Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
                                                                                3
tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun  1974  mengatakan  bahwa  perkawinan  adalah  sah,  apabila  dilakukan menurut  hukum  masing-masing  agama  dan  kepercayaannya.
3
Walaupun  tentang perkawinan ini telah ada pengaturannya dalam  Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974,  tidak  berarti  bahwa  undang-undang  ini  telah  mengatur  semua  aspek  yang berkaitan  dengan  perkawinan.  Contoh  persoalan  yang  tidak  diatur  oleh  Undang-
Undang  Perkawinan  adalah  perkawinan  beda  agama,  yaitu  antara  seorang  laki- laki dan seorang perempuan yang berbeda agama.
4
Fenomena  perkawinan  antar  agama,  bukanlah  hal  baru  di  Indonesia. Sebelumnya sudah berderet wanita Indonesia yang menikah dengan laki-laki non-
muslim. Kasus yang cukup terkenal adalah perkawinan artis Deddy Corbuzier dan Kalima  pada  awal  tahun  2005  lalu,  di  mana  Deddy  yang  Katolik  dinikahkan
secara  Islam  oleh  penghulu  pribadi  yang  dikenal  sebagai  tokoh  dari  Yayasan Paramadina.  Pengadilan  Negeri  Bogor  sendiri  telah  mengeluarkan  suatu
penetapan  dan  memberikan  izin  untuk  melangsungkan  perkawinan  beda  agama serta  memerintahkan  pegawai  pencatat  perkawinan  pada  Kantor  Catatan  Sipil
KCS  Kota  Bogor  untuk  mendaftarkan  suatu  perkawinan  beda  agama  No. 111Pdt.P2007  Pn.Bgr,
3
M.  Idris  Ramulyo,  Tinjauan  Beberapa  Pasal  Undang-Undang  Perkawinan  No  1  Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Ind Hill Co, 1990, h.3.
4
Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama  di Indonesia Oleh :  Anggreini Carolina Palandi, Lex Privatum, Vol.INo.2Apr-Jun2013. h.197.
4
Sementara  seluruh  agama  yang  diakui  di  Indonesia  tidak  membolehkan adanya  perkawinan  yang  dilakukan  jika  kedua  calon  beda  agama.  Dalam  Islam
sendiri  sudah  jelas  tertulis  dalam  Kompilasi  Hukum  Islam  selanjutnya  disebut KHI  yang  diantara  materi-materinya  adalah  masalah  kawin  beda  agama  yaitu
Pasal  40  huruf  c  dan  Pasal  44.
5
Hanya  saja  materi  yang  termuat  dalam  pasal tersebut  adalah  berupa  pelarangan  tegas  terhadap  persoalan  kawin  beda  agama.
Dalamajaran  Islam  sendiri  wanita  tidak  boleh  menikah  dengan  laki-laki  non muslim  QS  al-Baqarah  [2]  :  221  selain  itu  dalam  ajaran    Kristen  perkawinan
beda  agama  dilarang  I  Korintus  6  :  14-18
6
.  Agama  Kristen  Katholik  secara tegas menyatakan perkawinan antara seorang Katolikdengan penganut agama lain
adalah  tidak  sah  Kanon;1086,  namun  gereja  memberikan  dispensasi  dengan persyaratan  yang  ditentukan  hukum  gereja  Kanon;1125.
7
Dispensasi  dalam realisasinya  diberikan  oleh  Uskup  setelah  memenuhi  persyaratan  tertentu  dan
kedua  belah  pihak  membuat  perjanjian  tertulis  Pertama  yang  beragama  Katolik berjanji akan tetap setia pada iman Katolik, berusaha memandikan dan mendidik
anak-anak  mereka  secara  Katolik,  Kedua,  mereka  yang  tidak  beragama  Katolik berjanji menerima perkawinan secara Katolik, tidak akan menceraikan pihak yang
5
Dalam  Kompilasi  Hukum  Islam  Pasal  40  berbunyi  :  Dilarang  melangsungkan  perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan tertentu yaitu pada huruf c seorang wanita
yang  tidak  beragama  Islam.  Dan  Pasal  44  berbunyi  :  Seorang  wanita  Islam  dilarang  melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Focus
Media,  2010, h. 16.
6
Hukum  Online,  Tanya  Jawab  Hukum  Perkawinan  dan  Perceraian,  Ciputat:  Kataelha, 2010, h. 31.
7
Kanon Alkitab adalah kumpulan kitab yang diyakini memiliki otoritas sebagai Firman Allah dan layak menjadi tolak ukur bagi iman umat yahudi maupun kristiani.
5
beragama  Katolik,  tidak  menghalangi  pihak  yang  beragama  Katolik melaksanakan  imannya,  dan  bersedia  mendidik  anak-anaknya  secara  Katolik.
Menurut  hukum  Hindu  suatu  perkawinan  hanya  sah  jika  dilaksanakan  upacara suci  oleh  Pedende,  dan  Pedende  hanya  mau  melaksanakan  upacara  pernikahan
kalau  kedua  calon  pengantin  beragama  Hindu  maka  perkawinan  orang  Hindu yang tidak memenuhi syarat dapat dibatalkan.
