Totalitas Seorang Penulis Tentang Penulis Novel Putri Cina

setelah membaca draft Kambing Hitam. Hari Budiono memang konsultan artistik untuk buku-buku Sindhunata.

C. Sinopsis Novel Putri Cina

Kita datang ke dunia ini sebagai saudara, Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah, Yang ternyata hanya memisahkan kita Putri Cina merasa risau dengan keadaan dirinya sendiri. Dia hidup di tanah Jawa namun secara fisik dia berbeda. Dia memang keturunan Cina, namun di kalangan orang Cina sendiri, dia tidaklah termasuk Cina karena tidak besar dan lahir di Cina. Dia bahkan tidak bisa berbahasa Cina. Namun, dia kemudian mengingat kisah, tentang keberadaan dirinya. Menurut dongeng Jawa, dia adalah istri Prabu Brawijaya kelima. Ketika Prabu Brawijaya jalan di kampung, dia melihat ada janda, kemudian menidurinya. Janda itu melahirkan seorang anak bernama Jaka Prabangkara. Dia pandai melukis, maka disuruhlah untuk melukis Putri Cempa. Setelah lukisan jadi, ternyata ada noda hitam di sekitar kemaluan Putri Cempa. Brawijaya menuduh kalau anaknya itu sudah pernah bersetubuh dengan permasurinya sehingga tahu benar letak noda tersebut. Akhirnya, Jaka Prabangkara diusir, dengan menerbangkan layang-layang raksasa, lantas dia terdampar di Cina dan ditemukan oleh pasangan yang tak punya anak. Maka, Jaka Prabangkara diangkatnya menjadi anak, dia menjadi terkenal, karena pandai melukis. Kemasyuran Jaka Prabangkara sampai ke Kaisar Cina, dia diangkat menjadi cucu kemudian dinikahkan dengan cucu Kaisar Cina sekaligus putri orang tua angkatnya. Putri Cina yang merupakan putri Kaisar Cina kemudian dinikahkan dengan Raja Majapahit, namun kemudian bercerai. Oleh Raja Majapahit, Putri Cina diberikan kepada putranya, Arya Damar yang memerintah di Palembang. Saat diceraikan usia dalam kandungan Putri Cina berumur 7 bulan. Tak berapa lama di Palembang Putri Cina melahirkan putra yang dinamakan Raden Patah. Dia juga melahirkan satu orang putra lagi bernama Raden Kusen. Arya Damar ingin Raden Patah menggantikannya menjadi raja, namun Raden Patah menolak. Dia kemudian pergi diam-diam. Hal ini diikuti oleh adiknya Raden Kusen. Sesampainya di Jawa, mereka berdua bertemu dengan Sunan Ngampel dan berguru kepadanya. Setelah lama di sana, Raden Kusen mengingatkan pada Raden Patah, bahwa tujuan mereka ke Jawa adalah untuk menemui Prabu Brawijaya. Namun Raden Patah berniat untuk menetap, sedangkan Raden Kusen melanjutkan perjalanan dan oleh Brawijaya diangkat menjadi Adipati Terung. Suatu ketika, Raden Patah berniat mendirikan sebuah padepokan, maka oleh Sunan Ngampel dia ditunjukkan sebuah tempat bernama Bintara. Semakin lama Bintara semakin masyhur, kemasyhuran ini sampai ke Majapahit. Dia diminta untuk menemui Brawijaya. Raja Brawijaya sangat senang. Dia bahkan menghadiahi pasukan dan mengakui kekuasaan Bintara. Tak lama setelah itu, karena keinginan menyebarkan agama, maka Raden Patah berhasil menaklukan Majapahit, yang merupakan kerajaan milik ayahnya sendiri. Keruntuhan Majapahit disambut senang hati oleh Putri Cina, karena dia pernah terluka oleh sikap Prabu Brawijaya. Namun, dia juga merasa sedih karena anaknya sendirilah yang melakukan kudeta. Mengetahui anaknya menjadi raja di Puau Jawa, maka dia bertekad untuk menyusul. Namun, begitu sampai di Majapahit, dia mendapati bahwa kerajaan itu sudah tak berpenghuni lagi, tinggal sejarah. Di situlah dia bertemu dengan Loro Cemplon, pelayannya dulu. Dari Cemplon dia mendengar kabar bahwa Sabdopalon Nayagenggong, abdinya yang paling setia sudah tidak berada di Majapahit. Dia sudah ke Banyuwangi untuk murca. Di Banyuwangilah, kemudian dia bertemu dengan abdinya tersebut. Sabdopalon Nayagenggong, kemudian menceritakan, bahwa pertumpaahan di Tanah Jawa sebenarnya tumbal sejak lama, bahkan sejak para dewa belum diturunkan. Hal ini diawali ketika Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya berebut kekuasaan. Sang Hyang Tunggal marah kemudian menegur mereka. Ismaya menjadi Semar dan Antaga menjadi Togog. Sabdopalon Nyaagenggong sendiri merasa bersalah atas pertikaian yang terjadi antara Brawijaya dengan Patah, maka dari itu dia ingin murca. Dia juga