Nilai Budaya Cina Analisis Nilai Budaya Cina dan Jawa dalam Novel Putri Cina
Analisis nilai karakter pada tabel di atas menggambarkan bahwa putri Cina dan kaumnya adalah karakter manusia yang rajin mengumpulkan harta.
Kebahagiaan yang selama ini mereka cari tentu akan sia-sia jika hanya berpatok pada hal yang duniawi. Kekayaan bukanlah segalanya dalam hidup ini. Malah
kekayaan tersebutlah yang menjadikan putri Cina semakin tak berwajah. Dulu ia dikenal kaya raya. Ia mempunyai segala harta benda. Dan tentu saja,
karena kekayaan dan hartanya, ia semakin bisa mempercantik wajahnya. Memang ia kelihatan makin cantik, bila ia memperagakan dirinya beserta
semua kekayaan dan hartanya. Sekarang ia juga semakin bertambah kaya. Hartanya semakin bertumpah-ruah. Apa saja yang diinginkannya bisa
dibuatnya. Tapi kenapa makin ia bertambah kaya. Makin terasa ia tak lagi berwajah. Kekayaan dan hartanya tak lagi bisa menjadi tumpuan yang
menyangga wajahnya. Nyatanya wajahnya telah hilang, entah kemana. Sindhunata, 2007: 11
Secara tegas pengarang menyampaikan pesan bahwa Putri Cina dan kaumnya harus menuruti apa kata leluhurnya untuk menjadi pribadi-pribadi yang
sederhana dan tidak terikat pada dunia semata dengan mengumpulkan kekayaan dan harta. Karena pada akhirnya manusia akan mati. Saat mati leluhurnya
berpesan bahwa manusia hanya akan membutuhkan beberapa lembar daun saja. Jadi apalah gunanya harta berlimpah tersebut.
Kesederhanaan merupakan sebuah nilai hidup yang amat bermanfaat yang akan mengantarkan seseorang pada gerbang kebahagiaan sejati. Dengan
kesederhanaan itulah manusia telah mencapai puncak kebahagiaannya di dunia. Pada dasarnya nilai kesederhanaan sebagai suatu entitas dari kebudayaan timur
khususnya Asia. Kesederhanaan juga yang menjadi akar bagi kehidupan manusia untuk menjadi manusia yang selalu ramah kepada siapa pun. Keramahan tersebut
akan menghilangkan sifat-sifat yang tidak terpuji seperti kesombongan. Kesederhanaa merupakan nilai utama dari kebudayaan manusia yang harus dijaga.
Kesederhanaan pula menjadi pilar bagi kehidupan beragama. Dalam kisah novel tersebut kesederhanaan dikisahkan melalui para leluhur orang Cina, seperti
Chuang Tzu. Di tanah Jawa, hal senada juga sering diungkapkan mengenai
kesederhanaan. Hal tersebut menjadi falsafah hidup bagi orang Jawa urip ojo neko-neko
, hidup itu jangan macam-macam. Sugih tanpa Bandha, kekayaan tidak didasari kebendaan. Akulturasi dua kebudayaan tersebut memang menjadi sangat
menarik mengingat kedua kebudayaan tersebut merupakan kebudayaan yang paling banyak pepatah hidupnya.
Tabel 4.2: Kategori Nilai Pendidikan Karakter dalam Teks Novel Putri Cina Bagian 2
No. Kategori
Teks Novel Putri Cina
2 Budaya Cina yang
Menjauhkan Diri dari Kesombongan dan
Keserakahan
-Mestilah ia meninggalkan segala kesombongan akan harta dan bendanya supaya ia menjadi
sederhana seperti burung gereja. Sindhunata,
2007: 13 -itulah sesungguhnya sifat orang Cina. Senang
menikmati kebadanan, tapi tak membenci kerohanian. Menyenangi dunia, tapi nafsunya tak
terlalu duniawi. Menyenangi yang rohani, tapi keinginannya tak terlalu rohani. Di antara dua
hal itulah
terletak kebahagiaan
manusia. Sindhunata, 2007: 77
-Putri Cina teringat, beginilah sifat orang Cina itu pernah ditegur oleh penyair Han San dari
Pegunungan Salju: orang kaya itu khawatir akan banyak hal.
Mereka hanya berdagang dan berdagang. Tak tahu bersyukur meski rezekinya banyak.
Di lumbungnya, padinya membusuk sudah. Toh segantang saja tak rela mereka pinjamkan.
Pikiran mereka berkisar pada keinginan Bagaimana mengeruk keuntungan.
