Analisis Yuridis Perkawinan Beda Agama Di Indonesia Setelah Berlakunya Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006

(1)

ANALISIS YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA

UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN NOMOR

23 TAHUN 2006

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun oleh: AINUR RAHMAN NIM : 109044100054

PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA (SAS) FAKULTAS SYARI’AH DANHUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 2014 M/1435 H


(2)

KEPENDUDUKAN NOMOR

23 TAHUN 2006

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh: Ainur Rahman NIM : 109044100054

Dibawah Bimbingan

Dr. H. JM. Muslimin, MA., NIP. 196808121999031014

PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA (SAS)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 2014 M/1435 H


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul "ANALISIS YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA SETELAH BERLAKLINYA UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

NoMoR

23 TAHUN 2006" telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah "Iakarta pada 9 Mei 2014 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana syariah (S.SV) pada Plogram Studi Ahwal al-syakhshiyah.

Jakarta, 9 Mei 2014 M'eqggsahkan

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH Ketua Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA.,

NIP. 19s00306197603 1001

Hj. Rosdiana" MA..

NIP. 1 96906 1 02003 122001

Dr. H. JM. Muslimin, MA.,

NrP. 1 9680812199903

t0I4

Drs. H. A" Basiq Djalil, SH.. MA" NIP. 19s00306197603 1001

H. Kamarusdiana, S.Ag, MH., NIP. 1 9720224199803 1 003 Sekretaris

Pembimbing

Penguji I

z;.."ttffi

'

/,7i;i\{lRr' ] 96808 12199903 101 4

{... .) Penguji

iI


(4)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini ;

Nama NPM Jurusan

: Ainur Rahman

:1040100054 : Peradilan Agama

Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat adalah :

1.

Murni gagasan, rumusan dan hasil penelitian penulis dengan arahan dosen

pembimbing.

2.

Di

dalamnya tidak terdapat karya-karya atav pendapat yang telah di tulis atau

dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan

sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang atau

dicantumkan dalam daftar pustaka.

Demikian pernyataan

ini

di

buat dengan sebenarnya, apablla dikemudian hari

terdapat kekeliruan saya bersedia dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Hukum dan Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

.Iakarta


(5)

v

ABSTRAK

Analisis Yuridis Perkawinan Beda Agama Di Indonesia setelah Berlakunya Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006” oleh Ainur Rahman, mahasiswa jurusan Peradilan Agama Fakultas Hukum dan Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya ketentuan tentang perkawinan beda agama dalam Pasal 35 huruf (a) pada Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang mana pada dasarnya agama apapun tidak menghendaki adanya perkawinan beda agama. Dan didalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan yang syah adalah menurut agama dan kepercayaan (Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan) dan selama bertahun-tahun ditafsirkan bahwa (UUP) sebagai aturan yang melarang perkawinan beda agama. Namun adanya aturan baru tentang perakwinan beda agama yang sama-sama memiliki kedudukan setingkat dalam perundang-undangan enjadi pertanyaan baru. Oleh karena itu penulis mengangkat permasalah ini dengan mengaangkat rumusan masalah terkait kedudukan dan keabshan perkawinan beda agama.

Dibuatnya penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah yang termuat dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan Pasal 35. Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan. Hal ini berfungsi untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang-undang-undang yang lain yaitu antara Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan antara Undang-Undang Dasar 1945, sehingga dapat disimpulkan mengenai ada tidaknya benturan baik filosofi ataupun sosial antara undanga-undang dengan isu yang dihadapi.

Hasil dari penelitian skrispsi ini yaitu bahwa aturan yang termuat dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 35 huruf (a) terkait beda agama merupakan aturan khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum bukan menghapus ketentuan yang lama, sehingga Undang-Undang Perkawinan masih beralaku dalam sistem peraturan nasional di bidang perkawinan. dibuatnya aturan tentang perkawinan beda agama ini dianggap sebagai solusi bagi pelaku perkawinan beda agama yang ingin mengesahkan perkawinanya dengan melalui penetapan pengadilan atau mengisi kekosongan hukum namun ternyta pasal ini malah menimbulkan masalah yang lebih rumit. Aturan yang dimuat yang mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM) pada kenytaanya lebih dominan kepada adanya pertentanga dengan nilai-nilai agama sehingga jika dikaji secara horizontal maka aturan ini memiliki pertentangan dengan sistem hierarki tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Kata kunci : Perkawinan, Perkawinan Beda Agama, Undang-Undang Administrasi Kependudukan


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “ANALISIS YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN NOMOR 23 TAHUN 2006 Penulisan ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh dalam menyelesaikan jenjang pendidikan strata satu (S-1) Fakultas Hukum dan Syariah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dan bimbingan serta dorongan yang diberikan oleh banyak pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak. Dr. H. JM. Muslimin, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta dosen pembimbing utama, atas waktu, bimbingan, serta saran-sarannya dalam menyusun skripsi ini. 2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA., dan Ibu Rosdiana, MA., selaku ketua

dan sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Rumadi, MA., selaku dosen akademik, atas waktu, kesabaran, dan bimbingan, dalam menyusun skripsi ini.

4. Bapak Dennie Arsan Fatrika SH., selaku Hakim Pengadilan Negeri Bogor yang telah memberikan informasi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Dengan


(7)

vii

bijaksana membantu dan mengarahkan penulis dalam pengumpulan data selama proses pelaksanaan observasi dalam penulisan skripsi ini.

5. Ayah dan Ibu, kakak serta adik-adikku di rumah yang memberi kasih sayang, doa, dorongan dan dukungannya baik materiil maupun spiritual serta memberikan motivasi kepada penulis dengan ketulusan.

6. Teman-teman kelas Peradilan Agama “B” yang selalu mendukung dan mengisi hari-hari penulis dengan keceriaan.

7. Dosen-dosen, staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas dukungannya.

8. Pihak-pihak lain yang terlibat dan turut membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata penulis memohon maaf sebesar-besarnya jika dalam pembuatan skripsi ini penulis melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak sengaja. Semoga ini bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, April 2014


(8)

viii

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Studi Review ... 11

E. Metode Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II PERKAWINAN... 17

A.Kajian Umum Tentang Perkawinan ... 17


(9)

ix

C.Syarat-Syarat Syahnya Perkawinan ... 30

D.Pencatatan Perkawinan ... 37

BAB III PERKAWINAN BEDA AGAMA ... 41

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Beda Agama dari Sudut Pandang Berbagai Agama di Indonesia ... 41

B. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Positif di Indonesia ... 56

