Analisis Pasal 35 Huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
84
Hal yang menjadi perdebatan banyak pihak adalah apakah perkawinan yang dicatatkan dengan penetapan pengadilan sesuai dengan Pasal 35 huruf a
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 sah menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Dalam permasalahan ini untuk melihat aturan
mana yang mesti diberlakukan dan adakah pertentangan kita harus mengaitkanya dengan asas-asas pembentukan peraturan agar terlihat titik persoalan secara
sistematis
.
Menurut Van Der Vlies suatu peraturan yang akan dibuat harus memiliki tujuan yang jelas, dengan tujuan yang jelas maka akan dapat dicapai sebuah
aturan yang menjawab permasalahan.
11
Dalam teknis pembentukan peraturan perundang-undangan, penggambaran tujuan yang jelas di cantumkan pada bagian
konsidern menimbang termasuk pula bagian penjelasan. Dalam konsideren yang termuat dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan menekankan pada
penyelenggaraan pecatatan sipil maupun pencatatan kependudukan yang erat kaitanya dengan upaya perlindugan status hukum setiap peristiwa kependudukan
dan peristiwa penting. Penduduk berhak mendapatkan dokumen kependudukan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dimana hak-hak tersebut berkaitan dengan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang tanpa adanya diskriminatif. Dalam
pemenuhan hak penduduk, terutama di bidang pencatatan sipil, masih ditemukan penggolongan penduduk yang didasarkan pada perlakuan diskriminatif yang
11
Ibid, h.145.
85
membeda-bedakan suku, keturunan, dan agama sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan produk kolonial Belanda.
12
Maka adanya Pasal 35 terkait perkawinan beda agama adalah upaya untuk menghilangkan deskriminatif dan
upaya penegakan Hak Asasi Manusia HAM. Maka munculnya Pasal 35 menurut dianggap sebagai suatu kemajuan HAM khususnya hak warga negara untuk
dicatat. Dengan maksud bahwa agama bukan lagi masalah krusial agar suatu perkawinan bisa dicatatkan.
Suatu peraturan perundang-undangan yang baik haruslah didasarkan pada asas pembentukan peraturan yang baik, yaitu kejelasan tujuan, kelembagaan atau
organ pembentukan yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan
keterbukaan tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi kedudukanya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukn Peraturan Perundang-Undangan Pasal 5.
13
Sehingga dalam menganalisa suatu peraturan perundang undangan, ada beberapa langkah yang
mesti diperhatikan antara lain
14
;
12
Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2006 Tetang Administrasi Kependudukan, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Pertama, h. 44.
13
Lihat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Bandung: Nuansa Indah 2011, Cet. Pertama, h.5.
14
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2009, h.171.
86
1. Sitematika penulisan sesuai dengan aturan pembentukan perundang-undangan
yang baru, 2.
Dasar hukum yang dijadikan acuan harus sesuai dengan aturan pembentukan perundang-undangan yang baru,
3. Masalah sosial yang ingin diatasi,
4. Dan norma-norma pokok yang terdapat dalam peraturan yang akan dibuat
Hal ini bertujuan untuk melihat efesiensi dan efektivitas peraturan tersebut, apakah menimbulkan masalah baru atau adanya sebuah kepentingan dalam
pembentukan peraturan tersebut. Jika kita analisis Undang-Undang Administrasi Kependudukan menurut
Undang-Undang Nomer 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, secara aspek teknis pembentukan peraturan perundang-
undangan, Undang-Undang Administrasi Kependudukan sendiri telah sesuai dengan aturan yang berlaku baik, secara sitematika penulisan ataupun secara
teknis pembentukan. Bisa kita lihat dari segi sitematika penulisanya, yaitu adanya judul yang jelas, pembukaan, batang tubuh, penutup, penjelasan dan
lampiran. Di dalam pembukaan itu sendri berisi konsideren pertimbangan yang memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran dari Undang-Undang
Administrasi Kependudukan yaitu adanya upaya perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum sehingga jika ditafsirkan
dibuatnya undang-undang ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan dan mengisi kekosongan hukum agar terciptanya keadilan. Maka jelas bahwa
87
dimuatnya Pasal 35 terkait perkawinan beda agama adalah salah satu upaya untuk menghilangkan perbedaan dan upaya mengisi kekosongan hukum yang
mana sebelumnya belum ada aturan jelas yang mengatur perkawinan antar agama.
Dasar hukum yang dijadikan acuan dalam pembentukan Undang-Undang Administrasi Kependudukan sendiri sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 7 terkait jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yaitu susunan tertinggi
harus berdasarkan Undng-Undang Dasar 1945, sedangkan masalah sosial yang ingin diatasi sendri dari Undang-Undang Administrasi Kependudukan bisa dilihat
dalam bab penjelasan yaitu terkait pemenuhan hak Penduduk, terutama di bidang Pencatatan Sipil, yang masih ditemukan penggolongan Penduduk yang
didasarkan pada perlakuan diskriminatif yang membeda-bedakan suku, keturunan, dan agama sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku.
