Deskripsi Budaya Cina dan Jawa dalam Novel Putri Cina
tersebut pun sangat pesat. Hingga saat ini pemeluk agama baru itu memiliki pengikut terbanyak di Tanah Jawa, begitu juga dengan kaum Putri Cina banyak
yang memeluk agama tersebut bahkan menyebarkannya ke luar kerajaan dengan jalur perdagangan.
Sambil berniaga, mereka menyebarkan agama baru itu. Dengan demikian berkat kaumnya pula, maka Tanah Jawa menjadi terbuka terhadap kegiatan
dan kebudayaan baru yang dibawa agama baru tersebut ke Tanah Jawa. Sindhunata, 2007: 32-33
Kondisi tersebut menjadi suatu perubahan kebudayaan dan sosial yang signifikan di Jawa. Orang mulai menjalankan kebiasaan baru dengan agama Islam
tersebut. Agama tersebut memberikan dampak yang luas bagi kemajuan Jawa membina kebudayaannya. Tentu kondisi sosial tersebut sangat berpengaruh bagi
perkembangan pemikiran manusia Jawa. Raden Patah, penguasa baru Tanah Jawa itu lahir dari rahim Putri Cina.
Kenyataan ini tentu sangat menggembirakan bagi Putri Cina. Sejarah seakan meminjam rahimnya agar perubahan yang diinginkan bisa terjadi. Dengan
demikian tidak sia-sia ia datang ke Jawa. Sudah jelas suratan takdir yang digariskan bagi hidupnya. Ia harus ikut memperanakkkan perubahan yang
sekarang telah terjadi di Tanah Jawa. Kenyataan sejarah tersebut ternyata tak lama memberikan efek bahagia bagi
Putri Cina, sekejap ia merenungkan kembali, bahwa kejayaan anaknya, Raden Patah sebagai penguasa Jawa tidaklah ia rasakan, karena sudah lama anaknya
meninggalkannya, bahkan ketika ia berjaya tak satupun kabar yang datang kepadanya. Seolah Putri Cina tidak terlibat langsung dalam kejayaan Demak yang
menjadi Kiblat seluruh kegiatan sosial dan budaya di Tanah Jawa. Kesedihan Putri ina memuncak saat ia harus mengingat bahwa kejayaan Demak yang
dipimpin anaknya itu adalah hasil berperang melawan Kerajaan Majapahit yang notabenenya merupakan ayahandanya sendiri.
...tapi mengapa ia tak bisa diakui sebagai ibu penguasa dan pembaharu Tanah Jawa itu, hanya karena ia adalah Putri Cina?
Putri Cina tak mampu menghalau kesedihan itu. Memang kesedihannya benar-benar dalam ia telah dibuang oleh Prabu Brawijaya. Dan sekarang
anaknya yang lahir dari Prabu Brawijaya, yang menjadi penguasa baru di Tanah Jawa itu juga menyia-nyiakannya sebagai ibu. Itu semuanya terjadi
mungkin karena ia adalah perempuan Cina. Itulah kesedihan Putri Cina yang harus ditanggungnya. Sindhunata, 2007: 35
Kondisi sosial-budaya tersebut telah mempengaruhi suasana hati dan perilaku seseorang. Oleh karena itu, nilai-nilai sosial-budaya yang tertanam di tengah-
tengah masyarakat hendaknya sebagai suatu tatanan nilai yang baik, agar sistem kemasyarakatan yang dijalankan oleh para anggota masyarakat tertentu dapat
berjalan dengan baik dan dinamis. Implikasinya dari tatanan sosial yang baik bagi kemajuan pendidikan karakter adalah berkembangnya suatu negara yang
berkarakter serta menjunjung tinggi sikap positif yang mengarah pada kemajuan dan kesejahteraan. Untuk mewujudkan hal itu, perlu penegakan pendidikan
karakter ditanamkan sejak dini. Dimulai dari pendidikan, bangsa ini akan menuju masa depan yang cerah.
