Fungsi Film Manfaat Film

26 Kutangkap, Ramadan dan Ramona, dan Arifin C. Noer Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa, Taksi. 14 Dalam suatu kesempatan, Usmar berdialog dengan Presiden Soekarno dan meminta pendapat tentang gaya propaganda film yang sesuai dengan revolusi Indonesia, apakah gaya Russia yang kurang menghibur namun padat dengan misi ataukah Hollywood yang punya pesan yang longgar tapi sangat diminati, dan propagandanya masuk secara halus. Bung Karno saat itu bilang: Ambil jalan tengah, yaitu menghibur tapi kaya akan pesan, seperti neo-realisme Italia. Intinya, apa pun genre atau alirannya, film bisa menjadi kritik sosial. 15 Belakangan ini ada beberapa film dalam negeri yang memiliki muatan kritik sosial, namun jumlahnya tidaklah banyak. Sebut saja film Marsinahkarya Slamet Rahardjo, Catatan Akhir Sekolah karya Hanung Bramantyo atau Virgin karya Hanny Saputra mereka mencoba memberikan semacam komentar terhadap kenyataan yang mereka lihat. Film-film ini memang memiliki kekuatan kritik sosial, meskipun yang dilakukan hanya pada level melihat kenyataan sebagai sesuatu yang tidak ideal dan masih terbatas menjadi semacam komentar sosial, social commentary belum mencapai tingkat kritik yang tajam dan langsung. Gie karya Riri Riza muncul sebagai sesuatu yang penting. Pembuat film ini dengan sadar menggunakan kisah hidup seorang intelektual seperti 14 Benarkah film Indonesia langka dengan kritik sosial, diperoleh dari http:iechaeruvanoel.multiply.comjournalitem11Benarkah-Film-Indonesia-Langka-Akan- Kritik-Sosial, diakses pada 27 september 2012. 15 Ibid. 27 Soe Hok Gie untuk berbicara tentang kondisi bangsa saat ini. Film seakan mengingatkan bahwa masih banyak agenda bangsa yang belum selesai dan masih dibutuhkan kaum intelektual yang setia pada pikiran lurus. Dengan tegas film ini memposisikan diri dalam konteks kepolitikan tahun 1960-an serta refleksinya pada kehidupan Indonesia kontemporer. Film ini berhasil menjawab kegelisahan mengenai keberadaan karya film yang seharusnya bicara kritis tentang kondisi bangsa. 16 Film ini sudah berhasil membuka banyak tabu. Selain kritik yang tegas di ujung film terhadap kondisi politik kontemporer, film ini juga bisa jadi membuka wacana tentang pergulatan politik tahun 1965 serta peran PKI di dalamnya. Selama ini hal terakhir ini dibicarakan masih dengan bisik-bisik dan penuh prasangka. Di sinilah menurut saya film seharusnya bisa menghadirkan wacana yang lebih terbuka dan bebas dari prasangka. 17 Kekuatan film-film ini serasa memudar karena film-film yang lahir setelahnya sangat tidak berbobot dan lebih mengarah kepada semi- pornography. Seperti film Hantu Puncak Datang Bulan, Pelukan Janda Hantu Gerondong, Suster Keramas 2, dan Pocong Mandi Goyang Pinggul. Hal ini ironis mengingat kondisi politik yang kini relatif bebas untuk berekspresi. Para pembuat film bagai tak menyambut kondisi ini dengan memberi sumbangan yang lebih signifikan untuk kehidupan masyarakat yang lebih luas. Kebanyakan film lebih berorientasi mengejar 16 Harian Kompas, Minggu 17 Juli 2005, oleh Eric sasono 17 Ibid. 28 keuntungan dan mengambil jalan mudah dalam mengungkapkan tema dan mencari cara tutur yang baru. Salah satu fungsi film adalah sebagai kritik sosial. James Monaco dalam How to Read a Film menyatakan bahwa film bisa dilihat dalam tiga kategori. Sebagai Cinema dilihat dari segi estetika dan sinematografi, Film hubungannya dengan hal di luar film, seperti sosial dan politik, dan Movies sebagai barang dagangan. Saya kira, film sebagai ―Film‖ adalah fungsi kritik sosial, sementara kita masih sering menduelkan antara Cinema art film dengan Movies film komersil. Padahal ketiganya bisa saja bersatu di dalam satu film. Bahkan, film yang paling menghibur sekali pun, seperti film-film laris dari Hollywood, punya pesan-pesan kuat bahkan pengaruhnya lebih kuat dari film-film propaganda Russia seperti yang pernah ditulis Usmar Ismail. 18