Dan itulah yang menjadi latar belakang lahirnya Pasal 35 Undang-Undang Administrasi Kependudukan tentang penetapan pengadilan bagi pasangan beda
agama
15
. Namun kenyataannya dalam pasal tersebut jika ditafsirkan sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai agama yang menekankan sebuah perkawinan
pada ikatan yang syakral. Hukum agama sendiri merupakan salah satu hukum yang hidup dan
menjiwai seluruh umat manusia, dan diyakini kebenarnya sehingga memberi efek
15
Lihat UU Nomer 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, h. 17.
88
sosiologis pada seluruh aspek kehidupan, termasuk juga hukum khusus yaitu hukum perkawinan, maka dari itu suatu perkawinan seharusnya sesuai dengan
aturan agama dan bangsa. Indonesia sendiri merupakan bangsa yang monotheis dan bukan atheis,
16
oleh karena itu agama dijadikan landasan filsafah bangsa Indonesia dan bisa kita lihat pada sila pertama dalam Pancasila
yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa
”. Paham inilah yang menjadi dasar dilahirkannya Undang- Undang Perkawinan yang mana agama diajdikan hal utama yakni hukum agama
sebagai pengesah suatu perkawinan, misalnya seorang muslim maka ia berdasarkan hukum agamanya sebaliknya agama lain.
Menurut Daud Ali dalam Negara yang berdasarkan Pancasila tidak boleh berlaku aturan hukum yang bertentangan dengan hukum agama, agama-agama
yang ada di Indonesia melarang perkawinan beda agama. Maka dalam Negara Pancasila tidak boleh terjadi perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda.
Bustanul Arifin berpendapat bahwa dalam sistem perkawinan kita sekarang tidak ada lagi tempat untuk perkawinan yang bersifat sekuler seperti perkawinan
perdata masa dulu, karena Pancasila tidak menampung hal-hal yang bersipat sekuler.
17
Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu yang bersipat prinsipil, karena berkaitan langsung dengan akibat
–akibat perkawinan. Hal ini lah yang melatarbelakangi lahirnya Pasal 2 ayat 1
yakni “ perkawinan adalah syah
16
Monotheis adalah sebuah paham yang menyakini adanya suatu Tuhan sebagai pencipta kehidupan manusia, sedangkan atheisme adalah paham yang tidak menyakini adanya tuhan.
17
Ichtiyanto, Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2003, Cet. Pertama, h. 81-82.
89
menurut agama dan kepercayaan masing- masing”, hukum masing-masing agama
itu termasuk pula ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaanya sepanjang tidak bertentangan atau
ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan.
18
Dari ketentuan tersebut, jelas terlihat bahwa perkawinan mempunyai kaitan erat dengan agama yang dianut oleh calon mempelai, sehingga perkawinan
dapat dikatakan syah secara yuridis apabila perkawinan tersebut dilakukan menurut agama orang yang melangsungkan perkawinan tersebut. Maka bagi
orang Islam perkawinan mereka dikatakan syah jika mengikuti aturan tata cara hukum Islam, dan bagi pasangan yang berbeda agama maka perkawinannya dapat
dikatakan tidak sah. Menurut penulis adanya pelarang perkawinan beda agama atau
perkawinan beda agama tidak syah bukanlah sebuah pelanggar Hak Asasi Manusia, jika dikaitkan dengan Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945 yang
berbunyi; “ Dalam menjalankan hak dan kebebasanya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undangdengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral dan nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis
” maka jika ditapsirkan bahwa hak asasi
18
H.M. Anshary, Hukum Perkawinan Indonesia Masalah-Masalah Krusial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Cet. Pertama, h. 12.
90
manusia dibatasi selama tidak melanggar nilai-nilai agama dan sebagainya.
19
Dari ketentuan pasal di atas dapat dilihat bahwa perkawinan beda agama bukan lagi Hak Asasi Manusia, karena sudah melanggar nilai-nilai agama
walaupun pada kenyataanya perkawinan tersebut bisa diberlangsungkan dengan adanya dipensasi. Pada dasarnya dikeluarkanya dispensasi dari masing-masing
agama bukanlah degan cuma-cuma tapi ada persyaratan yang mesti dilakukan terlebih dahulu, hal ini menandakan bahwa perkawinan beda agama sangatlah
tidak disukai di setiapa ajaran agama manapun. Dampak yang ditimbulkan dari perkawinan beda agamapun sangatlah lebih banyak, terkait masalah anak
terutama dalam pertumbuhan kejiwaanya. Kewajiban orang tua mendidik anaknya dengan nilai-nilai agama merupakan hak setiap anak, bagaimana
pasangan beda agama dalam meberikan pendidikan untuk tumbuh kembang anak, menjadi masalah yang mesti diperhatikan.
