Gambaran Pelaksanaan Konseling di Apotek

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10 20 30 40 50 60 Tahapan Konseling yang dilakukan Apoteker Tahapan Konseling yang dilakukan petugas apotek non apoteker 10.53 21.05 52.63 tahap 1 tahap 2 tahap 3 tahap 4 tahap 5 menunjang peran Apoteker adalah pemasangan papan praktik apoteker dan penggunaan jas praktik selama jam kerja di Apotek Anwar Firdaus, 2014.

5.3.3. Gambaran Pelaksanaan Konseling di Apotek

Pelayanan informasi obat merupakan bagian dari isi pembahasan dalam kegiatan konseling oleh sebab itu Apoteker yang telah memberikan pelayanan informasi obat berarti telah melaksanakan kegiatan konseling begitu juga dengan petugas apotek non apoteker yang telah melaksanakan pelayanan informasi obat. Idealnya, dalam kegiatan konseling ini Apoteker selaku pihak yang wajib menjadi pelaksana pelayanan dituntut untuk berperan aktif untuk memberikan saran, nasihat dan edukasi berkaitan dengan pengobatan pasien agar pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan pasien dapat meningkat. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 dijelaskan tentang kriteria yang diharuskan mendapatkan pelayanan konseling ini, salah satunya adalah pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes melitus. Peneliti yang berperan sebagai keluarga pasien simulasi yang mengalami diabetes melitus berarti seharusnya mendapatkan pelayanan ini sehingga tanpa diminta seharusnya Apoteker secara aktif memberikan pelayanan konseling. Secara ideal kegiatan konseling ini memiliki 5 tahapan dalam kegiatannya. Namun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tahapan konseling tersebut belum dilaksanakan secara keseluruhan oleh Apoteker sedangkan petugas apotek non apoteker tidak melakukan satupun tahapan konseling. Hal tersebut ditunjukkan oleh gambar di bawah ini : Gambar 5.4 GambaranTahapan Konseling yang Dilaksanakan oleh Apoteker dan Non Apoteker UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Keterangan : a. Tahap 1 : membuka komunikasi dengan pasien b. Tahap 2 : menilai pemahaman tentang penggunaan obat c. Tahap 3 : menggali informasi lebih lanjut tentang masalah penggunaan obat d. Tahap 4 : memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan obat e. Tahap 5 : melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien Dari grafik diatas dapat diperoleh gambaran bahwa sebagian Apoteker melaksanakan beberapa tahapan konseling. Hal ini tepat dilakukan karena pelaksanaan pelayanan klinik merupakan tugas dari Apoteker. Sedangkan petugas apotek non apoteker sama sekali tidak melanjutkan pelayanan klinik berupa konseling. Asisten apoteker dalam penelitian ini sebatas menjawab pertanyaan peneliti dan tidak melakukan analisa lebih lanjut terhadap keadaan pasien. Hal ini dianggap wajar karena tugas pelaksanaan konseling ini bukan bagian dari petugas apotek yang lain. Semua Apoteker yang berinteraksi dengan peneliti tidak berperan aktif untuk membuka komunikasi dengan peneliti sebagai pelanggan. Salah satu kegiatan dalam konseling adalah pemberian informasi obat. Peneliti dalam hal ini sebagai pelanggan Apotek lebih aktif dalam menggali informasi obat yang diperlukan kepada Apoteker. Hal ini berarti menggambarkan bahwa bila peneliti sebagai pelanggan Apotek tidak meminta pelayanan informasi obat kepada petugas Apotek baik Apoteker atau petugas apotek non Apoteker, maka peneliti tidak akan mendapatkan pelayanan tersebut. Hasil penggambaran tersebut sesuai dengan hasil penelitian Arhayani 2007 yang dikutip dalam Nur Alam Abdulah 2010 yang menunjukkan bahwa 6,17 pengunjung Apotek yang memperoleh pelayanan informasi, dan 62,7 tidak pernah menerima pelayanan informasi obat di Apotek yang dimana sebagian besar pengunjung Apotek 95 membutuhkan pelayanan tersebut dan baru sebagian kecil yang meminta pelayanan informasi