Tata Cara Perkawinan Beda Agama dalam Praktek

68 keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai alasan –alasan penolakannya. Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah dimana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan di atas. Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut atau memerintahkan agar perkawinan dilangsungkan. 2. Perkawinan dilangsungkan dua kali menurut masing-masing agamanya. Dengan melangsungkan perkawinan dua kali menurut agama calon suami dan istri diharapkan pegawai pencatat perkawinan menganggap bahwa ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dipenuhi. Prof. Wahyono berpendapat bahwa perkawinan yang berlaku bagi mereka adalah perkawinan yang dilangsungkan belakangan. Hal ini dikarenakan perkawinan yang dilakukan belakangan otomatis membatalkan perkawinan yang dilangsungkan sebelumnya. 3. Penundukan sementara terhadap salah satu agama. Penundukan sementara ini biasanya diperkuat dengan mengganti status agama yang dianut di Kartu Tanda Penduduk KTP. Namun, setelah perkawinan berlangsung pihak yang melakukan penundukan agama kembali ke agama semula. Hal ini merupakan penyelundupan hukum karena dilakukan untuk menghindari ketentuan hukum nasional mengenai perkawinan yang seharusnya berlaku bagi dirinya. 69 4. Melangsungkan perkawinan di luar negeri. Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Selanjutnya disebutkan bahwa dalam waktu 1 tahun setelah suami istri tersebut kembali ke Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka. Namun sebenarnya cara ini tidak dapat menjadi pembenaran dilangsungkan perkawinan beda agama. Karena sesuai Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan tersebut baru sah apabila Warga Negara Indonesia WNI tidak melanggar ketentuan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974. 40

D. Pencatatan dalam Perkawinan Beda Agama

Aturan yang belum jelas dan ketidak pastian hukum pada pasangan yang berbeda agama menimbulkan pertanyaan baru dan masalah tentang keabsahan perkawinan, yang mana dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 2 dijelaskan bahwa : 40 Lihat situs http:www.hukumonline.comberitabacahol15655empat-cara-penyelu ndupan-hukum-bagi-pasangan-beda-agamadanhttp:darahapsarinastiti.blogspot.com201112 perkawinan-beda-agama.html, di unduh tgl 21102013 jam 14.20 WIB. 70 1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku Hal ini menunjukan bahwa ayat satu dan dua saling berkaitan dan tidak bisa di pisahkan, perkawinan dianggap sah jika dilakukan menurut agama dan dicatatkan di instasi yang sudah di tentukan. Sehingga bagi pasangan beda agama pun berlaku hal yang sama, jika agama masing-masing tidak mengijinkan maka perkawinannya pun dianggap tidak sah ditambah dalam pengesahnya harus adanya bukti dalam bentuk akte nikah yang mana untuk mendapatkanya harus melalui proses pencacatan, lalu instasi mana yang berwenang mencatatkan? Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tepatnya dalam bab II Pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa, perkawinan yang dilangsungkan menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatatan yang sebagaiman di jelaskan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama KUA. Sedangkan yang bukan beragama Islam dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil KCS. Maka sudah jelas sekali bagi pasangan beda agama tak memiliki tempat dimanapun. Namun kenyataanya Kewenangan Kantor Catatan Sipil dalam bidang perkawinan sebelum dan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 seperti kita tahu mengalami perubahan. Dalam hal perkawinan beda agama 71 perubahan kewenangan ini membawa dampak yang signifikan sehingga lembaga ini satu-satunya yang memiliki kemungkinan untuk mencatatkan perkawinannya. Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau perkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dan ada pula Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan Gemengde Huwelijken Regeling, bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami. Namun dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 KPdt1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga Pasal 8 point f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak lagi merupakan halangan