C. Tata Cara Perkawinan Beda Agama Dalam Praktek ... 66

D. Pencatatan dalam Perkawinan Beda Agama ... 69

BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA ... 73

A. Perkawinan Antar Agama dalam Perspektif Undang-Undang No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ... 74

B. Analisis Pasal 35 Huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ... 82

BAB V PENUTUP ... 109

A. Kesimpulan ... 109


(10)

x

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 200

1. Surat Permohonan Data/Wawancara... 200

2. Surat Bukti Wawancara... 201

3. Hasil Wawancara ... 202

4. Penetapan Nomor 111/Pdt.P/2007/PN.Bgr ... 206


(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnya, dengan kelebihan yang ada pada manusia maka sudah sewajarnya bahwa manusia seharusnya menggunakan kelebihan tersebut dengan baik.Manusia sebagai makhluk hidup dan sosial memiliki kebutuhan-kebutuhan untuk melangsungkan eksitensinya sebagai makhluk.Manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antar manusia, antara lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani. Kebutuhan manusia sangatlah banyak maka dari itu Maslow mengklasifikasikannya kedalam empat bentuk yaitu dilihat dari hierarki atau dasar hakikat manusia antar lain : The Physiological Needs (kebuthan fisik), The Safety Needs (rasa aman), Love Needs, The Esteem Needs, The Needs For Self –Actualization.1 Kebutuhan fisiologis itu sendiri adalah kebutuhan seksual, pemenuhan kebutuhan seksual dapat diterima dengan baik jika adanya hubungan seksual dengan lawan jenis yaitu antara wanita dengan seorang pria. Namun dengan demikian hubungan seksual itu dapat dilakukan melalui dua hal yaitu dengan cara ikatan perkawinan maupun tanpa ikatan perkawinan atau hubungan seksual yang tak sah. Hubungan seksual tanpa

1

Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2004), h. 16.


(12)

ikatan perkawinan yang sah dipandang sebagai aib dan perbuatan tersebut dilarang norma masyarakat Indonesia. Maka dapat dikatakan bahwa hubungan seksual yang dapat diterima oleh norma msyarakat Indonesia hanya melalui perkawinan dan yang melatarbelakangi perkawinan adalah untuk memenuhi kebutuhan fisiologis yang sesuai dengan norma masyarakat Indonesia.2

Perkawinan sendiri sudah menjadi tradisi dan budaya yang sudah tak dapat lagi dipisahkan, Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan keagamaan yang dianut masyarakat yang bersangkutan. Di Indonesia perbedaan suku bangsa, budaya dan kewarganegaraan antara laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan perkawinan bukanlah masalah. Hukum negara Indonesia tidak melarang perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang berbeda suku bangsa, budaya, dan kewarganegaraan. Hal ini sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari bermacam-macam suku dan adat istiadatnya, karena banyaknya perbedaan dan keragaman sering kali menimbulkan masalah yang sangat komplek, misalnya perkawinan antar negara ataupun yang labih rumit perkawinan antar agama.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengatur segala sesuatu berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan memberikan pengertian tentang perkawinan yaitu : “Ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

2

Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2004,) h. 21.


(13)

3

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.3 Walaupun tentang perkawinan ini telah ada pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tidak berarti bahwa undang-undang ini telah mengatur semua aspek yang berkaitan dengan perkawinan. Contoh persoalan yang tidak diatur oleh Undang-Undang Perkawinan adalah perkawinan beda agama, yaitu antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berbeda agama.4

Fenomena perkawinan antar agama, bukanlah hal baru di Indonesia. Sebelumnya sudah berderet wanita Indonesia yang menikah dengan laki-laki non-muslim. Kasus yang cukup terkenal adalah perkawinan artis Deddy Corbuzier dan Kalima pada awal tahun 2005 lalu, di mana Deddy yang Katolik dinikahkan secara Islam oleh penghulu pribadi yang dikenal sebagai tokoh dari Yayasan Paramadina. Pengadilan Negeri Bogor sendiri telah mengeluarkan suatu penetapan dan memberikan izin untuk melangsungkan perkawinan beda agama serta memerintahkan pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (KCS) Kota Bogor untuk mendaftarkan suatu perkawinan beda agama (No. 111/Pdt.P/2007 / Pn.Bgr,)

3

M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind Hill Co, 1990), h.3.

4

Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama di Indonesia Oleh : Anggreini Carolina Palandi, Lex Privatum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013. h.197.


(14)

Sementara seluruh agama yang diakui di Indonesia tidak membolehkan adanya perkawinan yang dilakukan jika kedua calon beda agama. Dalam Islam sendiri sudah jelas tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) yang diantara materi-materinya adalah masalah kawin beda agama yaitu Pasal 40 huruf (c) dan Pasal 44.5 Hanya saja materi yang termuat dalam pasal tersebut adalah berupa pelarangan tegas terhadap persoalan kawin beda agama. Dalamajaran Islam sendiri wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki non muslim (QS al-Baqarah [2] : 221) selain itu dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (I Korintus 6 : 14-18 )6. Agama Kristen Katholik secara tegas menyatakan perkawinan antara seorang Katolikdengan penganut agama lain adalah tidak sah (Kanon;1086), namun gereja memberikan dispensasi dengan persyaratan yang ditentukan hukum gereja (Kanon;1125).7 Dispensasi dalam realisasinya diberikan oleh Uskup setelah memenuhi persyaratan tertentu dan kedua belah pihak membuat perjanjian tertulis Pertama yang beragama Katolik berjanji akan tetap setia pada iman Katolik, berusaha memandikan dan mendidik anak-anak mereka secara Katolik, Kedua, mereka yang tidak beragama Katolik berjanji menerima perkawinan secara Katolik, tidak akan menceraikan pihak yang

5

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 berbunyi : Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan tertentu yaitu pada huruf (c) seorang wanita yang tidak beragama Islam. Dan Pasal 44 berbunyi : Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Focus Media, 2010), h. 16.

6

Hukum Online, Tanya Jawab Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Ciputat: Kataelha, 2010,) h. 31.

7

Kanon Alkitab adalah kumpulan kitab yang diyakini memiliki otoritas sebagai Firman Allah dan layak menjadi tolak ukur bagi iman umat yahudi maupun kristiani.


(15)

5

beragama Katolik, tidak menghalangi pihak yang beragama Katolik melaksanakan imannya, dan bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik. Menurut hukum Hindu suatu perkawinan hanya sah jika dilaksanakan upacara suci oleh Pedende, dan Pedende hanya mau melaksanakan upacara pernikahan kalau kedua calon pengantin beragama Hindu maka perkawinan orang Hindu yang tidak memenuhi syarat dapat dibatalkan.

Sehubungan dengan soal keabsahan dari perkawinan beda agamayang masih menjadi dualisme yang dipertanyakan dan selama ini pelaksanaanya masih belum mendapat kejelasan kini telah mendapat suatu dasar hukum yaitu berdasarkan penetapan pengadilan sesuai dengan Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 yang mana dalam salah satu pasalnya Pasal 35 berbunyi: “Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi :

a. Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan dan

b. Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.

Bunyi penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 : huruf (a) yang dimaksud dengan "perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan" adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama8. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Kantor Catatan Sipil kini memiliki kewenangan

8

Lihat Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 17.


