30
Festival, dan sejenisnya merupakan ajang tahunan yang rutin di selenggarakan di Indonesia. Film-film yang disajikan dalam berbagai
ajang festival tadi telah berperan sebagai duta besar kebudayaan mereka sendiri, untuk diperkenalkan kepada masyarakat yang memiliki budaya
yang tentunya berbeda dengan dari mana film tersebut berasal. Begitu pula dengan audiensnya, mereka dengan sadar datang
menonton film salah satunya untuk mengenal budaya pihak lainnya. Mereka menonton film Iran karena ingin tahu bagaimana kehidupan sosial
budaya masyarakat Iran dan berbagai dinamikanya. Belum lagi film Ceko, Hongaria, Cile, Korea Utara, dan sebagainya.
Sangat disanyangkan unsur-unsur dan nilai budaya sering luput dalam sajian film nasional belakangan ini. Pembuat film merasa tidak bisa
atau lebih tepatnya tidak merasa perlu untuk menyajikan nilai budaya sebagaimana yang tersajikan melalui media film. Bijaksana bila film
dipahami sebagai representasi budaya. Film digunakan sebagai cerminan untuk mengaca atau untuk melihat bagaimana budaya bekerja atau hidup
di dalam suatu masyarakat. Ketika kita melihat film Ali Topan maka pada dasarnya kita sedang
melihat cerminan dari budaya remaja yang terjadi pada era di mana Ali Topan itu hidup. Dan ketika kita menonton film Ada Apa Dengan Cinta
maka kita juga sedang melihat representasi budaya remaja era Dian Sastro dan Nicolas Saputra
. Rudy Soedjarwo saat menggarap ―Mengejar Matahari” menyatakan bahwa terlalu sayang kalau film yang sangat
31
ampuh dalam mempengaruhi seseorang itu hanya untuk kepentingan komersial belaka.
c. Film sebagai Sarana Pembelajaran
Film Indonesia kian hari kian kehilangan kepercayaan diri. Seakan menihilkan keberhasilan Laskar Pelangi, Gie, atau Ada Apa dengan Cinta.
Publik pencinta gambar hidup di tanah air secara bertubi-tubi dijejalkan puluhan film yang mengeksploitasi tubuh dan sensualitas.
Reaksi masyarakat terhadap film-film semacam itu memang tidak selalu tunggal seperti layaknya tabiat film itu sendiri, yang menghendaki
munculnya multitafsir. Sebagian orang masih menikmati sebagai tontonan, yakni hiburan di kala senggang demi melenyapkan kejenuhan. Banyak
pula yang melontarkan caci-maki serta argumen yang masuk akal. Bahkan, ada juga kaum yang sudah kadung antipati tanpa pernah menonton. Perlu
diketahui bahwa sebagian besar dari penikmat film yang memilih film bergenre semi-pornografi tersebut bisa jadi karena tidak ada alternatif film
lain. Syamsul Lussa memaparkan komentar yang menyayangkan
kemunculan film-film berlatar semi-pornografi. Sayang kalau menonton film tanpa pesan moral, kata Direktur Perfilman pada Direktorat Nilai
Budaya Seni dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Joko Anwar, sutradara muda berpengaruh Indonesia, segendang sepenarian
dengan sang Direktur Perfilman. Menurutnya, salah satu keunggulan film adalah ia bisa jadi, sarana pendidikan murah bagi masyarakat. Film yang
32
dibuat, dikemas, dan dikelola dengan baik akan memancing kesadaran masyarakat akan suatu wacana.
Nilai Pendidikan, nilai pendidikan dalam sebuah film bermakna semacam pesan-pesan, atau katakannlah moral film, yang semakin halus
penggarapannya akan semakin baik. Dengan demikian penonton tidak merasa digurui. Hampir semua film mengajari, atau memberitahu kita
tentang sesuatu. Umpamanya seseorang dapat belajar bagaimana bergaul dengan orang lain, bertingkah laku, lewat film-film yang disaksikan.
Film Hollywood pun kebanyakan berisi hiburan. Kaum terpelajar dapat menikmatinya, lalu orang awam dapat mencernanya. Dengan resep
pengolahan seperti itu, film-film Hollywood memenuhi selera publik di seluruh dunia.
Akan tetapi, jangan dilupakan banyak hiburan yang sekadar membuat orang senang, seperti tertawa, tegang, dan bergairah dalam
menikmati sensasi gambar, selama satu-dua jam di gedung bioskop. Ada pula hiburan yang lebih dalam yang tertuju pada pikiran maupun emosi.
Film dengan hiburan seperti memberikan semacam renungan kepada penonton untuk dibawa pulang ke rumah.
21
Levie Lents dalam Azhar Arsyad mengemukakan empat fungsi media pembelajaran, khususnya media visual, yaitu fungsi atensi, fungsi
afektif, fungsi kognitif, dan fungsi kompensatoris.
22
21
Marselli Sumarno, Dasar-dasar Apresiasi Film, jakarta, Gramedia, 1996, h. 96-98.
22
Prof. Dr. Azhar Arsyad. MA, Media Pembelajaran, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2011, h. 16-17.
33
1 Fungsi Atensi
Media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang
berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran. Media gambar atau animasi yang diproyeksikan
melalui LCD Liquid Crystal Display dapat memfokuskan dan mengarahkan perhatian mereka kepada pelajaran yang akan mereka
terima. Hal ini berpengaruh terhadap penguasaan materi pelajaran yang lebih baik oleh siswa.
2 Fungsi Afektif
Fungsi afeksi media visual dapat terlihat dari tingkat keterlibatan emosi dan sikap siswa pada saat menyimak tayangan materi pelajaran
yang disertai dengan visualisasi. Misalnya, tayangan video gambar simulasi kegiatan pengelolaan arsip, video penggunaan mesin-mesin
kantor, dan sejenisnya. 3
Fungsi kognitif Fungsi kognitif media visual terlihat dari kajian-kajian ilmiah yang
mengemukakan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau
pesan yang terkandung dalam gambar. 4
Fungsi kompensatoris Fungsi kompensatoris dari media pembelajaran dapat dilihat dari hasil
penelitian bahwa media visual membantu pemahaman dan ingatan isi materi bagi siswa yang lemah dalam membaca.