51
Namun  dengan  demikian  tidak  di  pungkiri  bagi  mereka  yang  tetap mempertahankan  cintanya,  pejabat  gereja  yang  berwenang  yaitu  Uskup  dapat
memberikan  dispensasi  pengecualian  dari  aturan  umum  untuk  suatu  keadaan yang  khusus  untuk  tetap  melakukan  perkawinan  asalkan  memenuhi  syarat
yakni yang beragama Katolik berjanji kanon:1125
21
: a.
Akan tetap setia pada iman Katolik b.
Berusaha mempermandikan dan mendidik semua anak-anak mereka secara Katolik,
c. Yang  tidak  beragama  Katolik  berjanji  menerima  perkawinan  secara
Katolik, d.
Tidak akan menceraikan yang beragama Katolik, e.
Tidak  akan  menghalangi  pihak  yang  beragama  Katolik  untuk  beribadah, dan
f. Bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik,
Kendatipun  diberi  dispensasi  sebenarnya  Katolik  memandang perkawinan  berbeda  agama  akan  menimbulkan  konflik  dan  pertentangan
sehingga merusak esensi dan tujuan dari perkawinan itu sendri, dan sebaiknya dihindari.
Sedangkan  menurut  agama  Protestan,  Gustrude  Nystrom    mengatakan yang  m
enjadi dasar utama dari perkawinan dalam alkitab adalah “kasih” yang tulus  dari  dua  orang  sehingga  mereka  menentukan  untuk  hidup  bersatu  suka
21
Mohammad  Daud  Al,  Hukum  Islam  dan  Peradilan  Agama,  Jakarta:  Raja  Grafindo Persada, 2002, h. 60.
52
atau  duka  hingga  kematian  yang  memisahkannya.  Dengan  kata  lain  dapatlah dirumuskan  perkawinan  pandangan  Protestan  adalah  suatu  persekutuan  hidup
dan percaya  yang total,  ekslusif, dan kontinyu antara seorang wanita dan pria yang dikuduskan dan diberkati oleh kristus Yesus.
Dalam Kristen Protestan  memandang  pernikahan  pada dua aspek yaitu sipil  dan  agama,  pernikahan  adalah  soal  agama  maka  sudah  semestinya
dilakukan    menurut  hukum  agama  hukum  tuhan  Yesus  agar  sesuai  dengan kehendak tuhan  namun pernikahan juga erat kaitannya dengan hubungan antar
sesama  maka  Negara  pun  berhak  mengaturnya.  Berdasarkan  pada  pandangan itu  Kristen  Protestan  memandang  bahwa  perkawinan  sah  jika  dilakukan
menurut hukum agama dan negara.
22
Meski  pada  prinsipnya  Kristen  Protestan  menghendaki  perkawinan  itu dilakukan  dengan  orang  yang  seagama,  pada  level  tertentu  agama    Protestan
pun  tidak  menghalangi  kalau  terjadi  perkawinan  beda  agama.  Namun  agama Kristen  lebih  memilih  pernikahan  antar  pemeluk  agama    Kristen  Katolik
dengan  Protestan  dibandingkan    menikah    dengan  agama  lain  dikarenakan sesungguhnya  hal  itu  bukanlah  perkawinan  antar  agama  melainkan  hanya
perbedaan gereja.
3. Menurut Agama Hindu
Agama  Hindu  memandang  perkawinan  sebagai  sesuatu  yang  suci, perkawinan  adalah  samskara  sakramen  dan  termasuk  salah  satu  dari  sekian
22
Asmin,  Status  Perkawinan  Antar  Agama  Ditinjau  dari  Undang-Undang  Perkawinan  No 11974, Jakarta:Dian Rakyat, 1986, h. 40.
53
banyak  sakramen  sejak  lahirnya  Gharbadana  sampai  proses  upacara kematian  Antyasty.
Perkawinan diartikan sebagai “Yajna” orang  yang tidak kawin  adalah  orang  yang  tanpa  Yajna  Manudharmasastra  II:67.  Pengertian
perkawinan  menurut  agama  Hindu  adalah  ikatan  suci  antara  pria  dengan seorang  wanita  dengan  tujuan  untuk  membentuk  keluarga  yang  utama,  yaitu
keturunan “purusa”.