b. Film Sebagai Produk Budaya

Melalui film sebenarnya kita banyak belajar tentang budaya. Baik itu budaya masyarakat di mana kita hidup di dalamnya, atau bahkan budaya yang sama sekali asing buat kita. Dan kita menjadi mengetahui bahwa budaya masyarakat A begini dan budaya masyarakat B begitu, terutama melalui film. Film dalam negeri telah hanyut dengan adopsi budaya asing, baik dari cara bicara, tingkah dan tata cara busana, sehingga tidak sedikit film 18 Benarkah film Indonesia langka dengan kritik sosial, diperoleh dari http:iechaeruvanoel.multiply.comjournalitem11Benarkah-Film-Indonesia-Langka-Akan- Kritik-Sosial, diakses pada 27 september 2012. 29 dalam negeri yang dikatakan sebagai film asal jadi dan asal laris karena tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia. 19 Oleh karena asuhan budaya ini, setiap individu akan mengalami transformasi pemahaman atau penafsiran khas budaya yang nanti dianggap paling normal, ketika ia menghadapi suatu realitas budayanya. Tidak ada jawaban yang mutlak ketika kita berinteraksi dengan budaya lain, meskipun terkadang kita merasa bahwa cara budaya kita adalah yang paling alami. Hal itu menjadi kegagalan komunikasi, karena sering menimbulkan kesalafahaman, kerugian bahkan malapetaka. Resiko tersebut tidak hanya pada tingkat individu, tetapi juga pada tingkat lembaga, komunitas dan bahkan negara. Peran budaya sangat besar dalam kehidupan kita. Apa yang kita bicarakan, bagaimana membicarakannya, apa yang kita lihat, perhatikan, atau abaikan, bagaimana kita berpikir, dan apa yang kita pikirkan, dipengaruhi oleh budaya kita. Seperti dikatakan Goodman, manusia telah berkembang hingga ke titik yang memungkinkan, budaya menggantikan naluri dalam menentukan setiap pikiran dan tindakan kita. Termasuk cara kita berkomunikasi adalah hasil dari apa yang diajarkan dalam budaya kita. 20 Film dilihat sebagai media sosialisasi dan media publikasi budaya memiliki kekuatan yang ampuh dan persuasif. Buktinya adalah dalam ajang-ajang festival film semacam Jiffest Jakarta International Film 19 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004, h. 1. 20 Ibid., h. 16. 30 Festival, dan sejenisnya merupakan ajang tahunan yang rutin di selenggarakan di Indonesia. Film-film yang disajikan dalam berbagai ajang festival tadi telah berperan sebagai duta besar kebudayaan mereka sendiri, untuk diperkenalkan kepada masyarakat yang memiliki budaya yang tentunya berbeda dengan dari mana film tersebut berasal. Begitu pula dengan audiensnya, mereka dengan sadar datang menonton film salah satunya untuk mengenal budaya pihak lainnya. Mereka menonton film Iran karena ingin tahu bagaimana kehidupan sosial budaya masyarakat Iran dan berbagai dinamikanya. Belum lagi film Ceko, Hongaria, Cile, Korea Utara, dan sebagainya. Sangat disanyangkan unsur-unsur dan nilai budaya sering luput dalam sajian film nasional belakangan ini. Pembuat film merasa tidak bisa atau lebih tepatnya tidak merasa perlu untuk menyajikan nilai budaya sebagaimana yang tersajikan melalui media film. Bijaksana bila film dipahami sebagai representasi budaya. Film digunakan sebagai cerminan untuk mengaca atau untuk melihat bagaimana budaya bekerja atau hidup di dalam suatu masyarakat. Ketika kita melihat film Ali Topan maka pada dasarnya kita sedang melihat cerminan dari budaya remaja yang terjadi pada era di mana Ali Topan itu hidup. Dan ketika kita menonton film Ada Apa Dengan Cinta maka kita juga sedang melihat representasi budaya remaja era Dian Sastro dan Nicolas Saputra . Rudy Soedjarwo saat menggarap ―Mengejar Matahari” menyatakan bahwa terlalu sayang kalau film yang sangat