BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan, perkawinan juga adalah sarana terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan
ikatan perkawinan adalah untuk dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Maka untuk menegakkan keluarga yang bahagia dan menjadi sendi-sendi
dasar dari susunan masyarakat, suami-istri harus memikul suatu tanggung jawab serta kewajiban Rizki, 2007 : 1.
Perkawinan pada dasarnya merupakan suatu kesatuan cinta kasih antara dua insan manusia yang berlainan jenis kelamin, hubungan antara dua insan
manusia ini dinyatakan dalam ikatan rumah tangga. Hubungan sebelum memasuki kehidupan rumah tangga memiliki aturan dan norma-norma yang dikeluarkan
secara lisan maupun tulisan oleh agama, negara maupun adat, artinya bahwa dari penuturan ini bertujuan untuk mengumumkan status barunya kepada orang lain
sehingga pasangan ini diterima dan diakui statusnya sebagai pasangan yang sah menurut hukum, agama, negara maupun adat dengan sederetan hak dan kewajiban
untuk dijalankan oleh keduanya sehingga pria itu bertindak sebagai suami, sedangkan wanita bertindak sebagai istri.
Masyarakat Indonesia tergolong heterogen dalam segala bidang, termasuk dalam perkawinan. Suatu perkawinan mempunyai tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal. Bagi suami-istri perlu saling membantu dan melengkapi,
Universitas Sumatera Utara
agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
Ada berbagai jenis bentuk perkawinan dalam masyarakat yaitu perkawinan monogami, poligami, poliandri, dan perkawinan kelompok group marriage.
Dari keempat bentuk perkawinan ini, perkawinan monogami dianggap paling ideal yang sesuai untuk dilakukan. Perkawinan monogami adalah perkawinan
antara seorang laki-laki dengan seorang wanita, dimana pada prinsipnya bahwa suami mempunyai satu istri saja dan juga sebaliknya. Walaupun perkawinan
monogami merupakan perkawinan yang paling sesuai untuk dilakukan tetapi tak jarang ada masyarakat yang melakukan perkawinan poligami, bahkan oleh publik
figure. Sehingga istilah poligami semakin mencuat, menjadi perbincangan di berbagai media massa atau media elektronik juga di berbagai diskusi maupun
seminar. Tanggapan dari berbagai kalangan juga berbeda-beda; pemerintah, kaum agamawan, LSM Lembaga Swadaya Masyarakat, dan masyarakat umum
awam, ada yang setuju dan menerima praktek poligami dengan berbagai persyaratan serta sebagian masyarakat lainnya menolaknya.
Poligami berasal dari Bahasa Yunani, kata ini terdiri dari kata poh atau polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos yang berarti kawin atau
perkawinan, maka kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak Rizki, 2007 : 3. Perkawinan poligami pasti mengundang reaksi dari
berbagai pihak terutama keluarga dan masyarakat sekitarnya. Reaksi tersebut bisa saja berimplikasi buruk atau bisa juga tidak menjadi masalah. Dari berbagai
alasan seseorang untuk poligami pasti ada dampak bagi keutuhan rumah tangga, perkembangan psikologi anak yang dilahirkan dari pernikahan poligami. Anak
Universitas Sumatera Utara
yang dilahirkan itu akan merasa kurang diperhatikan, haus kasih sayang dan merasa secara tidak langsung dididik dalam suasana keluarga yang selalu dihiasi
dengan pertengkaran orang tuanya. Prof. Kholer dalam Muhammad Thalib, 2004 : 25 memberikan kritik
terhadap asas monogami, katanya: “ikatan monogami adalah sesuatu hal yang ideal namun dalam realita hidup sering berlawanan dengan kenyataan, bahkan
senantiasa berakibat kurang baik. Akan tetapi jika kedua belah pihak mengalami sengketa, walaupun dalam jangka pendek maka suami dapat melakukan hal-hal
yang merugikan istri. Bahkan istri sering kali tidak berdaya berbuat apapun menghadapi suaminya, karena istri tidak memiliki kekuasaan sedikitpun terhadap
kekayaan harta suami. Sekiranya suami seorang pemabuk dan pemboros, misalnya, maka bisa saja istri dipaksa ikut mempertanggungjawabkan akibat
buruknya, yaitu mengurangi jatah biaya hidup yang diberikan suaminya untuk diberikan lagi kepadanya, sekalipun ia sendiri dan anak-anaknya serba dalam
kekurangan”. Poligami adalah alternatif terbaik jika dipandang dari segi baiknya, karena
menurut Prof. Kholer dalam Muhammad Thalib, 2004 : 24 mengatakan negara- negara yang memiliki Undang-undang perkawinan monogami, ternyata
melapangkan jalan bagi terjadinya prostitusi, dan hasil perkawinan monogami berjalan dengan semu, penuh kebohongan, penipuan dan kemunafikan. Usaha
untuk menjamin supaya berlangsung seumur hidup dengan membuat undang- undang untuk itu, ternyata gagal.
