34
b Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan ijin
dari kedua orang tuanya Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan. c
Perkawinan diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang
Perkawinan. d
Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu Pasal 11 Undang-Undang Perkawinan, yaitu :
a Apabila perkawinan putus karena kematian waktu tunggu ditetapkan
130 hari. b
Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-
kurangnya 90 hari, bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari.
c Apabila perkawinan putus, sedangkan janda dalam keadaan hamil,
maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan. d
Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka
tidak ada waktu tunggu. 2
Syarat materil bersifat khusus Syarat ini hanya berlaku untuk perkawinan tertentu saja dan meliputi hal-
hal sebagai berikut ; a
Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam
35
Pasal 8,9 dan 10 Undang-Undaang Perkawinan Nomor 11974 yaitu mengenai laranga perkawinan,
b Berhubungan darah dalam garis ketururnan lurus ke bawah ataupun ke
atas ataupun kesamping. c
Berhubungan sebenda, susuan. d
Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi, kemenakan dari istri, dalam hal suami beristri lebih dari seorang
e Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin. f
Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 dan
Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan.
g Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang
lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang bahwa masing-
masing agamanya dan kepercayaannya dari yang bersangkutan tidak menentukan lain Pasal 10 Undang-Undang Perkawinan
3 Syarat formal
Syarat-syarat formil tersebut terdiri dari 3 tiga tahap,yaitu : a
Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. b
Penelitian syarat-syarat perkawinan
36
Penelitian syarat-syarat perkawinan dilakukan setelah ada pemberitahuan akan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Penelitian syarat-syarat perkawinan memeriksa apakah syarat-syarat perkawinan sudah terpenuhi atau belum dan apakah ada halangan
perkawinan menurut undang-undang. Selain itu Pegawai Pencatat Perkawinan
juga meneliti
mengenai: Pengumuman
tentang pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan.
Tujuan diadakan pengumuman ini, yaitu untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan
keberatan-keberatan terhadap dilangsungkannya perkawinan. Pengumuman tersebut ditandatangani oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan dan memuat hal ihwal orang yang akan melangsungkan perkawinan, yang memuat kapan dan dimana perkawinan itu akan
dilangsungkan.
31
Dari ketentuan-ketentuan diatas jelaslah betapa besarnya peranan hukum agama dalam menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Kita
melihat juga adanya hubungan saling melengkaapi antara Undang-Undang Perkawinan nasional dengan hukum perkawinan menurut agama dan
kepercayaan.
31
Amiur Nurudin dan Azhari Trigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI , Jakarta: Kencana,
2006, h. 221.
37
D. Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan adalah seseorang yang karena perubahan status sipilnya dari yang sebelumnya lajang menjadi berstatus kawin, yang membawa
akibat hukum.
32
Secara umum pencatatan di Indonesia menurut Undang-Undang Perkawinan dibagi dalam dua kelompok yaitu :
1. Pelaksanana perkawinan untuk orang non- muslim
2. Pelaksanaan perkawinan untuk orang Islam
33
Masalah pencatatan perkawinan di Indonesia diatur dalam beberapa Pasal peraturan perundang-undangan. Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 mengatur “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang- undangan yang berlaku” pencatatan dilakukan oleh Pegawai
Pencatatan Nikah PPN sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang Nomer 32 Tahun 1945 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk. Sedangkan tata
caranya berpedoman pada Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975. Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat 3 PP No 91975 menetukan bahwa perkawinan
dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat, yang dihadiri dua orang saksi. Fungsi pencatatan disebutkan pada angka 4b, penjelasan umum Undang-Undang Nomer
1 Tahun 1974: pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam ke hidupan seseorang, misalnya
32
Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Jakarta: YLBHI, 2007, h. 112.
33
M. Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia Masalah-Masalah Krusial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, h. 19.
38
kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat daftar pencatatan.
34
Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, berbunyi :
1. “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu; 2.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari Pasal 2 ayat 1 tersebut, dapat diketahui bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan bagi umat Islam atau
pendetapastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan
masyarakat. Akan tetapi sahnya perkawinan ini dimata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya
terdapat pada Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi
mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan
34
M. Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia Masalah-Masalah Krusial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, h. 19.
39
di Kantor Urusan Agama KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, menggunakan dasar hukum
Pasal 2 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dilakukan di Kantor Catatan Sipil.
35
Perintah Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 untuk melakukan pencatatan terhadap suatu perkawinan ditunjukan untuk
seluruh Warga Negara Indonesia WNI. Bagi Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar Indonesia diatur dalam Pasal 56 Undang-
Undang Perkawinan No. 11794
36
: 1.
Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing WNA adala sah bila dilakukan menurut
hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang.
2. Dalam waktu 1satu tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah
Indonesia surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkn di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
ini, antara lain pada ayat 1 : setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
35
Lihat Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Pustaka Widiyamata,, 2006, h. 47.
36
Henry Siswosoediro, Buku Pintar Pengurusan Perizinan dan Dokumen Panduan Untuk Pelaku Usaha dan Masyarakat Umum, Jakarta: Visimedia, 2008, h. 197.