BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Bekerja merupakan salah satu kebutuhan manusia. Sebab, dengan bekerja manusia akan dapat memenuhi kebutuhannya, yaitu 1 kebutuhan fisik dan rasa
aman yang diartikan sebagai pemuasan terhadap rasa lapar, haus, tempat tinggal, dan perasaan aman dalam menikmati semua hal tersebut, 2 kebutuhan sosial,
yang menunjukkan ketergantungan satu sama lain sehingga beberapa kebutuhan dapat terpuaskan karena ditolong orang lain, dan 3 kebutuhan ego yang
berhubungan dengan keinginan untuk bebas mengerjakan sesuatu sendiri dan merasa puas bila berhasil menyelesaikannya Strauss dan Seyle, dalam Isnaini,
2009. Kartono 2003 mengemukakan bahwa bekerja itu, disamping memberikan
materiil dalam bentuk gaji, kekayaan dan macam-macam fasilitas materiil, juga memberikan ganjaran sosial yang nonmateriil; yaitu status sosial dan prestis
sosial. Maka rasa kebanggaan dan minat besar terhadap pekerjaan dengan segala pangkat, jabatan, penghormatan, dan simbol-simbol kebesaran menjadi insentif
kuat bagi seseorang untuk mencintai pekerjaan. Cherington dalam Isnaini, 2009 mengemukakan bahwa di dalam masa
bekerja, individu mengikuti tahap-tahap perkembangan karirnya yang dimulai dari penentuan karir, pemantapan karir, perawatan karir, sampai pada tahap
kemunduran. Tahap kemunduran merupakan tahap terakhir dalam berkarir dimana
Universitas Sumatera Utara
individu menghadapi masa akhir kerjanya dan memasuki masa-masa pensiun. Schwartz dalam Hurlock, 1993 menyatakan bahwa masa pensiun merupakan
akhir dari pola hidup seseorang dalam bekerja atau dapat pula disebut sebagai masa transisi ke pola hidup yang baru. Pensiun selalu menyangkut perubahan
peran, perubahan keinginan dan nilai, dan perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup setiap individu.
Berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Daerah 2008, batas usia pensiun BUP bagi pegawai negeri sipil adalah 56 tahun, BUP ini dapat saja
diperpanjang menjadi 58 tahun, 60 tahun, 63 tahun, 65 tahun, atupun 70 tahun. Perpanjangan usia pensiun dari normalnya 56 tahun dapat terjadi karena berbagai
alasan, seperti karena memangku suatu jabatan tertentu. Misalnya, seorang pegawai yang memangku jabatan struktural eselon I atau eselon II dapat saja tetap
memangku jabatannya meski telah melewati BUP normal, yaitu 56 tahun. Hal ini juga berlaku bagi jabatan-jabatan lainnya seperti hakim, guru, ataupun jabatan
lainnya yang ditentukan oleh presiden. Pada pegawai swasta, penentuan batas usia pensiun agak berbeda dengan pegawai negeri sipil. Menurut Rei dalam Human
Capital, 2009, batas usia pensiun normal pada pegawai swasta adalah 55 tahun, sedangkan usia pensiun maksimum adalah 60 tahun.
Jika ditinjau berdasarkan jumlah pensiunan, khususnya pensiunan Pegawai Negeri Sipil PNS, saat ini terdapat hampir 4 juta pensiunan PNS di seluruh
Indonesia Carik, 2006. Deputi Menpan untuk Sumber Daya Manusia dan Aparatur Negara Tasdik Kinanto dalam Martono, 2006 mengatakan bahwa
setiap tahunnya ada sekitar 110 ribu hingga 120 ribu orang PNS yang akan
Universitas Sumatera Utara
memasuki masa pensiun di Indonesia. Di Kota Medan sendiri, menurut kepala Badan Kepegawaiaan Daerah BKD Kota Medan, Lahum Lubis dalam Waspada
Online, 2009, pada tahun 2009 diketahui sebanyak 1.000 PNS yang pensiun. Berbeda dengan pegawai negeri, sistem pensiun pada pegawai swasta agak
berbeda. Tidak seperti pegawai negeri yang mendapatkan pensiun setiap bulannya, pegawai swasta menerima sejumlah uang pesangon saat ia berhenti
dari pekerjaannya Hakim, 2009. Berdasarkan UU ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003 pasal 156 dalam Riyadi, 2008, pesangon adalah uang penghargaan yang
diberikan kepada karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena memasuki usia pensiun ataupun karena sebab-sebab lainnya. Sebagai salah satu
contohnya, Bank Permata pada tahun 2009 berencana memensiunkan 2500 orang karyawannya, dimana para karyawan tersebut nantinya akan diberikan sejumlah
pesangon Winasis, 2009. Dalam menghadapi masa pensiun, individu umumnya mengeluarkan
berbagai macam reaksi. Hal ini tergantung dari kesiapan dalam menghadapinya. Secara garis besar ada tiga sikap ataupun reaksi yang umumnya dikeluarkan
seseorang, yaitu 1 menerima, 2 terpaksa menerima, dan 3 menolak. Sikap penolakan terhadap masa pensiun umumnya terjadi dikarenakan yang
bersangkutan tidak mau mengakui bahwa dirinya sudah harus pensiun Isnaini, 2009.