Dengan semurah-murahnya mereka membeli kain sutera
Tapi dari yang murah itu dibuatlah Busana mahal dan mewah.
Pada saat mati nanti, mereka lupa. Hanya lalatlah yang mengucapkan dukacita.
Sindhunata, 2007: 78
Keseimbangan hidup menjadi pilar utama untuk melenyapkan rasa sombong dan keserakahan. Hidup penuh syukur dengan segala kesederhanaan itu lebih baik
dari banyak harta namun terus diliputi rasa tidak puas, iri, dan dengki. Pada novel Putri Cina
sifat-sifat sombong ditampilkan sebagai sebuah realita sejarah yang dilakoni orang-orang Cina selama ini. Padahal para leluhurnya sudah
mengingatkan berkali-kali agar hidup manusia itu sederhana. Manusia sebagai makhluk yang diberikan keistimewaan berupa akal dan nafsu perlu hati-hati
menggunakan kelebihan tersebut, sebab jika tidak akan menjerumuskannya dalam kesombongan dan keserakahan. Sifat demikian adalah sifat yang tidak terpuji
dalam kehidupan. Keserakahan tersebut akan menimbulkan kerusakan-kerusakan tatanan
sosial dan budaya yang berkembang di masyarakat. Bahkan hingga pada titik ekstrim yaitu kekerasan. Hal demikian juga diceritakan dalam novel Putri Cina
bahwa dalam sejarah raja-raja yang bertikai di Tanah Jawa. Dalam setiap pertikaian yang akan terjadi dalam setiap penguasa beserta para pengikutnya
merasa dirinya benar dan lawannya salah. Bila demikian, maka keadaan itu menuntut adanya mereka yang bisa dipersalahkan. Pada mereka inilah ditimpakan
segala kesalahan dari mereka-mereka yang bertikai. Dengan menimpakan kesalahan itu, maka mereka yang bertikai merasa dirinya bersih. Mereka mencari
korban kesalahan dari luar mereka, supaya terasa bahwa mereka tak bersalah, karena mereka memeang mau menyembunyikan kesalahan mereka. Tapi korban
itu tak boleh terlalu lain dari mereka, supaya bisa mewakili mereka. Itulah sejarah kekejaman dari pertikaian yang diawali dengan sifat keserakahan akan kekuasaan.
Sifat sombong dan serakah itu akan berdampak sistemik pada pola pengembangan sosial-budaya di masyarakat luas. Dari sifat seperti itu pula
perpecahan demi perpecahan muncul di permukaan masyarakat. Terjadilah kerusakan pada tata kelola kehidupan. Tabel di atas memberikan gambaran bahwa
semua kebudayaan direncanakan secara baik untuk memberikan efek sosial yang baik pula. Karena dari nilai-nilai kebudayaan tersebut dapat dijadikan pedoman
hidup bagi para pengikutnya untuk memperjuangkan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Untuk menjawab segala tantangan itu, hidup sederhana harus
mulai ditanamkan sejak dini. Hal tersebut dapat diimplementasikan dalam sistem pendidikan yang berkarakter. Inilah sebabnya peneliti mencoba mengurai dan
menganalisis novel ini sebagai suatu proses perubahan sosial tercipta. c.
Nilai Perjuangan Putri Cina selalu ingat pepatah leluhurnya agar hidup di dunia ini selalu
menekankan semangat perjuangan yang senantiasa menjadi teman setia di saat menjalani kehidupan. Hidup manusia di dunia itu dapat dinilai dari cara
bagaimana ia berjuang hidup dengan sgala kompleksitas permasalahan yang ada. Nilai perjuangan ini ditunjukkan pada bagian ke-5 dan ke-19 novel ini. Ketika
Majapahit lengser oleh Raden Fatah anaknya yang kemudian ia mendirikan kerajaan baru bernama Demak dengan agama barunya pula, dan saat sedang
terjadinya kerusuhan besar-besaran di negeri Pedang Kemulan. Semua orang Cina dibantai, dibunuh, diperkosa, dijarah, dan dibakar hidup-hidup akibat adu domba
pemerintahan Prabu Amurco Sabdo seperti pada penggalan cerita berikut: Memang beginilah ajaran K’ung Tzu, tiap manusia mulia harus
mengusahakan apa yang pokok dalam hidupnya. Jika ada yang pokok itu kuat mengakar pada dirinya, jalan yang benar bagi hidupnya akan terus
muncul dan mengalir dari dalam dirinya. Sindhunata, 2007: 35 Sejarah seakan meminjam rahimnya, agar perubahan yang diinginkan bisa
terjadi. Dengan demikian tak sia-sialah kedatangannya ke Tanah Jawa ini. Kalaupun tetap tidak jelas, siapa dia dan dari manakah asal-usulnya, adalah
jelas suratan takdir yang digariskan bagi hidupnya: ia harus ikut memperanakkan perubahan yang sekarang telah terjadi di Tanah Jawa.
