Analisis Pasal 35 Huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
                                                                                84
Hal  yang  menjadi  perdebatan  banyak  pihak  adalah  apakah  perkawinan yang  dicatatkan  dengan  penetapan  pengadilan  sesuai  dengan  Pasal  35  huruf  a
Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2006  sah  menurut  Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Dalam permasalahan ini untuk melihat aturan
mana yang mesti diberlakukan dan adakah pertentangan kita harus mengaitkanya dengan  asas-asas  pembentukan  peraturan  agar  terlihat  titik  persoalan  secara
sistematis
.
Menurut Van Der Vlies suatu peraturan yang akan dibuat harus memiliki tujuan  yang  jelas,  dengan  tujuan  yang  jelas  maka  akan  dapat  dicapai  sebuah
aturan  yang  menjawab  permasalahan.
11
Dalam  teknis  pembentukan  peraturan perundang-undangan, penggambaran tujuan yang jelas di cantumkan pada bagian
konsidern menimbang termasuk pula bagian penjelasan. Dalam konsideren yang termuat  dalam  Undang-Undang  Administrasi  Kependudukan  menekankan  pada
penyelenggaraan  pecatatan  sipil  maupun  pencatatan  kependudukan  yang  erat kaitanya dengan upaya perlindugan  status hukum setiap peristiwa kependudukan
dan  peristiwa  penting.  Penduduk  berhak  mendapatkan  dokumen  kependudukan sesuai dengan  amanat  Undang-Undang  Dasar Negara Republik  Indonesia Tahun
1945  dimana  hak-hak  tersebut  berkaitan  dengan  peristiwa  kependudukan  dan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang tanpa adanya diskriminatif. Dalam
pemenuhan hak penduduk, terutama di bidang pencatatan sipil, masih ditemukan penggolongan  penduduk  yang  didasarkan  pada  perlakuan  diskriminatif  yang
11
Ibid, h.145.
85
membeda-bedakan  suku,  keturunan,  dan  agama  sebagaimana  diatur  dalam berbagai  peraturan  produk  kolonial  Belanda.
12
Maka  adanya  Pasal  35  terkait perkawinan  beda  agama  adalah  upaya  untuk  menghilangkan  deskriminatif  dan
upaya penegakan Hak Asasi Manusia HAM. Maka munculnya Pasal 35 menurut dianggap  sebagai  suatu  kemajuan  HAM  khususnya  hak  warga  negara  untuk
dicatat.  Dengan  maksud  bahwa  agama  bukan  lagi  masalah  krusial  agar  suatu perkawinan bisa dicatatkan.
Suatu peraturan perundang-undangan yang baik haruslah didasarkan pada asas pembentukan peraturan yang baik, yaitu kejelasan tujuan, kelembagaan atau
organ pembentukan yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan,  kedayagunaan  dan  kehasilgunaan,  kejelasan  rumusan  dan
keterbukaan  tidak  bertentangan  dengan  aturan  yang  lebih  tinggi  kedudukanya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukn  Peraturan  Perundang-Undangan  Pasal  5.
13
Sehingga  dalam menganalisa  suatu  peraturan  perundang  undangan,  ada  beberapa  langkah  yang
mesti diperhatikan antara lain
14
;
12
Lihat  Penjelasan  Undang-Undang  Nomer  23  Tahun  2006  Tetang  Administrasi Kependudukan, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Pertama, h. 44.
13
Lihat  Undang-Undang  Nomor  12  Tahun  2011  Tentang  Pembentukan  Peraturan Perundang-Undangan, Bandung: Nuansa Indah 2011, Cet. Pertama, h.5.
14
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2009, h.171.
86
1. Sitematika penulisan sesuai dengan aturan pembentukan perundang-undangan
yang baru, 2.
Dasar hukum yang dijadikan acuan harus sesuai dengan aturan pembentukan perundang-undangan yang baru,
3. Masalah sosial yang ingin diatasi,
4. Dan norma-norma pokok yang terdapat dalam peraturan yang akan dibuat
Hal  ini  bertujuan  untuk  melihat  efesiensi  dan  efektivitas  peraturan  tersebut, apakah  menimbulkan  masalah  baru  atau  adanya  sebuah  kepentingan  dalam
pembentukan peraturan tersebut. Jika  kita  analisis  Undang-Undang  Administrasi  Kependudukan  menurut
Undang-Undang  Nomer  12  Tahun  2011  Tentang  Pembentukan  Peraturan Perundang-Undangan,  secara  aspek  teknis  pembentukan  peraturan  perundang-
undangan,  Undang-Undang  Administrasi  Kependudukan  sendiri  telah  sesuai dengan  aturan  yang  berlaku  baik,  secara  sitematika  penulisan  ataupun  secara
teknis  pembentukan.  Bisa  kita  lihat  dari  segi  sitematika  penulisanya,  yaitu adanya  judul  yang  jelas,  pembukaan,  batang  tubuh,  penutup,  penjelasan  dan
lampiran. Di dalam pembukaan itu sendri berisi konsideren pertimbangan yang memuat  uraian  singkat  mengenai  pokok  pikiran  dari  Undang-Undang
Administrasi  Kependudukan  yaitu  adanya  upaya    perlindungan  dan  pengakuan terhadap  penentuan  status  pribadi  dan  status  hukum  sehingga  jika  ditafsirkan
dibuatnya  undang-undang  ini  bertujuan  untuk  mengatasi  permasalahan  dan mengisi  kekosongan  hukum  agar  terciptanya  keadilan.  Maka  jelas  bahwa
87
dimuatnya  Pasal  35  terkait  perkawinan  beda  agama  adalah  salah  satu  upaya untuk  menghilangkan  perbedaan  dan  upaya  mengisi  kekosongan  hukum  yang
mana  sebelumnya  belum  ada  aturan  jelas  yang  mengatur  perkawinan  antar agama.
Dasar hukum  yang dijadikan acuan dalam pembentukan  Undang-Undang Administrasi Kependudukan sendiri sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor
12  Tahun  2011    Tentang  Pembentukan  Peraturan  Perundang-Undangan  Pasal  7 terkait  jenis  dan  hierarki    peraturan  perundang-undangan  yaitu  susunan  tertinggi
harus  berdasarkan  Undng-Undang  Dasar  1945,  sedangkan  masalah  sosial  yang ingin diatasi sendri dari Undang-Undang Administrasi Kependudukan bisa dilihat
dalam bab penjelasan yaitu terkait pemenuhan hak Penduduk, terutama di bidang Pencatatan  Sipil,  yang  masih  ditemukan  penggolongan  Penduduk  yang
didasarkan  pada  perlakuan  diskriminatif  yang  membeda-bedakan  suku, keturunan, dan agama sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku.
