Sebelum Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
59
berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitra kawin yang selalu disyaratkan.
Pasal7 ayat 2 : Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal-usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan.
30
Pada masa Hindia Belanda keagamaan dipergunakan sebagai pedoman dalam hal perkawinan campuran, seorang Keristen tidak bisa menikah dengan
seorang bukan Keristen karena tidak sesuai dengan waktu itu. Sehingga dalam Regeling Op De Gemengde Huwelijiken GHRPasal7 dan 2 bahwa perbedaan
agama tidak dapat dipergunakan sebagai larangan terhadap perkawinan campuran. Jika hanya salah satu pihak beralih agamanya sebelum perkawinan
dilangsungkan, perkawinan semula yang bersifat intern berubah menjadi perkawinan campuran namun menurut Lemaire GHR tidak patut dianggap
berlaku untuk kejadian ini karena kejadian tersebut masuk kedalam lingkungan “inheemsche rechter” dan jika diberlakukan maka ini bertentangan dengan
Pasal 139 IS, karena pada kenyataannya perkawinan terkait dengan perbedaan suku dan agama biasanya dilakukan di luar Regeling Op De Gemengde
Huwelijiken GHR.
31
Ada 3 pendapat mengenai apakah Regeling Op De Gemengde Huwelijiken GHR berlaku pula untuk perkawinan antar agama dan antar
30
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No 11974, Op.Cit., h. 66.
31
Sudargo Gautama, Segi- Segi Hukum “Peraturan Perkawinan Campuran, Bandung:, Citra
Aditya Bhakti, 1996, h. 8.
60
tempat yakni: pertama , kelompok yang berpendirian “luas” yang menganggap
bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat termasuk di dalam Regeling Op De Gemengde Huwelijiken GHR; kedua, kelompok yang
berpendirian “sempit” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat tidak termasuk di dalam Regeling Op De Gemengde
Huwelijiken GHR ; dan ketiga , kelompok yang berpendirian “setengah luas
setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama saja yang termasuk, sedangkan perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam
Regeling Op De Gemengde Huwelijiken GHR. Sudargo Gautama berpendapat bahwa istilah perkawinan campuran pada Pasal 1 berarti
perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan dapat disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio,
golongan rakyat, tempat kediaman, dan agama sehingga dari situ pendirian yang luaslahyang banyak di dukung oleh para sarjana hukum menurut O.S.
Eoh, semenjak
dikeluarkannya Instruksi
Presidium Kabinet
No. 31UIN121966, tidak ada lagi penggolongan penduduk kecuali dibedakan
antara Warga Negara Indonesia WNI dan Warga Negara Asing WNA sehingga di Indonesia tidak mungkin lagi ada perkawinan campuran antar
tempat dan antar golongan
.
32
32
Anggreini Carolina Palandi, Jurnal “ Analisis Yuridis Perkawinan Antar Agama”, Lex
Privatum Vol.IN0.2Apr-Jun2013. Lihat juga buku karngan Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum “Peraturan Perkawinan Campuran, Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1996, h. 185.
61
Penghapusan larangan kawin antar agama diikuti pula dengan usaha- usaha untuk mengundang prinsip perkawinan perdata di Hindia Belanda.
Upaya ini berhasil, dengan diberlakukannya pada Tahun 1983 Ordonasi Perkawinan Untuk Orang Keristen di Jawa, Madura, Minahasa dan Ambon
atau disebut dengan HOCI Huwelijks Ordonnatie Cristen Indonesia 1933 No 74. Pasal 1 memuat ketentuan yang sama dengan Burgerlijk Wetboek BW
Pasal 26 dan pada Pasal 2 memuat ketentuan bahwa perkawinan menurut HOCI adalah monogamy, sedangkan turan tentang perkawinan lintas agama
termuat pada Pasal 75 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan seorang laki- laki bukan Kristen dengan seorang wanita Kristen atas permohonan kedua
suami-isteri dapat dilaksanakan dengan memperlakukan ketentuan-ketentuan ordonansi ini dan ketentuan-ketentuan peraturan penyelenggaraan Reglemen
Catatan Sipil untuk orang-orang Indonesia-Kristen dan dalam Pasal 75 a menyatakan bahwa ayat 1, 73 dan 74 berlaku bagi perkawinan campuran
Stbld, 1998 No 158.
33