Pada bagian kesepuluh novel ini pengarang mulai menceritakan awal mula dan sal-usul dari pertikaian manusia yang hingga saat ini menjadi tebing inggi
untuk diselesaikan oleh berbagai kalangan. Kasus yang menjadi masalah utama dalam cerita ini adalah kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat yang hanya
karena perbedaan pendapat, golongan, suku, etnis, dan adat istiadat. Lebih parahnya
lagi perbedaan
tersebut menjadi
pertikaian besar
dengan mengatasnamakan agama. Lebih buruk lagi pertikaian dalam satu agama yang
sama. Hal ini menjadi potret suram dari wajah pendidikan di negeri ini. Kisah pertikaian ini bermula dari kehidupan para dewa di langit. Pengarang
mengisahkan tentang dongeng Sang Hyang Wenang, dewa dari semua dewa. Ia memiliki putra bernana Sang Hyang Tunggal. Di sisi lain ada pula kerajaan jin
yang rajanya bernama Begawan Rekatama, ia mempunyai seorang putri cantik jelita bernama Dewi Rekatawi. Kedua orangtua tersebut bersepakat untuk
mengawinkan kedua mereka. Tidak lama kemudian Dewi Rekatawi mengandung dan melahirkan. Namun, bukan bayi yang ia lahirkan akan tetapi sebutir telur.
Telur tersebut kemudian berubah menjadi 3 bayi laki-laki yang berasal dari kulit telur, putih telur, dan kuning telur. Dari sini berawal perebutan kekuasaan. Kulit
telur dengan angkuhnya mengatakan dialah yang pantas menggantikan takhta kerajaan, begitu pula dengan putih telu yang juga ngotot bahawa dirinyalah yang
lebih baik untuk menggantikan takhta kerajaan. Sementara kuning telur sebagai pihak penengah pertikaian itu. Kulit telur bernama Sang Hyang Antaga, putih
telur bernama Sang Hyang Ismaya, dan kuning telur bernama Sang Hyang Manikmaya. Pada pertikaian tersebut Sang Hyang Manikmaya menawarkan
sayembara untuk mengakhiri pertikaian tersebut dengan target menelan gunung Garbawasa, sebuah gunung yang luar biasa besarnya. Pergilah mereka menghadap
gunung Garbawasa. Sang Hyang Antaga selaku petarung pertama yang mencoba menelan gunung itu, karena besarnya gunung tersebut ia tidak bisa menelannya,
dari kenekatannya itu mulutnya robek menjadi lebar. Sekarang wajahnya menjadi jelek tidak karuan yang mulanya sebagai sosok yang tampan.
Kemudian Sang Hyang Ismaya yang mencoba menelan gunung Garbawasa. Dengan perenungan yang tinggi Sang Hyang Ismaya dapat menelan gunung
tersebut. Namun celakanya, gunung tersebut tidak bisa dikeluarkan lagi, sehingga perutnya membuncit ke depan dan bokongnya membesar pula tersodok puncak
gunung Garbawasa. Dalam dongeng budaya Jawa, Sang Hyang Antaga dikenal sebagai Togog yang ditugaskan menemani manusia yang jahat dan Sang Hyang
Ismaya dikenal sebagai Semar yang diperintahkan untuk menemani manusia yang baik. Sedangkan Sang Hyang Manikmaya sepintas kelihatan tidak bersalah, maka
ia tetap ditempatkan di surga. Padahal akibar ide dari Sang Hyang Manikmaya itulah yang memanas-manasi keduanya untuk menelan gunung Garbawasa. Dan
kemudian Sang Hyang Manikmaya diangkat untuk memimpin takhta dan menjadi penguasa dewa-dewa dengan gelar baru Batara Guru.