(16)

baru,yang sebelumnya hanya berwenang mencatatkan perkawinan selain pasangan non-muslim sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 tentang Penataan, Pembinaan, Penyelenggaraan Catatan Sipil yang pada Pasal 1 ayat 2 huruf (a) menyatakan kewenangan dan tanggung jawab di bidang catatan sipil adalah: menyelenggarakan pencatatan dan penerbitan kutipan akta kelahiran, akta kematian, akta perkawinan dan akta perceraian bagi mereka yang bukan beragama Islam.9 Kemudian diperkuat dengan keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 15 Tahun 1999 tentang Prosedur Pelayanan Masyarakat pada Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan setiap perkawinan WNI atau WNA yang telah sah dilaksanakan oleh pemuka agama selain agama Islam dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil selambat-lambatnya 30 hari sejak peristiwa perkawinan.Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut maka Kantor Catatan Sipil tidak lagi berwenang mengawinkan pasangan beda agama walaupun ada perintah dari pengadilan untuk melaksanakannya.

Namun dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminitrasi Kependudukan, Kantor Catatan Sipil memiliki tugas baru yaitu selain mencatat perkawinan non-Islam kini juga mencatat pasangan beda agama. Jika dilihat dari poin Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan muncul sebagai jalur legal dari berbagai jalur ilegal yang sering dilakukan masyarakat untuk melangsungkan perkawinan, ketentuan

9

Lihat Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 12 Tahun 1983 Tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil Presiden Republik Indonesia


(17)

7

pasal ini jelas bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan atas Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun1974 terhadap Pasal 2 ayat 1 ini, berarti tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud

dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Pasal 8 huruf (f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Walaupun bunyi Pasal 8 huruf(f) Undang-Undang Perkawinan , tidak tegas menyebutkan larangan perkawinan beda agama, tetapi sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa setiap agama di Indonesia melarang perkawinan antara umat yang berbeda agama. Hal tersebut diperkuat dengan bunyi penjelasan atas Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini memperlihatkan bahwa suatu penjelasan atas suatu pasal dari suatu undang-undang, menghapuskan atau membatalkan suatu ketentuan undang-undang yang lain.10

Dengan demikian timbulah pertanyaan apakah hukum negara telah mengakui adanya perkawinan beda agama dan segala akibat perkawinan beda agama tersebut dan apakah keberadaan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang

10

Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan Beda Agama Antara Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Adminduk, Privat Law Edisi 01 Maret-Juni 2013. h. 52


(18)

Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan merupakan pengecualian dari berlakunya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan berarti perkawinan beda agama telah mendapat pengaturan tersendiri. Berdasarkan hal yang diuraikan di atas penulis tertarik untuk mengangkat topik yang berjudul: “Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama di Indonesia Setelah diberlakukannya Undang-Undang Administrasi

Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Dalam hal ini penulis hanya membatasi permasalahnya terkait dalam keabsahan Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 itu sendiri, yang mana disebutkan dalam salah satu pasalnya yaitu tentang penjelasan Pasal 35 huruf (a) : Yang dimaksud dengan ”perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama, yang esensinya bertolak belakang dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sehingga hal ini membuka celah baru bagi pasangan untuk menikah beda agama atau hal ini memiliki peraturan yang terpisah ataukah pengecualian.

Secara deskriptif dapat ditarik permasalahanya bahwa Undang-Undang Perkawinan dalam Pasal 2 menyatakan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan (UUP) adalah dasar hukum dilarangnya perkawinan beda agama karena tidak ada agama di Indoesia dengan bebas memperbolehkan


(19)

9

umatnya menikah dengan penganut agama lain. KHI (Kompilasi Hukum Islam) pun tegas melarang perkawinan beda agama akan tetapi kenyataanya perkawinan beda agama saat ini bukan lagi rahasia umum, hal ini di buktikan dengan adanya putusan Pengadilan Negeri Bogor Nomor(No. 111/Pdt.P/2007/Pn.BGR) dan Pengadilan Negeri Lumajang Nomor (No. 198/Pdt,P/2013/Pn.Lmj) yang berisi tentang pemberian izin untuk melangsungkan perkawinan beda agama karena sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan terutama Pasal 35 yang menjadi dasarnya. Akibat lahirnya Undang-Undang Administrasi Kependudukan tersebut tanpa sadar telah melegalkan perkawinan beda agama untuk disahkan dengan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.

Dari rumusan masalah tersebut penulis kembangkan pada bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Apakah hukum negara telah mengakui adanya perkawinan beda agama dan segala akibat perkawinan beda agama tersebut?

2. Bagaimana keabsahan perkawinan beda agama setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Pasal 35 huruf (a)

3. Apakah keberadaan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 merupakan pengecualian dari berlakunya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 atau perkawinan beda agama telah mendapat pengaturan tersendiri?


(20)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan umum dalam penulisan skripsi ini adalah dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 terutama dalam Pasal 35 huruf (a) berlaku dan apakah keberadaan Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 merupakan pengecualian dari berlakunya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun1974 dan berarti perkawinan beda agama telah mendapat pengaturan tersendiri. Dan tujuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan pemahaman tentang bagaimana perkawinan itu sendiri berkembang dan apa saja yang menjadi polemik yang termuat dalam aturan yang sudah ada dan dilakukan sebagai pemahaman tentang asas perkawinan yang berkembang di Indonesia, dengan mencoba mengidentifikasi isu-isu yang bisa dipecahkan.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi kepentingan ilmu hukum maupun kepentingan praktis sebagai berikut:

1. Penelitian ini secara khusus bermanfaat bagi penulis yaitu dalam rangka menganalisadan menjawab keingintahuan penulis terhadap perumusan masalah dalam penelitian.

2. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat dalam memberikan kontribusi pemikiran dalam menunjang perkembangan ilmu hukum khususnya hukum perdata dibidang perkawinan. Selain itu juga dapat memberikan kontribusi serta manfaat bagi individu, para penegak hukum dan masyarakat maupun


(21)

11

pihak-pihak yang berkepentingan sebagai bagian informasi bagi masyarakat mengenai ketentuan hukum dan masalah-masalah yang terkait dengan perkawinan beda agama yang dilangsungkan didalam dan di luar negeri. 3. Untuk menjadi bahan referensi oleh pembaca baik mahasiswa, dosen, maupun

masyarakat umum.

D. Studi Review

Sebelum penulis membuat skrispi ini penulis melakukan telaah terlebih dahulu mencari teks-teks atau naskah-naskah yang memiliki kesamaan dengan tema atau malah sama percis dengan tema yang penulis angkat, hal ini dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadi plagiat (pencotekan hak cipta). Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa naskah skripsi terdahulu yang memiliki kaitan dan kesamaan.

Skripsi yang berjudul Analisis Kritis Terhadap Konsep Pemikiran Feminis tentang Perkawinan Beda Agama karya Anih Robbani Tahun 2011 lebih menekannkan tentang perubahan Kompilasi Hukum Islam yang diusung kaum feminisme sudah tidak relevan dan tentang konsep perkawinan beda agama yang di gagas kaum feminisme. Sedangkan skripsi yang berjudul Hak Anak dalam Memilih Agama dari Pasangan Beda Agama karya Azazi Tahun 2008, lebih menegaskan tentang hak-hak anak, kebebasan anak dalam menetukan pilihanya dari pasangan beda agama dari persepktif Hak Asasi Manusia (HAM).