Sindhunata, 2007: 33
“Benar Tien. Begitulah perjalanan nasib.Semula kamu tdak tahu mengapa kamu harus menjalani hidup seperti itu.Baru kelak kamu tahu, tanpa jalan
hidup yang sudah kamu tempuh itu tak mungkin kamu sampai menjadi seperti sekarang.Karena itu, Tien, kamu harus bersyukur dan terus berjuang
atas segala peristiwa yang telah terjadi pada hidupmu” kata Siok Nio. Sindhunata, 2007:218
Nilai perjuangan yang digambarkan tidak sekedar perjuangan dalam peperangan seorang putri Cina, melainkan perjuangan memperanakkan seorang
putra yang menjadi raja di Tanah Jawa. Perjuangan itu semakin bergelora saat putri Cina dihantui kecemasan akan tidak dianggapnya dirinya oleh Raden Patah
anaknya yang kini menjadi pemimpin di Tanah Jawa. Pada penggalan cerita berikutnya nilai perjuangan hidup Giok Tien di
Tanah Jawa menjadi penggalan kisah yang mengharukan untuk ditelusuri setiap ceritanya. Berakar dari pejuangan untuk bertahan hidup pulalah seorang Cina
dapat hidup dengan penuh semangat di Jawa walaupun perjalanan hidupnya dihantui oleh pengadudombaan kaumnya yang selalu menjadi kambing hitam
dalam setiap pertikaian di Tanah Jawa.
d. Budaya Berbagi
Pengarang semakin menunjukkan kiatnya menyuguhkan nilai cinta harmoni dengan menyajikan bait-bait syair mengenai penguatan dan berpikir positif.
Sebagai seorang Cina yang lahir dan besar di Tanah Jawa. Pengarang piawai menceritakan bagaimana semangat yang harus ditempuhg oleh orang-orang Cina
yang hidup di Jawa. Penggalan syair itu sebagai berikut: Jika orang lain bikin kami susah di hati
Kami akan menganggap itu adalah tumpukan rezeki Kami akan belajar, setiap hari, mulai sekarang juga
Jangan kami membuat orang lain susah hatinya Dengan apa yang kami miliki saat ini.
Setiap kami diberi satu Kami akan memberi lipat sepuluh.
Bila kami difitnah padahal kami tidak bersalah Kami hendak menganggapnya sebagai pahala.
Bila kami salah tapi dipuji dan dianggap benar Akan kami rasakan itu sebagai hukuman. Sindhunata, 2007:301
Syair itulah bagian akhir dari cerita novel Putri Cina. Sangat jelas pengarang mengharapkan dari novel ini tercipta perdamaian. Perdamaian yang
dibuat oleh orang-orang Cina yang hidup di Jawa dengan mengubah pola pikir positif dalam setiap menanggapi keadaan dan peristiwa. Nilai cinta harmoni inilah
yang harus diterapkan dalam butiran-butiran pendidikan karakter. Cinta harmoni merupakan nilai inti dari pendidikan karakter yang selama ini diprogramkan oleh
pemerintah. Nilai cinta harmoni akan tumbuh dengan sendirinya jika manusia dapat memberikan respon yang positif terhadap setiap keadaan. Oleh karena itu,
segala perbuatan kita yang dirangkum dalam pendidikan karakter adalah berawal dari pikiran kita.
e. Budaya Ramalan
Ramalan merupakan kunci perjalanan hidup bagi sebagian besar orang Cina. Dengan ramalan itu mereka dapat menjadikan kehidupan lebih bermakna dan
patut diperjuangkan. Ramalan-ramalan bagi orang Cina hadir dari leluhurnya dan berupa Shio pada tahun-tahun Cina. Tidak sedikit pula orang Cina
menggantungkan hidupnya pada ramalan-ramalan tersebut. Giok Tien tersentak karena kata-kata itu. Ia merasa kematian menjadi suatu
yang nyata baginya. Ia sendiri lalu teringat, mamanya pernah pergi ke seorang empek gwamia, kakek peramal. Empek itu menganjurkan agar ia
dan suaminya mesti banyak prihatin, karena salah seorang anaknya akan mengalami banyak cobaan. Sindhunata, 2007: 175