Walaupun benar bahwa perkawinan adalah hak setiap orang, dan adanya Pasal 35 tentang perkawinan beda agama adalah untuk menghilangkan adanya
diskriminasi, di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia diskriminasi dimaksudkan kepada adanya pembatasan, pelecehan,
pengucilan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan pembedaan manusia atas dasar etnis, agama, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial,
19
Jimmy Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republic Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Cet. Pertama, h.127.
91
status ekonomi dan sebagainya.
20
Dan dalam Pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa “setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunannya
dengan melalu perkawinan yang sah, dan dalam ayat 2 menyatakan perkawinan yang sah hanya berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan istri yang
bersangkutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
21
Maka sebagian aliansi seperti Paramadinan dan Indonesian Conference in Region and Peace
ICRP mengatakan bahwa perkawinan beda agama adalah hak asasi manusia, namun jika dilihat dari makna diskriminasi yang dimaksud dalam undang-undang
tersebut adalah dalam perlakuan atau tindakan diskriminatif adalah tindakan yang bertujuan memberikan perlakuan yang berbeda terhadap sesama warga negara
hingga hilangnya kesempatan dan kesetaraan dalam menjalankan kehidupannya. Sedangkan dalam dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 memberikan
jaminan, perlindungan dan kesempatan untuk berkehidupan namun dibuatnya batasan pada dasarnya untuk menciptakan kehidupan yang seimbang, saling
menghargai dan menghormati satu sama lain. Oleh karena itu adanya aturan baru yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Adminstrasi
Kependudukan Pasal 35 huruf a terkait perkawinan beda agama bukanlah sebuah kemajuan HAM melainkan membuka permasalahan baru dan berimplikasi
20
Tim Hukum Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi, Amandemen UU 1945 dan Implikasinya Terhadap Pembangunan Sistem Hukum Nasioanal, Jakarta: Sekertariat Jendral DPR-RI,
2001, h. 154-155.
21
Ahmad Baso Dan Ahmad Nurcholis, Pernikahan Beda Agama Kesaksian, Argument Keagamaan Dan Analisa Kebijakan, Jakarta: Komnas HAM-ICRP, 2005, Cet. Pertama, h.258.
92
pada pelanggaran nilai-nilai agama yang nantinya dikaitkan pada hal penistaan agama seperti kasus Asmiranda, dan banyak dampak negatif yang di timbulkan.
Ternyata aturan tersebut tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan namun bertentangan dengan esensi yang terkandung pada Undang-
Undang Dasar 1945. Selanjutnya jika dikaitkan pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
Perkawinan, Pasal 35 Undang-Undang Administrasi Kependudukan tentang penetapan pengadilan bagi pasangan beda agama sama-sama pasal yang
menyangkut masalah kerohanian yang mana dalam Undang-Undang Perkawinan mengutamakan agama sebagai sumber utama dalam pengesahan perkawinan
sedangkan dalam
Undang-Undang Administrasi
Kependudukan lebih
menekankan pada hak asasi manusia atau lebih tepatnya agama bukan masalah krusial. Pendefinisian agama sendiri dalam Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya
Pasal 29 ayat 2 memuat ketentuan yang bermakna untuk memeluk agama dan kepercayaan serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan
yang diyakini.
22
Menurut Prof. Mohammad Daud Ali terkait pemaknaan pada Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kata-kata agama dan kepercayaan
dapat kita telaah dari pendapat mereka yang merumuskan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun pendapat mereka antara lain:
22
Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah
Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Jakarta ,Sekretaris Jendral Dan Kepanitraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2011, h. 33
.
93
1. Menurut H.Agus Salim menyatakan makna Ketuhanan Yang Maha Esa
dalam Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 adalah kepercayaan atau akidah agama, “tidak ada seorangpun diantara kami para perancang atau
penyusun Undang-Undang Dasar 1945 yang ragu-ragu bahwa yang dimaksud adalah, akidah atau kepercayaan agama.
2. Menurut Mohammad Hatta menyatakan arti perkataan kepercayaan dalam
Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 adalah kepercayaan agama, ditambah lagi oleh Mohammad Hatta
kuncinya adalah kata “itu” dalam ujung bunyi Pasal 29 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945
. Kata “itu” menurut beliau adalah menunjuk pada kata agama yang terletak di depan kata kepercayaan
tersebut. Dilihat dari sudut pandang penafsiran sistematis, Mohammad Hatta menjelaskan hal tersebut adalah logis, karena kata-kata agama dan
kepercayaan itu digandengkan atau disandingkan dalam satu kalimat dan diletakan di bawah bab agama dan benar sesuai dengan penjelasan H. Agus
Salim. 3.