(22)

Jika penulis simpulkan dari skripsi-skripsi terdahulu jelas sekali perbedaan yang dapat dilihat yang mana dalam pembahasan yang penulis angkat ini adalah tentang aturan adanya celah baru tentang pelegalan perkawinan antar agama, sedangkan skripsi terdahulu belum ada tentang aturan yang terkait atau sebelum adanya aturan yang penulis angkat.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, yang diteliti adalah sampai sejauh mana hukum positif tertulis itu singkron atau bertentangan. Ada beberapa jalur dapat dilakukan antara lain:11

1. Vertical yaitu dengan cara melihat suatu peraturan perundang-undanganyang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antar satu dengan yang lainapabila dilihat dari sudut vertical atau hierarki peraturan perundang-undangan yang ada.

2. Horizontal yaitu melihat dan meninjau peraturan perundang-undangan yang kedudukannya sederajat dan mengatur bidang yang sama.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode antara lain: 1. Pendekatan Masalah

Sehubung dengan tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

11


(23)

13

undangan. Hal ini berfungsi untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang yang lain yaitu antara Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan antara Undang-Undang Dasar 1945, sehingga dapat disimpulkan mengenai ada tidaknya benturan baik filosofi ataupun sosial antara undang-undang dengan isu yang dihadapi.12

2. Sumber dan Jenis Data

Untuk mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan sumber dan jenis data library research yaitu penelitian yang dilakukan di Kepustakaan.

Berkenaan dengan metode yuridis normatif yang dipergunakan maka penulis melakukan penelitian kepustakaan (library research) yaitu :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang sifatnya mengikat masalah-masalah yang akan diteliti seperti Undang Dasar 1945, Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Peraturan tentang perkawinan Gemengde Huwelijken Regeling (GHR) Staatsblad 158-1898, norma dasar Pancasila, dan Yurisprudensi.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

12

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 94.


(24)

mengenai bahan hukum primer. Penulis akan meneliti buku-buku ilmiah hasil karya dikalangan hukum yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti, memahami bahan hukum primer adalah rancangan peraturan perundang-undangan,hasil-hasil penelitian, hasil-hasil karya ilmiah para sarjana.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya kamus bahasa hukum, ensiklopedi, majalah, media massa dan internet.13

Tempat penelitian kepustakaan ini adalah:

a. Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Perpustakaan Fakultas Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta c. Buku hukum dari koleksi pribadi.

d. Situs-situs hukum dari internet 3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data ini penulis berusaha mencari dan mengidentifikasi setiap masalah, baik bahan hukum primer maupun sekunder dikumpulkan berdasarkan topik permsalahannya lalu dirumuskan sesuai isu yang diteliti dan diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif. Adapun bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan, aturan perundang-undangan maupun artikel akan penulis uraikan

13

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 29.


(25)

15

dan hubungkan sehingga disajikan dalam penulisan yang sitematis guna menjawab permasalahan. Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul akan dipergunakan metode analisis normatif kualitatif dengan menggunakan penafsiran gramatikal, sistematis dan outentik karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif sedangkan kualitatif dimaksudkan analisis data yang bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi yang bersifat ungkapan monografis dari responden.

F. Sitematika Penulisan

Dalam skripsi ini di susun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab, masing-masing bab terdiri atas subbab guna memperjelas ruang lingkup dan cangkupan permasalahan yang dibahas. Adapun urutan tata letak masing-masing bab serta pokok permasalahan sebagai berikut.

Bab I pendahuluan, berisi uraian latar belakang, selanjutnya diikuti oleh rumusan masalah yang nanti akan menjadi acuan untuk menentukan arah penelitian, lalu tujuan penelitian, manfaat penelitian, studi review serta metode penelitian dalam hal ini kan diuraikan tipe penelitian bagaimana sebuah pendekatan masalah dilakukan sekaligus sumber bahan hukum baik prosedur pengumpulan sumber dan analisis yang dipakai dan yang mendukung terakhir berisi sitematika penulisan.


(26)

Bab II menguraikan tentang kajian teoritis tentang perkawinan. Yaitu berisi tentang pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, syarat dan rukun perkawinan, sahnya perkawinan. Lalu menguraikan perkawinan campuran dan terakhir pandangan agama di Indonesia tentang perkawinan itu sendiri sekaligus analisa pemikirannya terhadap perkawinana beda agama sesuai dengan tema yang akan penulis bahas dan konsep-konsep hukum keluarga tentang perkawinan.

Bab III, berisi kajian tentang aturan hukum atau yuridiksi, tinjauan yuridis tentang perkawinan beda agama sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang Perkawinan, dan juga menguraikan posedur pencatatan atau pengesahan suatu perkawinan terutama beda agama di Kantor Catatan Sipil yang menjadi kewenangannya.

Bab IV membahas tentang eksitensi dan yuridiksi perkawinan beda agama. Pada intinya pembahasan ini dilakukan untuk mengkaji implikasi dan urgensi Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 terhadap upaya pemberlakuan pengesahan atau pelegalan perkawinan beda agama yang esensinya bertentangan dengan mayoritas salah satu norma agama, dan menjawab pertanyaan apakah Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 cukup responsif atau malah bertentangan dengan aturan yang sudah ada sehingga dapat ditarik kesimpulan atas kedudukan Undang-Undang tersebut.

Bab V merupakan bab penutup, berisi simpulan dan rekomendasi antar lain tentang perbaikan celah-celah yang merupakan kekurangan dari Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006.


(27)

17 BAB II PERKAWINAN

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan 1. Definisi Perkawinan Menurut Fiqih.

An-nikaah secara etimologi/bahasa berarti mengumpulkan atau

menggabungkan. Makna hakiki kata an-nikaah adalah bersetubuh. Namun secara majaz sering diungkapkan dengan arti akad perkawinan, penyebutan ini termasuk al-musabbab (hubungan intim) namun yang dimaksud adalah as-sabab (akad pernikahan).1 Selain itu ada juga yang mengartikannya dengan percampuran. Al-Fara’ mengatakan: “An-Nukh” adalah sebutan untuk

kemaluan. Disebut sebagai akad karena ia merupakan penyebab terjadinya kesepakatan itu sendiri. Sedangkan menurut Al-Azhari akar kata nikah dalam ungkapan bahasa arab artinya hubungan badan, dikatakan pula bahwa berpasangan itu juga merupakan salah satu dari makna nikah. Al-Farisi mengatakan: “jika mereka mengatakan bahwa si fulan atau anaknya fulan menikah maka yang dimaksud adalah mengadakan akad, namun jika dikatakan bahwa ia menikahi istrinya berarti yang dimaksud adalah berhubungan badan.2

1

Abdullah bin Abdurrahman al Bassam, Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al Maram (Syarah Bulugh Maram), (Jakarta : Pustaka Azzam, Jilid. 5, 2006) h. 252.

2

Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Al-Jami’fil Fiqh An-Nisa ( Fiqih Wanita), (Beirut Libanon : Da’arul Kutub Al-Ilmiyah, Cet. Pertama, 1996), h. 375.


