radio dapat ditangkap denga jelas dan jernih. Fisikal erat kaitanya dengan tingkat kesehatan fisik dan kemampuan pendengaran khalayak.
c Jurnalistik media elektronik audiovisual
Jurnalistik ini merupakan gabungan dari segi verbal, visual, teknologikal, dan dimensi dramatikal. Dramatikal berarti bersinggungan dengan aspek
serta nilai dramatic yang dihasilkan oleh rangkaian gambar yang dihasilkan oleh rangkaian gambar yang dihasilkan secara simultan. Aspek
dramatic televisi inilah yang tidak dipunyai media massa radio dan surat kabar.
II.3. Paradigma Konstruktivisme
Pemahaman atas komunikasi manusia, merupakan masalah paradigma yang dipakai untuk memahaminya. Cara pandang yang dipakai dalam memandang atau
mengamati kenyataan akan menentukan pengetahuan yang kita peroleh. Konsekuensi dari penggunaan paradigma adalah kearifan untuk menyakan bahwa
apa yang kita ketahui bukanlah kebenaran mutlak, melainkan pemahaman yang diciptakan oleh manusia. Konsekuensi lain adalah bahwa kita sebenarnya tidak
menemukan realitas, melainkan menciptakan realitas. Cara pandang ini juga terjadi pada riset-riset penelitian.
Paradigma pada wilayah riset penelitian sebenarnya merupakan seperangkat konstruksi cara pandang dalam menetapkan nilai-nilai dan tujuan penelitian.
Meskipun tidak bisa disetarakan dengan seperangkat teori semata, paradigma memberikan arah tentang bagaimana pengetahuan harus didapat dan teori-teori
Universitas Sumatera Utara
apa yang seharusnya digunakan dalam sebuah penelitian. Paradigma bisa juga berarti sebuah ideologi berpikir dan sekaligus praktik sekelompok komunitas
orang yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, mereka memiliki seperangkat aturan dan kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian dan
sekaligus menggunakan metode yang serupa Narwaya, 2006: 108. Cara pandang atau paradigma ini menurunkan sejumlah teori komunikasi.
Usaha mengidentifikasikan teori-teori dan pendekatan-pendekatan ke sejumlah paradigma sejauh ini telah menghasilkan pengelompokan yang bervariasi seperti
Kinloch 1977, contohnya, mengkategorikan sekurangnya ada enam paradigma atau perspektif teoritis organic paradigm, conflict paradigm, social behaviorism,
structure functionalism, modern conflict theory, dan social-psychological paradigm. Crotty 1994 mengetengahkan pengelompokan yang mencakup:
positivism interpretivism, critical inquiry, feminism, dan postmodernism. Burrel dan Morgan, mengelompokkan teori-teori dan pendekatan-pendekatan dalam ilmu
sosial ke empat paradigma: radical humanist paradigm, radical structuralist paradigm, interpretive paradigm, dan functionalist paradigm. Guba dan Lincoln
1994 mengajukan tipologi yang mencakup empat paradigma: positivism, postpositivism, critical theories dan constructivism. Hidayat dalam Jurnal
Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis Volume III No. 3 September-Desember 2004: x.
Guba dan Lincoln 1994 mengemukakan bahwa setiap paradigma membawa implikasi metodologi masing-masing. Oleh karena itu, untuk
mempermudah pembahasan tentang implikasi metodologi suatu paradigma, tulisan ini mendasarkan diri atas pengelompokan tiga paradigma, yakni Hidayat,
Universitas Sumatera Utara
dalam Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis Volume III No. 3 September- Desember 2004: x-xvi:
1. classical paradigm yang mencakup positivism dan postpositivism,
2. critical paradigm, dan
3. constructivism paradigm
Terlepas dari variasi pemetaan, pada intinya setiap paradigma dapat dibedakan dari paradigma lainnya berdasarkan sejumlah hal mendasar.
Perbandingan mengenai paradigma tersebut dapat dilihat berdasar ruang lingkup paradigma itu sendiri baik secara ontolgi, epistemology, dan metodologis.
Tabel 1. Perbandingan Ontologi, Epistemologi, Metodologi Positivisme
Post-Positvisme Kritis
Konstruktivisme Ontologi
Asumsi tentang “realitas”
Realisme naïf: semesta
adalah nyata dan dapat
diketahui apa adanya.
Realisme kritis: semesta luar
bersifat nyata akan tetapi tidak
pernah seluruhnya
diketahui secara sempurna, ada
banyak kemungkinan
yang dapat diketahui.