Sistem patrilinial khususnya dalam pernikahan pada masyarakat Karo sangat menguntungkan laki-laki, maka akses perempuan hanya memelihara anak
Universitas Sumatera Utara
laki-lakinya untuk kepentingan kekerabatan. Perempuan hampir tidak memiliki hak dan perlindungan hukum, perempuan selalu dianggap sebagai mahluk yang
lemah atau kelas rendah. Kondisi tersebut membuat kedudukan perempuan selalu ada pada sub-ordinansi pria.
Menurut catatan dari Pengadilan Agama di seluruh Indonesia pada 2004, menurut Nasyaruddin dalam www.gatra.com, terjadi 813 perceraian akibat
poligami. Pada 2005, angka itu naik menjadi 879 kasus dan pada 2006 melonjak menjadi 983 kasus. Pada 2004, Pengadilan Agama mengeluarkan 800 izin
poligami dari 1016 permohonan. Pada 2005, 803 ijin dari 989 permohonan, dan pada tahun 2006 sebanyak 776 ijin dari 1148 permohonan.
Berdasarkan data itu, ia melanjutkan, poligami yang seringkali dikatakan dilakukan untuk mengatasi jumlah perempuan yang lebih banyak dari laki-laki,
sama sekali tidak beralasan. Dari jumlah perempuan yang 49,2 persen itu, banyak didominasi oleh janda cerai dan yang ditinggal mati suaminya. Jadi, kalau mau
poligami, lebih baik dengan janda-janda itu, jangan dengan perempuan belum menikah. Uji materi UU Perkawinan diajukan oleh M. Insa dalam
www.gatra.com, yang menganggap pasal-pasal yang mengatur syarat untuk berpoligami seperti harus ada izin istri dan Pengadilan Agama, merugikan hak
konstitusionalnya guna beribadah dan membentuk keluarga melalui poligami yang sah.
Fenomena poligami mengundang reaksi dari berbagai kalangan. Alasan- alasan seseorang untuk melakukan poligami juga beraneka ragam, tetapi pada
dasarnya poligami adalah keinginan seseorang untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dari pada sebelumnya. Merebaknya fenomena poligami di Indonesia
Universitas Sumatera Utara
termasuk pada masyarakat Karo yang menjadi objek penelitian telah melunturkan nilai-nilai monogami yang dianggap ideal selama ini. Secara umum
perkawinan bagi orang Karo diawali dengan perkenalan, pacaran, pertunangan, meminang, pengesahan dan upacara pensakralan. Perkawinan masyarakat Karo
bersifat religius dengan menganut sistem eksogami, yakni seseorang harus kawin dengan orang yang diluar merga-nya, dengan kekecualian pada merga Perangin-
angin dan merga Sembiring Darwin Prinst, 2004 : 71. Perkawinan pada masyarakat Karo merupakan ideal apabila seorang laki-laki menikahi putri dari
saudara dari laki-laki ibunya rimpal, seperti terlihat dalam bagan ini :
Universitas Sumatera Utara
Bagan : Pernikahan Yang Ideal Pada Masyarakat Karo
Kakek dan Nenek Bulang ras Nini
Menikah
Poligami bukan hal yang baru dan tabu bagi masyarakat Karo. Poligami biasanya terjadi karena : tidak mendapat keturunan, tidak mendapat anak laki-laki,
saling mencintai, tidak ada kecocokan lagi antara suami dengan istri pertama, dan meneruskan hubungan kekeluargaan Darwin Prinst, 2004 : 76.