Dan  itulah  yang  menjadi  latar  belakang  lahirnya  Pasal  35  Undang-Undang Administrasi  Kependudukan  tentang  penetapan  pengadilan  bagi  pasangan  beda
agama
15
.  Namun  kenyataannya  dalam  pasal  tersebut  jika  ditafsirkan  sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai agama yang menekankan sebuah perkawinan
pada ikatan yang syakral. Hukum  agama  sendiri  merupakan  salah  satu  hukum  yang  hidup  dan
menjiwai seluruh umat manusia, dan diyakini kebenarnya sehingga memberi efek
15
Lihat UU Nomer 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, h. 17.
88
sosiologis  pada  seluruh  aspek  kehidupan,  termasuk  juga  hukum  khusus  yaitu hukum  perkawinan,  maka  dari  itu  suatu  perkawinan  seharusnya  sesuai  dengan
aturan  agama  dan  bangsa.  Indonesia  sendiri  merupakan  bangsa  yang  monotheis dan  bukan  atheis,
16
oleh  karena  itu  agama  dijadikan  landasan  filsafah  bangsa Indonesia dan bisa kita lihat pada sila pertama dalam Pancasila
yakni “Ketuhanan Yang  Maha  Esa
”.  Paham  inilah  yang  menjadi  dasar  dilahirkannya  Undang- Undang Perkawinan  yang mana agama diajdikan hal  utama  yakni  hukum  agama
sebagai  pengesah  suatu  perkawinan,  misalnya  seorang  muslim  maka  ia berdasarkan hukum agamanya sebaliknya agama lain.
Menurut Daud Ali dalam Negara  yang berdasarkan Pancasila tidak boleh berlaku  aturan  hukum  yang  bertentangan  dengan  hukum  agama,  agama-agama
yang  ada  di  Indonesia  melarang  perkawinan  beda  agama.  Maka  dalam  Negara Pancasila  tidak  boleh  terjadi  perkawinan  antar  pemeluk  agama  yang  berbeda.
Bustanul Arifin berpendapat bahwa dalam sistem perkawinan kita sekarang tidak ada  lagi  tempat  untuk  perkawinan  yang  bersifat  sekuler  seperti  perkawinan
perdata  masa  dulu,  karena  Pancasila  tidak  menampung  hal-hal  yang  bersipat sekuler.
17
Keabsahan  suatu  perkawinan  merupakan  suatu  yang  bersipat  prinsipil, karena  berkaitan  langsung  dengan  akibat
–akibat  perkawinan.  Hal  ini  lah  yang melatarbelakangi  lahirnya  Pasal  2  ayat  1
yakni  “  perkawinan  adalah  syah
16
Monotheis  adalah  sebuah  paham  yang  menyakini  adanya  suatu  Tuhan  sebagai  pencipta kehidupan manusia, sedangkan atheisme adalah paham yang tidak menyakini adanya tuhan.
17
Ichtiyanto,  Perkawinan  Campuran  Dalam  Negara  Republik  Indonesia,  Jakarta:  Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2003, Cet. Pertama, h. 81-82.
89
menurut agama dan kepercayaan masing- masing”, hukum masing-masing agama
itu  termasuk  pula  ketentuan-ketentuan  perundang-undangan  yang  berlaku  bagi golongan  agamanya  dan  kepercayaanya  sepanjang  tidak  bertentangan  atau
ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan.
18
Dari  ketentuan  tersebut,  jelas  terlihat  bahwa  perkawinan  mempunyai kaitan erat dengan agama yang dianut oleh calon mempelai, sehingga perkawinan
dapat  dikatakan  syah  secara  yuridis  apabila  perkawinan  tersebut  dilakukan menurut  agama  orang  yang  melangsungkan  perkawinan  tersebut.  Maka  bagi
orang  Islam  perkawinan  mereka  dikatakan  syah  jika  mengikuti  aturan  tata  cara hukum Islam, dan bagi pasangan yang berbeda agama maka perkawinannya dapat
dikatakan tidak sah. Menurut  penulis  adanya  pelarang  perkawinan  beda  agama  atau
perkawinan  beda  agama  tidak  syah  bukanlah  sebuah  pelanggar  Hak  Asasi Manusia,  jika  dikaitkan  dengan  Pasal  28  J  Undang-Undang  Dasar  1945  yang
berbunyi; “ Dalam menjalankan hak dan kebebasanya, setiap orang wajib tunduk kepada  pembatasan  yang  ditetapkan  dengan  Undang-Undangdengan  maksud
semata-mata  untuk  menjamin  pengakuan  serta  penghormatan  atas  hak  dan kebebasan  orang  lain  dan  untuk  memenuhi  tuntutan  yang  adil  sesuai  dengan
pertimbangan  moral  dan  nilai-nilai  agama,  keamanan  dan  ketertiban  umum dalam  suatu  masyarakat  demokratis
”  maka  jika  ditapsirkan  bahwa  hak  asasi
18
H.M.  Anshary,  Hukum  Perkawinan  Indonesia  Masalah-Masalah  Krusial,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Cet. Pertama, h. 12.
90
manusia dibatasi selama tidak melanggar nilai-nilai agama dan sebagainya.
19
Dari ketentuan  pasal  di  atas dapat  dilihat bahwa perkawinan beda  agama bukan  lagi  Hak  Asasi  Manusia,  karena  sudah  melanggar  nilai-nilai  agama
walaupun  pada  kenyataanya  perkawinan  tersebut  bisa  diberlangsungkan  dengan adanya  dipensasi.  Pada  dasarnya  dikeluarkanya  dispensasi  dari  masing-masing
agama  bukanlah  degan  cuma-cuma  tapi  ada  persyaratan  yang  mesti  dilakukan terlebih  dahulu,  hal  ini  menandakan  bahwa  perkawinan  beda  agama  sangatlah
tidak  disukai  di  setiapa  ajaran  agama  manapun.  Dampak  yang  ditimbulkan  dari perkawinan  beda  agamapun  sangatlah  lebih  banyak,  terkait  masalah  anak
terutama  dalam  pertumbuhan  kejiwaanya.  Kewajiban  orang  tua  mendidik anaknya  dengan  nilai-nilai  agama  merupakan  hak  setiap  anak,  bagaimana
pasangan beda agama dalam meberikan pendidikan untuk tumbuh kembang anak, menjadi masalah yang mesti diperhatikan.
