71
perubahan kewenangan ini membawa dampak yang signifikan sehingga lembaga ini satu-satunya yang memiliki kemungkinan untuk mencatatkan perkawinannya.
Menurut  Purwoto  S.  Gandasubrata  bahwa  perkawinan  campuran  atau perkawinan  beda  agama  belum  diatur  dalam  undang-undang  secara  tuntas  dan
tegas.  Oleh  karenanya,  ada  Dinas  Kependudukan  dan  Catatan  Sipil    yang  tidak mau  mencatatkan    perkawinan  beda  agama  dengan  alasan  perkawinan  tersebut
bertentangan  dengan  Pasal  2  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974.  Dan  ada pula Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil  yang mau mencatatkan berdasarkan
Gemengde  Huwelijken  Regeling,  bahwa  perkawinan  dilakukan  menurut  hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.
Namun  dengan  adanya  Putusan  Mahkamah  Agung  Reg.  No.  1400 KPdt1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan
perkara  perkawinan  antar  agama  dapat  menggunakan  putusan  tersebut  sebagai salah  satu  dari  sumber-sumber  hukum  yang  berlaku  di  Indonesia.  Dalam  proses
perkawinan  antar  agama  maka  permohonan  untuk  melangsungkan  perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Dan
bagi  orang  Islam  ditafsirkan  atas  dirinya  sebagai  salah  satu  pasangan  tersebut berkehendak  untuk  melangsungkan  perkawinan  tidak  secara  Islam.  Dan  dengan
demikian  pula  ditafsirkan  bahwa  dengan  mengajukan  permohonan  tersebut pemohon  sudah  tidak  lagi  menghiraukan  status  agamanya.  Sehingga  Pasal  8
point    f  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tidak  lagi  merupakan  halangan
72
untuk  dilangsungkan  perkawinan,  dengan  anggapan  bahwa  kedua  calon  suami isteri  tidak  lagi  beragama  Islam.  Dengan  demikian  Dinas  Kependudukan  dan
Catatan  Sipil  berkewajiban  untuk  menerima  permohonan  tersebut  bukan  karena kedua  calon  pasangan  dalam  kapasitas  sebagai  mereka  yang  berbeda  agama,
tetapi  dalam  status  hukum  agama  atau  kepercayaan  salah  satu  calon pasangannya.
41
41
Maris  Yolanda  Soemarno,  Tesis  Analisis  Atas  Keabsahan  Perkawinan  Beda  Agama Yang  Dilangsungkan  Di  luar  Negeri,Magister  Kenotariatan  Fakultas  Hukum  Universitas  Sumatera
Utara Medan: 2009, h. 53.
73
BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA
Perkawinan  sebagai  institusi  sosial  sungguh  sama  kompleks  dengan kontroversi dengan institusi mapan lainya  yang sangat  berpengaruh negara. Kedua
institusi  ini  sama-sama  di  soroti  sebagai  arena  pertarungan  yang  alih-alih  berbasis keadilan  dan  merealisasikan  dalam  kehidupan  sosial  untuk  menegakan  kedaulatan
individu  sebenarnya  untuk  para  pihak  yang  berkepentingan.  Tak  dapat  di  pungkiri, nasib  dari  dua  institusi  mapan  ini  Negara-Perkawinan  saling  kait-mengait,  banyak
peraturan  yang berkembang dan tampak tak berpungsi  atau malah menjadi  hal  yang menuai  pro  dan  kontra.    Dengan  alih-alih  globalisasi  atau  pengaruh  sekularis  dan
berkata  negara  ini  plural  menjadi  alasan  dari  tiap-tiap  suatu  peraturan  di  buat,  dan lebih  dominan  pada  siapa  yang  berkuasa.  Misal  aturan  tentang  perkawinan  lintas
agama atau antar agama yang masih menjadi polemik dan masih dalam perselisihan hingga saat ini, di muatnya aturan yang belum pasti dan tidak jelas sehingga banyak
penyelundupan  hukum.  Namun  ada  lagi  yang  menjadi  kontroversi  yaitu  munculnya aturan baru  yang masih  di  perbincangkan  apakah aturan ini menjadi  penegas bahwa
perkawinan  antar  agama  sudah  legal,  bagaimana  kedudukan  aturan  yang  lama. Berikut beberapa cara penyelesaian problem perkawinan antar agama dan keabsahan
perkawinan beda agama menurut aturan yang berlaku.