(28)

Sedangkan secara syariat berarti sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, berhubungan intim, mencium dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram dari segi nasab atau keluarga dan sepersusuan. Atau bisa juga diartikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang telah ditetapkan oleh syariat yang befungsi untuk memberikan hak kepemilikan bagi lelaki.3

Para ulama Hanifiah mendefinisikan nikah adalah sebuah akad yang memberikan hak kepemilikan seutuhnya artinya kehalalan seorang laki-laki bersenang-senang dengan seorang perempuan yang tidak dilarang untuk dinikahi secara syariat. Dengan adanya kata “ perempuan” maka tidak termasuk di dalamnya laki-laki atupun banci musyikil4, seperti firman Allah yang berbunyi:

















Artiya :

“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (an-Nahl : 72).

3

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta:Gema Insani dan Darul Fikir, 2011, Jilid Ke-9), h. 39.

4


(29)

19

Dan dalam al-Qu’ran dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodoh adalah naluri segala makhluk Allah sebagaimana dalam firman Allah dalam surat az-Zarariyat ayat 49 yang berbunyi :







Artinya ;

“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu

mengingat kebesaran Allah SWT” (az-Zarariyat: 49)

Dalam surat Yasin ayat 36 pun dijelaskan tentang perkwanina yaitu dinyatakan dalam firman Allah yang berbunyi:







Artinya :“Maha suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (Yasin : 36)5

Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan selanjutnya Allah menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya, sebagaimana dalam firman Allah yang berbunyi:







5

Abdhur Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Ketiga), h. 12.


(30)





Artinya :” Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263]6 Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah

selalu menjaga dan Mengawasi kamu”. (an-Nisaa :1)

Sedangkan menurut Imam Syafi’i menyebut arti perkawinan sebagai akad yang menjadikan kebolehan melakukan persetubuhan. Sementara Imam Hambali mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang didalamnya terdapat lafadz perkawinan secara jelas diperbolehkannya bercampur. Akad yang dimaksud adalah serah terima antara orang tua atau wali calon mempelai. Dengan adanya akad tersebut maka sudah halalnya sepasang insan untuk melakukan hubungan intim dan terhindarlah dari perbuatan yang tidak di inginkan.7Allah berfirman:







Artinya :

“janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah keji

dan seburuk-buruknya jalan.” (al-Isra : 32).

6

(263) maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.

7

Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, Jakarta, Khairul Bayan, 2003, h. 20.


(31)

21

Menurut ahli ilmu ushul fiqih dan bahasa, kata nikah digunakan secara

haqiqah (arti sebenarnya) untuk arti hubungan intim, dan secara majaz

(kiasan) artinya akad. Sekiranya kata nikah dalam Al-qur’an dan sunah tanpa adanya indikasi lain maka yang dimaksud adalah hubungan intim. Kata “nikah” di dalam bahasa arab menurut ahli fiqih dari senior empat mazhab mereupakan kata yang di gunakan secara haqiqah dalam mengungkapkan makna akad, sedangan digunakan secara majaz ketika mengungkapkan kata hubungan intim.8

Dari penjelasan yang diuraikan diatas tampaknya para ulama mendefinisikan perkawinan semata-mata dalam konteks hubungan biologis saja, hal ini adalah wajar karna makna asal itu sendiri sudah berkonotasi hubungan seksual.9 Disamping itu harus jujur diakui yang menyebabkan laki-laki dan perempuan tertarik untuk menjalin hubungan adalah salah satunya dorongan-dorongan yang bersifat biologis baik disebabkan karna faktor ingin memperoleh keturunan ataupun memenuhi kebutuhan seksualitasnya.

2. Definis Perkawinan Menurut Hukum Positif di Indonesia

Sebelum Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan berlaku, aneka ragam aturan tentang perkawinan sudah lebih dulu ada. Seperti

8

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insani dan Darul Fikir, 2011, Jilid Ke-9), h. 40.

9

Amiur Nurudin dan Azhari Trigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ( Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI ), (Jakarta: Kencana, 2006), h. 49.


(32)

Huwelijiks Ordinantie Christen Indonesia - Indonesia Java, Ninahassa en

Amboina (HOCI) S.1933 Nomor 74 (Undang-Undang Perkawinan Indonesia

Kristen, Jawa, Minahasa dan Ambon) aturan ini beralaku bagi golongan Indonesia asli beragama Kristen di wilayah Jawa, Minahasa dan Ambon. Dan bagi penduduk asli Indonesia yang beragama Islam beralaku hukum adat, sedangkan bagi orang timur asing Cina dan warganegara keturunan Cina berlaku ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KHUPer) atau Burgerlijk Wetboek (BW) sama halnya dengan warga golongan Eropa.

Dan munculah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang mulai berlaku tangal 2 Januari 1974 menurut Prof. R. Sardjono, “ kita telah

lama bersatu dalam keinginan memiliki undang-undang perkawinan nasional

yang mampu menampung aspirasi bersama”. Beliau juga mengatakan

terbentuknya undang-undang ini merupakan suatu sluitstuk yang berhasil daripada suatu rentetan usaha-usaha kearah penyusun perundang-undangan tentang perkawinanyang telah dilakukan bertahun-tahun.10 Dan sejalan dengan itupun muncullah aturan bagi mayoritas muslim walaupun dalam bentuk Intruksi Persiden Nomor 1 Tahun 1991 tetapi dapat digunakan sebagai pelengkap dan mengisi kekosongan hukum.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, memberikan pengertian tentang perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan

10

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No 1/1974, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986), h. 7.


(33)

23

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari bunyi Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tersimpul bahwa suatu rumusan dan tujuan dari perkawinan. “arti” perkawinan yang dimaksud diatas adalah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dan tujuanya tersirat dalam membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhahan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan sepeti yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bila dipeirincikan sebagai berikut :

a. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.

b. Ikatan lahir batin itu ditunjukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal dan sejahtera.

c. Ikatan lahir dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan ketuhanan yang maha esa.11

Menurut Kitab Undang-Udang Hukum Perdata (KHUPer) atau Burgerlijk Wetboek (BW) secara tegas tidak mengatur tetang definisi perkawinan namun dalam Pasal 26 BW memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata saja.12Dalam konsep hukum perdata barat, perkawinan itu dipandang dalam hubungan keperdataan saja maksudnya

11

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, , 1987 Cet. Pertama), h. 3.

12


(34)

undang-undang tidak ikut campur dalam keterkaitan dengan adat istiadat atau agama, undang-undang hanya mengenal perkawinan yang dilangsungkan dihadapan pegawai catatan sipil. Perbedaan mengenai pengertian perkawinan pada Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dengan pengertian perkawinan yang terdapat didalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perkawinan merupakan ikatan yang bersifat lahiriah namun tidak memperhatikan urusan batiniah, sedangkan Undang-Undang Perkawinan, mengartian perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri. Maksud dari ikatan lahir bathin ialah bahwa ikatan tersebut tidak cukup diwujudkan dengan ikatan lahir saja, tetapi harus terwujud pula ikatan bathin yang mana keduanya harus terpadu erat menjadi satu kesatuan.

