Sejarah Kelam Mengilhami Novel Putri Cina
tulisan-tulisannya tampak kepiawaian Sindhunata mengolah detail untuk membangun perspektif kemanusiaan tokoh tersebut. Ia juga mampu
menggerakkan hati pembaca bahkan sampai mereka rela memberikan sumbangan yang nyata kepada orang ditulisannya dan memang membutuhkan bantuan
mereka. Setelah berhenti menjadi wartawan Kompas, ia bekerja di majalah
kebudayaan Basis di Yogyakarta. Tahun 1994, ia di angkat menjadi pemimpin redaksi majalah Kebudayaan basis menggantikan Dick Hartoko, yang memasuki
masa pensiun. Berbekal dari pengalaman malang-melintang di dunia wartawan, Sindhunata membuat terobosan yang menyegarkan. Ia mengubah format dan
tampilan Basis. Dalam hal ini, ia berhasil mematahkan anggapan bahwa sebuah majalah ilmiah itu harus berkesan serius dan ilmiah pula. Di bawah
kepemimpinannya, ia membuat majalah ilmiah dan serius itu menjadi menarik dan enak dibaca tanpa mengurangi bobot ilmiahnya.
Di majalah Basis ini pun Sindhunata tetap konsisten dengan pengalaman jurnalistiknya. Ia menggarap keilmiahan dengan citarasa jurnalistiknya yang
humanis. Seperti yang tertera pada logonya, ia menyebut Basis sebagai jurnalisme seribu mata. Atas kesetiaannya menjalani garis hidupsebagai wartawan sampai
kini, ia mendapatkan Penghargaan Kesetiaan Profesi sebagai Wartawan selama tiga puluh tahun masa pengabdian dari PWI Persatuan Wartawan Indonesia pada
tahun 2005. Selain sebagai wartawan, Sindhunata yang juga seorang rohaniwan Yesuit,
filsuf dan teolog ini, juga di kenal sebagai seorang novelis yang telah melahirkan banyak karya. Dalam menulis Sindhunata tidak membatasi minatnya. Ia bisa
menulis tentang apa saja: agama, pelacur, tukang rambutan, burung-burung di bundaran Hotel Indonesia, beras, dan lainnya. Semuanya di buat dengan gusto,
penuh cita rasa, opiniide yang telah dimatangkan, dan dimasak oleh benaknya. Tercatat hingga kini sudah lebih dari tiga puluh judul buku lahir dari
tangannya. Pantas bila ia disebut sebagai penulis yang lengkap dan serba bisa.
Tercatat feature-feature jurnalistiknya telah diterbitkan pada tahun 2006 dalam pancalogi: ‘Manusia Pengharapan’, ‘Manusia Keadilan’, ‘Manusia
Keseharian’ , ‘Manusia Perjalanan’, dan ‘Manusia Kebatinan’. Selain itu ia
juga menciptakan sejumlah novel antara lain ‘Bharatayudha’ Cerita Wayang, 1978, ‘Anak Bajang Menggiring Angin’ Cerita Wayang, 1983, ‘Mengapa Aku
Mencintaimu, Oh Maria’ 1986, dll. Ia juga menerbitkan buku kumpulan puisi
berjudul ‘Air Kata-Kata’ 2003, yang berisi Puisi-puisi yang pernah ditulisnya. Pendiri komunitas Pangoentji atau Pagoejoeban Ngoendjoek Tjioe
yang concern pada bidang seni dan budaya ini juga senang menulis dalam bahasa Jawa. Menurutnya bahasa Jawa itu harus diasah, maka menulislah ia dalam
bahasa Jawa di rubrik ‘Blencong’ di harian Suara Merdeka.Berkat ‘kerja kaki’nya, dan dengan ramuan jurnalisme sastrawi, Sindhunata telah berhasil menyingkirkan
anggapan bahwa wartawan itu hanya pandai menulis tapi tidak berbuat. Tulisan- tulisan Sindhunata jelas memperlihatkan bahwa seorang jurnalis juga bisa berbuat
banyak untuk kemanusiaan dan menolong penderitaan. Maka tak salah bila ada yang mengatakan, fokus Sindhunata dengan tulisan-tulisannya adalah
kemanusiaan humanisme, sesuatu yang mahal untuk era yangkadung disuntuki. Khusu Novel Putri Cina, novel Sindhunata paling gres, terbit September
2007 dan cetak ulang November 2007, dinobatkan komunitas sastra Bandung Nalar sebagai karya sastra paling bermutu. Putri Cina merupakan figurasi
tragika nasib kaum minoritas Tionghoa Indonesia. Novel rumit dengan segerobak tokoh ini menggunakan teknik bercerita maju mundur. Sindhunata mengambil
seting cerita dari zaman Majapahit era Brawijaya hingga pengujung Orde Baru, melumuri novelnya dengan babad, legenda, mitos, dan sejarah sekaligus.Para
penguasa Jawa mengincar rahim perempuan peranakan Tionghoa. Raden Patah, raja Demak anak Brawijaya, lahir dari kandungan seorang ibu peranakan
Tionghoa. Begitu tulis Sindhunata.Novel ini semula katalog berjudul Babad Putri Cina
yang ditulis untuk pameran lukisan Putri Cina karya Hari Budiono di Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan Yogjakarta, Mei 2006. Hari Budiono, perupa
kelahiran Mojokerto, bekerja di Bentara Budaya Yogyakarta, mendapat inspirasi
setelah membaca draft Kambing Hitam. Hari Budiono memang konsultan artistik untuk buku-buku Sindhunata.