Realisme kritis: semesta
hidup atau virtual yang
dikonstruksi secara sosial,
politik, budaya,
ekonomi, etnik, dan
gender. Relativisme.
Semesta yang diketahuiitu spesifik,
local yang dikonstruksi oleh
paradigma tertentu, oleh kerangka
konseptual tertentu atau perspektif
tertentu.
Epistemologi Asumsi tentang
hubungan antara peneliti
dan yang diteliti Bersifat
dualis, objektivis
Objektivisme yang dimodifikasi, yaitu
objektivitas sebagai buah dari
keinginan untuk mengontrol, teori
yang bersifat tentative dan
probabilitas. Bersifat
transaksional, dialogis,
temuan- temuan ilmiah
dimuati nilai dan
kepentingan. Bersifat
transaksional, dialogis, teori
konstruksi sebagai hasil investigasi dan
proses sosial khususnya ilmu
pengetahuan sosial budaya
Universitas Sumatera Utara
Metodologis Asumsi
metodologis tentang
bagaimana peneliti
memperoleh pengetahuan
Eksperimental manipulatif,
pembuktian atas hipotesis
kuantitatif. Eksperimental
yang dimodifikasi dan terbuka
secara kritis pada keanekaragaman
dan latar penelitian yang
lebih alami. Dialogis,
transformatif guna
mengatasi kesadaran
palsu. Hermeneutik dan
dialektis, ilmu hasil kosntruksi atau
interaksi peneliti terhadap objek yang
diteliti.
Sumber : Ardianto, Elvinaro. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya
Konstruktivisme mengatakan bahwa kita tidak akan pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang kita mengerti adalah struktur
konstruksi kita akan suatu objek. Konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boleh
juga dikatakan bahwa “realitas” bagi konstruktivisme tidak pernah ada secara terpisah dari pengamat. Yang diketahui bukan suatu realitas “di sana” yang berdiri
sendiri, melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh yang menangkapnya. Menurut Shapiro, ada banyak bentuk kenyataan dan masing-masing terbentuk pada
kerangka dan interaksi pengamat dengan objek yang diamati.Ardianto,2007:80 Pandangan konstruktivisme menolak pandangan positivism yang
memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif
belaka dan dipisahkan dari subyek sebagai penyampai pesan. Positivism meyakini bahwa pengetahuan harus merupakan representasi gambaran atau ungkapan dari
kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat objektivisme. Pengetahuan dianggap sebagai kumpulan fakta. Konstruktivisme menegaskan bahwa
pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti.
Universitas Sumatera Utara
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi bentukan kita sendiri Ardianto,2007:154.
Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus
mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka.
Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme: pertama, kosntrukstivisme radikal; kedua, realism hipotetis; ketiga, konstruktivisme biasa suparno,1997;25.
Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk ini tidak selalu representasi dunia maya. Kaum konstruktivisme
radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksikan suatu
realitas ontologism obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.
Dalam kaitannya dengan ilmu komunikasi, teori konstruktivis atau konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang
dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan-rekan sejawatnya.
Dalam buku Adrianto, Robyn Penmann merangkum kaitan konstruktivisme dalam hubungannya dengan ilmu komunikasi :
1. Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek
yang memiliki pilihan bebas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dan telah dilakukan. Jadi tindakan komunikatif dianggap
sebagai tindakan sukarela, berdasarkan pilihan subjeknya.
Universitas Sumatera Utara
2. Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang
objektif sebagaimana diyakini positivisme, melainkan diturunkan dari interaksi dalam kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam
bahasa, melalui bahasa itulah konstruksi realitas tercipta. 3.
Pengetahuan bersifat kontekstual, maksudnya pengetahuan merupakan produk yang dipengaruhi ruang waktu dan akan dapat berubah sesuai
dengan pergeseran waktu; 4.
Teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara pandang yang ikut memengaruhi pada cara pandang kita terhadap realitas
atau dalam batas tertentu teori menciptakan dunia. Dunia di sini bukanlah “Segala sesuatu yang ada” melainkan “segala sesuatu yang menjadi
lingkungan hidup dan penghayatan hidup manusia”, jadi dunia dapat dikatakan sebagai hasil pemahaman manusia atas kenyataan di luar
dirinya; 5.