Walaupun  benar  bahwa  perkawinan  adalah  hak  setiap  orang,  dan  adanya Pasal  35  tentang  perkawinan  beda  agama  adalah  untuk  menghilangkan  adanya
diskriminasi,  di  dalam  Undang-Undang  Nomor  39  Tahun  1999  Tentang  Hak Asasi Manusia diskriminasi dimaksudkan kepada adanya pembatasan, pelecehan,
pengucilan  yang  langsung  maupun  tidak  langsung  didasarkan  pembedaan manusia  atas  dasar  etnis,  agama,  ras,  etnik,  kelompok,  golongan  status  sosial,
19
Jimmy  Asshiddiqie,  Komentar  Atas  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republic  Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Cet.  Pertama, h.127.
91
status ekonomi dan sebagainya.
20
Dan dalam Pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa “setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunannya
dengan melalu perkawinan yang sah, dan dalam  ayat 2 menyatakan perkawinan yang  sah  hanya  berlangsung  atas  kehendak  bebas  calon  suami  dan  istri  yang
bersangkutan  sesuai  dengan  ketentuan  perundang-undangan.
21
Maka  sebagian aliansi  seperti  Paramadinan  dan  Indonesian  Conference  in  Region  and  Peace
ICRP  mengatakan  bahwa  perkawinan  beda  agama  adalah  hak  asasi  manusia, namun jika dilihat dari makna diskriminasi yang dimaksud dalam undang-undang
tersebut adalah dalam perlakuan atau tindakan diskriminatif adalah tindakan yang bertujuan  memberikan  perlakuan  yang  berbeda  terhadap  sesama  warga  negara
hingga  hilangnya  kesempatan  dan  kesetaraan  dalam  menjalankan  kehidupannya. Sedangkan  dalam  dalam  Undang-Undang  Dasar  1945  Pasal  28  memberikan
jaminan,  perlindungan  dan  kesempatan  untuk  berkehidupan  namun  dibuatnya batasan  pada  dasarnya  untuk  menciptakan  kehidupan  yang  seimbang,  saling
menghargai dan menghormati satu sama lain.  Oleh karena itu adanya aturan baru yaitu  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2006  Tentang  Adminstrasi
Kependudukan  Pasal  35  huruf  a  terkait  perkawinan  beda  agama  bukanlah sebuah kemajuan HAM melainkan membuka permasalahan baru dan berimplikasi
20
Tim  Hukum  Pusat  Pengkajian  Dan  Pelayanan  Informasi,  Amandemen  UU  1945  dan Implikasinya Terhadap Pembangunan Sistem Hukum Nasioanal, Jakarta: Sekertariat Jendral DPR-RI,
2001, h. 154-155.
21
Ahmad  Baso  Dan  Ahmad  Nurcholis,  Pernikahan  Beda  Agama  Kesaksian,  Argument Keagamaan Dan Analisa Kebijakan, Jakarta: Komnas HAM-ICRP, 2005, Cet. Pertama, h.258.
92
pada  pelanggaran  nilai-nilai  agama  yang  nantinya  dikaitkan  pada  hal  penistaan agama  seperti  kasus  Asmiranda,  dan  banyak  dampak  negatif  yang  di  timbulkan.
Ternyata  aturan  tersebut  tidak  hanya  bertentangan  dengan  Undang-Undang Perkawinan  namun  bertentangan  dengan  esensi  yang  terkandung  pada  Undang-
Undang Dasar 1945. Selanjutnya  jika  dikaitkan  pada  Pasal  2  ayat  1  Undang-Undang
Perkawinan,    Pasal  35  Undang-Undang  Administrasi  Kependudukan  tentang penetapan  pengadilan  bagi  pasangan  beda  agama  sama-sama  pasal  yang
menyangkut  masalah kerohanian  yang mana dalam  Undang-Undang Perkawinan mengutamakan  agama  sebagai  sumber  utama  dalam  pengesahan  perkawinan
sedangkan dalam
Undang-Undang Administrasi
Kependudukan lebih
menekankan  pada  hak  asasi  manusia  atau  lebih  tepatnya  agama  bukan  masalah krusial. Pendefinisian agama sendiri dalam Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya
Pasal  29  ayat  2  memuat  ketentuan  yang  bermakna  untuk  memeluk  agama  dan kepercayaan  serta  menjalankan  ibadah  sesuai  dengan  agama  dan  kepercayaan
yang diyakini.
22
Menurut  Prof.  Mohammad  Daud  Ali  terkait  pemaknaan  pada  Pasal  29 ayat  2  Undang-Undang  Dasar  1945  tentang  kata-kata  agama  dan  kepercayaan
dapat kita telaah dari pendapat mereka yang merumuskan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun pendapat mereka antara lain:
22
Lihat  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945,Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah
Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun  2003  Tentang  Mahkamah  Konstitusi,  Jakarta  ,Sekretaris  Jendral  Dan  Kepanitraan  Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2011, h. 33
.
93
1. Menurut    H.Agus  Salim  menyatakan  makna  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa
dalam  Pasal  29  ayat  2  Undang-Undang  Dasar  1945  adalah  kepercayaan  atau akidah  agama,  “tidak  ada  seorangpun  diantara  kami  para  perancang  atau
penyusun Undang-Undang Dasar 1945 yang ragu-ragu bahwa yang dimaksud adalah, akidah atau kepercayaan agama.
2. Menurut  Mohammad  Hatta  menyatakan  arti  perkataan  kepercayaan  dalam
Pasal  29  ayat  2  Undang-Undang  Dasar  1945  adalah  kepercayaan  agama, ditambah lagi oleh Mohammad Hatta
kuncinya adalah kata “itu” dalam ujung bunyi Pasal 29 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945
. Kata “itu” menurut beliau adalah  menunjuk  pada  kata  agama  yang  terletak  di  depan  kata  kepercayaan
tersebut.  Dilihat  dari  sudut  pandang  penafsiran  sistematis,  Mohammad  Hatta menjelaskan  hal  tersebut  adalah  logis,  karena  kata-kata  agama  dan
kepercayaan  itu  digandengkan  atau  disandingkan  dalam  satu  kalimat  dan diletakan  di  bawah  bab  agama  dan  benar  sesuai  dengan  penjelasan  H.  Agus
Salim. 3.