Selanjutnya menurut Kasman Singodimedjo, yang ikut serta menjadi anggota PPK yang mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945. Mengatakan bahwa
makna kepercayaan dalam Undang-Undang Perkawinan tidak lain adalah kepercayaan yang termasuk dalam lingkup “agama” yang dipeluk bangsa
Indonesia.
23
23
David Hartadi Tenggara, “ Dampak Lahirnya Undang-Undang Administrasi
Kependukdukan Terhadap Keabsahan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan ”, Skripsi, Depok ,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007, h.152-153.
94
Dengan kata lain bahwa agama dan kepercayaan adalah satu kesatuan dari penjelasan diatas menurut Prof. Muhammad Daud Ali bahwa dalam Undang-
Undang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang mana kata agama dan kepercayaan adalah satu kesatuan dan
penjelasan dari pasal tersebut yaitu “ dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1
Undang-Undang Perkawinan berarti tidak ada perkawinan diluar hukum masing- masing agama dan kepercay
aan itu’’ sehingga jika tarik kesimpulan dari penjelasan pasal
tersebut bahwa tidak ada lagi upaya untuk melanggar ‘hukum agamanya sendiri” jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin
dengan melanggar hukum agamanya hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Dr Hazairin SH.
Didalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 b berbunyi “setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah” ditafsirkan bahwa perkawinan yang syah merupakan persyaratan untuk
timbulnya hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan maka negara tidak menjamin hak seseorang jika dalam membentuk keturunan tanpa adanya
proses perkawinan yang sah, perkawinan yang sah sendiri dalam Undang-Undang Perkawinan adalah menurut agama dan kepercayaan.
24
Menurut Hadikusuma di dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Nasional mengatakan bahwa
perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama
24
Jimly Asshiddiqie, Kometar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republic Indonesia Tahun 1945, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, Cet. Pertama, h. 115.
95
yang diakui di Indonesia. Kata “hukum masing-masing agamanya”, berati hukum dari salah satu agama itu, bukan masing-masing agama calon mempelai. Dan ia
mendefiniskan perkawina beda agama sebagai perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib salah satu agama, bukan oleh setiap agama, sehingga ia
menekankan pada penundukan salah satu agama.
25
Munculnya sebuah ketentuan baru dalam Pasal 35 huruf a Undang-Undang Administrasi Kependudukan
mengenai penetapan pengadilan terkait pasangan beda agama yang membolehkan perkawinan beda agama untuk dicatatkan sehingga memberikan definisi baru
bahwa perkawinan beda agama sudah mendapat tempat di konstitusi dengan kata lain Negara mengakui dan menfasilitasi perkawinan tersebut.
Dilahirkanya Undang-Undang Perkawinan adalah untuk meminimalisir adanya pertentangan dalam persoalan agama sehingga perkawinan beda agama
tidak diakomidir dalam Undang-Undang tersebut. Timbulnya permasalahan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan, penulis rasa lebih
menekankan pada masalah apa yang ingin diatasi Undang-Undang Administrasi Kependudukan itu sendiri. Ternyata banyak muatan materi yang bertolak
belakang dengan ketentuan yang masih berlaku hingga saat ini dan norma-norma yang hidup di masyarakat, apalagi dalam pasal-pasal yang menyoroti masalah
keyakinan atau kerohanian. Hal ini dalam pembentukan Undang-Undang disebut dengan disharmoni hukum. Disharmoni hukum biasanya timbul karena adanya
25
Ichtijanto, Laporan Akhir Analisis Dan Evaluasi Hukum 20 Tahun Pelaksanaan Undang- Undang Perkawinan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1996, h.
37.