Penolakan terhadap masa pensiun umumnya terjadi karena seseorang takut tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Saat memasuki masa
pensiun, seseorang akan kehilangan peran sosialnya di masyarakat, prestis,
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan, kontak sosial, bahkan harga diri juga akan berubah karena hilangnya peran Eyde dalam Eliana, 2003. Dahulu sewaktu masih bekerja, dirinya
dihormati, dielu-elukan, disanjung dan dibelai-belai dengan segala kemanisan. Pada saat itu muncullah perasaan “agung”, bahagia, bangga, merasa berguna,
merasa dikehendaki, dibutuhkan dan mendapatkan bermacam-macam fasilitas materiil yang menyenangkan. Namun saat memasuki masa pensiun, semua itu
lenyap bak embun pagi yang disapu panasnya matahari. Muncullah “kekosongan”, tanpa arti, tanpa guna dan putus asa terhadap kondisi baru yang
sedemikan ini Kartono, 2003. Penolakan terhadap masa pensiun seringkali memicu masalah-masalah
tertentu. Hamidah 2004 dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa dari 30 pensiunan yang diteliti, terdapat 46,6 peserta yang mengalami stres dengan
kategori tinggi. Kondisi seperti ini muncul ketika seseorang tidak mampu menerima kondisi pensiun dengan baik, sehingga muncullah gangguan psikologis
dan ketidaksehatan mental seperti cemas, stres, dan bahkan mungkin depresi. Suatu penelitian lain yang dilakukan oleh Jussi Vahtera di Paris, Prancis
membuktikan bahwa tekanan stres yang dialami seseorang akibat pensiun menimbulkan efek bagi penderitanya, yaitu gangguan tidur. Penderita gangguan
ini umumnya adalah orang-orang yang mengalami gejala post power syndrome, yaitu suatu gangguan psikologis yang muncul akibat penyesuaian diri yang kurang
baik di masa pensiun. Penelitian tersebut membuktikan bahwa terdapat 15.000 pensiunan yang mengalami gangguan tidur setelah pensiun. Gangguan ini
meningkat setelah memasuki masa 7 tahun sesudah pensiun Republika online,
Universitas Sumatera Utara
2009. Mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1993-1998, Wardiman Djojonegoro dalam Septhiani 2009 menyebutkan bahwa pensiun mengakibatkan
individu yang mengalaminya menjadi stres, meskipun individu yang bersangkutan sudah melakukan persiapan pensiun. Salah satu efek stres akibat pensiun adalah
meningkatnya berat badan seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Holmes dan Rahe bahkan, mengungkapkan bahwa pensiun menempati rangking 10 besar
untuk posisi stres dalam Eliana, 2003. Zimbardo dalam Eliana, 2003 menyatakan bahwa permasalahan yang
paling buruk dari pensiun adalah bisa mengakibatkan depresi dan bunuh diri. Sasono 2009 menyebutkan bahwa seorang pensiunan Petro di Surabaya yang
mengalami depresi melakukan aksi gantung diri hingga tewas. Liem Liem dalam Eliana, 2003 menambahkan selain psikologis, kondisi pensiun juga dapat
mempengaruhi fisiologis seseorang. Secara fisiologis pensiun bisa menyebabkan masalah penyakit terutama gastrointestinal, gangguan saraf, dan berkurangnya
kepekaan. Ia menyebut penyakit di atas, dengan istilah retirement syndrome. Gejala lainnya yang juga dapat muncul saat seseorang memasuki masa
pensiun adalah gejala post power syndrome. Post power syndrome adalah gejala yang umumnya terjadi pada orang-orang yang tadinya mempunyai kekuasaan atau
menjabat satu jabatan, namun ketika sudah tidak menjabat lagi, seketika itu terlihat gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil Elia, 2008. Berikut
ini adalah kutipan kisah dari beberapa artikel mengenai pensiunan PNS yang mengalami post power syndrome:
Indah 50 pusing memikirkan tingkah laku suaminya, Ardi 60, seorang pensiunan PNS dari salah satu instansi. Saat
seorang suami memasuki masa pensiun,
Universitas Sumatera Utara
terkadang istri pun terkena imbasnya, istri stres memikirkan sang suami yang berubah secara psikologis. Masalah makin berat tatkala keadaan keuangan tak
lagi seperti dulu. Waktu berlalu begitu cepat. Terlebih lagi, pensiun sering dilakukan tanpa persiapan apa-apa. Akibatnya, di masa tua mengalami stres,
jenuh, susah, dan cenderung marah-marah. Hidup terasa tidak lagi bermakna. Menapaki waktu dari pagi hingga sore sangatlah lama. Tidak ada yang dikerjakan.