Selanjutnya menurut Kasman Singodimedjo, yang ikut serta menjadi anggota PPK  yang  mengesahkan  Undang-Undang  Dasar  1945.  Mengatakan  bahwa
makna  kepercayaan  dalam  Undang-Undang  Perkawinan  tidak  lain  adalah kepercayaan  yang  termasuk  dalam  lingkup  “agama”  yang  dipeluk  bangsa
Indonesia.
23
23
David  Hartadi  Tenggara, “  Dampak  Lahirnya  Undang-Undang  Administrasi
Kependukdukan  Terhadap  Keabsahan  Perkawinan  Bagi  Penghayat  Kepercayaan ”, Skripsi, Depok ,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007, h.152-153.
94
Dengan kata lain bahwa agama dan kepercayaan adalah satu kesatuan dari penjelasan  diatas  menurut  Prof.  Muhammad  Daud  Ali  bahwa  dalam  Undang-
Undang Perkawinan  Pasal 2 ayat 1 telah sesuai dengan  Undang-Undang  Dasar 1945  yang  mana  kata  agama  dan  kepercayaan  adalah  satu  kesatuan  dan
penjelasan  dari  pasal tersebut  yaitu  “  dengan  perumusan  pada  Pasal  2  ayat  1
Undang-Undang Perkawinan berarti tidak ada perkawinan diluar hukum masing- masing  agama  dan  kepercay
aan  itu’’  sehingga  jika  tarik  kesimpulan  dari penjelasan  pasal
tersebut  bahwa  tidak  ada  lagi  upaya  untuk  melanggar  ‘hukum agamanya  sendiri”  jadi  bagi  orang  Islam  tidak  ada  kemungkinan  untuk  kawin
dengan  melanggar  hukum  agamanya  hal  ini  sejalan  dengan  pendapat  Prof.  Dr Hazairin SH.
Didalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 b berbunyi “setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah”  ditafsirkan  bahwa  perkawinan  yang  syah  merupakan  persyaratan  untuk
timbulnya  hak  membentuk  keluarga  dan  melanjutkan  keturunan  maka  negara tidak  menjamin  hak  seseorang  jika  dalam  membentuk  keturunan  tanpa  adanya
proses perkawinan yang sah, perkawinan yang sah sendiri dalam Undang-Undang Perkawinan  adalah  menurut  agama  dan  kepercayaan.
24
Menurut  Hadikusuma  di dalam  bukunya  yang  berjudul  Hukum  Perkawinan  Nasional  mengatakan  bahwa
perkawinan  yang  sah  menurut  hukum  perkawinan  nasional  adalah  perkawinan yang  dilaksanakan  menurut  tata  tertib  aturan  hukum  yang  berlaku  dalam  agama
24
Jimly  Asshiddiqie,  Kometar  Atas  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republic  Indonesia Tahun 1945, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, Cet. Pertama, h. 115.
95
yang diakui di Indonesia. Kata “hukum masing-masing agamanya”, berati hukum dari  salah  satu  agama  itu,  bukan  masing-masing  agama  calon  mempelai.  Dan  ia
mendefiniskan  perkawina  beda  agama  sebagai  perkawinan  yang  dilaksanakan menurut  tata  tertib  salah  satu  agama,  bukan  oleh  setiap  agama,  sehingga  ia
menekankan pada penundukan salah satu  agama.
25
Munculnya sebuah  ketentuan baru  dalam  Pasal  35  huruf  a  Undang-Undang  Administrasi  Kependudukan
mengenai penetapan pengadilan terkait pasangan beda agama yang membolehkan perkawinan  beda  agama  untuk  dicatatkan  sehingga  memberikan  definisi  baru
bahwa perkawinan beda agama sudah mendapat tempat di konstitusi dengan kata lain Negara mengakui dan menfasilitasi perkawinan tersebut.
Dilahirkanya  Undang-Undang  Perkawinan  adalah  untuk  meminimalisir adanya  pertentangan  dalam  persoalan  agama  sehingga  perkawinan  beda  agama
tidak  diakomidir  dalam  Undang-Undang  tersebut.  Timbulnya  permasalahan dalam  Undang-Undang  Administrasi  Kependudukan,  penulis  rasa  lebih
menekankan  pada  masalah  apa  yang  ingin  diatasi  Undang-Undang  Administrasi Kependudukan  itu  sendiri.  Ternyata  banyak  muatan  materi  yang  bertolak
belakang dengan ketentuan yang masih berlaku hingga saat ini dan norma-norma yang  hidup  di  masyarakat,  apalagi  dalam  pasal-pasal  yang  menyoroti  masalah
keyakinan atau kerohanian. Hal ini dalam pembentukan Undang-Undang disebut dengan  disharmoni  hukum.  Disharmoni  hukum  biasanya  timbul  karena  adanya
25
Ichtijanto,  Laporan Akhir Analisis Dan Evaluasi Hukum 20 Tahun Pelaksanaan  Undang- Undang Perkawinan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1996, h.
37.