96
perbedaan antara berbagai Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan bisa juga dikarenakan adanya pertentangan dengan peraturan pelaksanaan dan
sebagainya. Misalnya pertentangan antara Undang-Undang yang kedudukanya sederajat ataupun adanya perbedaan dengan peraturan pelaksana sehingga tujuan
dibuatnya Undang-Undang tersebut tidak sesuai. Undang-Undang Perkawinan yang sudah mendasari hukum perkawinan
hingga saat ini, secara yuridis merupakan ketentuan yang tertinggi dalam mengatur perkawinan di Indonesia termasuk dalam memeberi keabsahan terhadap
suatu perkawinan bagi masyarakat di Indonesia. Namun dengan dilahirkanya Undang-Undang Administrasi Kependudukan di tahun 2006 lalu dari segi yuridis
menjadi sebuah ketentuan perundang-undangan yang tertinggi dalam
penyelesaian administrasi kependudukan, sehingga ketentuan sebelumnya yang hanya berupa Keppres posisinya naik menjadi undang-undang. Hal tersebut
menyebabkan ketentuan lain yang ada dibawahnya, yakni ketentuan yang bersipat pluralistis harus mengacu pada aturan ini. Sedangkan Undang-Undang
Perkawinan dianggap memiliki ketentuan yang pluralistis hukum dan adanya diskriminatif terutama dalam hal pencatatan perkawinan, terlihat dari banyaknya
pro kontra dalam masyarakat mengenai keabsahan dan pencatatan bagi mereka yang memilki perbedaan agama sehingga adanya Undang-Undang Administrasi
Kependudukan dianggap sebagi solusi atau mengakomodir bagi mereka yang ingin dicatatkan dan mendapat pengakuan. Tetapi banyak yang menganggap
perkawinan yang berbeda agama adalah hal yang sangat sensitip karena ini
97
menyangkut konteks agama bukan lagi terkait Hak Asasi Manusia melainkan sebuah keyakinan yang menyangkut orang banyak bukan lagi masing-masing
pihak walaupun dalam Pasal 29 ayat 2 mengatakan “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu” dengan kata lain
bukan berati kita bisa melanggar ketentuan agama yang bisa menimbulkan konflik lebih banyak. Sehingga kedudukan Undang-Undang Administrasi
Kependudukan sendiri terhadap Undang-Undang Perkawinan harus di lihat dari segi asas-asas yang termuat dalam undang-undang, hal ini berfungi untuk melihat
kedudukan masing-masing. Untuk menyelesaikan pertentangan yuridis terkait dalam Pasal 35 huruf
a Undang-Undang Administrasi Kependudukan dengan Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 maka didalam sistem perundangan pada umumnya
mengunakan tiga asas hukum yaitu : 1.
Asas Lex Specialis Derograt Lex Generalis, maksud dari asas ini adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang
menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula diperlakukan umum atau lebih luas yang juga dapat mencangkup peristiwa
khusus. Asas ini lebih sering diartikan sebagai suatu aturan yang bersipat khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum.
2. Asas Lex Posteriore Derograt Lex Priori, yang dimaksud dengan asas ini
adalah, bahwa undang-undang lain yang lebih dahulu berlaku yang
98
mengatur suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi jika ada undang-undang baru yang berlakunya belakangan yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan
tetapi makna atau tujuanya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang yang lama tersebut pencabutan undang-undang secara diam-diam. Asas ini
sering diartikan bahwa ketentuan yang dibuat dan berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu.
3. Asas Lex Superiori Derograt Legi Inferiori. Yang dimaksud dengan asas ini
adalah sebuah aturan yang dibuat dan kedudukannya lebih tinggi posisinya mengalahkan ketentuan yang lebih rendah.
26
Ketiga asas tersebut dapat digunakan jika terjadi ketidakharmonisan dalam suatu peraturan perundang-undangan, dan menetukan aturan mana yang lebih
diutamakan dan diberlakukan. Mengingat bahwa Undang-Undang Administrasi Kependudukan dan
Undang-Undang Perkawinan memiliki kedudukan yang sama dan sederajat dalam hirarki peraturan perundang-undangan dan jika penulis kaji mengunakan asas
diatas sudah sangat jelas asas Lex Superiori Derograt Legi Inferiori tidak bisa digunakan. Berhubung masalah yang dikaji ini terkait perkawinan beda agama
yang mana dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan menekankan pada pencatatan perkawinan maka asas Lex Posteriore Derograt Lex Priori tidak
bisa digunakan juga dalam persoalan ini karena isi kandungan dalam Undang-
26
C.S.T. Kansil Dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2011, h. 391-393.
99
Undang Administrasi Kependudukan jelas berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan sendri, Administrasi Kependudukan lebih menekankan persoalan
kependudukan dan administrasi sedangkan Undang-Undang Perkawinan membahas tentang esensi perkawinan secara menyeluruh maka kedua aturan ini
tentulah sangat berbeda karena tidak seluruh subtansi undang-undang yang satu merupakan bagian dari undang-undang yang lainnya. Namun adanya salah satu
pasal dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang menyangkut perkawinan apalagi tentang perkawinan beda agama yang sebelumnya tidak ada
aturan yang mengatur hal tersebut manjadi persoalan. Maka terkait Pasal 35 huruf a pada Undang-Undang Administrasi
Kependudukan yang termuat pada bab V tentang pencatatan sipil terkait perkawinan beda agama dan Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 tentang
syahnya perkawinan bisa kita kaji mengunakan asas Lex Specialis Derograt Lex Generalis, yaitu melihat dari segi hubungan umum khusus antara Pencatatan dan
Syahnya Perkawinan. Asas ini menjelaskan bahwa aturan hukum yang khusus dapat mengesampingkan aturan yang bersipat umum. Asas lex Specialis Derograt
Lex Generalis hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki sederajat.
27
Undang-Undang Perkawinan mengatur tentang perkawinan dan subtansi tentang dasar perkawinan, larangan, syarat-syarat, pencegahan, batalnya
27
Hukum Online, Tanya Jawab Hukum Perusahaan, Jakarta: Transmedia Pustaka, 2009, Cet. Peratama, h. 10.
