UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
di Apotek maka diperlukan Apoteker pendamping agar Apoteker jumlahnya lebih dari satu di setiap Apotek.
Pelayanan klinik di Apotek berupa pelayanan informasi obat dan konseling penting dilakukan terutama terhadap penyakit kronis seperti diabetes melitus.
Pasien yang diberi konseling akan lebih mengetahui bahaya dari penyakitnya dan mengetahui pentingnya ketepatan dalam penggunaan obat terhadap penyakitnya.
Pengetahuan yang lebih dalam dari pasien tentang bahaya penyakitnya dapat meningkatkan kepedulian pasien untuk menjaga pola hidup yang sehat, pola
penggunaan obat sesuai dengan ketentuan yang telah diinformasikan apoteker dan kepatuhannya dalam pengobatan dapat meningkat. Hal tersebut sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Andriani Sesilia Keban, Lutfan Budi Purnoma dan Mustofa 2013 dimana dalam penelitian tersebut dijelaskan pengaruh konseling
dari Apoteker terhadap pasien diabetes melitus dapat meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan sehingga gula darah pasien lebih terkontrol. Hal tersebut
dibuktikan secara klinis dengan meninjau penurunan AIC terhadap responden yang diberi konseling dibanding dengan responden yang tidak diberi konseling.
5.4. Gambaran Kualitas Pelayanan Klinik Apotek di Kecamatan
Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota
Pemberian informasi obat PIO yang diberikan oleh Apoteker kepada
pasien terutama kepada pasien penyakit kronis seperti diabetes melitus sangatlah penting. Hal tersebut berhubungan dengan sifat penyakitnya, sifat penyakit
diabetes melitus ini seumur hidup lifelong disease, resiko komplikasi tinggi dan pembiayaan juga tinggi, dimana hal tersebut telah dinyatakan dalam International
Diabetes Federation 2011. Maka peran Apoteker dalam pemberian informasi obat yang relevan dengan kebutuhan pasien dan berkualitas merupakan hal yang
sangat penting untuk mencegah atau mengatasi komplikasi yang terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat dan pembiayaan yang tinggi tanpa hasil yang
maksimal. Gambaran kualitas pelayanan klinik yang akan dipaparkan dapat
menunjukan perbedaan kualitas pelayanan klinik ditinjau dari pemberi pelayanan. Gambaran tersebut terlihat dari tabel dibawah ini :
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 5.4 Gambaran Pengkategorian Kualitas Pelayanan Klinik Apotek
No Kecamatan
Pemberi Pelayanan Persentase
Kategori 1
Tarogong Kaler Petugas apotek non Apoteker
58,79 Buruk
2 Tarogong Kidul
Petugas apotek non Apoteker 59,18
Buruk Apoteker
63,39 Kurang baik
3 Garut Kota
Petugas apotek non Apoteker 57,14
Buruk Petugas apotek non Apoteker +
Apoteker 59,52
Buruk Apoteker
67,86 Kurang baik
Tabel diatas menunjukkan bahwa persentase kualitas pelayanan klinik berupa PIO di apotek Kecamatan Tarogong Kaler persentase yang diberikan oleh
petugas apotek non Apoteker adalah 58,79 dan hasil tersebut termasuk
kategori buruk. Hasil persentase kualitas pelayanan klinik berupa PIO di apotek wilayah Kecamatan Tarogong Kidul yang diberikan oleh petugas apotek non
Apoteker adalah 59,18 dan hasil tersebut dikategorikan buruk sedangkan
kualitas PIO cenderung meningkat saat diberikan oleh Apoteker yaitu 63,39 dan hasil tersebut dikategorikan kurang baik. Hasil persentase kualitas pelayanan
klinik berupa PIO di Apotek Kecamatan Garut Kota yang diberikan oleh petugas apotek non Apoteker adalah 57,14 dan hasil tersebut dikategorikan buruk,
kualitas PIO cenderung meningkat saat pelayanan PIO dilakukan oleh petugas apotek non Apoteker yang dibarengi oleh Apoteker yaitu 59,52 dan hasil
tersebut dikategorikan buruk sedangkan kualitas PIO cenderung lebih meningkat lagi saat dilakukan secara keseluruhan oleh Apoteker yaitu 67,86 dan hasil
tersebut dikategorikan kurang baik. Dari hasil tersebut dapat tergambarkan bahwa persentase kualitas
pelayanan informasi klinik yang dilakukan Apoteker cenderung lebih tinggi dibandingkan yang dilakukan oleh petugas apotek non Apoteker