Pengetahuan bersifat sarat nilai. Lebih jauh lagi, Penmann kemudian merumuskan empat kualitas
komunikasi. Baginya komunikasi harus bersifat konstitutif menciptakan dunia, kontekstual sesuai dan tergantung ruang dan waktu, beragam
muncul dalam bentuk yang berbeda-beda, tidak tunggal, dan tidak lengkap selalu dalam proses, terus berubah.
Istilah konstruktivisme atau konstruksi atas realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang
berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of
Universitas Sumatera Utara
Knowledge tahun 1966. Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui tiga proses sosial, yaitu eksternalisasi, objektivasi dan
internalisasi Bungin, 2008: 193. Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang
dinilai relevan oleh pelaku sosial. Proses konstruksi realitas yang dilakukan oleh media merupakan usaha “menceritakan” konseptualisasi sebuah persitiwa atau
keadaan. Realitas tersebut tidak serta merta melahirkan berita, melainkan melalui proses interaksi antara penulis berita atau wartawan dengan fakta. Menurut
Bungin 2008: 196, ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial, yaitu:
a. Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana diketahui,
saat ini hampir tidak ada lagi media massa yang tidak dimiliki kapitalis. Dalam arti media massa digunakan oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk
menjadikan media massa sebagai mesin penciptaan uang dan pelipatgandaan modal. Semua elemen media massa, termasuk orang-orang
media massa berpikir untuk melayani kapitalisnya, ideologi mereka adalah membuat media massa yang laku di masyarakat.
b. Keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan ini
adalah dalam bentuk empati, simpati dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah juga untuk “menjual berita”
dan menaikkan rating untuk kepentingan kapitalis. Kasus yang dapat dilihat dari keberpihakan seperti ini adalah umpamanya, pemberitaan
Universitas Sumatera Utara
tsunami yang melanda Aceh, Nias dan sekitarnya dalam kemasan berita “Indonesia Menangis” dan semacamnya yang terus-menerus diekspos
bahkan sampai pada sisi yang telah meninggalkan hak-hak sumber berita. c.
Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada kepentingan umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya adalah visi setiap
media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar.
Secara esensial, pendekatan konstruktivis pada media, wartawan dan berita dapat dirangkum dalam 6 perspektif
Eriyanto, 2003
.
Enam perspektif tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruktivis,
realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir, karena diciptakan dan dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas itu bisa berbeda-
beda, tergantung pada bagaimana ketika realitas itu dipahami oleh wartawan. Pertanyaan utama dalam pandangan konstruktivis adalah fakta
berupa kenyataan itu sendiri bukan sesuatu yang terberi, melainkan ada dalam benak kita, yang melihat fakta tersebut. Kitalah yang memberikan
definisi dan menentukan fakta tersebut sebagai kenyataan. b.
Media adalah agen konstruksi. Dalam pandangan konstruktivis, media dianggap bukanlah sebagai saluran yang bebas, ia juga subjek yang
mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Media dipandang sebagai agen yang mengonstruksi
realitas. Maka, berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan
Universitas Sumatera Utara
realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri.
c. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi atas realitas.
Menurut pandangan konstruktivis, berita merupakan hasil dari konstruksi sosial di mana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari
wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita, sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai tergantung
pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan
cerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena melihatnya dengan cara yang berbeda.
d. Berita bersifat subjektif atas realitas. Berita subjektif lahir dari sisi lain
wartawan. Karena wartawan sendiri melihat dengan perspektif dan berbagai pertimbangan subjektifnya. Penempatan sumber berita yang lebih
ditonjolkan dari sumber lainnya; menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besar dengan tokoh lainnya; liputan yang hanya satu sisi; tidak
berimbang, misalnya. Bagi kaum konstruktivis, hal tersebut bukanlah sebuah kekeliruan atau bias, tetapi dianggap memang itulah praktik yang
dijalankan oleh wartawan.
e.
Wartawan bukanlah pelapor, ia agen konstruksi realitas. Dalam pandangan konstruktivis, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan
keberpihakannya, karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita. Lagipula, berita bukan hanya produk individual,
Universitas Sumatera Utara
melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya.
f.
Etika, pilihan moral dan keberpihakan wartawan adalah bagian integral dalam produksi berita. Aspek etika, moral dan nilai-nilai tertentu tidak
mungkin dihilangkan dalam pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dilihat tanpa pretensi apapun juga.
Etika dan moral dalam banyak hal dapat berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai tertentu -umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu-
adalah bagian integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengonstruksi realitas.
II.4. Ideologi Media