Sama dengan semar dan togog, kelakuan Batara Guru pun seperti kelakuan manusia yang suka akan pertikaian dan haus akan kekuasaan. Itu sesuai
dengan sifat kuning telur yang menjadi asal-usulnya. Jika kulit telur menandakan manusia hanya peduli akan hal-hal luaran, dan putih telur
adalah lambang bagi manusia yang suka akan kejujuran, maka kuning telur
adalah lambang bagi manusia yang haus akan kekuasaan. Sindhunata, 2007: 62
Dikisahkan bahwa Batara guru yang berasal dari kuning telur tersebut adalah dewa yang paling mirip dengan manusia. Ia gila akan kekuasaan yang
diselimuti dengan rasa iri, dengki, persaingan, pertikaian, dan pertentangan terhadap sesamanya. Dalam budaya orang Jawa, Semar itu adalah pamomong
orang Jawa sepanjang masa. Semarlah yang menjaga orang Jawa agar terhindar dari marabahaya. Dalam hal ini pengarang mencoba menguliti kebudayaan orang
Jawa yang menjadikan semar sebagai panutan sebenarnya adalah dewa yang suka bertikai juga seperti halnya manusia.
Gunung Garbawasa merupakan cerminan dari alam jagat raya. Semestinya Semar sadar bahwa seharusnya kebesaran jagat raya tak boleh ditaklukkan dengan
nafsunya. Akhirnya jagat raya sendiri yang menghukumnya. Kisah keserakahan ini yang kemudian meluas menjadi pertikaian.
Dijelaskan dalam kisah ini bahwa Sang Hyang Tunggal marah dan menegur mereka, “Kalian dewa, tapi kelakuan kalian seperti manusia saja.” Waktu itu
manusia belum diciptakan. Itu artinya sesungguhnya telah direncanakan dalam rancangan jagat raya
34
bahwa manusia senantiasa berbuat pertikaian dan kerusakan bagi dirinya. Dongeng ini menjadi lambang bahwa manusia yang diberi
akal dan nafsu oleh Tuhan menjadi pilar pertikaian itu hadir di muka bumi hingga saat ini.
Pengarang dengan tegas menuturkan kritiknya dalam segmen cerita di novel ini dengan menerjemahkan bahwa dari pertikaian itu dapat ditelusuri bahwa Putri
Cina itu adalah sama tapi lain dengan mereka.
34
Dalam agama Islam peristiwa ini dikenal ketika para malaikat protes kepada Allah akan kekhawatirannya terhadap rencana Allah yang akan menciptakan manusia. Dalam Kitab Suci Al-
Quran dijelaskan yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhan berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”, mereka berkata:
“Mengapa engkau hendak menjadikan Khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mengucikan Engkau?” Tuhan Berfirman: “Sesungguhnya Akumengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” QS. Al-Baqarah: 30.
“Karena Paduka dan kaum Paduka lain dengan mereka tapi sama dengan mereka,” jawab Sabdopalon-Nayagenggong.
“Karena diriku yang tidak jelas ini? Cina bukan, Jawa bukan. Ya Jawa, ya Cina. Karena itukah maka aku lain tapi sama dengan mereka?” tegas Putri
Cina. “Benar, Paduka. Pegitulah adanya,” jawab Sabdopalon-Nayagenggong.
“Itukah suratan takdirku?” tanya Putri Cina lagi. “Benar, Paduka. Ketika keadaan damai, paduka adalah manusia seperti
mereka karena sama dengan mereka. Tapi ketika keadaan pecah dalam pertikaian, Paduka bukanlah manusia karena Paduka tidak sama dengan
mereka,” tegas Sabdopalon-Nayagenggong.Sindhunata, 2007: 71
Kritik tajam ini merupakan suatu kesadaran status sosial orang keturunan Cina di Tanah Jawa yang hingga saat ini masih berada pada posisi yang tidak jelas
dan menjadi bom waktu ketika pertikaian terjadi mereka akan dimusnahkan kembali seperti saat-saat sebelumnya mereka menjadi kambing hitam dari
pertikaian yang kejam. Kritik tersebut dikisahkan dalam novel tersebut karena dari sudut oandang psikologis pengarang, bahwa pengarang merupakan orang
keturunan Cina yang lahir dan besar di Tanah Jawa.