Pada umumnya perkawinan menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen), perkawinan yang di lakukan di Pengadilan ataupun di Kantor Catatan Sipil tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu berarti tidak sah. Perkawinan yang dilakukan oleh hukum adat atau aliran kepercayaan yang bukan agama, dan tidak dilakukan menurut tata cara agama yang di akui pemerintah berarti tidak sah.13 Menurut hukum adat sendiri perkawinan bukan saja perikatan adat14 melainkan

13

Wahjadi Darmabrata dan Adhi Wibowo Nurhidayat, Psikiatri Forensic, (Jakarta: Kedokteran EGC, 2003), h. 96.

14

Perikatan adat adalah perkawinan yang mempunyai akibat hukum adat yang berlakudalam masyarakat yang bersangkutan.


(35)

25

perikatan kekeluargaan.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.15 Perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaanya adalah merupakan ibadah. kata mitssaqan ghalidzan ini ditarik dari firman Allah yang terdapat pada surat an-Nisa ayat 21 yang berbunyi :











Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian

kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (an-Nisa : 21)16

Di dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan itu diartikan sebagai akad dan kontrak, sering disebut perkawinan adalah “marriagein Islam is purely civil contract

(perkawinan merupakan perjanjian semata-mata).

15

Lihat Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Focus Media, 2010), h. 7. 16

Amiur Nurudin dan Azhari Trigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ( Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI ), (Jakarta: Kencana, 2006), h. 43.


(36)

B. Tujuan Perkawinan

Perkawinan adalah sebuah peristiwa yang sakral, sebuah momentum yang ditunggu-tunggu setiap pasangan. Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir bathin yang sah untuk membentuk rumah tangga sejahtera dan bahagia dimana keduanya memikul amanah dan tanggung jawab. Di dalamp setiap agama manapun peristiwa-peristiwa sakral seperti perkawinan mengandung berbagai maksud dan arti tersndiri,maksud-maksud itulah yang mendasari seseorang dalam berumah tangga dan menjadi dasar bagi para pasangan untuk membentuk sebuah keluarga berdasarkan keimanan. Karena itulah, tujuan perkawinan harus dicari dalam konteks spiritual.

Tujuan dari perkawinan diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, disebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama atau kerohanian, dalam hal perkawinan disetiap agama pasti mempunyai suatu tujuan yang jelas, tujuan perkawinan tersebut diharapkan dapat membuat suatu ketenangan (sakinah) dalam hubungan rumah tangga dengan dasar agama.

1. Tujuan Perkawinan Menurut Agama Islam

Bagi seorang muslim tujuan perkawinan adalah beribadah kepada Allah. Perkawinan adalah sebuah perbuatan yang diperintahkan Allah. Imam Abu


(37)

27

Hanifah, Ahmad bin Hambal dan Malik bin Anas menyatakan untuk pribadi-pribadi perkawinan bahkan bisa menjadi wajib, melakukannya agar dapat menghindarkan diri dari perbuatan maksiat akan mendapatkan pahala dari-nya.17 Seperti firman Allah yang berbunyi:













Artinya ;

“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”( ar-Rum:21).

Selain beribadah kepada Allah dalam arti sempit maupun luas tujuan seorang muslim menjalin bahtera rumah tangga adalah untuk melestarikan keturunan, tidak seperti orang-orang yang fanatik dengan kesukuan maupun trah-nya, tujuan melestarikan keturunan bukan hanya membuat silsilah tapi lebih menekankan pada terbentuknya generasi-generasi yang berpegang teguh pada keimanan. Selain itu juga tujuan perkawinan dalam Islam untuk sarana pemenuhan kebutuhan seksual atau dorongan syahwat yang merupakan insting dasar semua makhluk hidup. Karena manusia bebeda dengan binantang, maka mesti ada system dan syariat yang benar. Al-Qur’an mengatakan “zuyyinah li al-nnasihubbu-al-syahwati min al-annisa” (QS.

17

Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: Khairul Bayan, 2003), h. 21.


(38)

Imran, 3:41) “manusia (laki-laki) dihisi kencintaan kepada perempuan. Laki-laki menyukai dan mencintai lawan jenisnya.” Untuk penyaluran yang benar Islam dari rasa suka dan cinta itu Islam membuat syariat,yakni pernikahan.Rosulullah bersabda “Annikahusunnati” pernikahan merupakan sunnahku, dalam sabda lainnya “Tidak ada suatu bentuk yang lebih baik didalam Islam daripada perkawinan.”18

Imam al-Ghazali dalam faedah melangsungkan perkawinan, merincikan tujuan perkawian sebagai berikut :

a. Mendapatkan dan melangsungkan perkawinan

b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan menumpahkan kasih sayang.

c. Memenuhi panggilan agama, untuk memelihara diri sendiri dari kejahatan dan kerusakan

d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak dan kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.

e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.19

18

Mohammad Monib dan Ahmad Nurcholis, Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 38.

19

Abdhur Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Ke-3), h. 24.


(39)

29

Sehingga dapat disimpulkan empat faktor penting dalam perkawinan itu sendiri antara lain, menentramkan jiwa, melestarikan keturunan, memenuhi kebutuhn biologis, dan latihan bertanggung jawab.20

2. Tujuan Perkawinan Menurut Agama-Agama di Indonesia

Dalam tradisi gereja masa lampau, tujuan primer perkawinan adalah meneruskan keturun dan tujuan-tujuan lain dianggap tujuan tambahan. Hal ini terbukti dari salah satu ayat dalam kitab suci injil yang berbunyi : “Allah memberikan mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka : beranak cuculah dan bertambah banyak ; penuhilah bumi ini dan ditaklukanlah itu.” Dalam

perjanjian baru dijelaskan pula masalah perkawinan, dimana dikatakan bahwa perkawinan merupakan hubungan lahir bathin yang sah antara seorang pria dengan seorang wanita seperti yang dijelaskan dalam Kitab Suci Injil yang berbunyi ; “Allah merencanakan kawin untuk mengadakan hubungan sehingga pria dan wanita menjadi satu daging.”21

Dalam agama Konguchu tujuan perkawinan ialah memungkinkan manusia melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan benih-benih Thian (Tuhan Yang Maha Esa) yang berwujud kebajikan yang bersemayam di dalam

20

Ali Hasan, Pedoman Hidup “ Berumah Tangga dalam Islam”, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 21

21

Al Purwa Hadiwardoyo, Surat Untuk Suami Istri Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 22. Lihat juga Al kitab, Robert Davidson : (Alkitab Berbicara), (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), h. 13.


(40)

dirinya, dan memungkinkan manusia membimbing putri-putrinya.22

Dari uraian di atas ternyata pada dasarnya disetiap agama memilki tujuan yang sama dalam perkawinan, dan di dalam Undang-Undang Perkawinan yang berpegang pada Pasal 1 yang berbunyi “dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa”. Rumusan tersebut sudah mencangkup makna tujuan perkawinan dari berbagai kalangan beragama, yang mengandung harapan bahwa dengan melangsungkannya perkawinan akan diperoleh suatu kebahagiaan baik materil maupun spiritual.