100
perkawinan dan
lain-lain. Sedangkan
Undang-Undang Administrasi
Kependudukan subtansinya mengatur tentang administrasi kependudukan atau pencatatan peristiwa penting yaitu kematian, kelahiran, perkawinan, perceraian,
pengakuan anak, pengesahan anak, perubahan status kewarganegaraan, pencatatan penduduk dan lain-lain. Pencatatan perkawinan sendiri merupakan
salah satu pasal dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu Pasal 2 ayat 2 yang berb
unyi “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku ”, demikian juga dalam Undang-Undang Administrasi
Kependudukan pencatatan perkawinan masuk kedalam peristiwa penting yang mesti dicatatkan. Oleh karena itu dalam menetukan kedudukan umum khusus
harus dengan melihat dari segi substansi atau materinya tidak bisa dilihat hanya dari judulnya saja.
28
Jika dari segi pencatatan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan sendiri diatur secara umum sedangkan dalam Undang-Undang
Perkawinan diatur secara khusus karena dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan pencatatan peristiwan penting mencangkup banyak hal dan
perkawinan adalah salah satunya. Oleh karena itu perkawinan masuk kedalam peristiwa penting yang harus dicatatkan, maka kemunculan Undang-Undang
Perkawinan menjadi aturan yang menetapkan perkawinan yang bagaimana dapat dicatatkan.
28
Mifta Adi Nugraha, Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan Beda Agama Antara Undang-Undang Perkawinan dan Undang-undang administrasi kependukdukan, Privat Law Edisi 01
Maret-Juni 2013. h. 58.
101
Jika dilihat dari substansi perkawinannya, maka hal ini terkait syahnya suatu perkawinan. Di dalam Undang-Undang Perkawinan syahnya suatu
perkawinan ditentukan menurut agama dan kapercayaanya Pasal 2 ayat 1,walaupun tidak secara tegas mengatur tentang rukun perkawinan tetapi
undang-undang tersebut menyerahkan persyaratan syahnya suatu perkawinan secara sepenuhnya kepada ketentuan yang diatur oleh agama dengan kata lain
agama adalah penentu syahnya suatu perkawinan, sehingga aturan tentang syahnya perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan berlaku umum dan
Undang-Undang Administrasi Kependudukan berlaku khusus.
29
Kemunculan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Administrasi Kependudukan memberikan
pengecualian untuk pelaksanan perkawinan beda agama yaitu dengan cara pentapan pengadilan. Oleh karena itu perkawinan diangap syah untuk pasangan
berbeda agama hanya ada dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan maka Undang-Undang Administrasi Kependudukan bersipat lebih khusus. Sesuai
dengan asas yang telah dijelaskan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Undang- Undang Perkawinan bersipat umum dan Undang-Undang Administrasi
Kependudukan bersipat khusus, sehingga Undang-Undang Administrasi Kependudukan sebagai peraturan yang bersipat khusus dapat mengesampingkan
aturan yang bersipat umum. Namun pada Pasal 35 huruf a Undang-Undang Administrasi
Kependudukan pada dasarnya tidak dijelaskan tentang syahnya perkawinan beda
29
Anshary, Hukum Perkawinan Indonesia, h. 14.
102
agama secara jelas, yang ada hanya penetapan pengadilan dan tidak ada penjelasan terkait persoalan agama dengan kata lain agama dianggap hal yang
tidak penting dan perkawinan mereka ditentukan oleh hakim bukan lagi oleh sebuah keyakinan, hal ini bisa diartikan bahwa implikasi Pasal 2 ayat 1 pada
Undang-Undang Perkawinan tentang pengesahan perkawinan menjadi tidak berlaku, penetapan pengadilan diartikan sama dengan penetapan agama. Maka
Pasal 35 huruf a Undang-Undang Administrasi Kependudukan berimplikasi pada sebuah kenyataan bahwa perkawinan hanya sebatas pencatatan bukan lagi
sebuah hal yang sakral, perkawinan hanya sebuah simbol dan hanya untuk mendapat bukti hukum saja. Syarat utama perkawinan menurut Undang-Undang
Perkawinan adalah hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh kedua calon mempelai, akan tetapi hal ini menjadi lengkap dan tak terpisahkan secara dejure
30
bila tidak dilakukan pencatatanya. Akibatnya perkawinan yang tidak dicatat dianggap tidak syah meski perkawinan dilakukan menurut agama sehingga
dampak yang terjadi di masyarakat adalah hukum negara yang utama dan agama bukan lagi hal yang ditakutkan karena masuk kedalam ranah privasi seseorang.
