiban memiliki surat penduduk semacam tanda pengenal, dan bagi warga yang tidak memilikinya akan ditangkap. Mobilitas penduduk dari daerah satu ke daerah lain, diawasi dan diperiksa dengan seksama melalui pos-pos jaga Belanda yang ditempatkan di perbatasan, baik itu pedagang maupun bukan pedagang ANRI: Delegasi Indonesia No.555.

b. Rongrongan IVG bagi para ‘Republiken’

Belanda menyebar mata-mata yang dikoordinasikan oleh IVG Inclichtingen Veiligheids Groep untuk menjaring informasi lawan. IVG merupakan badan penyelidik pemerintah militer Belanda yang bertugas menyelesaikan screening penyaringan tingkat paling akhir terhadap para tawanan Handjojo, 1973:37-38. Adapun susunan staf IVG Salatiga menurut Semarang Kodam VII 1961:216 adalah: 110 Komandan : Lettu. Draaisma Wakil Komandan : De Liezer Anggota tim Screening : Van Beeks, Hiks, Sutayo, Saban Purnamo, Temu, Sunaryo Holan Sumodilogo, Sunawan, Parwoto, dan Tan Soen Am. Kepala Staf I : Sersan Michael Alias Djajusman digantikan Tommy Suryadi alias Tommy Tondolong. Anggota penyelidik : Sersan Swart kepala, Sastra Suratman Wakil Kepala, dan anggota Diaenur. Rasmal Slamet, dan Gito. IVG menangkap orang-orang yang mereka curigai, lantas menjebloskannya ke rumah tahanan. Di tahanan para tawanan dihadapkan pada empat kemungkinan. Kemungkinan pertama, dieksekusi di Kedayon Kopeng, Getasan untuk dibunuh. Kedua, dikirim ke Nusakambangan untuk dipenjarakan. Ketiga, dikurung di penjara Ambarawa, dan keempat, dibebaskan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978:206-207. Tawanan IVG Salatiga biasanya mengalami siksaan fisik yang berat. Mudiyono, seorang pemuda berumur 20 tahun yang tinggal di Onderdistrik Bringin, Distrik Salatiga melaporkan siksaan yang dialaminya dalam penjara IVG kepada Kementrian Penerangan RI. Pada tanggal 7 Maret 1948 pukul 02.00 Mudiyono dan ayahnya, H. Yunus ditangkap; Tanpa tahu kesalahannya, H.Yunus yang berumur 70 tahun 111 tersebut dipukuli dan diintrogasi tentang kecenderungan mereka ke RI; Ternyata jawaban itu tidak memuaskan anggota IVG, sehingga mereka kembali dipukul sampai jatuh ke tanah ANRI: Delegasi Indonesia No.519. Keesokan harinya, dua orang bapak dan anak ini harus menghuni sel di Wiru. Jam 7 pagi mereka dibawa dengan cara dibongkok. Para tahanan di Wiru amat dibatasi kebebasannya. Mereka tidak diijinkan mandi dan dan tidak boleh bicara. Penderitaan para tawanan bertambah dengan kurangnya jatah makan, tidak tersedianya tempat tidur dan aksi pemukulan. H.Yunus setelah 2 hari dilepaskan meski dalam kondisi tubuh yang rusak karena pukulan-pukulan yang ia terima. Mudiyono, setelah 7 hari juga dilepaskan dengan dibebani ancaman. Ia dilarang menceritakan aniaya yang dialaminya selama menjadi tawanan IVG, ia akan dibunuh jika melanggarnya ANRI: Delegasi Indonesia No.519. Hal serupa dialami pula oleh warga Desa Tegalrejo. Dua orang bersaudara bernama Sukaen dan Mashuri dibawa ke rumah tahanan Wiru pada tanggal 4 April 1948 karena menolak untuk menangkap ayah mereka yang pro-Republik. Setelah sehari semalam berada di rumah tahanan dan diganjar dengan pukulan hingga mereka babak belur, lantas mereka dibebaskan ANRI: Delegasi Indonesia No.519. Kopeng merupakan tempat eksekusi tawanan IVG yang tak terampuni. Kekejaman IVG di Salatiga amat terkenal karena bertugas sebagai badan screening tingkat terakir terhadap tawanan-tawanan di seluruh Jawa 112 Tengah Tawanan yang dikirim ke Kopeng ialah orang-orang yang dituduh menjalankan aksi subversif dan tindakan sabotase terhadap Belanda, serta orang-orang yang dituduh menjadi anggota pergerakan nasional pada masa Kolonial Belanda Semarang Kodam VII, 1961:216-217. Ada pula Harjo Trubus yang ditangkap karena mencuri senjata di tangsi Belanda Salatiga, lantas ia dipukuli anggota IVG hingga gigi-giginya lepas http:www.mail-archive.comalumniubvyahoogroups.commsg00485. Tempat eksekusi IVG di Kopeng ini menjadi kuburan masal. Kurang lebih ada 263 orang yang telah dihukum mati di tempat tersebut. Selama Michael alias Djajusman menjadi Kepala Staf IVG, ia telah mengirimkan 200 orang ke Kopeng untuk dibunuh, sedangkan Tommy Suryadi penggantinya telah mengirimkan 63 orang Semarang Kodam VII, 1961:217.

c. Blokade Ekonomi