Sesudah Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

63 Prof. Dr Hazairin SH, secara tegas menjelaskan bahwa dalam Pasal 2 ayat 1 bahwa tidak ada lagi upaya untuk melanggar “hukum agamanya sendiri” jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya, demikian bagi umat Kristiani, Hindu maupun Budha. 35 Hukum agama dan kepercayaan yang dimaksud bukanlah hanya hukum yang di jumpai dalam kitab-kitab suci atau dalam keyakinan-keyakinan yang terbentuk dalam gereja-gereja Kristen atau dalam ketentuan masyarakat seperti bali tetapi semua ketentuan-ketentuan perundang-undangan sekedar yang masih berlaku ataupun tidak baik yang sudah di tetapkan maupun yang akan di tetapkan lihat Pasal 66. Sehingga Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan menghapuskan segala ketentuan-ketentuan mengenai atau keterhubungan dengan perkawinan yang di jumpai pertama, BW, O.P.I.K S.1933 : 74, P.P.C S.1898 : 158 dan kedua dalam peraturan-peraturan lain sejalan materinya telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. 36 Perkawinan beda agama, tidak diatur secara tegas dalam Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dengan tidak diaturnya masalah perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka tidak jelas pula diperbolehkan atau tidaknya pelaksanaan perkawinan beda agama. Namun timbul permasalahan ketika Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan dihubungkan dengan Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan, yang 35 Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalian Indonesia, 1978, h. 16. 36 Sudarsono, Hukum Keluargaan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, h. 261. 64 mana dalam penjelasan Pasal 66 menyebutkan bahwa peraturan-peraturan lama dapat di berlakukan selama Undang-undang Perkawinan belum mengaturnya. Dengan demikian maka masalah perkawinan beda agama harus berpedoman kepada peraturan perkawinan campuran, sedangkan dalam Pasal 57 Undang- Undang Perkawinan menjelaskan perkawinan campuran itu hanya terkait perkawinan antar negara sedangkan menurut peraturan lama perkawinan campuran mencangkup perkawinan antar agama, jadi ketentuan-ketentuan itulah yang membuka kemungkinan seluas-luasnya untuk mangadakan perkawinan beda agama atau mengalihkan aturan yang ada sehingga munculah penyelundupan hukum. Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 secara eksplisit mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c. seorang wanita yang tidak beragama Islam. 37 37 Lihat Kompilasi Hukum Islam KHI h. 16. 65 Di samping itu ada keputusan Musyawarah Nasional ke II Majelis Ulama Indonesia MUI No. 05KepMunas IIMUI1980 tanggal 1 juni 1980 tentang Fatwa, yang menetapkan pada angka 2 perkawinan antar umat beragama, bahwa: a. Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non-muslim adalah haram hukumya. b. Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslimah. Tentang perkawinan atara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab terdapat perbedaan pendapat. 38 Selanjutnya Prof. Dr. Quraiysh Shihab, MA., dengan lantang mengatakan, perkawinan ini tidak sah, baik menurut agama maupun menurut Negara. Adapun putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 KPdt1986, putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 KPdt1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan beda agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia. 39 Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak 38 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta:Elsas, 2008, h. 123. 39 Mohammad Monib dan Ahmad Nurcholis, Kado Cinta Bagi Pasangan Beda Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009, h. 146. 66 secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama, Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 KPdt1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan beda agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan, namun kenyataanya Kantor Catatan Sipil KCS tetap menolak dengan alasan belum ada aturan yang baku. Namun kini ada aturan baru dalam persoalan perkawinan dalam hal pencacatan terkait prosedur pengesahan perkawinan yaitu lahirnya Undang-Undang Adminduk Nomor 23 Tahun 2006 dalam Pasal 34 dan 35 tentang penetapan melalui pengadilan yang mana dalam penjelasanya dikhususkan untuk perkawinan beda agama, sehingga kantor catatan sipil tidak boleh lagi menolak mencatatkan perkawinan yang beda agama karena sudah ada ketentuannya.

C. Tata Cara Perkawinan Beda Agama dalam Praktek

Kenyataannya di Indonesia masyarakatnya sangat heterogen, yang terdiri dari bermacam-macam suku, juga adanya agama yang beraneka ragam. Hal ini sangat berpengaruh pada pergaulan sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak bisa di pungkiri juga kemajuan tekhnologi sebagai alat interaksi baru dalam pergaulan, yang tak hanya bisa ditempuh dalam satu wilayah melainkan banyak dan menyebar keseluruh dunia akibat dari globalisasi. Hal tersebut sedikt ataupun 67 banyak tetap saja ikut ambil alih dalam mendorong atau melatar belakangi terjadinya perkawinan beda agama. Di tambah dengan tidak diaturnya perkawinan beda agama secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebabkan perbedaan interpretasi terhadap Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan. Hal tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum bagi pasangan yang melakukan perkawinan beda agama sedangkan perkawinan beda agama di Indonesia tidak dapat dihindarkan. Pada kenyataanya perkawina berbeda agama sudah berkembang dan menjadi polemik sejak dulu, setelah kasus yang pertama kali muncul yaitu kasus yang dilakukan oleh Andi Vonny G, dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 KPdt1986 perkawinan mereka telah sah, dan putusan tersebut dijadikan acuan untuk mengesahkan perkawinan selanjutnya. Untuk dapat mencatatkan perkawinan beda agama, menurut guru besar hukum perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata dalam seminarnya di Depok menjelaskan ada empat cara yang biasa di tempuh oleh para pihak yang ingin melangsungkan perkawinan beda agama, yaitu antara lain : 1. Meminta penetapan pengadilan. Pasal 21 ayat 1 – 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa jika pegawai pencatan perkawinan berpendapat bahwa perkawinan tersebut ada larangan menurut undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu 68 keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai alasan –alasan penolakannya. Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah dimana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan di atas. Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut atau memerintahkan agar perkawinan dilangsungkan. 2. Perkawinan dilangsungkan dua kali menurut masing-masing agamanya. Dengan melangsungkan perkawinan dua kali menurut agama calon suami dan istri diharapkan pegawai pencatat perkawinan menganggap bahwa ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dipenuhi. Prof. Wahyono berpendapat bahwa perkawinan yang berlaku bagi mereka adalah perkawinan yang dilangsungkan belakangan. Hal ini dikarenakan perkawinan yang dilakukan belakangan otomatis membatalkan perkawinan yang dilangsungkan sebelumnya. 3. Penundukan sementara terhadap salah satu agama. Penundukan sementara ini biasanya diperkuat dengan mengganti status agama yang dianut di Kartu Tanda Penduduk KTP. Namun, setelah perkawinan berlangsung pihak yang melakukan penundukan agama kembali ke agama semula. Hal ini merupakan penyelundupan hukum karena dilakukan untuk menghindari ketentuan hukum nasional mengenai perkawinan yang seharusnya berlaku bagi dirinya.