Dalam pengesahan suatu perkawinan jika dilihat dari segi pencatatan maka terdapat tiga perkawinan yang dicatatkan berdasarkan prosesi perkawinan,
antara lain pencatatan bagi orang muslim adalah setelah adanya ijab qabul dihadapan penghulu dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama, sedangkan yang
30
De jure dalam bahasa latin klasik: de iure adalah ungkapan yang berarti “berdasarkan
atau menurut hukum”
103
beragama selain Islam dilaksanakan di tempat peribadatan atau dihadapan pemuka agama yang akan mengeluarkan bukti perkawinan, bukti itulah yang
menjadi dasar Dinas Kependudukan Catatan Sipil Dukcapil mencatatkan perkawinan mereka, dan bagi perkawinan yang ditetapkan pengadilan salah
satunya perkawinan antar agama dianggap ada jika mendapat penetapan dari pengadilan, salinan penetapan tersebut menjadi dasar Dinas Dukcapil untuk
mencatatkan perkawinan mereka. Pada Pasal 35 huruf a yang berbunyi Pencatatan yang dimaksud dalam
Pasal 34 Undang-Undang Administrasi Kependudukan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan, dan ini hanya berlaku untuk
perkawinan antar agama. Didalam penjelasan pasal tersebut tidak dijelaskan pengadilan mana yang berwenang untuk mengeluarkan penetapan bagi pasangan
beda agama, pengadilan agama ataukah pengadilan negeri. Menurut Undang- Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Pasal 1 ayat 1
berbunyi : “Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam
” dengan kata lain peradilan agama hanya berkuasa atas perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan yang bukan Islam menjadi kewenangan
peradilan umum.
31
Perkawinan antar agama bukan kompetensi absoulut Peradilan Agama sebagaimana ditentukan dalam undang-undang yang di paparkan di atas,
oleh karena itu jika terjadi perkara perkawinan antara pemeluk beda agama
31
Lihat Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
104
penyelesaianyya bukan pada Pengadilan Agama tetapi pada Pengadilan Negeri.
32
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 25 ayat 2 dan ayat 3.
33
Lahirnya Pasal 35 huruf a Undang-Undang Administrasi Kependudukan hanya memberi jalan khusus untuk melaksanakan dan mencatatkan perkawinan
tersebut yaitu melalui penetapan pengadilan, yang diketahui bahwa pengadilan merupakan salah satu tempat lahirnya hukum. Hakim pada Penetapan Perkawinan
Beda Agama di Pengadilan Negeri Lumajang Nomor 198Pdt,P2013Pn.Lmj dan Pengadilan Negeri Bogor Nomor 111Pdt,P2007Pn.Bgr merujuk pada ketentuan
bahwa menurut Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
mengatakan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya
” dan seorang hakim memiliki kewajiban untuk menciptakan hukum guna memenuhi rasa keadilan masyarakat dengan kata lain
seorang hakim harus bisa melihat, membaca, memahami dan mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang berlaku di masyarakat.
Menurut Denny, selaku salah satu hakim di Pengadilan Negeri Bogor
32
Neng Djubaedah, Ibid, h. 227.
33
Didalam Pasal 25 ayat 3 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi : “Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan” dan Pasal 25 ayat 2 berbunyi ; Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana
dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”
105
mengatakan bahwa perkawinan agama sebagai akibat dari perubahan zaman yang tidak bisa di hindari, selayaknya hukum harus mengikuti perubahan zaman
tersebut, maka lahirnya Undang-Undang Administrasi Kependudukan memberi jalan bagi pasangan beda agama untuk merealisasikan perkawinannya tersebut.
Menurut beliau agama adalah hak asasi manusia dan di dalam Pasal 29 Undang- Undang Dasar 1945 tentang di jaminannya oleh Negara kemerdekaan bagi setiap
warganegara untuk memeluk Agamanya masing-masing. Pasal 29 ayat 2 disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, namun bukan berati Undang-Undang Perkawinan sudah tak
berlaku lagi, adanya Undang-Undang Administrasi Kependudukan menurut beliau sebagai pengkh
ususan “Asas Lex Specialis Derograt Lex Generalis” yang artinya aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang lebih umum.
34
Seorang hakim dalam menilai keabsahan perkawinan antar umat yang berbeda agama tetap harus memperhatikan keabsahan perkawinan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan aspek-aspek agama serta aturan yang lebih tinggi. Kantor Catatan Sipil hanya lembaga yang berwenang mencatatkan
perkawinan sedangkan yang melangsungkan perkawinan tetap pemuka agama menurut hukum agama masing-masing. Jadi keberadaan Pasal 35 huruf a
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tidak berarti perkawinan sipil dapat
34
Wawancara Dengan Bapak Dennie Arsan Fatrika S.H, Selaku Hakim Di Pengadilan Negeri Bogor, Tgl 16 Desember 2013.
