89 Muḥsin yang berarti pihak yang memperindah dan mempercantik
tercatat juga pada konteks atau susunan kalimat surah Al-Mu’min40 : 64, terutama penggalannya Allah al-ladhī ja’ala lakum al-arḍa qarāran
wa al-samā`a binā`an wa ṣawwarakum faaḥsana ṣuwarakum wa razaqakum min al-ṭayyibāt…,
406
dan Al-Taghābun64 : 3 khalaqa al- samāwāti wa al-arḍa bi al-ḥaqqi wa ṣawwarakum faaḥsana ṣuwarakum,
wa ilaihi al-maṣīr.
407
Kedua ayat tersebut mencatat term aḥsana yang fā’il-nya subjek adalah dhamīr kata ganti yang menunjuk kepada Allah berkaitan
dengan rupa atau bentuk penciptaan manusia. Kata aḥsana yang bermakna memperindah dan mempercantik mengisyaratkan bahwa Allah
yang bersifat muḥsin telah memperindah dan mempercantik penciptaan bentuk manusia hingga seluruh makhluk-Nya tidak ada yang
menyamainya.
408
Secara umum, seluruh makhluk ciptaan-Nya adalah baik dan indah. Akan tetapi manusia sebagai yang terindah di tengah-tengah
makhluk-Nya yang indah.
409
c. Penggunaan term muḥsin
Penggunaan term yang menunjukkan kepada muḥsin dalam Al- Qur`an tidak hanya kosakata muḥsin semata, melainkan derivasinya juga
banyak tercatat di dalamnya. Supaya lebih jelas, dipandang perlu pemaparan penggunaan term-term tersebut, baik dari segi kwantitas,
makna, dan konteks temanya. 1. Penggunaan Term Muḥsin dan Derivasinya
Pembahasan bagian ini menekankan pada aspek penggunaannya yang terdiri dari kata benda dan kata kerja yang memiliki penekanan
makna yang berbeda. Adapun pembahasan tersusun dalam pemaparan berikut :
1. Muḥsin, Muḥsinūn, Muḥsinīn, dan Muḥsināt Term muḥsin dan jamaknya terulang dalam Al-Qur`an sebanyak
406
Al-Samarqandiy menafsirkan potongan ayat faaḥsana ṣuwarakum dengan aḥkama khalqakum mempercantik ciptaankamu. Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm,
Jilid 3, 172.
407
Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 3, 369.
408
Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 2, 1102, dan Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 1441.
409
Al-Zamakhsyariy, Al-Kashshāf, 961.
90 38 kali. Sebagai bentuk mufrad singular term muḥsin tercatat sebanyak
empat kali, yaitu pada surah Al-Baqarah2 : 112, Al-Nisā`4 : 125, Luqmān31 :22, dan Al-Ṣaffāt37 :113, dan sebagai bentuk jama’ plural
muḥsinūn tercantum satu kali, yakni surah Al-Naḥl16 : 128 serta muḥsinīn termaktub satu kali pada surah Al-Dhariyāt51 16 dan al-
muḥsinīn terulang sejumlah 32 kali yang tersebar pada 16 surah dan 32 ayat, dan berupa al-muḥsināt tertulis satu kali pada surah Al-Aḥzāb33 :
29. Penggunaan kosakata muḥsin berupa kata benda yang
menunjukkan kepada pelaku dalam Al-Qur`an mengisyaratkan kepada predikat yang seharusnya disandang oleh setiap manusia dan melekat
padanya mengingat predikat tesebut lebih menekankan aspek kualitas pribadi seseorang yang mencakup keimanan dan aktualisasi diri dalam
bentuk kepatuhan yang berbasis akhlak mulia. 2. Aḥsana, Aḥsanū, dan Aḥsantum
Aḥsana sebagai derivasi muḥsin merupakan fi’il māḍi kata kerja yang menunjukkan masa lampau, tercantum sebanyak sembilan kali.
Fā’il-nya yang berbentuk isim ẓāhir kata bendanama diri, yakni Allah swt tertulis dua kali, pada surah Al-Qaṣaṣ 28 : 77 dan Al-Ṭalāq65 : 11.