dan petugas apotek non Apoteker yang dibarengi Apoteker. Berdasarkan latar belakang
pendidikan antara Apoteker memang sudah sewajarnya Apoteker memiliki pemahaman yang lebih tentang obat. Pemahaman Apoteker terkait obat
merupakan harapan tersendiri dari konsumen. Pemahaman Apoteker yang baik terkait obat akan menimbulkan kepercayaan pasien terhadap profesi Apoteker
sebagai sumber informasi tentang obat. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Erlin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Aurelia 2013 yang menyatakan bahwa pasien yang mendapatkan pelayanan langsung dari Apoteker cenderung mempercayai Apoteker sebagai sumber
informasi terkait kesehatan mereka. Oleh sebab itu menjadi hal yang penting untuk Apoteker melakukan pelayanan klinik dibarengi kualitas informasi yang
baik. Dalam penelitian, pertanyaan yang diajukan dalam penilaian kualitas
pelayanan klinik dari segi pelayanan informasi obat disesuaikan dengan check list. Informasi dalam check list tersebut perlu disampaikan kepada pasien penyakit
kronis dengan penggunaan obat jangka lama seperti diabetes melitus. Hal tersebut didukung oleh penelitian Rini Sasanti
Handayani 2006 yang menyatakan informasi lengkap mengenai penggunaan obat, cara penyimpanan obat, efek samping, tindakan bila efek
samping timbulkeracunan obat dan bila terjadi salah dosis, pantangan obat dengan penyakit tertentu atu makanan saat makan obat tersebut perlu disampaikan
kepada pasien. Kualitas pelayanan klinik ini ditinjau dari segi ketepatan pemberian
informasi obat kepada pasien di Apotek. Semakin banyak pertanyaan yang dijawab dengan tepat maka nilai kualitas pelayanan klinik akan meningkat.
Berikut adalah paparan grafik yang menggambarkan kesalahan jawaban selama pelayanan informasi obat yang dilakukan oleh Apoteker atau petugas apotek non
Apoteker sehingga menurunkan kualitas pelayanan klinik. Berikut adalah gambar
yang menunjukkan persentase kesalahan dari setiap pertanyaan yang diajukan dimana kesalahan jawaban inilah yang mempengaruhi dari pemberi pelayanan
informasi obat:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
A.
Gambar 5.5 Persentase Kesalahan Informasi Obat yang Diberikan oleh Pemberi Pelayanan di Apotek
Keterangan: A. Tujuan penggunaan
B. Waktu penggunaan pagisiangmalam C. Waktu penggunaan sebelumsedangsesudah
makan D. Jumlah frekuensi penggunaan
E. Jumlah obat sekali minum F. Nama obat
G. Indikasi H. Interaksi
I. Pencegahan interaksi J. Efek samping obat
K. Pencegahan efek samping obat L. Gejala efek samping obat
M. Makanan dan minuman yang harus dihindari N. Cara penyimpanan
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
A B
C D
E F
G H
I J
K L
M N
Apoteker metformin 31.57
100 100
50 93.75
50 Apoteker simetidin
26.31 52.63 26.31 100
100 50
93.75 50
petugas apotek non Apoteker metformin 25
81.25 36.68 100
100 84.21 100 84.21 Asisten apoteker simetidin
26.31 25
18.75 6
100 100 84.21 100 84.21
UIN S y
ar if H
ida y
at ul
la h J
ak arta
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan gambar grafik di atas tujuan penggunaan metformin dan simetidin adalah pertanyaan pertama yang diajukan. Dilihat dari kesalahan
informasi yang paling banyak disampaikan oleh Apoteker 26,31 dan petugas apotek non Apoteker
26,31 adalah info tujuan penggunaan simetidin. Hal ini disebabkan kesalahan pemberi pelayanan informasi obat dalam memahami
mekanisme kerja simetidin. Kebanyakan jawaban yang diberikan simetidin digunakan untuk menguatkan lambung padahal seharusnya simetidin digunakan
untuk menurunkan asam lambung. Kesalahan penyampaian tujuan penggunaan metformin juga ditunjukkan oleh petugas apotek non Apoteker
25 karena jawaban yang diberikan tidak menyebutkan metformin digunakan untuk
menurunkan gula darah dan bahkan terdapat Asisten Apoteker yang menyampaikan metformin digunakan untuk menurunkan kolesterol. Pelayanan
informasi obat tentang tujuan penggunaan yang tepat dapat menghindarkan dari kasus Drug Related Problem karena kesalahan penggunaan obat.