C. Syarat-Syarat Syah Perkawinan 1. Pengertian Rukun, Syarat dan Sah

Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.23 Syarat itu adalah hal yang menjadi penentu keberadaan sesuatu, dan ia berada di luar hakikat sesuatu tersebut. Syarat-syarat setiap akad, termasuk akad nikah ada empat macam: syarat in’iqaad (pelaksanaan), syarat ini harus dipenuhi di dalam rukun-rukun akad, syarat shihhah (sah) syarat ini mempunyai konsekuensi syar’i terhadap akad, syarat nafaadz (terlaksana)

22

Komisi Ateketik Keuskupan Agung Semarang, Mewujudkan Hidup Beriman, dalam Masyarakat Dan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius (Angota IKAPI), 2006), h. 63.

23


(41)

31

yaitu syarat yang menentukan konsekuensi akad jika dilaksanakan, syarat

luzum (kelanggengan) yaitu syarat yang menentukan kesinambungan dan kelanggengan akad.24

Rukun perkawinan sendiri ialah kerelaan hati kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan), karena kerelaan adalah hal yang tersembunyi di dalam hati. Caranya harus diungkapkan melalui ijab dan qabul, ijab dan qabul adalah pernyataan yang menyatukan keinginan kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perkawinan.25

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas : a. Adanya calon suami istri

b. Adanya wali dari pihak wanita c. Adanya dua orang saksi

d. Sighat akad nikah

Kendatipun dalam hal-hal tertentu, seperti posisi wali dalam saksi lalu tentang mahar masih dalam iktilaf dikalangan ulama. Namun mayoritas sepakat dengan rukun yang lima ini. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan juga tentang rukun dan syarat perkawinan yag tertuang di dalam bab IV, yaitu Pasal 14 tentang bagian rukun dan Pasal 16-17 tentang aturan calon memepelai, Pasal (19-23) tentang wali nikah, (Pasal 24-26) tentang

24

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insane dan Darul Fikir, 2011, Jilid Ke-9), h. 54.

25


(42)

aturan saksi nikah dan Pasal (25-29) tentang akad nikah. Sedang bab V berisi tentang ketentuan mahar.26

2. Syarat dan Sah Perkawinan Menurut Hukum di Indonesia

Perkawinan itu adalah suatu perbuatan hukum, sebagai perbuatan hukum ia mempunyai akibat-akibat hukum. Sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum ditentukan oleh hukum positif. Hukum positif di bidang perkawinan di Indonesia sejak 2 Januari 1974 adalah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dengan demikian sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh ketentuan undang-undang tersebut.

Menurut Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) itu menjelaskan bahwa: ”Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini”.27

26

Kompilasi Hukum Islam, selanjutnya disingkat KHI merupakan Instruksi Presiden RI Nomer 1 Tahun 1991, yang memuat tiga buku. Buku I berisi tentang Hukum Perkawinan, Buku ke II tentang Hukum Kewarisan dan Buku ke III tentang Hukum Perwakafan , Bandung, Focus Media, 2010).

27

Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan, (Jakarta: Akademika Presindo, 1986).


(43)

33

Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 kita melihat bahwa Undang-Undang Perkawinan ini menggantungkan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing pemeluknya, berarti sudah tidak ada lagi perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.28 Hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: a. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

b. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan.29

Syarat-syarat perkawinan di Negara Republik Indonesia diatur dalam Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975. Syarat-syarat tersebut dikelompokan menjadi : 30

1) Syarat-syarat materil yang berlaku umum.

Syarat-syarat yang termasuk kedalam kelompok ini diatur di dalam pasal dan mengenai hal sebagai berikut :

a) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calonsuami-isteri (Pasal 6 ayat 1Undang-Undang Perkawinan).

28

Hazairin, Tinjauan UU Perkawinan Nomer 1/1974, (Jakarta: Tintamas, 1976), h. 7. 29

Lihat UUD 1945, Jakarta, Sekretariat Jendral dan Kepanitraan,, 2011, h. 33. 30

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No 1/1974, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), h. 22.


(44)

b) Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan ijin dari kedua orang tuanya (Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan). c) Perkawinan diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan

pihak wanita sudah mencapai umur 16 ( Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan).

d) Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu (Pasal 11 Undang-Undang Perkawinan), yaitu :

a) Apabila perkawinan putus karena kematian waktu tunggu ditetapkan 130 hari.

b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari.

c) Apabila perkawinan putus, sedangkan janda dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan.

d) Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka tidak ada waktu tunggu.

2) Syarat materil bersifat khusus

Syarat ini hanya berlaku untuk perkawinan tertentu saja dan meliputi hal-hal sebagai berikut ;


(45)

35

Pasal 8,9 dan 10 Undang-Undaang Perkawinan Nomor 1/1974 yaitu mengenai laranga perkawinan,

b) Berhubungan darah dalam garis ketururnan lurus ke bawah ataupun ke atas ataupun kesamping.

c) Berhubungan sebenda, susuan.

d) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi, kemenakan dari istri, dalam hal suami beristri lebih dari seorang

e) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

f) Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan (Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan).

g) Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang bahwa masing-masing agamanya dan kepercayaannya dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 Undang-Undang Perkawinan)

3) Syarat formal

Syarat-syarat formil tersebut terdiri dari 3 (tiga) tahap,yaitu : a) Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. b) Penelitian syarat-syarat perkawinan


(46)

Penelitian syarat-syarat perkawinan dilakukan setelah ada pemberitahuan akan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Penelitian syarat-syarat perkawinan memeriksa apakah syarat-syarat perkawinan sudah terpenuhi atau belum dan apakah ada halangan perkawinan menurut undang-undang. Selain itu Pegawai Pencatat Perkawinan juga meneliti mengenai: Pengumuman tentang pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan.

Tujuan diadakan pengumuman ini, yaitu untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan terhadap dilangsungkannya perkawinan.

Pengumuman tersebut ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dan memuat hal ihwal orang yang akan melangsungkan perkawinan, yang memuat kapan dan dimana perkawinan itu akan dilangsungkan.31

Dari ketentuan-ketentuan diatas jelaslah betapa besarnya peranan hukum agama dalam menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Kita melihat juga adanya hubungan saling melengkaapi antara Undang-Undang Perkawinan nasional dengan hukum perkawinan menurut agama dan kepercayaan.

31

Amiur Nurudin dan Azhari Trigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ( Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI ), (Jakarta: Kencana, 2006), h. 221.