Ya, bagi sebagian orang, pensiun membuat frustrasi. Jika suami saya sudah murung atau marah-marah, saya jadi stres, bingung harus berbuat apa. Apalagi
saya harus memikirkan bagaimana membagi uang pensiun yang minim untuk kebutuhan sehari-hari, pusing deh, kata Indah Suliztiarto, 2008.
Menurut Prawitasari dalam Raharjo, 2007, reaksi-reaksi eksplosif, seperti kehilangan kendali, emosi yang meledak-ledak, marah-marah, dan agresif
merupakan salah satu ciri dari post power syndrome. Post power syndrome umumnya muncul akibat penderita hidup di dalam bayang-bayang kebesaran
masa lalunya dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini www.angelfire.commtmatrixs psikologi.htm. Prawitasari dalam Raharjo,
2007 mengemukakan bahwa post power syndrome umumnya dialami oleh orang- orang yang memiliki jabatan sebagai kepala bagian atau staf. Orang-orang
tersebut menolak realita bahwa ia tidak lagi mempunyai kekuasaan, sehingga muncullah berbagai gangguan mental dan fisik.
Permasalahan-permasalahan yang muncul akibat pensiun umumnya disebabkan oleh ketidaksiapan seseorang dalam mengahadapi masa pensiun.
Ketidaksiapan ini timbul karena adanya kekhawatiran tidak dapat memenuhi kebutuhan–kebutuhan tertentu akibat pensiun. Perubahan yang diakibatkan oleh
masa pensiun ini memerlukan penyesuaian diri Eliana, 2003. Holmes dan Rahe dalam Sarafino, 2006 mengungkapkan bahwa pensiun termasuk dalam salah
satu peristiwa kehidupan yang muncul dalam kehidupan seseorang dan untuk menghadapinya dibutuhkan suatu penyesuaian psikologis. Atchley Eliana, 2003
Universitas Sumatera Utara
mengatakan bahwa proses penyesuaian diri yang paling sulit adalah pada masa pensiun.
Penyesuaian diri merupakan bentuk tingkah laku yang ditujukan untuk menanggulangi kebutuhan-kebutuhan yang ada di dalam dirinya. Tujuannya
adalah untuk mendapatkan keharmonisan antara tuntutan dari dalam diri, dan lingkungan dimana individu tersebut berada Schneider, 1964. Hurlock dalam
Gunarsa, 1986, menyatakan bahwa subjek yang mampu menyesuaikan diri kepada kelompoknya akan memperlihatkan sikap dan perilaku yang
menyenangkan, sehingga ia dapat diterima oleh kelompok dan lingkungannya. Habber dan Runyon 1984 menyebutkan, efektivitas dari penyesuaian diri
ditandai dengan seberapa baik individu mampu menghadapi situasi dan kondisi yang berubah. Menurut Santrock 2002, lansia yang memiliki penyesuaian diri
yang lebih baik pada fase pensiun adalah orang-orang lansia yang sehat, memiliki pendapatan yang layak, aktif, berpendidikan baik, memiliki relasi sosial yang luas
baik keluarga maupun teman-teman, dan biasanya merasa puas dengan kehidupannya sebelum pensiun. Sementara itu penyesuaian diri lansia yang buruk
adalah orang-orang yang tidak mengontrol hidup dan emosinya setelah pensiun, kesulitan membuat transisi dan penyesuaian memasuki usia lanjut, berpikir negatif
tentang pensiun, mengalami stress selama pensiun seperti layaknya stres saat menghadapi kematian pasangan hidupnya.
Septanti 2009 mengungkapkan, bahwa penyesuaian diri pada masa pensiun ini tergantung pula pada waktu sejak dimulainya masa pensiun.