74
A. Perkawinan  Antar  Agama  dalam  Perspektif  Undang-Undang  Nomor23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
Administrasi  adalah  usaha  dan  kegiatan  yang  berkenaan  dengan penyelenggaraan  kebijaksanaan  untuk  mencapai  tujuan.  Administrasi  dalam  arti
sempit  adalah  kegiatan  yang  meliputi:  catat-mencatat,  surat-menyurat, pembukuan  ringan,  ketik-mengetik,  agenda,  dan  sebagainya  yang  bersifat  teknis
ketatausahaan.  Menurut  Arthur  Grager  Administrasi  adalah  fungsi  tata penyelenggaraan  terhadap  komunikasi  dan  pelayanan  warkat  suatu  organisasi.
Administrasi  menjadi  hal  yang  sangat  penting  jika  dihubungkan  dengan  segala aktivitas  berkehidupan,  berhubung  Negara  Indonesia  memiliki  penduduk  yang
sangat  padat  maka  dibutuhkanlah  sebuah  aturan  dalam  berkependudukan sehingga  administrasi  kependudukan  menjadi  sebuah  kebutuhan  untuk
menertibkan  masalah-masalah  yang  ditimbulkan  akibat    proses  pencatatan  atau pengolahan yang berhubungan dengan ketertiban bersama
1
. Administrasi  kependudukan  sendiri  adalah  rangkaian  kegiatan  penataan
dan  penertiban  dalam  penerbitan  dokumen  dan  data  kependudukan  melalui pendaftaran  penduduk,  pencatatan  sipil  dan  pengelolaan  informasi  administrasi
kependudukan  serta  pendayagunaan  hasilnya  untuk  pelayanan  publik  dan pembangunan  sektor  lain
2
.  Administrasi  kependudukan  itu  sendiri  menyangkut
1
Http:Id.M.Wikipedia.OrgWikiAdminitrasi. Tgl 5 Januari 2014 Jam 10.0 WIB
2
Afdol,Seminar Nasional Hak Masyarakat Adat Atas Pencatatan Sipil, Depok: Lemabaga Kajian  Hukum  Perdata  Fakultas  Hukum  Universitas  Indonesia  dan  Good  Governance  In  Population
Administration “GGTZ GG PAS”,  2007,h. 3.
75
seluruh masalah kependudukan, yang meliputi pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, dan pengelolaan data informasi kependudukan.
Terkait dengan hal tersebut, pemerintah  telah  mengeluarkan  kebijakan  kependudukan  melalui  Undang-
UndangRepublik  Indonesia  Nomor  23  Tahun  2006  tentang  Administrasi Kependudukan.  Materi  yang  termuat  dalam  Undang-Undang  Administrasi
Kependudukan Adminduk  terdiri dalam 14 bab, berikut pembagianya : 1.
Bab I berisi tentang ketentuan umum, terdiri dari 1 Pasal. 2.
Bab II berisi tentang Hak dan Kewajiban penduduk, terdiri dari 3 Pasal. 3.
Bab III berisi tentang pengaturan Kewenangan Penyelenggaraan dan Instansi Pelaksana, terdiri dari 8 Pasal.
4. Bab IV berisi tentang Pendaftaran Penduduk, terdiri dari 14 Pasal.
5. Bab V berisi tentang Pencatatan Sipil, terdiri dari 31 Pasal.
6. Bab VI berisi  tentang pengaturan Data dan Dokumen Kependudukan, terdiri
dari 22 Pasal. 7.
Bab VII berisi tentang pengaturan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Saat  Negara  atau  Sebagian  Negara  dalam  Keadaan  Darurat  dan  Luar  Biasa,
terdiri dari 2 Pasal. 8.
Bab  VIII  berisi  tentang  pengaturan  Sistem  Informasi  Administrasi Kependudukan, terdiri dari 2 Pasal.
9. Bab IX berisi tentang pengaturan Perlindungan Data Pribadi Penduduk, terdiri
dari 4 Pasal 10.
Bab X Penyidikan, terdiri dari 1 Pasal.