(1)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

13. Surat Keterangan Untuk Nikah an.SRI MULYANI dari Kepala Desa Tempurejo, Kec.Tempursari, Kab.Lumajang Nomor : 474.2/32/427.901.07/2012 tertanggal 19 Nopember 2012 (bukti P-13);

Menimbang, bahwa selain mengajukan bukti-bukti tertulis, Para Pemohon juga telah mengajukan saksi-saksi dan telah memberikan keterangan dipersidangan dengan terlebih dahulu disumpah, yang pada pokoknya masing-masing menerangkan sebagai berikut :

1. Saksi……. 1.--Saksi I. FANI ADI PERMANA;

• Bahwa saksi kenal dengan Hadi Susanto karena dulu tetangga dan juga kenal

dengan Sri Mulyani karena saksi sering kerumah Sri Mulyani;

• Bahwa saksi mendukung perkawinan Para Pemohon yang beda agama karena

mereka saling mencintai;

• Bahwa benar Hadi Susanto adalah beragama Islam sedang Sri Mulyani beragama

Kristen dan mereka belum menikah;

2. Saksi II PONIMAN ;

•Bahwa benar antara Sri Mulyani dan Hadi Susanto ada memadu cinta dan saling mencintai,

mereka belum menikah;

•Bahwa benar Hadi Susanto beragama Islam dan Sri Mulyani beragama Kristen dan benar

mereka akan menikah secara sah;

•Bahwa benar orang tua Sri Mulyani dan orang tua Hadi Susanto tidak keberatan perkawinan

beda agama;

Menimbang, bahwa atas keterangan saksi-saksi diatas, para Pemohon membenarkan keterangan saksi-saksi tersebut;

Menimbang, bahwa orang tua Sri Mulyani juga hadir di persidangan dan menerangkan setuju untuk menikahkan anaknya dengan Hadi Susanto yang beda agama dengan Sri Mulyani dan keluarga Hadi Susanto juga setuju pernikahan tersebut dilaksanakan;

Menimbang, bahwa selanjutnya segala yang termuat dalam berita acara persidangan dianggap sebagai telah turut termuat dalam penatapan ini;

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon adalah sebagaimana terurai diatas;

Menimbang, bahwa yang menjadi inti pokok permohonan para Pemohon adalah agar para Pemohon diijinkan untuk dapat melangsungkan perkawinan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang;

Menimbang,……. Menimbang, bahwa apakah permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum yang berlaku, maka akan terlebih dahulu diperhatikan bukti-bukti tertulis dan maupun keterangan saksi-saksi yang diajukan para Pemohon di persidangan;

Menimbang, bahwa dari bukti-bukti tertulis dan juga keterangan saksi-saksi yang diajukan para Pemohon di dalam persidangan maka diperoleh fakta-fakta hukum sebagai berikut :

• Bahwa Pemohon I (SRI MULYANI), tinggal di Desa Tempurrejo RT.005, RW.001, Kecamatan Tempursari, Kab.Lumajang,dan beragama Kristen, sedangkan HADI SUSANTO, beralamat di Dusun Krajan RT.006/RW.002 Desa Tamansari, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang, untuk saat ini berdomisili di Desa Tempurrejo RT.005, RW.001, Kecamatan Tempursari, Kab.Lumajang, beragama Islam;

• Bahwa para Pemohon telah memadu cinta dan saling mencintai dengan status belum

diikat perkawinan;

• Bahwa Pemohon I ( Sri Mulyani) telah dalam keadaan hamil sebagai hasil buah cinta

Pemohon I ( Sri Mulyani) dengan Pemohon II ( Hadi Susanto);

• Bahwa para Pemohon ingin melakukan perkawinan yang sah menurut hukum yang

berlaku di Negera Republik Indonesia;

Menimbang, bahwa dari fakta-fakta tersebut diatas, para Pemohon menginginkan agar hubungan percintaan diantara mereka dapat diikat dengan perkawinan yang sah;

Menimbang, bahwa dari bukti-bukti tertulis yang masing-masing diberi tanda P-1 sampai dengan P-13 adalah dibenarkan oleh para Pemohon maupun oleh saksi-saksi yang diajukan para Pemohon, sehingga benar Pemohon I ( Sri Mulyani) adalah seorang perempuan beragama Kristen sedang Pemohon II ( Hadi Susanto) adalah seorang laki-laki beragama Islam

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(3)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

yang ingin melangsungkan perkawinan yang sah menurut hukum yang berlaklu di Negara Republik Indonesia;

Menimbang, bahwa di dalam pasal 57 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan, yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan agama, dalam hal inin Pemohon I adalah beragama Kristen sedang Pemohon II beragama Islam;

Menimbang,……. Menimbang, bahwa dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan menegaskan” Perkawinan Campuran dicatat oleh Pegawai pencatat yang berwenang” dan ketentuan ini dikaitkan dengan Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka perkawinan tersebut harus dilasanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi;

Menimbang, bahwa oleh karena para Pemohon akan melangsungkan perkawinan sah sedang para Pemohon berbeda agama sedang Undang-Undang mengharuskan dicatat oleh Pegawai yang berwenang, maka berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang No.24 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan maka pejabat yang berwenang mencatatkan perkawinan para Pemohon adalah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti tertulis dan saksi-saksi yang diajukan para Pemohon didepan persidangan bahwa permohonan para Pemohon adalah memenuhi syarat hukum untuk melakukan perkawinan yang tunduk pada hukum di Indonesia dan hal ini tidak dilarang oleh peraturan yang berlaku di Indonesia sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No.245.K/Sip/1953 tanggal 16 Pebruari 1955 “ Permintaan akan keterangan yang diperlukan oleh seorang wanita yang hendak kawin dengan laki-laki yang berlainan agama tidak boleh ditolak atas alasan yang semata-mata berdasarkan perbedaan agama”;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, dan demi untuk adanya kepastian hukum, maka Pengadilan Negeri memberi ijin kepada pra Pemohon untuk melakukan perkawinan yang tunduk pada hukum di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang;

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(4)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan para Pemohon dapat dikabulkan, maka biaya yang timbul dalam perkara permohonan ini dibebankan kepada para Pemohon;

Mengingat ketentuan Undang-UndangNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan serta peraturan lain yang berkaitan dengan permohonan ini;

M E N E T A P K AN:

1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon ;

2. Memberi……. 2. Memberi ijin kepada para Pemohon untuk menghadap Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang guna melakukan pencatatan perkawinan Beda Agama di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang ;

3. Membebani para Pemohon untuk membayar biaya perkara yang ditetapkan secara tanggung renteng sebesar Rp. 241.000,00 ( dua ratus empat puluh satu ribu rupiah);

Demikianlah ditetapkan pada hari Kamis, tanggal 28 Pebruari 2013, oleh kami,

HALOMOAN SIANTURI, SH.MH. Hakim pada Pengadilan Negeri Lumajang yang ditunjuk

berdasarkan Surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Lumajang tanggal 21 Pebruari 2013

Nomor 198/Pen.Pdt./II/2013/PN.Lmj, penetapan tersebut pada hari itu juga diucapkan dalam

persidangan yang terbuka untuk umum oleh Hakim tersebut, dibantu oleh NGATRIYANTO

Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Lumajang dan dihadiri oleh para

Panitera Pengganti, Hakim,

ttd Meretai ttd

( NGATRIYANTO ) (HALOMOAN SIANTURI, SH.MH)

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(5)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Perincian biaya :

1. Pendaftaran... Rp. 30.000,00 ; 2. Administrasi...Rp. 50.000,00 ; 3. Panggilan ...Rp. 150.000,00 ; 4. Redaksi Penetapan ...Rp. 5.000,00 ; 5. Meterai Penetapan...Rp. 6.000,00 ; Jumlah ………...Rp 241.000,00 ; (dua ratus empat puluh satu ribu Rupiah) ;

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(6)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id