Menurutnya, saat seorang lansia baru saja menginjak 1-4 tahun usia pensiun,
Universitas Sumatera Utara
perhatian dari keluarga sangat berarti dan penting, namun saat menginjak tahun ke-5, umumnya lansia sudah mampu menganggap pensiun sebagai suatu hal yang
biasa, bukan suatu hal yang istimewa. Dengan kata lain, lansia yang sudah menjalani pensiun lebih dari lima tahun dapat dianggap sudah terbiasa dengan
situasi pensiun. Sementara menurut Khristiany 2007, masa penyesuaian terhadap pensiun umumnya terjadi di masa 2- 15 tahun. Dytchwald 2006 menyatakan
bahwa tahapan 2-15 tahun sesudah pensiun disebut sebagai tahap reorientasi. Pada tahap ini seseorang akan mulai mengubah prioritasnya, aktivitas, hubungan, dan
hidupnya. Para pensiunan umumnya menyatakan bahwa tahap reorientasi ini merupakan tahap yang penuh dengan tantangan. Pada tahapan ini seseorang akan
mulai merasakan depresi, kecemasan, dan kebosanan akibat pensiun. Cohen dan Willy dalam Isnaini, 2009 menyebutkan bahwa seseorang
yang tengah mengalami kesulitan membutuhkan orang lain untuk dapat menolongnya membangkitkan kembali semangat serta rasa percaya dirinya dalam
menghadapi kesulitan yang sedang dihadapi. Seseorang yang tengah menghadapi masa pensiun membutuhkan orang lain yang dapat membuatnya merasa dicintai,
diperhatikan, serta tidak merasa sendirian dalam menghadapi masa pensiun. Menurut Winarini 2009, adanya dukungan dan pengertian dari orang-
orang terdekat, khususnya keluarga akan sangat membantu pensiunan dalam menyesuaikan dirinya. Perilaku keluarga seperti menggerutu, menyindir, atau
mengolok-olok akan mempersulit penyesuaian diri pada pensiunan. Karena itu, keluarga sebaiknya memberikan pemahaman dan pengertian kepada pensiunan
untuk mendongkrak kondisi psikologisnya. Keluarga dapat menyampaikan bahwa
Universitas Sumatera Utara
manusia tidak hanya berguna ketika ia memiliki jabatan tertentu. Sebab jabatan hanya bersifat sementara. Keluarga perlu menekankan kepada pensiunan bahwa
meskipun tidak lagi berkuasa, seseorang dapat tetap bermanfaat bagi keluarga maupun masyarakat. Nyoman dalam Suliztiarto, 2008 mengemukakan bahwa
peran istri sangat sentral ketika suami memasuki masa pensiun : Menjelang pensiun sampai tiba masa pensiun, biasanya seseorang sudah
mengalami stres atau depresi. Bawaannya ada yang emosional, sedih, atau diam saja. Nah, menghadapi suami yang mengalami stres ini sebaiknya istri menahan
diri, hadapi suami dengan penuh kesabaran. Istri jangan sampai emosional juga atau nyinyir.
Suliztiarto 2008 juga menyatakan bahwa saat suami memasuki masa pensiun, terkadang istri juga terkena imbasnya. Suami menjadi lebih mudah
marah atau bertingkah emosional. Oleh karena itu, peran istri menjadi sangat penting untuk mencegah terjadinya permasalahan yang lebih besar. Saat muncul
suatu masalah keluarga, diharapkan istri dapat menyelesaikan dengan cara mendiskusikannya secara baik-baik.
Menurut Edratna 2008, saat seseorang memasuki usia pensiun, keluarga perlu memikirkan kegiatan-kegiatan yang kira-kira dapat dilakukan oleh
pensiunan untuk mengisi waktu kosongnya. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat merupakan kegiatan yang memiliki nilai ekonomi ataupun sosial. Hal ini penting
agar pensiunan senantiasa berasa dalam kondisi yang bahagia. Lebih lanjut Endratna mengemukakan bahwa sejumlah temannya yang sudah memasuki masa
pensiun terlihat lebih riang dan bahagia saat mereka menemukan aktivitas pengganti, seperti membuka restoran, rumah peristirahatan, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Selain hal-hal diatas, ada pula hal sentral lain yang harus dipikirkan, yaitu berkaitan dengan berubahnya kondisi finansial keluarga akibat pensiun. Saat
memasuki masa pensiun, keluarga juga sebaiknya terlibat dalam proses perencanaan keuangan. Menurut Nyoman dalam Suliztiarto, 2008 pensiun
adalah persoalan keluarga. Keluarga harus mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Harus ada percakapan sebelumnya, karena fasilitas tidak ada lagi, dan gaji yang
diperoleh hanya sedikit. Jadi, sebelum memasuki masa pensiun, keluarga sebaiknya sudah mempersiapkan diri, seperti menabung, melakukan investasi, dan
merintis bisnis sampingan. Hal ini penting untuk mencegah penderitaan psikologis akibat beban finansial yang umumnya dialami oleh pensiunan.