96
perbedaan  antara  berbagai  Undang-Undang  atau  peraturan  perundang-undangan bisa  juga  dikarenakan  adanya  pertentangan  dengan  peraturan  pelaksanaan  dan
sebagainya.  Misalnya  pertentangan  antara  Undang-Undang  yang  kedudukanya sederajat ataupun adanya perbedaan dengan peraturan pelaksana sehingga tujuan
dibuatnya Undang-Undang tersebut tidak sesuai. Undang-Undang  Perkawinan  yang  sudah  mendasari  hukum  perkawinan
hingga  saat  ini,  secara  yuridis  merupakan  ketentuan  yang  tertinggi  dalam mengatur perkawinan di Indonesia termasuk dalam memeberi keabsahan terhadap
suatu  perkawinan  bagi  masyarakat  di  Indonesia.  Namun  dengan  dilahirkanya Undang-Undang Administrasi Kependudukan di tahun 2006 lalu dari segi yuridis
menjadi  sebuah  ketentuan  perundang-undangan yang  tertinggi  dalam
penyelesaian  administrasi  kependudukan,  sehingga  ketentuan  sebelumnya  yang hanya  berupa  Keppres  posisinya  naik  menjadi  undang-undang.  Hal  tersebut
menyebabkan ketentuan lain yang ada dibawahnya, yakni ketentuan yang bersipat pluralistis  harus  mengacu  pada  aturan  ini.  Sedangkan  Undang-Undang
Perkawinan  dianggap  memiliki  ketentuan  yang  pluralistis  hukum  dan  adanya diskriminatif terutama dalam hal  pencatatan perkawinan, terlihat  dari banyaknya
pro  kontra  dalam  masyarakat  mengenai  keabsahan  dan  pencatatan  bagi  mereka yang  memilki  perbedaan  agama  sehingga  adanya  Undang-Undang  Administrasi
Kependudukan  dianggap  sebagi  solusi  atau  mengakomodir  bagi  mereka  yang ingin  dicatatkan  dan  mendapat  pengakuan.  Tetapi  banyak  yang  menganggap
perkawinan  yang  berbeda  agama  adalah  hal  yang  sangat  sensitip  karena  ini
97
menyangkut  konteks  agama  bukan  lagi  terkait  Hak  Asasi  Manusia  melainkan sebuah  keyakinan  yang  menyangkut  orang  banyak  bukan  lagi  masing-masing
pihak  walaupun  dalam  Pasal  29  ayat 2  mengatakan  “Negara  menjamin
kemerdekaan  tiap-tiap  penduduk  untuk  memeluk  agamanya  masing-masing  dan untuk  beribadat  menurut  agamanya  dan  kepercayaanya  itu”  dengan  kata  lain
bukan  berati  kita  bisa  melanggar  ketentuan  agama  yang  bisa  menimbulkan konflik  lebih  banyak.  Sehingga  kedudukan  Undang-Undang  Administrasi
Kependudukan  sendiri  terhadap  Undang-Undang  Perkawinan  harus  di  lihat  dari segi asas-asas yang termuat dalam undang-undang, hal ini berfungi untuk melihat
kedudukan masing-masing. Untuk  menyelesaikan  pertentangan  yuridis  terkait  dalam  Pasal  35  huruf
a  Undang-Undang  Administrasi  Kependudukan  dengan  Undang-Undang Perkawinan  Pasal  2  ayat  1  maka  didalam  sistem  perundangan  pada  umumnya
mengunakan tiga asas hukum yaitu : 1.
Asas  Lex  Specialis  Derograt  Lex  Generalis,  maksud  dari  asas  ini  adalah bahwa  terhadap  peristiwa  khusus  wajib  diperlakukan  undang-undang  yang
menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan  umum  atau  lebih  luas  yang  juga  dapat  mencangkup  peristiwa
khusus.  Asas  ini  lebih  sering  diartikan  sebagai  suatu  aturan  yang  bersipat khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum.
2. Asas  Lex  Posteriore  Derograt  Lex  Priori,  yang  dimaksud  dengan  asas  ini
adalah,  bahwa  undang-undang  lain  yang  lebih  dahulu  berlaku  yang
98
mengatur  suatu  hal  tertentu,  tidak  berlaku  lagi  jika  ada  undang-undang  baru yang berlakunya belakangan yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan
tetapi makna atau tujuanya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang yang  lama  tersebut  pencabutan  undang-undang  secara  diam-diam.  Asas  ini
sering  diartikan  bahwa  ketentuan  yang  dibuat  dan  berlaku  belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu.
3. Asas Lex Superiori Derograt Legi Inferiori. Yang dimaksud dengan asas ini
adalah  sebuah  aturan  yang  dibuat  dan  kedudukannya  lebih  tinggi  posisinya mengalahkan ketentuan yang lebih rendah.
26
Ketiga asas tersebut dapat digunakan jika terjadi ketidakharmonisan dalam suatu  peraturan  perundang-undangan,  dan  menetukan  aturan  mana  yang  lebih
diutamakan dan diberlakukan. Mengingat  bahwa  Undang-Undang  Administrasi  Kependudukan  dan
Undang-Undang Perkawinan memiliki kedudukan yang sama dan sederajat dalam hirarki  peraturan  perundang-undangan  dan  jika  penulis  kaji  mengunakan  asas
diatas  sudah  sangat  jelas  asas  Lex  Superiori  Derograt  Legi  Inferiori  tidak  bisa digunakan.  Berhubung  masalah  yang  dikaji  ini  terkait  perkawinan  beda  agama
yang  mana  dalam  Undang-Undang  Administrasi  Kependudukan  menekankan pada pencatatan perkawinan maka asas Lex Posteriore Derograt Lex Priori tidak
bisa  digunakan  juga  dalam  persoalan  ini  karena  isi  kandungan  dalam  Undang-
26
C.S.T.  Kansil  Dan  Christine  S.T.  Kansil,  Pengantar  Ilmu  Hukum  Indonesia,  Jakarta: Rineka Cipta, 2011, h. 391-393.
99
Undang  Administrasi  Kependudukan  jelas  berbeda  dengan  Undang-Undang Perkawinan  sendri,  Administrasi  Kependudukan  lebih  menekankan  persoalan
kependudukan  dan  administrasi  sedangkan  Undang-Undang  Perkawinan membahas  tentang  esensi  perkawinan  secara  menyeluruh  maka  kedua  aturan  ini
tentulah  sangat  berbeda  karena  tidak  seluruh  subtansi  undang-undang  yang  satu merupakan  bagian  dari  undang-undang  yang  lainnya.  Namun  adanya  salah  satu
pasal  dalam  Undang-Undang  Administrasi  Kependudukan  yang  menyangkut perkawinan  apalagi  tentang  perkawinan  beda  agama  yang  sebelumnya  tidak  ada
aturan yang mengatur hal tersebut manjadi persoalan. Maka  terkait    Pasal  35  huruf  a  pada  Undang-Undang  Administrasi
Kependudukan  yang  termuat  pada  bab  V  tentang  pencatatan  sipil  terkait perkawinan beda agama dan Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 tentang
syahnya perkawinan bisa kita kaji  mengunakan  asas  Lex Specialis  Derograt Lex Generalis, yaitu melihat dari segi hubungan umum khusus antara Pencatatan dan
Syahnya  Perkawinan.  Asas  ini  menjelaskan  bahwa  aturan  hukum  yang  khusus dapat mengesampingkan aturan yang bersipat umum. Asas lex Specialis Derograt
Lex  Generalis  hanya  berlaku  terhadap  dua  peraturan  yang  secara  hierarki sederajat.