Sehubungan  dengan  soal  keabsahan  dari  perkawinan  beda  agamayang masih menjadi dualisme yang dipertanyakan dan selama ini pelaksanaanya masih
belum  mendapat  kejelasan  kini  telah  mendapat  suatu  dasar  hukum  yaitu berdasarkan  penetapan  pengadilan  sesuai  dengan  Undang-Undang  Administrasi
Kependudukan  Nomor  23  Tahun  2006  yang  mana  dalam  salah  satu  pasalnya Pasal 35 berbunyi:
“Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi :
a. Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan dan
b. Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan
Warga Negara Asing yang bersangkutan. Bunyi penjelasan Pasal  35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 : huruf
a yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan  yang  dilakukan  antar-umat  yang  berbeda  agama
8
.  Sehingga  dapat ditarik  kesimpulan  bahwa  Kantor  Catatan  Sipil  kini  memiliki  kewenangan
8
Lihat Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006, Jakarta:  Sinar Grafika, 2007, h. 17.
6
baru,yang  sebelumnya  hanya  berwenang  mencatatkan  perkawinan  selain pasangan non-muslim sesuai dengan Keputusan  Presiden Nomor 12 Tahun 1983
tentang  Penataan,  Pembinaan,  Penyelenggaraan  Catatan  Sipil  yang  pada  Pasal  1 ayat  2  huruf  a  menyatakan  kewenangan  dan  tanggung  jawab  di  bidang  catatan
sipil adalah: menyelenggarakan pencatatan dan penerbitan kutipan akta kelahiran, akta  kematian,  akta  perkawinan  dan  akta  perceraian  bagi  mereka  yang  bukan
beragama  Islam.
9
Kemudian  diperkuat  dengan  keputusan  Gubernur  Kepala Daerah  Khusus  Ibukota  Jakarta  Nomor  15  Tahun  1999    tentang  Prosedur
Pelayanan  Masyarakat  pada  Kantor  Catatan  Sipil  Propinsi  DKI  Jakarta  Pasal  5 ayat  1  yang  menyatakan  setiap  perkawinan  WNI  atau  WNA  yang  telah  sah
dilaksanakan  oleh  pemuka  agama  selain  agama  Islam  dicatatkan  pada  Kantor Catatan  Sipil  selambat-lambatnya  30  hari  sejak  peristiwa  perkawinan.Dengan
adanya  peraturan-peraturan  tersebut  maka  Kantor  Catatan  Sipil  tidak  lagi berwenang  mengawinkan  pasangan  beda  agama  walaupun  ada  perintah  dari
pengadilan untuk melaksanakannya. Namun  dengan  lahirnya  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2006  tentang
Adminitrasi Kependudukan, Kantor Catatan Sipil memiliki tugas baru yaitu selain mencatat  perkawinan  non-Islam  kini  juga  mencatat  pasangan  beda  agama.  Jika
dilihat  dari  poin  Pasal  35  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2006  tentang Administrasi Kependudukan muncul sebagai jalur legal dari berbagai jalur ilegal
yang  sering  dilakukan  masyarakat  untuk  melangsungkan  perkawinan,  ketentuan
9
Lihat  Keputusan  Presiden  Republik  Indonesia  Keppres  Nomor  12  Tahun  1983  Tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil Presiden Republik Indonesia
7
pasal ini jelas bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang  Perkawinan Nomor 1  Tahun  1974  yaitu  perkawinan  adalah  sah,  apabila  dilakukan  menurut  hukum
masing-masing  agamanya  dan  kepercayaannya  itu.  Dalam  penjelasan  atas Undang-Undang  Perkawinan  Nomor  1  Tahun1974  terhadap  Pasal  2  ayat  1  ini,
berarti  tidak  ada  perkawinan  diluar  hukum  masing-masing  agamanya  dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud
dengan  hukum  masing-masing  agamanya  dan  kepercayaannya  itu  termasuk ketentuan  perundang-undangan  yang  berlaku  bagi  golongan  agamanya  dan
kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Pasal 8 huruf f mempunyai hubungan  yang oleh agamanya
atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Walaupun bunyi Pasal 8 huruff Undang-Undang  Perkawinan  ,  tidak  tegas  menyebutkan  larangan  perkawinan
beda  agama,  tetapi  sudah  menjadi  pengetahuan  umum,  bahwa  setiap  agama  di Indonesia  melarang  perkawinan  antara  umat  yang  berbeda  agama.  Hal  tersebut
diperkuat  dengan  bunyi  penjelasan  atas  Pasal  2  ayat  1  Undang-Undang Perkawinan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya
dan  kepercayaannya  itu.  Hal  ini  memperlihatkan  bahwa  suatu  penjelasan  atas suatu  pasal  dari  suatu  undang-undang,  menghapuskan  atau  membatalkan  suatu
ketentuan undang-undang yang lain.
10
Dengan  demikian  timbulah  pertanyaan  apakah  hukum  negara  telah mengakui  adanya  perkawinan  beda  agama  dan  segala  akibat  perkawinan  beda
agama  tersebut  dan  apakah  keberadaan  Pasal  35  huruf  a  Undang-Undang
10
Dualisme  Pandangan  Hukum  Perkawinan  Beda  Agama  Antara  Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Adminduk, Privat Law Edisi 01 Maret-Juni 2013. h. 52
8
Nomor  23  Tahun  2006  tentang  Administrasi  Kependudukan  merupakan pengecualian  dari  berlakunya  Pasal  2  ayat  1  Undang-Undang  Perkawinan
Nomor  1  Tahun  1974  dan  berarti  perkawinan  beda  agama  telah  mendapat pengaturan  tersendiri.  Berdasarkan  hal  yang  diuraikan  di  atas  penulis  tertarik
untuk  mengangkat  topik  yang  berjudul:
“Analisa  Yuridis  Perkawinan  Beda Agama  di  Indonesia  Setelah  diberlakukannya  Undang-Undang  Administrasi
Kependudukan  Nomor 23 Tahun 2006 ”
                