Tiesnovyta 2007 juga mengemukakan bahwa masalah umumnya juga akan melanda pasangan suami istri saat suami pensiun sementara istri bekerja.
Masalah umumnya timbul karena sikap suami yang tidak siap untuk pensiun dan adanya ego yang muncul karena posisi kepemimpinan keluarga diambil alih oleh
istri. Oleh karena itu, dalam hal ini istri harus mampu meyakinkan suaminya bahwa ia tetap menghargai suaminya meskipun suami tidak lagi bekerja. Istri
misalnya dapat mengatakan kepada suami bahwa ia bekerja untuk membantu kebutuhan finansial keluarga, bukan untuk mengambil alih posisi suami sebagai
kepala keluarga. Pertolongan dan perhatian merupakan beberapa ciri dari dukungan sosial.
Sarafino 2006 menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada memberikan kenyamanan pada orang lain, merawatnya, atau menghargainya. Pendapat senada
juga diungkapkan oleh Sarason dalam Smet, 1994 yang menyatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
dukungan sosial adalah adanya transaksi interpersonal yang ditunjukkan dengan memberikan bantuan pada individu lain, dimana bantuan itu umumnya diperoleh
dari orang yang berarti bagi individu yang bersangkutan. Dukungan sosial dapat berupa pemberian informasi, bantuan tingkah laku, ataupun materi yang didapat
dari hubungan sosial akrab yang dapat membuat individu merasa diperhatikan, bernilai dan dicintai.
Berdasarkan hasil penelitian Septanti 2009, terhadap 40 pensiunan di Pasuruan ditemukan bahwa terdapat 40 , pensiunan yang dikategorikan
memiliki penyesuaian diri yang tinggi, 55 pensiunan yang penyesuaian diri dengan kategori sedang, dan pensiunan yang memiliki penyesuaian diri dengan
kategori rendah adalah sebanyak 5 . Tinggi rendahnya penyesuaian diri yang dilakukan oleh para pensiunan ini sangat tergantung dari dukungan sosial yang
diperolehnya. Dari penelitian yang sama, dijelaskan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan positif yang signifikan dengan penyesuaian diri di masa
pensiun. Hal dapat diartikan bahwa ketika dukungan sosial tinggi maka penyesuaian diri pada masa pensiun juga tinggi. Hal yang sama juga diungkapkan
oleh Jattuningtias 2003 yang menyebutkan bahwa seseorang yang memperoleh dukungan sosial dari keluarganya akan dapat menyesuaikan dirinya dengan lebih
baik saat menghadapi masa pensiun dibandingkan orang yang tidak mendapatkan dukungan sosial dari keluarganya. Hal ini diungkapkan pula oleh Hurlock 2004,
yang mengungkapkan bahwa faktor terpenting yang mempengaruhi penyesuaian diri seseorang di masa pensiun adalah sikap dari anggota keluarga.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Cobb dalam Sarafino, 1994 seseorang yang mendapat dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai dan diperhatikan, dihargai dan
menjadi bagian dari suatu kelompok sebagai sebuah keluarga atau anggota organisasi. Peranan dukungan sosial yang terdiri dari lingkungan keluarga dan
lingkungan masyarakat sangat penting bagi penyesuaian diri seseorang yang memasuki masa pensiun. Dengan adanya dukungan sosial maka hambatan dalam
menghadapi pensiun dapat diatasi. Seperti dikatakan oleh Smet 1983 jika seorang individu merasa didukung oleh lingkungannya, maka segala sesuatu akan
terasa mudah ketika ia mengalami kejadian-kejadian yang menegangkan. Individu yang mempunyai dukungan sosial yang tinggi lebih optimis
dalam menghadapi situasi kehidupannya saat ini maupun masa depan, mempunyai harga diri yang lebih tinggi dengan tingkat kecemasan yang lebih rendah.
Tersedianya dukungan sosial dapat membantu individu dalam menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapi dan membantu individu dalam menyesuaikan
diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi Septanti, 2009. Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa dukungan sosial memiliki
kontribusi terhadap penyesuaian diri seseorang di masa pensiun. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima seseorang, maka semakin baik pula penyesuaian
diri seseorang di masa pensiun, dan begitu pula sebaliknya. Karena itu dalam hal ini peneliti bermaksud untuk melihat seberapa besar pengaruh dukungan sosial
dari keluarga terhadap penyesuaian diri pada masa pensiun.
Universitas Sumatera Utara
B. PERUMUSAN MASALAH