mengaku sebagai Semar. Untuk itulah, dia mengatakan, dia perlu bertanggungjawab atas semua ini. Setelah Sabdopalon Nayagenggong murca, Putri Cina melanjutkan perjalanan ke Tuban. Di sanalah dia berpisah dengan Cemplon. Dalam perjalanannya Putri Cina merasa senang bahwasannya dia melihat kaumnya serba berkecukupan. Namun, kemudian dia khawatir, karena sekarang kaumnya sangat mementingkan harta yang notabene akan menjadi bumerang untuk diri mereka sendiri. Dalam babak baru, Putri Cina melihat adanya kerajaan baru dinamakan Medang Kamulan. Dulu kerajaan ini tercipta karena Ajisaka dapat mengalahkan Dewata Cengkar yang lalim. Awalnya Negeri Medang Kamulan Baru, yang dipimpin oleh Prabu Murhardo sangat aman tentram, dan sejahtera. Rakyat sangat mencintai raja mereka. Namun, lambat laun, raja menunjukkan gelagat yang buruk. Dia mulai dikuasai oleh nafsu mempertahankan kekuasaan. Dia juga mulai memerintah dengan penuh kekerasan, bahkan terhadap rakyatnya sendiri. Tersiar kabar bahwa dalam menjalankan kepemimpinan, dia dibantu oleh kekuatan gaib. Dia memiliki keris bernama Kyai Pesat Nyawa, sebuah pusaka yang haus akan pertumpahan darah. Dia mempercayakan keris itu pada senapatinya bernama Gurdo Paksi. Dalam menjalankan pemerintahan dia dikelilingi anak buah yang penjilat dan licik, sebut saja patihnya sendiri bernama Patih Wrehonegoro dan juga Lurah Prajurit Tumenggung, Joyo Sumengah. Prabu Amurco Sabdo semenjak lalim Prabu Murhardo diganti namanya oleh rakyat sebenarnya tahu kalau ada persaingan antarbawahannya, namun dia memilih membiarkan. Mengetahui hal ini, Putri Cina merasa khawatir, karena setiap kali terjadi kerusuhan maka bangsanya selalu menjadi korban. Memang benar, di awal para penguasa nampak mendukung golongan Cina, karena orang Cina dinilai menguntungkan secara materi. Namun, ketika situasi tidak terkendali, maka penguasa akan mengorbankan orang Cina, dan melakukan provokasi, bahwa Cina adalah orang-orang yang rakus, serta pelit tidak peduli dengan masyarakat pribumi. Taktik ini pula yang kemudian dijalankan oleh Prabu Amurco Sabdo, ketika patihnya Gurdo Paksi tidak mau menjalankan perintah untuk mengkambinghitamkan orang Cina. Karena istri Gurdo Paksi sendiri orang China, bernama Giok Tien. Giok Tien masa mudanya dikenal sebagai seorang pemain Ketoprak yang termasyhur. Banyak orang berusaha untuk mendekati dia, tak terkecuali Tumenggung Joyo Sumengah. Namun ternyata, Giok Tien lebih memilih Gurdo Paksi sebagai pendamping hidupnya. Kisah persaingan inilah yang kemudian menyulut dendam Joyo Sumengah hingga ajal. Karena Gurdo Paksi tak ingin lagi ada kekerasan, maka dia menyerahkan pusaka Pesat Nyawa kepada Prabu Amurco Sabdo. Dia memilih untuk mengendalikan suasana dengan damai. Namun, pihak Joyo Sumengah secara diam-diam memperkeruh masyarakat dan terus membuat provokasi, agar seluruh orang Cina disingkirkan. Joyo Sumengah juga secara diam-diam membunuh kedua kakak Giok Tien menggunakan keris Pesat Nyawa. Dia kemudian berhasil membujuk Giok Tien untuk ikut ke istana, dengan alasan Gurdo Paksi sudah tidak bisa mengendalikan suasana. Ternyata, sampai di istana, Joyo Sumengah hanya ingin memperkosa Giok Tien. Untunglah, Prabu Amurca Sabdo mengetahui hal ini, sehingga dia dapat menyelamatkan Giok Tien. Namun sesampainya di kamar, Prabu Amurco Sabdo merasa terangsang, sehingga dia pun memaksa Giok Tien untuk bersetubuh. Giok Tien tidak dapat melawan. Persetubuhan ini secara diam-diam disaksikan oleh Tumenggung Joyo Sumengah, bahkan kemudian karena diancam oleh Joyo Sumengah, Prabu Amurco Sabdo mempersilahkan Joyo Sumengah untuk menyetubuhi Giok Tien. Sementara itu, di tempat lain Gurdo Paksi yang mati-matian meredam susana tak berhasil, banyak sekali orang China yang menjadi korban. Dia menjadi orang yang pertama kali disalahkan atas segala kerusuhan ini, terutama oleh masyarakat. Masyarakat meminta dia untuk turun, dan tak lagi memegang jabatan sebagai orang yang menjaga keamanan. Bahkan dia baru tahu kalau kakak iparnya telah dibunuh orang, dengan keris Pesat Nyawa menancap di tubuhnya. Maka, masyarakat langsung menuduh Gurdo Paksi sebagai seorang pembunuh, karena