106
dilangsungkan. Perkawinan harus tetap dilangsungkan menurut hukum agama untuk kemudian dinilai oleh hakim mengenai keabsahannya, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 bukan tidak melarang perkawinan antar umat yang berbeda agama melainkan tidak mengaturnya. Artinya selama hukum agama
membolehkan perkawinan antar umat yang berbeda agama tersebut maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bukan merupakan suatu benturan. Hal
inilah yang harus diperhatikan oleh hakim karena hukum agama tertentu masih membuka kemungkinan dilangsungkannya perkawinan antar umat yang berbeda
agama dengan dispensasi-dispensasi tertentu. Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 memang
memberikan kewenangan kepada Kantor Catatan Sipil untuk mencatatkan perkawinan yang telah mendapat penetapan pengadilan. Ketika pengadilan telah
mengeluarkan penetapan yang memerintahakan Kantor Catatan Sipil untuk mencatatkan perkawinan antar umat yang berbeda agama tersebut maka tidak ada
alasan untuk menolaknya. Adanya persyaratan penetapan pengadilan untuk mencatatkan perkawinan antar umat yang berbeda agama memberikan
kewenangan yang besar pada hakim untuk menentukan apakah suatu perkawinan antar umat yang berbeda agama sah atau tidak. Dalam menentukan keabsahan
perkawinan antar umat yang berbeda agama, dengan kata lain syahnya perkawinan beda agama kini ditentukan oleh pengadilan bukan lagi oleh agama.
Melalui hukum yang dilahirkan pengadilan maka pejabat pencatat perkawinan kini memiliki dasar hukum untuk mencatat perkawinan beda agama
107
tersebut. Pengaturan yang demikian menunjukan konsep pencatatan beda agama yang administratif, perkawinan beda agama tidak didasarkan pada syahnya
perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan yaitu menurut agama tapi perkawinan beda agama dapat dicatatkan karena adanya aturan hukum yaitu
penetapan pengadilan yang menyuruh untuk dicatatkan, namun hal ini menjadi tidak kalah penting karena dengan adanya pencatatan memberikan bukti autentik
terhadap status hukum seorang warga negara, dengan diterbitkannya buku nikah atau akta perkawinan menjadi bukti bahwa perkawinan benar-benar telah terjadi.
Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa perkawinan beda agama tetap tidak syah karena pengadilan sendiri tidak menyebutkan dalam penetapnya bahwa
perkawinan yang mereka lakukan menjadi syah, pengadilan sendiri hanya mengeluarkan penetapan untuk kebolehan dicatatkan agar mendapat bukti dan
mendapat perlindungan hukum. Berdasarkan hal tersebut Kantor Catatan Sipil mecatatkan perkawinan yang tidak syah, dan untuk dapat melangsungkan
perkawinan yang absah dan diakui negara maka perkawinan tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan.
Dalam Undang-Undang Perkawinan syarat syahnya suatu perkawinan dibagi dalam dua syarat yakni syarat materil yaitu syarat mengenai diri pribadi
para calon sedangkan syarat formil adalah formalitas-formalitas yang harus di penuhi para pihak sebelum dan sesudah perkawinan. Sedangkan dalam Undang-
Undang Perkawinan syarat formal tidak dipaparkan secara langsung terkait pencatatan perkawinan maka ketentuan dalam Undang-Undang Administrasi
108
Kependudukanlah yang digunakan yaitu Pasal 34, 35 dan 36. Berdasarkan isi Pasal 34 Undang-Undang Administrasi Kependudukan dicatatkanya perkawinan
yang tidak syah bukan tidak mungkin, karena pada ayat 1 dijelaskan bahwa perkawinan yang syah wajib dilaporkan dan pada ayat 2 menyatakan berdasarkan
laporan tersebut pejabat pencatatan sipil mencatat perkawinannya. Oleh karena itu dalam Pasal 34 ayat 1 tidak menyatakan bahwa hanya perkawinan yang syah saja
yang dapat dicatat, dan pada ayat 2 pun tidak mengatur bahwa hanya laporan atas perkawinan yang syah saja yang hanya di catatkan. Dan dalam Pasal 36 sendiri
memberikan penjelasan bahwa perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta perkawinan harus mendapat penetapan pengadilan hal ini berati bahwa
dengan adanya syarat dalam melangsungkan perkawinan beda agama harus mendapat penetapan pengadilan, dengan begitu barulah Kantor Catatan Sipil
memiliki kewenangan untuk mengeluarkan akte perkawinan. Menerima dan mencatatkan perkawinan hanya sebagi konsep dari Kantor
Catatan Sipil dan pada dasarnya dalam mencatatkan perkawinan beda agama, Kantor Catatan Sipil hanya bersipat pasif dalam arti bahwa tidak memberikan
penolakan melainkan memberi saran atau solusi dengan adanya penetapan pengadilan, sehingga pencatatan dan pengesahan perkawinan beda agama hanya
menyakut dua unsur yang pertama terkait maslah yuridis, khususnya masalah pembuktian dan yang kedua menyangkut masalah administratif.
109