Militansi tinggi dari tentara dan rakyat yang melakukan gerilya

121 merupakan hal yang baik, maka dari itu orang-orang yang ada sangkut pautnya dengan revolusi harus diperlakukan baik, dijaga dan dilindungi Koentjaraningrat, 1994:95-97. Di desa-desa diadakan Pasukan-pasukan gerilya Desa Pager Desa atau Desa pager terdiri dari pemuda-pemuda untuk turut membantu menjamin keamanan dan menjalankan tugas-tugas taktis yang sangat terbatas Simatupang, 1980:153. Dinyatakan oleh R. Poniman Tonys dan Soertini bahwa mereka mengungsi di Desa Pager yang terletak di Susukan hingga pengakuan kedaulatan tahun 1949 Wawancara, Juli 2008. Hal ini berarti daerah Susukan pada masa revolusi merupakan Pager Desa. Pager atau dalam bahasa Indonesia berarti pagar, sehingga dapat pula dimaknai bahwa Desa Pager merupakan daerah pembatas atau pelindung untuk masyarakat yang pro-republik dalam konflik politik antara Belanda dan Indonesia. Selain menyediakan logistik, penduduk desa yang berdagang ke kota daerah pendudukan kerap memberikan informasi konsentrasi militer Belanda Soejatno dan Bennedict Anderson, 1973:103.

b. Militansi tinggi dari tentara dan rakyat yang melakukan gerilya

Sikap tersebut merupakan syarat dalam perang gerilya karena yang bersangkutan harus berani melakukan tindakan ofensif taktis secara terus menerus dalam menghadapi musuh yang superior. Militansi yang tinggi dari rakyat dapat dilihat dari usaha-usaha mereka dalam menghadapi lawan, seperti keberanian mereka ketika menghadapi kecanggihan 122 persenjataan Belanda serta pengalaman pasukan Belanda di medan tempur. Rakyat memakai bambu runcing untuk berjaga menghadapi pihak Belanda, selain itu untuk melindungi diri, mereka memakai jimat Soejatno dan Bennedict Anderson, 1973:103. Masyarakat pager desa akrab dengan jimat karena mereka masih mempercayai hal-hal yang bersifat metafisik religious trend. Pasukan Belanda yang kuat secara fisik maupun dalam hal persenjataan tak menyurutkan semangat pejuang untuk berperang melawan mereka. Militansi tinggi dari tentara dapat dilihat dari pemakaian pesawat rapuh tinggalan Jepang oleh Penerbang Sutarjo Sigit ketika membombardir markas pasukan artileri Belanda di Ngebul Salatiga 29 Juli 1947. Gambar 4.1 Pertahanan RVA Regiment Veld Artillerie di Suruh Kabupaten Semarang tahun 1948. Suruh merupakan salah satu daerah tujuan pengungsian warga yang pro-RI. Sumber: http:www.41afdva.netindex.htm 123 Berdasar gambar 4.1 dapat diketahui bahwa satu senjata berat artileri Belanda sedemikian canggihnya, terlebih jika membombardir markas artileri, pasti membutuhkan keberanian yang tak gentar akan kematian. Dari gambar tersebut juga dapat diketahui bahwa tentara Belanda berjaga dengan santai, tampak tentara yang tak berseragam yang menunjukkan sikap mereka memandang remeh kekuatan RI dengan persenjataan yang kalah jauh. Penggunaan peralatan perang rampasan Jepang yang tak layak pakai adalah suatu bentuk militansi tinggi, di mana seorang pelajar penerbang dengan mengendarai pesawat tinggalan Jepang yang peralatannya sudah rapuh ditugaskan untuk membombardir markas artileri Belanda. Begitu pula dengan aksi subersif yang dilakukan pejuang RI, mereka berani menyebrangi perbatasan untuk merusak pos musuh hanya berbekal senjata granat Tonys, 2008b: 2-3. Mereka tak takut akan serangan balasan Belanda yang dapat membuat nyawa mereka melayang. Rakyat yang hidup di bawah tekanan Belanda lewat IVG nya, tetap mendudung RI walau dengan sembunyi-sembunyi. Mereka yang pernah ditangkap IVG lantas membeberkan tindakan kekerasan mata-mata Belanda itu kepada kepolisian RI agar verslag laporan yang mereka sampaikan dapat digunakan sebagai alat untuk menekan Belanda di tingkat internasional lihat lampiran 8 dan 9. 124

c. Kegiatan spionase