Tinjauan Umum terhadap Novel Putri Cina
dalam menjalani hidup. Keluhan tersebut berpadu dengan keadaan identitas dirinya yang menyimpan tanda tanya mengenai dinamika perenungan seseorang
yang merasa dirinya terbatas hanya karena asal-usulnya. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang saat ini menjadi momok bagi putri cina untuk bertahan hidup sebagai
seorang yang mempunyai jiwa dan raga. Kegelisahan putri cina sebagai manusia adalah harga dirinya yang pengarang tampilkan dengan gaya bahasa yang halus
yaitu ‘wajah’. Putri cina seakan tidak berwajah atas kecantikan dirinya, merasa tak punya apa-apa atas kekayaannya
Tapi mengapa, makin ia bertambah kaya, makin terasa ia tak berwajah. Kekayaan dan hartanya tak lagi menjadi tumpuan yang menyangga
wajahnya. Nyatanya wajahnya telah hilang, entah kemana Sindhunata, 2007 :11
Skema bercerita dengan gaya filosofis cukup kental pada saduran-saduran yang dituliskan pengarang disajikan dalam beberapa segmen cerita untuk
menggambarkan hati yang gundah-gulana sang putri cina. Pengarang mencoba menggambarkan bahwa dari syair-syair yang ditampilakn, pembaca akan
berempati dengan kegelisahan tokoh utama yaitu Putri Cina. Pesan yang ingin disampaikan pengarang bahwa harta dan kehormatan akan sia-sia bila manusia ini
tak lagi berwajah Wajah dari mawar
Hitam melayu tanpa sinar Wahai wajah yang suram,
Wajah Putri Cina mawar Hitam Telanjang ditelan malam
Pada beberapa segmen pengarang menyajikan filosofi kehidupan dari negeri Cina yaitu hikmah dan syair dari para leluhurnya. Syair-syair yang disajikan
merupakan penguatan akan nilai-nilai kehidupan yang terkandung dari alur cerita. Hal ini dikemukakan melalui salah satu syair dari penyair Tionghoa, Han San
sebagai berikut: Ketika aku masih tinggal di desa
Orang-orang menyanjungku tiada taranya
Tapi ketika esok hari aku pergi ke ibu kota Anjing pun melihatku dengan memicingkan mata
Seorang bergumam celanaku terlalu sempit Orang lain bilang bajuku terlalu panjang
Cungkillah dariku mata kesombongan burung elang Aku akan terbang seperti burung gereja
Mulia dan berharga Sindhunata, 2007: 12-13
Syair di atas merupakan antiklimaks dari segala kegelisahan putri cina yang merasa kehilangan wajahnya. Pengarang dengan jeli mengutarakan permasalahan
harga diri sebagai seseorang itu dengan menggambarkan suatu kesombongan yang ada pada diri manusia. Oleh karena itu, untuk menangkal segala kesombongan
manusia perlulah hidup dengan sederhana. Mestilah orang meninggalkan kesombongan akan harta dan bendanya, supaya ia menjadi sederhana seperti
burung gereja, hingga ia kembali menemukan harga dirinya. Kesederhanaan tersebut adalah jalan menuju penemuan jati diri manusia. Sindhunata seakan
berpesan bahwa setiap warga negara yang ditakdirkan sebagai keturunan etnis Tionghoa yang hidup di mana pun, di tanah air mana pun yang masih merasa ada
batas dan jarak bagi dirinya untuk menyatu dengan tanah air tersebut jadikanlah kesederhanaan sebagai tanah airnya yang sejati.
Sesungguhnya kesederhanaan itulah tanah air yang dibutuhkan. Sebab seperti kata penyair T’ao Ch’ien, ia sudah ditakdirkan untuk terbang seperti
debu. Debu yang selalu terbang tak mungkin terikat pada suatu tanah air. Kalaupun ia mempunyai tanah air yang membuat hidupnya aman, itu adalah
kesederhanaan. Sindhunata, 2007: 13
Pengarang mencoba menarik sudut pandang budaya Tionghoa yang penuh kearifan dalam menafsirkan kehidupan. Di antara kemasan budaya tersebut dapat
dijadikan acuan untuk menentukan nilai-nilai budaya yang dapat berfungsi sebagai pembentuk nilai pendidikan karakter. Tentu hal ini bila dicermati lebih
jauh akan kita dapatkan kesimpulan bahwa dari kesederhanaan muncullah kehidupan yang bersahaja dan bermartabat. Begitu pula untuk membangun bangsa
ini diperlukan nilai-nilai pendidikian karaktrer untuk membangun bangsa yang maju dan sejahtera. Disamping itu berbagai pedoman atau pepatah hidup dari para
leluhur budaya Cina ditampilkan dalam novel ini sebagai suatu rambu-rambu kehidupan bagi siapa saja yang meyakininya etnis Tionghoa.
