Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Hakikat Pendidikan Karakter
ini akan membawa pembacanya ke dalam sebuah alam, dimana mitos dan kenyataan historis sedemikian bersinggungan tanpa pernah terpisahkan. Di sini
sejarah seakan hanyalah panggung, tempat tragika mitos mementaskan dirinya. Dengan amat menyentuh novel ini berhasil melukiskan bagaimana di panggung
sejarah yang tragis itucinta sepasang kekasing yang tak ingin terpisahkan oleh daging dan darah pun akhirnya hanya menjadi tragedi yang mengharukan hati.
Putri Cina karya Sindhunata ini merupakan novel sejarah epik nusantara
yang dirangkai dalam sajian budaya yang memukau.Pada beberapa segmentasinya tergambar jelas mengenai nilai-nilai moral yang terkandung dalam kisah
kebudayaan tersebut.Maka pantas jika novel ini dapat menyuguhkan para pembacanya pada pesona budaya yang kental khususnya budaya Jawa.Deskripsi
budaya yang ditampilkan meliputi kebudayaan kerajaan Majapahit yang wilayah kekuasaannya terbentang luas di tanah nusantara.Novel Putri Cina telah berhasil
‘menyihir’ pembacanya untuk larut dalam segmen kisahnya yang dibawakan secara memukau oleh pengarang.Novel yang diterbitkan November 2007 ini
memulai kisahnya dengan pengembaraan hidup seorang wanita cantik keturunan Tionghoa yang hidup di tanah jawa. Dalam perjalanan awalnya itu sang wanita
malah kebingungan akan jati dirinya yang semakin menimbulkan tanda tanya. Manusia ini tak punya akar.
Dia diterbangkan kemana-mana Seperti debu yang berhamburan di jalanan.
Ke segala arah, bertumbukan dengan angin Ia jatuh terguling-guling.
Memang hidup kita ini sangatlah pendek Kita datang ke duian ini sebagai saudara;
Tapi mengapa kita meski diikat pada daging dan darah? Sindhunata, 2007: 9
Berikut adalah petikan sajak T’ao Ch’ien yang menjadi gambaran awal cerita sang wanita ini menjadi garis besar kisah dalam novel Putri Cina yang
dikarang oleh Sindhunata. Petikan sajak tersebut memberikan wajah yang muram tentang arti sebuah kehidupan. Sajak tersebut dalam novel ini menjadi ujung
tombak perjalanan cerita Putri Cina hingga akhir. Dari sepenggal sajak ini pula pengarang mencoba masuk ke jantung budaya yang kuat mengakar di tanah Jawa.
Kisah-kisah yang ditampilkan dalam novel Putri Cina kemudian menjadi pesan moral dan sosial bagi siapa saja yang membacanya bahwa kerukunan hidup itu
tidak bisa diikatkan pada suatu bangsa tertentu, atau yang lebih menyayat hati terbatas hanya pada keturunan suatu etnis tertentu. Gambaran utuh dari pesan ini
secara umum ialah kesederhaan hidup haruslah menjadi yang utama untuk bisa hidup saling berdampingan. Pada titik nilai karakter yang terkandung pada pesan
tersebut adalah saling menghargai atau toleransi perlu dijunjung tinggi sebagai bangsa yang bermartabat. Hal tersebut perlu diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari dan ditanamkan sejak dini sebagai suatu pendidikan karakter bagi manusia. Jika kebersamaan yang “tidak terbatas” antar sesama manusia sudah
hadir, maka pola sosial yang dibangun selanjutnya lebih bersifat gotong royong bersama membangun peradaban yang maju tanpa diskriminasi. Gotong royong
dalam beberapa pengertian dapat juga diartikan sebagai suatu aspek terpenting dalam hubungan antarmanusia.
32
Putri cina sebagai tokoh utama ditampilkan penuh kebimbangan dalam memecahkan masalah hidup yang dialaminya. Masalah tersebut yang kemudian
mengajak pembaca untuk mengenal problematika filosofis yang kuat mengenai suatu nilai dalam ruang kebudayaan. Kisahnya menghadapkan pembaca pada
sebuah titik benturan kebudayaan yang berdampak luas pada ruang lingkup sosial. Putri Cina mulai mempertanyakan mengapa hidupnya terasa tak berarti ketika
dihadapkan pada persoalan asal dan keturunan. Tidakkah hidupnya memang tidak punya akar, yang mengikat dia pada
suatu tanah, tempat ia bisa berpijak? Katanya ia berasal dari Cina. Tapi ia tak tahu sama sekali, apakah dan bagaimanakah keadaan di tanah leluhurnya
itu dan ke sana sekalipun ia tidak pernah. Sindhunata, 2007: 9
Penggalan di atas merupakan pencitraan pengarang terhadap tokoh utama yang secara sederhana dapat disimpulkan sebagai suatau keluh-kesah seseorang
32
Peter Kropotkin, Gotong Royong Kunci Kesejahteraan Sosial; Tumbangnya Darwinisme Sosial
Depok: Piramedia, 2006 cet.1, h.161.
dalam menjalani hidup. Keluhan tersebut berpadu dengan keadaan identitas dirinya yang menyimpan tanda tanya mengenai dinamika perenungan seseorang
yang merasa dirinya terbatas hanya karena asal-usulnya. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang saat ini menjadi momok bagi putri cina untuk bertahan hidup sebagai
seorang yang mempunyai jiwa dan raga. Kegelisahan putri cina sebagai manusia adalah harga dirinya yang pengarang tampilkan dengan gaya bahasa yang halus
yaitu ‘wajah’. Putri cina seakan tidak berwajah atas kecantikan dirinya, merasa tak punya apa-apa atas kekayaannya
Tapi mengapa, makin ia bertambah kaya, makin terasa ia tak berwajah. Kekayaan dan hartanya tak lagi menjadi tumpuan yang menyangga
wajahnya. Nyatanya wajahnya telah hilang, entah kemana Sindhunata, 2007 :11
Skema bercerita dengan gaya filosofis cukup kental pada saduran-saduran yang dituliskan pengarang disajikan dalam beberapa segmen cerita untuk
menggambarkan hati yang gundah-gulana sang putri cina. Pengarang mencoba menggambarkan bahwa dari syair-syair yang ditampilakn, pembaca akan
berempati dengan kegelisahan tokoh utama yaitu Putri Cina. Pesan yang ingin disampaikan pengarang bahwa harta dan kehormatan akan sia-sia bila manusia ini
tak lagi berwajah Wajah dari mawar
Hitam melayu tanpa sinar Wahai wajah yang suram,
Wajah Putri Cina mawar Hitam Telanjang ditelan malam
Pada beberapa segmen pengarang menyajikan filosofi kehidupan dari negeri Cina yaitu hikmah dan syair dari para leluhurnya. Syair-syair yang disajikan
merupakan penguatan akan nilai-nilai kehidupan yang terkandung dari alur cerita. Hal ini dikemukakan melalui salah satu syair dari penyair Tionghoa, Han San
sebagai berikut: Ketika aku masih tinggal di desa
Orang-orang menyanjungku tiada taranya