obat. Ketidak idealan pemenuhan pelayanan klinik di Apotek dalam segi pelayanan informasi obat dan konseling ini berarti menggambarkan bahwa pelayanan klinik di Apotek yang berpusat pada pasien patient oriented belum terlaksana di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota. Keadaan ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Rini Sasanti Handayani dkk 2006 yang menyatakan semua Apotek yang disurvei wilayah Jakarta, Yogyakarta dan Makassar belum memprioritaskan pelayanan kefarmasian dengan pendekatan personal kepada pasien masih berorientasi pada obat atau pelayanan dengan pendekatan personal kepada pasien belum dikenal masyarakat. Berdasarkan hasil observasi dan pengamatan, kegiatan konseling di tiap Apotek tidak dilakukan di tempat khusus, melainkan dilakukan di tempat etalase jual beli di Apotek. padahal dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 dinyatakan bahwa setiap Apotek wajib mempunyai ruang khusus konseling yang tertutup yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien. hal ini dilakukan untuk menjaga privasi dari pasien dan menghindarkan dari gangguan yang dapat menurunkan keefektifan kegiatan konseling. Pelayanan klinik berupa pelayanan konseling tidak dijalankan di Apotek bisa dikarenakan kemampuan apoteker dalam segi pengetahuan dan kemampuan berkomunikasi yang masih kurang. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Rini Sasanti Handayani 2006 yang menyatakan pengetahuan Apoteker di Apotek mengenai obat untuk penyakit kronik terbatas hanya meliputi nama obat dan indikasinya saja sedangkan Apoteker yang bekerja di rumah sakit lebih baik pengetahuannya dibidang farmakologifarmakokinetik. Pelayanan konseling yang tidak dijalankan dalam suatu Apotek juga dapat berkaitan dengan kemampuan Apoteker dalam melayani pasien atau pelanggan. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, diperoleh gambaran bahwa setiap Apotek yang pelayanan kliniknya dilakukan oleh Apoteker umumnya hanya bekerja sendiri tanpa adanya Apoteker pendamping. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 dijelaskan bahwa waktu kerja adalah 7 tujuh jam 1 satu hari dan 40 empat puluh jam 1 satu minggu untuk 6 enam hari kerja dalam 1 satu minggu atau 8 delapan jam 1 satu hari dan 40 empat puluh jam 1 satu minggu untuk 5 lima hari kerja dalam 1 satu minggu. Berdasarkan peraturan tersebut maka kemampuan tenaga apoteker dalam bekerja terbatas. Agar pelayanan klinik di Apotek dapat terlaksana baik dalam keadaan ramai ataupun dalam keadaan APA tidak dapat melaksanakan tugasnya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Apotek maka diperlukan Apoteker pendamping agar Apoteker jumlahnya lebih dari satu di setiap Apotek. Pelayanan klinik di Apotek berupa pelayanan informasi obat dan konseling penting dilakukan terutama terhadap penyakit kronis seperti diabetes melitus. Pasien yang diberi konseling akan lebih mengetahui bahaya dari penyakitnya dan mengetahui pentingnya ketepatan dalam penggunaan obat terhadap penyakitnya. Pengetahuan yang lebih dalam dari pasien tentang bahaya penyakitnya dapat meningkatkan kepedulian pasien untuk menjaga pola hidup yang sehat, pola penggunaan obat sesuai dengan ketentuan yang telah diinformasikan apoteker dan kepatuhannya dalam pengobatan dapat meningkat. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Andriani Sesilia Keban, Lutfan Budi Purnoma dan Mustofa 2013 dimana dalam penelitian tersebut dijelaskan pengaruh konseling dari Apoteker terhadap pasien diabetes melitus dapat meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan sehingga gula darah pasien lebih terkontrol. Hal tersebut dibuktikan secara klinis dengan meninjau penurunan AIC terhadap responden yang diberi konseling dibanding dengan responden yang tidak diberi konseling.

5.4. Gambaran Kualitas Pelayanan Klinik Apotek di Kecamatan