“Jika saat berpulang telah tiba, aku hanya membutuhkan beberapa lembar daun pisang saja. Untuk apa semuanya, bila pada akhirnya manusia cukup
dibaringkan di atas daun ketika ia selamanya tertidur”Sindhunata, 2007: 14
Pada bagian ke-2 novel Putri Cina pengarang mulai memasukkan unsur budaya Jawa yang disajikan dalam bentuk kisah dongeng. Dongeng tersebut
mengisahkan sekaligus mempertegas sejarah bahwa pada saat kerajaan terbesar di nusantara berjaya, istri Raja Majapahit yang terakhir, Prabu Brawijaya Kelima
adalah seorang keturunan Tionghoa. Kisah dongeng sejarah ini yang memulai babak demi babak pengembaraan Putri Cina.
Novel ini berbeda dengan novel pada umumnya. Perbedaan tersebut terlihat jelas pada gaya narasi pengarang dalam menyampaikan alurnya. Novel ini lebih
ditekankan pada gaya penceritaan naratif. Karena hampir 90 persen gaya penulisan ceritanya disajikan secara narasi. Jarangnya dialog antar tokoh
menguatkan citra bahwa novel ini menggunakan sudut pandang mahatahu. Bahwa pengarang sebagai pelaku dalam terjun secara tidak langsung ini mengisahkan
alur cerita dan sekaligus menceritakan kisah para tokoh yang hadir dalam novel. Tragedi cinta antara sepasang kekasih yang berdarah Cina dan Jawa menjadi
sentral cerita novel Putri Cina yang ditulis oleh Sindhunata ini. Tokoh Putri Cina
dalam novel ini melesat menembus waktu dan jaman, antara jaman Majapahit hingga kerusuhan Mei yang berdarah, tahun 1998. Dia hadir sebagai Putri Campa
pada jaman Prabu Brawijaya, Roro Hoyi pada jaman Amangkurat, Eng Tay pada legenda Sam Pek dan Eng Tay, dan hadir sebagai sosok Giok Tien pada masa
”kerajaan Medang Kamulan Baru”. Tragedi berdarah yang menimpa keturunan etnis Cina selalu berulang.
Celakanya mereka tidak pernah belajar dari sejarah. Sindhunata melakukan otokritik terhadap etnis Cina yang tidak pernah belajar dari sejarah kebetulan
Sindhunata juga berdarah Cina, berayahkan Liem Swie Bie dan beribu Koo Soen
Ling. Orientasi etnis Cina yang ada di tanah Jawa selalu mengejar harta dan kekayaan dunia, melupakan tradisi leluhur bangsa Cina. Akibatnya mereka
menjadi kelompok kaya elitis yang berada di tengah-tengah mayoritas etnis Jawa yang tertinggal secara ekonomi. Keahlian mereka di bidang perniagaan
dimanfaatkan betul oleh penguasa, sejak jaman Belanda hingga sekarang.Mereka tidak sadar sedang dijadikan sapi perah, dan siap dikorbankan sewaktu-
waktu. Kondisi ini secara laten bisa meledak sebagai bom waktu. Dan bom itu benar-benar meledak atau tepatnya ”diledakkan” ketika pecah kerusuhan Mei
1998. Tragedi Putri Cina yang diwakili oleh tokoh Giok Tien dalam peristiwa
kerusuhan Mei 1998 oleh Sindhunata diubah layaknya lakon ketoprak dengan mengganti nama masa Orde Baru dengan nama Kerajaan Medang Kamulan Baru,
dengan raja bergelar Amurco Sabdo. Di sana muncul intrik antara senapati Gurdo Paksi, Patih Wrehonegoro, dan lurah prajurit Tumenggung Joyo Sumengah.
Lakon ini mengingatkan pembaca pada perseteruan antara Wiranto dan Prabowo. Putri Cina digambarkan sebagai istri dari senopati Gurdo Paksi yang kemudian
menjadi korban intrik tingkat tinggi hingga Giok Tien ternodai harga diri kewanitaannya oleh syahwat kuasa Amurco Sabdo dan menjadi rebutan antara
Tumenggung Joyo Sumengah dan Gurdo Paksi. Keduanya telah menaruh hati kepada Giok Tan semenjak dia menjadi primadona ketoprak keliling Sekar
Kastubo. Pada kenyataanya cinta Giok Tien hanya untuk Gurdo Paksi, yang waktu itu masih prajurit bernama Setyoko. Cinta Giok Tien yang Cina, dan
Setyoko yang Jawa terjalin sudah. Dan itu membawa dendam kekalahan bagi Tumenggung Joyo Sumenggah yang juga mengharap cinta dari Giok Tien.
Novel ini sangat menyentuh dan mampu mengungkap sisi kelam sejarah dan latar belakang budaya Cina-Jawa serta intrik politik yang melatarbelakangi
berbagai peristiwa kerusuhan yang menjadikan etnis Cina selalu sebagai korbannya.
Di dunia ini semua manusia menanggung nasib yang sama, karena kita hanyalah debu. Cina dan Jawa , sama-sama debunya. Mengapa kita mesti
bertanya, siapakah kita? Toh dengan dilahirkan di dunia, kita semua adalah saudara
Sindhunata, 2007: 1