Kesalahan informasi tentang waku penggunaan obat metformin oleh Apoteker 31,57 dan petugas apotek non Apoteker
81,25 masih tinggi, hal serupa ditunjukkan pada kesalahan informasi obat simetidin dilakukan oleh
Apoteker yaitu 52,63 dan petugas apotek non Apoteker yaitu 25. Kesalahan jawaban pun beragam, beberapa petugas di Apotek menjawab bahwa metformin
digunakan pagi dan malam, sedangkan simetidin pagi dan sore. Jawaban yang tepat untuk pertanyaan tersebut adalah obat metformin digunakan pagi dan sore
dengan selang waktu 12 jam. Sedangkan simetidin berdasarkan studi literatur sebaiknya digunakan pada waktu pagi dan malam hari..
Kesalahan informasi waktu penggunaan obat sebelumsedangsesudah ditunjukkan pada obat simetidin oleh Apoteker adalah 26,31 dan petugas apotek
non Apoteker adalah 18,75. Kesalahan informasi yang disampaikan adalah simetidin digunakan sebelum makan dimana lambung dalam keadaan kosong.
Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, simetidin baik digunakan dengan makanan sehingga jawaban yang tepat adalah sesudah makan dimana kondisi
perut telah terisi makanan. Jawaban pertanyaan tentang jumlah frekuensi penggunaan, jumlah obat
sekali minun secara keseluruhan informasi yang diberikan oleh seluruh apotek
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang menjadi sampel penelitian adalah tepat. Informasi tentang nama obat sebagian besar jawabannya tepat. Namun, ada 1 6 petugas apotek non
Apoteker yang tidak menyebutkan nama obat dan hanya menjelaskan bahwa obat
yang digunakan untuk obat lambung. Hal ini terjadi pada apotek yang mengganti simetidin dengan ranitidin.
Kesalahan informasi tentang indikasi obat ditunjukkan oleh petugas apotek non Apoteker adalah 36,68 mengenai obat metformin. Bentuk kesalahan yang
dilakukan adalah tidak menjelaskan tentang indikasi metformin untuk diabetes melitus tipe 2 atau diabetes mellitus tahap awal. Sebagian petugas apotek non
Apoteker menginformasikan pemilihan obat metformin adalah hasil diagnosis
dokter terhadap penyakit pasien. Padahal Informasi indikasi obat ini perlu disampaikan dengan baik oleh Apoteker pada pasien dengan tujuan agar obat yang
telah dibeli tidak akan sembarangan dipakai oleh orang lain yang mungkin memiliki mengidap penyakit diabetes melitus tapi tipe diabetes melitus yang
dialami berbeda dengan pasien tersebut. Kesalahan terapi karena obat diabetes melitus yang tidak sesuai dengan tipe DM dan keadaan patofisiologis pasien bisa
menyebabkan hasil pengobatan tidak maksimal atau pengontrolan gula darah tidak optimal.
Kesalahan interaksi obat menunjukan persentase paling tinggi pada Apoteker dan petugas apotek non Apoteker
yaitu 100. Kesalahan informasi tentang interaksi obat dan pencegahannya ini utamanya menunjukkan bahwa
apoteker dan petugas apotek non Apoteker ini tidak mampu mengkaji adanya
interaksi obat dalam resep. Metformin dan simetidin ini mempunyai kecenderungan interaksi. Bentuk interaksi yang terjadi adalah penurunan ekskresi
metformin oleh ginjal akibat adanya simetidin sehingga bisa menyebabkan lactic acidosis. Namun bila kedua obat ini harus digunakan berbarengan makan hal yang
dapat mencegah interaksinya adalah dengan cara menurunkan dosis metformin. Pada gambar tersebut juga dapat terlihat bahwa 50 Apoteker tidak
mengetahui efek samping dan gejala efek samping yang bisa ditimbulkan metformin dan simetidin, dan 84,21 petugas apotek non Apoteker
juga tidak mengetahui efek samping dan gejala efek samping dari metformin dan simetidin.