27
Undang-Undang  Perkawinan  mengatur  tentang  perkawinan  dan  subtansi tentang  dasar  perkawinan,  larangan,  syarat-syarat,  pencegahan,  batalnya
27
Hukum  Online,  Tanya  Jawab  Hukum  Perusahaan,  Jakarta:  Transmedia  Pustaka,  2009, Cet. Peratama, h. 10.
100
perkawinan dan
lain-lain. Sedangkan
Undang-Undang Administrasi
Kependudukan  subtansinya  mengatur  tentang  administrasi  kependudukan  atau pencatatan  peristiwa  penting  yaitu  kematian,  kelahiran,  perkawinan,  perceraian,
pengakuan  anak,  pengesahan  anak,  perubahan  status  kewarganegaraan, pencatatan  penduduk  dan  lain-lain.  Pencatatan  perkawinan  sendiri  merupakan
salah  satu  pasal  dalam  Undang-Undang  Perkawinan  yaitu  Pasal  2  ayat  2  yang berb
unyi “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku ”,  demikian  juga  dalam  Undang-Undang  Administrasi
Kependudukan  pencatatan  perkawinan  masuk  kedalam  peristiwa  penting  yang mesti  dicatatkan.  Oleh  karena  itu  dalam  menetukan  kedudukan  umum  khusus
harus  dengan  melihat  dari  segi  substansi  atau  materinya  tidak  bisa  dilihat  hanya dari judulnya saja.
28
Jika  dari  segi  pencatatan  dalam  Undang-Undang  Administrasi Kependudukan  sendiri  diatur  secara  umum  sedangkan  dalam  Undang-Undang
Perkawinan  diatur  secara  khusus  karena  dalam  Undang-Undang  Administrasi Kependudukan  pencatatan  peristiwan  penting  mencangkup  banyak  hal  dan
perkawinan  adalah  salah  satunya.  Oleh  karena  itu  perkawinan  masuk  kedalam peristiwa  penting  yang  harus  dicatatkan,  maka  kemunculan  Undang-Undang
Perkawinan menjadi aturan yang menetapkan perkawinan  yang bagaimana dapat dicatatkan.
28
Mifta  Adi  Nugraha,  Dualisme  Pandangan  Hukum  Perkawinan  Beda  Agama  Antara Undang-Undang  Perkawinan  dan  Undang-undang  administrasi  kependukdukan,  Privat  Law  Edisi  01
Maret-Juni 2013. h. 58.
101
Jika  dilihat  dari  substansi  perkawinannya,  maka  hal  ini  terkait  syahnya suatu  perkawinan.  Di  dalam  Undang-Undang  Perkawinan  syahnya  suatu
perkawinan  ditentukan  menurut  agama  dan  kapercayaanya  Pasal  2  ayat 1,walaupun  tidak  secara  tegas  mengatur  tentang  rukun  perkawinan  tetapi
undang-undang  tersebut  menyerahkan  persyaratan  syahnya  suatu  perkawinan secara  sepenuhnya  kepada  ketentuan  yang  diatur  oleh  agama  dengan  kata  lain
agama  adalah  penentu  syahnya  suatu  perkawinan,  sehingga  aturan  tentang syahnya  perkawinan  dalam  Undang-Undang  Perkawinan  berlaku  umum  dan
Undang-Undang  Administrasi  Kependudukan  berlaku  khusus.
29
Kemunculan Pasal  35  huruf  a  Undang-Undang  Administrasi  Kependudukan  memberikan
pengecualian  untuk  pelaksanan  perkawinan  beda  agama  yaitu  dengan  cara pentapan  pengadilan.  Oleh  karena  itu  perkawinan  diangap  syah  untuk  pasangan
berbeda  agama  hanya  ada  dalam  Undang-Undang  Administrasi  Kependudukan maka Undang-Undang Administrasi Kependudukan bersipat lebih khusus. Sesuai
dengan asas yang telah dijelaskan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Undang- Undang  Perkawinan  bersipat  umum  dan  Undang-Undang  Administrasi
Kependudukan  bersipat  khusus,  sehingga  Undang-Undang  Administrasi Kependudukan  sebagai  peraturan  yang  bersipat  khusus  dapat  mengesampingkan
aturan yang bersipat umum. Namun  pada  Pasal  35  huruf  a  Undang-Undang  Administrasi
Kependudukan pada dasarnya tidak dijelaskan tentang syahnya perkawinan beda
29
Anshary, Hukum Perkawinan Indonesia, h. 14.
102
agama  secara  jelas,  yang  ada  hanya  penetapan  pengadilan  dan  tidak  ada penjelasan  terkait  persoalan  agama  dengan  kata  lain  agama  dianggap  hal  yang
tidak  penting  dan  perkawinan  mereka  ditentukan  oleh  hakim  bukan  lagi  oleh sebuah  keyakinan,  hal  ini  bisa  diartikan  bahwa  implikasi  Pasal  2  ayat  1  pada
Undang-Undang  Perkawinan  tentang  pengesahan  perkawinan  menjadi  tidak berlaku,  penetapan  pengadilan  diartikan  sama  dengan  penetapan  agama.  Maka
Pasal  35  huruf  a  Undang-Undang  Administrasi  Kependudukan  berimplikasi pada  sebuah  kenyataan  bahwa  perkawinan  hanya  sebatas  pencatatan  bukan  lagi
sebuah  hal  yang  sakral,  perkawinan  hanya  sebuah  simbol  dan  hanya  untuk mendapat  bukti  hukum  saja.  Syarat  utama  perkawinan  menurut  Undang-Undang
Perkawinan adalah hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh kedua calon mempelai, akan tetapi hal ini menjadi lengkap dan tak terpisahkan secara dejure
30
bila  tidak  dilakukan  pencatatanya.  Akibatnya  perkawinan  yang  tidak  dicatat dianggap  tidak  syah  meski  perkawinan  dilakukan  menurut  agama  sehingga
dampak yang terjadi di masyarakat adalah hukum negara yang utama dan agama bukan lagi hal yang ditakutkan karena masuk kedalam ranah privasi seseorang.