23
Agama  Hindu  memandang  perkawinan  sebagai  salah  satu  dari banyaknya  samskara,  sebagai  sesuatu  yang  suci  yang  diatur  oleh  dharma
danharus  tunduk  kepada  dharma.  Karena  itu  perkawinan  baru  sah  bila dilakukan  menurut  hukum  agama  dengan  melalui  upacara  sakramen  yaitu
“Wiwaha  Homa”,  bila  perkawinan  tidak  dilakuakan  menurut  hukum  agama maka segala akibat yang timbul dari perkawinan tersebut dianggap tidak sah.
Oleh  karenanya,  dalam  agama  Hindu  suatu  pernikahan  akan  dianggap batal jika tidak memenuhi syarat-syarat tertentu. Misalnya bila pernikahan itu
dilakukan  menurut  hukum  Hindu  tetapi  pengesahanya  tidak  memenuhi  syarat pengesahannya,  contohnya  jika  salah  satunya  bukan  penganut  Hindu  atau
pernikahan antar penganut Hindu dengan penganut nonhindu maka pernikahan itu dianggap tidak sah menurut hukum agama Hindu.
Pengesahan  suatu  pernikahan  menurut  agama  Hindu  harus  dilakukan dihadapan  Padende  yang  memenuhi  syarat  untuk  itu.  Kalau  ada  perkawinan
beda  agama  Padende  tidak  akan  mengesahkan  perkawinan  tersebut.  Dalam
23
Asmin,  Status  Perkawinan  Antar  Agama  Ditinjau  Dari  Undang-Undang  Perkawinan  No 11974,Jakarta: Dian Rakyat, 1986, h. 45.
54
agama  Hindu  tidak  dikenal  adanya  perkawinan  beda  agama  ini  karena sebelumnya  perkawinan  harus  dilakukan  terlebih  dahulu  upacara  keagamaan,
apabila salah seorang calon mempelai bukan Hindu ia wajib disucikan terlebih dahulu sebagai penganut agama Hindu jika tidak maka ia melanggar ketentuan
dalam kitab Seloka V-89 kitab Manawadharmasastra yang berbunyi : “air  pensucian  tidak  bisa  diberikan  kepada  mereka  yang  tidak
menghiraukan  upacara-upacara  yang  telah  ditentukan,  sehingga  dapat dianggap  kelahiran  mereka  itu  sia-sia  belaka,  tidak  pula  dapat  diberikan
kepada  mereka  yang  lahir  dari  perkawinan  campuran  kasta  secara  tidak resmi,  kepada  mereka  yang  menjadi  petapa  dari  golongan  murtad  dan  pada
mereka yang meninggal bunuh diri
.”
24
4. Menurut Agama Budha
Perkawinan menurut agama Budha adalah sebagai suatu ikatan suci yang harus  dijalani  dengan  cinta  kasih  seperti  yang  diajarkan  oleh  Budha.  Atau
dapat  dikatakan  perkawinan  adalah  ikatan  lahir  batin  dari  dua  orang  yang berbeda  kelamin  yang  hidup  bersama  untuk  selamanya  dan  bersama-sama
melaksanakan  Dharma  Vinaya supaya mendapatkan kebahagian dalam hidup. Dan menurut Sang Agung Indonesia perkawinan beda agama yang melibatkan
agama  Budha  dan  non  Budha  diperbolehkan  asalkan  tata  caranya  dilakukan menurut aturan agama Budha  dan tidak diharuskan pasangan  yang nonbudha
masuk  agamanya,  namun  dalam  upacara  ritual  dalam  perkawinan  ia  harus mengucapankan “atas nama Budha, Dharma dan Sangka.”
25
24
Mohammad  Monib  dan  Ahmad  Nurcholis,  Kado  Cinta  Bagi  Pasangan  Beda  Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009, h. 118.
25
Nur  Afida
,  “
Dasar  dan  Pertimbangan  Hakim  dalam  Mengabulkan  Permohonan Pelaksanaan
Perkawinan Beda
Agama Studi
dalam Perspektif
Perkara No.04Pdt.P2010Pn.Mlg.,Universitas Brawijaya Malang Tahun 2013, h. 30.