budaya bangsa sebagai pijakan utama dalam memberikan pemahaman akan kekayaan ragam budaya bangsa yang bernilai positif bagi kemajuan bangsa.
Muatan nilai-nilai budaya secara formal diterapkan di sekolah ialah pembelajaran sastra.Bagi siswa sekolah, sastra dapat dipelajari bertahap, mulai
dari berdongeng yang diterapkan di Sekolah Dasar, hingga pada tahap penulisan karya sastra itu sendiri yang ada pada Standar Kompetensi di Sekolah Menengah
Atas dan sederajat.Sebagai pelajaran yang dirangkapkan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah, sastra juga erat kaitannya dengan sejarah bangsa
seperti yang sering dituangkan dalam dongeng dan roman klasik.Dari berbagai kisah dalam sastra tersebut banyak memuat nilai-nilai budaya yang dapat menjadi
daya semangat nasionalisme bagi siswa. Dalam klasifikasinya, sastra khususnya bagi anak, itu ada citraan tersendiri,
sastra anak misalnya. Secara umum sastra anak adalah citraan dan atau metafora kehidupan yang disampaikan kepada anak yang melibatkan baik aspek emosi,
perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun pengalaman moral, dan diekspresikan dalam bentuk-bentuk kebahasaan yang dapat dijangkau dan dipahami oleh
pembaca anak-anak.
4
Di sisi lain, sastra juga dapat dimaksudkan pada kategori yang bertujuan untuk mengungkapkan nilai keindahan, sedangkan nilai keindahan
ini kemudian dapat terintegrasi menjadi bebagai nilai-nilai yang dapat memaknai kehidupan. Nilai keindahan juga seringkali dipadukan dengan keharmonisan.
James Joyce yang dikutif oleh William J. Grace 1965 mengemukakan bahwa keindahan itu mempunyai tiga cirri atau unsure pokok, yaitu: 1 Kepaduan
integrity, 2 keselarasan harmony, dan 3 kekhasan individuation.
5
Dalam upaya memperkenalkan sastra sebagai ragam budaya membaca dan bercerita
anak, tentu keindahan menjadi faktor penentu keberhasilan anak dalam bersastra pada usia dini. Hal demikian menjadi penting mengingat bahwa pendidikan
karaktyer itu harus dimulai dan dibiasakan sedini mungkin.Maka, sastra merupakan bagian penting bagi jalannya fungsi pendidikan karakter sebagai
upaya utuh untuk melestarikan budaya bangsa.
4
Rohinah M Noor, Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Solusi Pendekatan Moral yang Efektif
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011cet.1, h.37.
5
Atar Semi, Anatomi Sastra Padang: Angkasa Raya, 1988 cet.1, h.26.
Pada novel Putri Cina karya Shindunata terdapat beberapa kisah menarik yang disajikan dengan penuh ketelitian dan meyakinkan akan proses asimilasi
budaya yang kaya akan makna. Perpaduan budaya tersebut merupakan ragam budaya yang saat ini masih berjaya di tanah nusantara. Bahwa dari beragamnya
budaya nasional, mesti adanya keseriusan warga Negara untuk melestarikan dan terus mengembangkannya di masa depan. Penanaman budaya pada siswa sekolah
diharapkan dapat menjadi faktor utama bagi berkembangnya pendidikan karakter yang berkualitas.Bahan sastra sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
perkembangan budaya harus menjadi perhatian serius untuk diterapkan di sekolah sebagai media untuk meningkatkan pendidikan karakter.
Putri Cina merupakan novel epik yang memuat kisah perjalanan seorang
wanita keturunan etnik Tionghoa dalam mengarungi berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia, sikap feminis dari seorang wanita sejara tajam dikupas secara
heroic untuk mempertahankan identitasnya sebagai warga Negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga Negara yang lain.
Perjalanan cerita ini merujuk pada berbagai peristiwa sejarah dan budaya yang cerdas disadur oleh pengarang. Penampilan kisah beberapa sejarah budaya jawa
yang kental begitu detil disampaikan menjadi sebuah suatu rangkaian peristiwa nyata yang berhubungan langsung dengan kehidupan nyata saat ini. Ketajaman
mengupas budaya bahkan donging yang beredar di Nusantara ini yang kemudian menjadi titik fokus dalam mengkaji novel ini sebagai nilai yang berperan penting
dalam pengembangan pendidikan karakter.
B. Identifikasi Masalah
Dari beberapa permasalahan yang dibahas di atas, maka identifikasi masalah pada penelitian ini, antara lain:
1. Pendidikan Karakter belum mengacu pada ragam nilai budaya.
2. Belum tercapainya secara maksimal penanaman pendidikan karakter di
lembaga pendidikan. 3.
Kurangnya Karya sastra rujukan pembelajaran mengenai kebudayaan Cina dan Jawa sebagai butir pendidikan karakter.
4. Terbatasnya analisis novel tentang budaya Cina dan Jawa sebagai bahan
ajar di sekolah.
C. Pembatasan Masalah
Pembahasan dalam latar belakang dan identifikasi masalah di atas menyimpulakn ranah pengkajian masalah cukup umum dan luas, maka perlu
adanya pembatasan masalah untuk memberikan titik fokus dalam masalah yang akan dibahas oleh penulis dalam skripsi ini. Penulis membatasi masalah dalam
skripsi ini yaitu nilai budaya Cina dan Jawa yang terdapat dalam novel Putri Cina karya Sindhunata.