Dalam  pengesahan  suatu  perkawinan  jika  dilihat  dari  segi  pencatatan maka  terdapat  tiga  perkawinan  yang  dicatatkan  berdasarkan  prosesi  perkawinan,
antara  lain  pencatatan  bagi  orang  muslim  adalah  setelah  adanya  ijab  qabul dihadapan  penghulu  dan  dicatatkan  di  Kantor  Urusan  Agama,  sedangkan  yang
30
De  jure  dalam  bahasa  latin  klasik:  de  iure adalah  ungkapan  yang  berarti  “berdasarkan
atau menurut hukum”
103
beragama  selain  Islam  dilaksanakan  di  tempat  peribadatan  atau  dihadapan pemuka  agama  yang  akan  mengeluarkan  bukti    perkawinan,  bukti  itulah  yang
menjadi  dasar  Dinas  Kependudukan  Catatan  Sipil  Dukcapil  mencatatkan perkawinan  mereka,  dan  bagi  perkawinan  yang  ditetapkan  pengadilan  salah
satunya  perkawinan  antar  agama  dianggap  ada  jika  mendapat  penetapan  dari pengadilan,  salinan  penetapan  tersebut  menjadi  dasar  Dinas  Dukcapil  untuk
mencatatkan perkawinan mereka. Pada  Pasal  35  huruf  a  yang  berbunyi  Pencatatan  yang  dimaksud  dalam
Pasal  34  Undang-Undang  Administrasi  Kependudukan  berlaku  pula  bagi perkawinan  yang  ditetapkan  oleh  pengadilan,  dan  ini  hanya  berlaku  untuk
perkawinan  antar  agama.  Didalam  penjelasan  pasal  tersebut  tidak  dijelaskan pengadilan mana  yang berwenang untuk mengeluarkan penetapan bagi pasangan
beda  agama,  pengadilan  agama  ataukah  pengadilan  negeri.  Menurut  Undang- Undang  Nomor  50  Tahun  2009  Tentang  Peradilan  Agama  Pasal  1  ayat  1
berbunyi : “Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam
”  dengan  kata  lain  peradilan  agama  hanya  berkuasa  atas  perkawinan  bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan yang bukan Islam menjadi kewenangan
peradilan umum.
31
Perkawinan antar agama bukan kompetensi absoulut Peradilan Agama sebagaimana ditentukan dalam undang-undang  yang di  paparkan di atas,
oleh  karena  itu  jika  terjadi  perkara  perkawinan  antara  pemeluk  beda  agama
31
Lihat Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
104
penyelesaianyya bukan pada Pengadilan Agama tetapi pada Pengadilan Negeri.
32
Hal  ini sesuai dengan  Undang-Undang  Kekuasaan  Kehakiman  Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 25 ayat 2 dan ayat 3.
33
Lahirnya Pasal 35 huruf a Undang-Undang Administrasi Kependudukan hanya  memberi  jalan  khusus  untuk  melaksanakan  dan  mencatatkan  perkawinan
tersebut  yaitu  melalui  penetapan  pengadilan,  yang  diketahui  bahwa  pengadilan merupakan salah satu tempat lahirnya hukum. Hakim pada Penetapan Perkawinan
Beda Agama di Pengadilan Negeri Lumajang Nomor 198Pdt,P2013Pn.Lmj dan Pengadilan Negeri Bogor Nomor 111Pdt,P2007Pn.Bgr merujuk pada ketentuan
bahwa  menurut  Pasal  10  ayat  1  Undang-Undang  Nomor  48  Tahun  2009 Tentang  Kekuasaan  Kehakiman
mengatakan  bahwa  “Pengadilan  dilarang menolak untuk  memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan  dalih  bahwa  hukum  tidak  ada  atau  kurang  jelas,  melainkan  wajib  untuk memeriksa  dan  mengadilinya
”  dan  seorang  hakim  memiliki  kewajiban  untuk menciptakan hukum guna memenuhi rasa keadilan masyarakat   dengan  kata  lain
seorang hakim harus bisa melihat, membaca, memahami dan mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang berlaku di masyarakat.
Menurut  Denny,  selaku  salah  satu  hakim  di  Pengadilan  Negeri  Bogor
32
Neng Djubaedah, Ibid, h. 227.
33
Didalam  Pasal  25  ayat  3  Undang-Undang  Nomor  48  Tahun  2009  Tentang  Kekuasaan Kehakiman berbunyi : “Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwenang memeriksa,
mengadili,  memutus,  dan  menyelesaikan  perkara  antara  orang-orang  yang  beragama  Islam  sesuai dengan  ketentuan  peraturan  perundang-
undangan”  dan  Pasal    25  ayat  2  berbunyi  ;  Peradilan  umum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana
dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”
105
mengatakan bahwa perkawinan agama sebagai akibat dari perubahan zaman yang tidak  bisa  di  hindari,  selayaknya  hukum  harus  mengikuti  perubahan  zaman
tersebut,  maka  lahirnya  Undang-Undang  Administrasi  Kependudukan  memberi jalan  bagi  pasangan  beda  agama  untuk  merealisasikan  perkawinannya  tersebut.
Menurut beliau agama adalah hak asasi manusia dan di dalam Pasal 29 Undang- Undang Dasar 1945 tentang di jaminannya oleh Negara kemerdekaan bagi setiap
warganegara  untuk  memeluk  Agamanya  masing-masing.  Pasal  29  ayat  2 disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya  masing-masing  dan  untuk  beribadat  menurut  agamanya  dan kepercayaannya  itu,  namun  bukan  berati  Undang-Undang  Perkawinan  sudah  tak
berlaku  lagi,  adanya  Undang-Undang  Administrasi  Kependudukan  menurut beliau sebagai pengkh
ususan “Asas Lex Specialis Derograt Lex Generalis” yang artinya aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang lebih umum.
34
Seorang  hakim  dalam  menilai  keabsahan  perkawinan  antar  umat  yang berbeda  agama  tetap  harus  memperhatikan  keabsahan  perkawinan  menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan aspek-aspek agama serta aturan yang lebih  tinggi.  Kantor  Catatan  Sipil  hanya  lembaga  yang  berwenang  mencatatkan
perkawinan  sedangkan  yang  melangsungkan  perkawinan  tetap  pemuka  agama menurut  hukum  agama  masing-masing.  Jadi  keberadaan  Pasal  35  huruf  a
Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2006  tidak  berarti  perkawinan  sipil  dapat
34
Wawancara Dengan Bapak Dennie Arsan Fatrika S.H, Selaku Hakim Di Pengadilan Negeri Bogor, Tgl 16 Desember 2013.
