UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum Kabupaten Garut
Kabupaten Garut adalah wilayah yang secara geografis berdekatan dengan Kota Bandung sebagai ibukota provinsi Jawa Barat. Kabupaten Garut memiliki
luas wilayah administratif sebesar 306.519 Ha 3.065,19 km
2
dengan batasan sebelah utara dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, sebelah
timur dengan Kabupaten Tasikmalaya, sebelah selatan dengan Samudera Indonesia dan sebelah barat dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur.
Kabupaten Garut memiliki 42 Kecamatan dengan jumlah penduduk 3.003.004 jiwa pada tahun 2013 Pemerintah Daerah Kabupaten Garut, 2013.
Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, jumlah seluruh Apotek di Kota Garut pada tahun 2014 adalah 139 Apotek. Distribusi Apotek terbesar
berada di Kecamatan Garut Kota sebanyak 41 Apotek, Kecamatan Tarogong Kidul sebanyak 22 Apotek dan Kecamatan Tarogong Kaler sebanyak 8 Apotek.
Data Pemerintah Daerah Kabupaten Garut pada tahun 2013 menunjukkan jumlah penduduk di Kecamatan Tarogong Kaler 93.563 jiwa, jumlah penduduk di
Kecamatan Tarogong Kidul 131.118, dan jumlah penduduk di Kecamatan Garut Kota 170.875 jiwa.
2.2. Perkembangan Profesi Kefarmasian
Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasian dapat
dibagi dalam 4 tahap Ross W. Holland dan Christine M. Nimmo, 1999:
a. Tahap 1 : Tugas utama farmasi adalah memproduksi. Pada tahap ini farmasi muncul sebagai industri rumahan yang melayani masyarakat. Apoteker
membuat obat patennya sendiri dengan resep yang dibuat sendiri, kemudian dijual dari Apotek mereka sendiri. Pasien akan datang ke Apoteker untuk
membeli obat dan meminta bimbingan dalam pemilihan dan penggunaan obat yang akan digunakan. Apotek pada periode ini setara dengan industri farmasi
saat ini dan pada saat itu, farmasi memiliki nilai sosial yang jelas.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Tahap 2 : Pada periode ini muncul farmasi industri manufaktur dan pada saat yang sama pembuatan resep obat oleh Dokter sedang meningkat, sehingga
pekerjaan utama Apoteker berhenti dalam memproduksi obat dan berpindah ke peracikan obat yang telah diproduksi dari industri yang disesuaikan dengan
resep. Pada tahap ini pasien masih datang ke Apotek untuk mendapatkan obat dan bimbingan dalam penggunaan obat. Peran Apoteker masih memiliki nilai
sosial yang jelas. c. Tahap 3 : Pada tahap ini tugas utama Apoteker mengalami penyimpangan.
Banyaknya jumlah produk obat yang semakin meningkat membuat fokus utama peran Apoteker menjadi ke produk obat dan peran pada pasien menjadi
memudar. Hal tersebut juga di dorong oleh adanya Kode Etik Asosiasi Farmasi Amerika American Pharmaceutical AssociationAphA Code of Ethics mulai
tahun 1922-1969 farmasis dilarang untuk mendiskusikan efek terapi atau komposisi resep dengan pasien.
d. Tahap 4 : Akibat perubahan fokus farmasis terhadap produk obat maka muncul berbagai laporan tentang kegagalan terapi, hal ini memicu untuk
farmasis mengisi kembali bidang pelayanan kefarmasian. Sehingga pada tahap keempat, Apoteker kembali berperan dalam pemberian informasi obat, saran
dan konseling pasien.
Gambar 2.1 Tahapan perubahan praktik kefarmasian
Sumber: Ross W. Holland dan Christine M. Nimmo, 1999
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.3. Apoteker