Kebutuhan terhadap keharmonisan sosial, serta nilai dalam poligami, tampaknya memiliki posisi yang amat penting dalam suku Karo. Perkawinan
poligami yang terus terjadi sejak lama sampai sekarang antara orang Karo dengan orang Karo, maupun orang Karo dengan suku lainnya. Masyarakat Karo
tampaknya telah terbiasa dan bisa menerima pola-pola perkawinan poligami, sekalipun anak-anak mereka ada yang melakukan konversi agama. Fakta ini
mengindikasikan, bahwa faktor budaya Karo yang memberikan kesempatan untuk berpoligami dan mendambakan keharmonisan menempati posisi penting yang
Paman dan Bibik Mama ras Mami
Anak Perempuan
Anak Laki- Laki
Anak Perempuan
Ayah dan Ibu Nande ras Bapa
Anak Laki-Laki
Universitas Sumatera Utara
dapat mengatasi nilai-nilai lainnya, seperti agama. Hal ini sesuai dengan pendapat Kaare Svalastoga 1989 : 92-93 yang menyatakan bahwa; syarat umum untuk
terciptanya hubungan positif antara interaksi dan kesenangan adalah kondisi saling menambah kesenangan yang diperoleh kedua belah pihak yang terlibat
dalam proses interaksi”. Dari hasil pra-penelitian di desa Kutarakyat ada terdapat 10 keluarga
poligami, 3 diantaranya hidup dalam satu rumah serta 7 keluarga lagi berbeda tempat tinggal antara istri yang satu dan istri yang lainnya. Tiga keluarga poligami
yang hidup dalam satu rumah ini, bisa dikatakan terdapat suatu interaksi sosial yang positif, dimana ada kerja sama antara satu istri dengan istri yang lain, anak
dengan ibu tirinya dan sebaliknya. Interaksi ini bisa tercapai karena adanya suatu kesepahaman antara istri-istri, anak dan suami. Tujuh keluarga poligami lainnya
tidak terdapat interaksi sosial yang positif, hal ini terjadi adanya ketidakadilan suami, kecemburuan, keretakan rumah tangga, suami meninggalkan anak, dan
sebagainya. Selain itu, dengan terjadinya perkawinan poligami maka keluarga yang semula hanya terdiri dari satu keluarga ini saja terbentuk menjadi dua atau
lebih keluarga inti, dimana seorang suami menjadi suami atau kepala rumah tangga yang sama untuk beberapa keluarganya, karena itu perkawinan poligami
dapat berpengaruh terhadap kehidupan sosial-ekonomi keluarga, karena jika semula suami hanya mempunyai tanggung jawab pada satu keluarga saja maka
setelah ia berpoligami ia akan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar untuk istri-istri dan anak-anaknya Rizki, 2007 : 11.
Dalam penelitian ini ada beberapa alasan yang membuat peneliti merasa tertarik untuk mengangkat Interaksi Sosial Keluarga Poligami Suku Karo, yaitu
Universitas Sumatera Utara
dengan adanya perkawinan poligami menimbulkan permasalahan dalam keluarga, seperti : terjadi adanya ketidakadilan suami, kecemburuan, keretakan rumah
tangga, suami meninggalkan anak, dan sebagainya. Selain itu, idealnya dalam rumah tangga dapat menciptakan suasana hubungan yang bahagia dan harmonis
diantara anggota keluarga yang dilandasi dengan rasa cinta dan kasih sayang, tetapi realitanya di dalam keluarga sering terjadi permasalahan dan alasan ini yang
sering dibuat laki-laki untuk berpoligami, misalnya : tidak mendapat keturunan, tidak mendapat anak laki-laki yang akan menjadi generasi penerus marga, dan
tidak ada kecocokan lagi dengan istri pertama. Hal ini yang membuat peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian, agar mengetahui apakah poligami dapat
menyelesaikan suatu permasalahan dalam rumah tangga. Selanjutnya, adanya anggapan dari masyarakat pelaku poligami bahwa poligami membawa dampak
positif bagi keluarga, pendapat ini perlu dikaji melalui penelitian Sosiologi.
1.2. Perumusan Masalah