Sebagian besar petugas Apotek menyatakan bahwa metformin obat yang aman
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan tanpa efek samping untuk diminum. Padahal metformin mempunyai efek samping terbesar ke gastrointestinal yang menimbulkan rasa mual, muntah, sakit
perut dan diare. Biasanya efek ini muncul 2-3 minggu awal dan setelahnnya akan membaik. Peringatan tentang ESO ini perlu disampaikan sehingga saat ESO
muncul pasien dapat mengatasinya dan mematuhi saran untuk meneruskan penggunaan obat.
Apoteker dituntut untuk mengetahui informasi efek samping obat agar dapat menginformasikan cara penananganan efek samping yang timbul sehingga
kepatuhan pasien dalam menggunakan obat dapat terjaga. Akibat dari kurangnya pengetahuan Apoteker dan petugas apotek non Apoteker
mengenai efek samping metformin dan simetidin maka 93,75 Apoteker dan 100 apotek non
Apoteker tidak bisa menyampaikan cara pencegahan yang tepat. Cara pencegahan agar efek samping tersebut tidak timbul adalah menyarankan pasien
untuk menggunakan obat bersama dengan makanan. Selama proses pelayanan klinik petugas Apotek secara keseluruhan dapat
menjelaskan dengan baik makanan yang perlu dihindari pasien. Informasi ini menjadi penting karena pola hidup yang tepat bisa menunjang kesehatan pasien
menjadi lebih baik. Penjelasan tentang cara penyimpanan juga disampaikan dengan baik oleh petugas apotek non Apoteker. Cara penyimpanan perlu untuk
disampaikan agar pasien menempatkan obat di tempat yang sesuai sehingga obat terhindar dari lingkungan yang mungkin menyebabkan kerusakan pada sediaan.
Stabilitas sediaan yang terjaga secara langsung mempengaruhi keefektifannya, hal tersebut yang melatar belakangi diperlukannya peran apoteker dalam menjelaskan
hal tersebut. Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa kesalahan pemberian
informasi obat tertinggi pada bagian interaksi obat, pencegahan interaksi, efek samping obat, pencegahan efek samping obat dan gejala efek samping obat. Bila
dibandingkan persentase kesalahan pemberian informasi obat antara Apoteker dan petugas apotek non Apoteker
maka didapatkan hasil bahwa pemberian informasi obat dari Apoteker persentase kesalahannya cenderung lebih kecil dibandingkan
dengan persentase kesalahan petugas apotek non Apoteker.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Kehadiran Apoteker di Apotek belum terpenuhi secara optimal karena
masih didapati Apoteker yang tidak hadir di Apotek pada jam buka Apotek. Kehadiran Apoteker di Apotek merupakan syarat utama pelayanan klinik di
Apotek dapat berjalan karena pelayanan klinik ini adalah tugas Apoteker yang tidak dapat dialihkan ke petugas Apotek lain termasuk Asisten
Apoteker. 2.
Pemberi pelayanan klinik di Apotek belum sepenuhnya dilakukan oleh Apoteker, masih terdapat pengalih tugasan ke petugas apotek non
Apoteker saat Apoteker tidak dapat hadir di Apotek. Dalam pelaksaanan
pelayanan klinik berupa dispensing masih terdapat pelanggaran berupa penggantian obat yang tidak sesuai dengan resep yang dilakukan oleh
Apoteker ataupun Asisten apoteker. Pelaksanaan pelayanan klinik berupa informasi obat masih menuntut keaktifan pelanggan agar hak pelayanan
tersebut terpenuhi dan pelayanan klinik berupa konseling belum berjalan di Apotek. Kualitas pelayanan klinik di Apotek cenderung meningkat bila
Apoteker terlibat dalam pelaksanaan pelayanan tersebut namun Apoteker belum mampu mengidentifikasi adanya interaksi dan efek samping dari
resep diabetes melitus yang diberikan. . 3.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pelayanan klinik terutama dispensing, pelayanan informasi obat dan konseling di Apotek wilayah
Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota di Kabupaten Garut belum berjalan dengan baik dan belum
sesuai dengan peraturan Permenkes Republik Indonesia No. 35 tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. 6.2.
Saran
1. Sosialisasi terhadap peraturan Permenkes Republik Indonesia No. 35 tahun
2014 terhadap Apoteker yang bekerja di Apotek harus dilakukan oleh pihak Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan pihak Ikatan Apoteker