D. Rumusan Masalah
Penulisan skripsi ini akan dirumuskan dari identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas.Rumusan masalah dimaksudkan untuk menemukan solusi
pada setiap masalah yang berkaitan dengan penelitian pada judulu skripsi ini. Rumusan masalah tersebut antara lain:
1. Bagaimana gambaran tentang nilai budaya Cina dan Jawadalam novel
Putri Cina karya Sindhunata?
2. Nilai budaya Cina dan Jawa apa saja dalam novel Putri Cina karya
Sindhunata yang merupakan butir pendidikan karakter?
E. Tujuan dan Manfaat Pengkajian
Pengkajian ini bertujuan untuk: 1.
Memberikan gambaran tentang nilai budaya Cina dan Jawa dalam novel Putri Cina
karya Sindhunata sebagai keragaman identitas bangsa yang perlu dilestarikan.
2. Menganalisis nilai budaya Cina dan Jawa pada Novel Putri Cina karya
Sindhunata yang merupakan butir pendidikan karakter. Adapun manfaat yang dapat diambil dari kajian ini adalah:
1. Secara praktis, manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah untuk
menegaskanbeberapa persamaan nilai budaya Cina dan Jawa yang
terkandung dalam Novel Putri CinaKarya Sindhunata sebagai upaya untuk mengembangkan butir Pendidikan Karakter di Indonesia.
2. Secara teoretis, kajian ini dapat menjadi acuan bagi berbagai pihak yang
mendalami dunia pendidikan dan kebudayaan untuk menelaah lebih dalam tentang nilai budaya Cina dan Jawapada novel Putri Cina karya
Sindhunata sebagai pengembang butir Pendidikan Karakter.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.Metode kualitatif memberikan perhatian
terhadap data
alamiah dan
hubungannya dengan
konteks keberadaannya.Hal tersebut yang menjadikan metode kualitatif bersifat deskriptif.
Dalam penelitian karya sastra, misalnya akan dilibatkan pengarang, lingkungan sosial dimana pengarang berada, termasuk unsur-unsur kebudayaan pada
umumnya. Objek penelitian metode kualitatif merupakan makna-makna yang terkandung di balik tindakan yang mendorong timbulnnya gejala sosial.Penelitian
mempertahankan hakikat nilai-nilai.Sumber data dalam ilmu sastra adalah karya, naskah, data penelitiannya sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana.
Penelitian kualitatif lebih sesuai untuk penelitian hal-hal yang bersangkutan dengan masalah kultur dan nilai-nilai, seperti sastra.
6
Penelitian sastra sebagai wujud penelitian kualitatif tentunya harus menerima kenyataan akan adanya
keharusan penelitiannya memiliki wawasan yang luas tentang konvensi bahasa, konvensi sastra, dan konvensi sosial budaya agar dapat memberikan interpretasi
yang tepat dan keputusan atau kesimpulan yang benar. Sehingga dengan demikian penelitian sastra akhirnya dapat memberi sumbangan yang berharga bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, ilmu, dan teori sastra, dan bagi peningkatan taraf hidup manusia.
Penelitian dengan metode kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui nilai- nilai budaya Cina dan Jawa yang terdapat dalam novel Putri Cina karya
Sindhunata. Metode penelitian sastra yang digunakan secara khusus adalah
6
Ibid. , h. 34.
metode Pendekatan Ekspresif. Pendekatan Ekspresif adalah pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada ekspresi perasaan atau
temperamen penulis. Pada abad ke-18, pada masa Romantik, perhatian terhadapa sastrawan sebagai pencipta karya sastra menjadi dominan. Karya sastra adalah
anak kehidupan kreatif seorang penulis dan mengungkapkan pribadi pengarang. Karya sastra tidak akan hadir jika tidak ada yang menciptakannya sehingga
pencipta karya sastra sangat penting kedudukannya.
7
Dalam pendekatan ini, penilaian terhadap karya seni ditekankan pada keaslian dan kebaruan. Penilaian sebuah karya seni sebagian besar bergantung
pada kadar kebaruan dan penyimpangannya terhadap karya-karya sebelumnya. Yang itu itu adalah yang baru, yaitu sesuatu yang dianggap lebih baik daripada
yang lama. Ada keberatan dan kritik bagi pendekatan ekspresif, antara lain disampaikan oleh kaum formalis, strukturalis, dan pragmatis. Pendekatan ini telah
ditonjolkan pada zaman klasik kebudayaan Barat. Walaupun pendekatan ini kemudian tidak begitu besar efeknya dalam sejarah kebudayaan Barat. Hal ini
barangkali karena penonjolan diri manusia dalam kebudayaan yang berabad-abad lamanya dikuasai oleh agama Kristen dan filsafat yang coraknya sesuai dengan
agama itu. Sejarah panjang mengenai munculnya pendekatan ekspresif sebenarnya
ramai dibicarakan pada abad Pertengahan. Manusia selaku pencipta meneladani ciptaan Tuhan. Ide tentang manusia, khususnya sebagai pencipta baru lahir agak
lambat dan secara berangsur-angsur dalam sejarah kebudayaan Barat. Kemudian dalam teologi Masehi dan dalam filsafat serta konsepsi klasik ini ditempatkan
dalam rangka pandangan terhadap dunia dan alam sebagai ciptaan Tuhan. Tuhanlah yang menjadi pencipta, pencipta yang sungguh-sungguh sejati.
Penciptaan oleh manusia selalu bersifat penciptaan kembali. Dalam rangka uraian ini menitikberatkan masalah point of view terutama penting sebagai gejala yang
menggarisbawahi usaha untuk melepaskan pengarang dari karyanya dan menentukan serta mempertahankan otonomi karya sastra dari penulisnya. Gejala
7
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra Jakarta: PT Grasindo, 2008 cet. 1, h.181