106
dilangsungkan.  Perkawinan  harus  tetap  dilangsungkan  menurut  hukum  agama untuk  kemudian  dinilai  oleh  hakim  mengenai  keabsahannya,  Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 bukan tidak melarang perkawinan antar umat yang berbeda agama  melainkan  tidak  mengaturnya.  Artinya  selama  hukum  agama
membolehkan  perkawinan  antar  umat  yang  berbeda  agama  tersebut  maka Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  bukan  merupakan  suatu  benturan.  Hal
inilah  yang  harus  diperhatikan  oleh  hakim  karena  hukum  agama  tertentu  masih membuka  kemungkinan  dilangsungkannya  perkawinan  antar  umat  yang  berbeda
agama dengan dispensasi-dispensasi tertentu. Pasal  35  huruf  a  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2006  memang
memberikan  kewenangan  kepada  Kantor  Catatan  Sipil  untuk  mencatatkan perkawinan  yang  telah  mendapat  penetapan  pengadilan.  Ketika  pengadilan  telah
mengeluarkan  penetapan  yang  memerintahakan  Kantor  Catatan  Sipil  untuk mencatatkan perkawinan antar umat yang berbeda agama tersebut maka tidak ada
alasan  untuk  menolaknya.  Adanya  persyaratan  penetapan  pengadilan  untuk mencatatkan  perkawinan  antar  umat  yang  berbeda  agama  memberikan
kewenangan yang besar pada hakim untuk menentukan apakah suatu perkawinan antar  umat  yang  berbeda  agama  sah  atau  tidak.  Dalam  menentukan  keabsahan
perkawinan  antar  umat  yang  berbeda  agama,  dengan  kata  lain  syahnya perkawinan beda agama kini ditentukan oleh pengadilan bukan lagi oleh agama.
Melalui  hukum  yang  dilahirkan  pengadilan  maka  pejabat  pencatat perkawinan  kini  memiliki  dasar  hukum  untuk  mencatat  perkawinan  beda  agama
107
tersebut.  Pengaturan  yang  demikian  menunjukan  konsep  pencatatan  beda  agama yang  administratif,  perkawinan  beda  agama  tidak  didasarkan  pada  syahnya
perkawinan  menurut  Undang-Undang  Perkawinan  yaitu  menurut  agama  tapi perkawinan  beda  agama  dapat  dicatatkan  karena  adanya  aturan  hukum  yaitu
penetapan  pengadilan  yang  menyuruh  untuk  dicatatkan,  namun  hal  ini  menjadi tidak kalah penting karena dengan adanya pencatatan memberikan bukti autentik
terhadap status  hukum  seorang  warga  negara, dengan diterbitkannya buku nikah atau akta perkawinan menjadi bukti bahwa perkawinan benar-benar telah terjadi.
Berdasarkan  hal  tersebut  terlihat  bahwa  perkawinan  beda  agama  tetap tidak syah karena pengadilan sendiri tidak menyebutkan dalam penetapnya bahwa
perkawinan  yang  mereka  lakukan  menjadi  syah,  pengadilan  sendiri  hanya mengeluarkan  penetapan  untuk  kebolehan  dicatatkan  agar  mendapat  bukti  dan
mendapat  perlindungan  hukum.  Berdasarkan  hal  tersebut  Kantor  Catatan  Sipil mecatatkan  perkawinan  yang  tidak  syah,  dan  untuk  dapat  melangsungkan
perkawinan  yang  absah  dan  diakui  negara  maka  perkawinan  tersebut  haruslah memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan.
Dalam  Undang-Undang  Perkawinan  syarat  syahnya  suatu  perkawinan dibagi  dalam  dua  syarat  yakni  syarat  materil  yaitu  syarat  mengenai  diri  pribadi
para  calon  sedangkan  syarat  formil  adalah  formalitas-formalitas  yang  harus  di penuhi  para pihak sebelum dan sesudah perkawinan. Sedangkan dalam  Undang-
Undang  Perkawinan  syarat  formal  tidak  dipaparkan  secara  langsung  terkait pencatatan  perkawinan  maka  ketentuan  dalam  Undang-Undang  Administrasi
108
Kependudukanlah  yang  digunakan  yaitu  Pasal  34,  35  dan  36.    Berdasarkan  isi Pasal  34  Undang-Undang  Administrasi  Kependudukan  dicatatkanya  perkawinan
yang  tidak  syah  bukan  tidak  mungkin,  karena  pada  ayat  1  dijelaskan  bahwa perkawinan yang syah wajib dilaporkan dan pada ayat 2 menyatakan berdasarkan
laporan tersebut pejabat pencatatan sipil mencatat perkawinannya. Oleh karena itu dalam Pasal 34 ayat 1 tidak menyatakan bahwa hanya perkawinan yang syah saja
yang dapat dicatat, dan pada ayat 2 pun tidak mengatur bahwa hanya laporan atas perkawinan  yang  syah  saja  yang  hanya  di  catatkan.  Dan  dalam  Pasal  36  sendiri
memberikan  penjelasan  bahwa  perkawinan  yang  tidak  dapat  dibuktikan  dengan akta  perkawinan  harus  mendapat  penetapan  pengadilan  hal  ini  berati  bahwa
dengan  adanya  syarat  dalam  melangsungkan  perkawinan  beda  agama  harus mendapat  penetapan  pengadilan,  dengan  begitu  barulah  Kantor  Catatan  Sipil
memiliki kewenangan untuk mengeluarkan akte perkawinan. Menerima dan mencatatkan perkawinan hanya sebagi konsep dari Kantor
Catatan  Sipil  dan  pada  dasarnya  dalam  mencatatkan  perkawinan  beda  agama, Kantor  Catatan  Sipil  hanya  bersipat  pasif  dalam  arti  bahwa  tidak  memberikan
penolakan  melainkan  memberi  saran  atau  solusi  dengan  adanya  penetapan pengadilan,  sehingga  pencatatan  dan  pengesahan  perkawinan  beda  agama  hanya
menyakut  dua  unsur  yang  pertama  terkait  maslah  yuridis,  khususnya  masalah pembuktian dan yang kedua menyangkut masalah administratif.
109
                