Dan Fā’il-nya berupa isim al-ḍamīr al-ghā`ib li al-mufrad kata ganti tunggal pihak ketiga disebut dalam Al-Qur`an sebanyak tujuh kali pada
tujuh ayat dan tujuh surah, yaitu Al-An’ām6 : 154, Yūsuf12 : 23 dan 100, Al-Kahfi18 : 30, Al-Sajdah32 : 7, Al-Mu`min40 : 64, dan Al-
Taghābun64 : 3. Adapun aḥsanū yang fā’il-nya berupa al-ḍamīr al-ghā`ib li al-
jam’i al-mudhakkar kata ganti pihak ketiga bagi laki-laki yang menunjukkan banyak tercantum enam kali, pada enam ayat dan enam
surah, yakni surah Ali ‘Imrān3 : 172, Al-Mā`idah5 : 93, Yūnus10 : 26, Al-Naḥl16 : 30, Al-Zumar39 : 10, dan Al-Najm53 : 31. Sedangkan
aḥsantum yang fā’il-nya berbentuk ḍamīr al-mukhāṭab li al-jam’i kata ganti pihak kedua yang menunjukkan banyak diulang dua kali pada
surah al-Isra17 : 7. Perbedaan ungkapan tersebut semata-mata terletak pada fā’il-nya
yang mengisyaratkan pelakunya sebagai muḥsin, secara umum terdiri dari Allah dan manusia, baik berupa isim ẓāhir maupun isim ḍamīr.
Sedangkan fi’il-nya tidak terdapat perbedaan, terbentuk dari kosakata aḥsana yang berkaitan dengan masa lampau. Hal ini berarti subjeknya
telah melakukan ihsan.
91 3. Yuḥsinūn dan Tuḥsinū
Dalam Al-Qur`an terdapat derivasi kata muḥsin berupa fi’il muḍāri’ kata kerja yang menunjukkan masa kini dan akan datang
dengan fā’il-nya berbeda satu sama lain. Kata yuḥsinūn dan tuḥsinū termaktub masing-masing satu kali. Yuḥsinūn yang fā’il-nya berupa al-
ḍamīr al-ghā`ib li al- jam’i al-mudhakkar kata ganti pihak ketiga yang menunjukkan banyak bagi laki-laki terdapat satu kali dalam surah Al-
Kahfi18 : 104 dan tuḥsinū yang fā’il-nya ḍamīr al-mukhāṭab li al-jam’i kata ganti pihak kedua yang menunjukkan banyak termaktub satu kali
pada surah Al-Nisā`4 : 128. Kata ganti yang menjadi subjek kedua kata tersebut menunjukkan kepada muḥsin.
Sebagai kata kerja yang terikat dengan masa kini dan akan datang yuḥsinūn dan tuḥsinū mempunyai karakter dinamis dan berubah-
rubah, keberadaan ihsan sebagai amal yang bisa ada dan bisa pula tidak ada pada diri seseorang, sebagai sesuatu yang temporal, meski
didalamnya tersimpan makna suatu aktivitas yang berkesinambungan, yakni jika berkehendak mencapai martabat muḥsin, maka ihsan
selayaknya selalu ada dan melekat padanya. 4. Aḥsin dan Aḥsinū
Kedua kosakata ini berupa fi’il amr kata kerja perintah yang memiliki subjek kata ganti pihak kedua. Term aḥsin yang bersubjekkan
kata ganti tunggal tertera dalam Al-Qur`an satu kali pada surah Al-Qaṣaṣ 28 : 77. Dan kata aḥsinū yang subjeknya berupa kata ganti plural tertulis
satu kali pada surah Al-Baqarah2 : 195. Subjek keduanya mengisyaratkan kepada makna muḥsin, karena
ia menjadi sasaran perintah Allah berbuat iḥsān secara konsisten agar menjadi muḥsin sesuai dengan kegunaan fi’il amr yang mengandung
makna ṭalab tuntutan untuk dikerjakan. 5. Iḥsān
Sebutan iḥsān sebagai derivasi muḥsin terulang dalam Al-Qur`an sebanyak 12 kali pada 11 ayat dan delapan surah, yakni Al-Baqarah2 :
83, 178, dan 229, Al-Nisā`4 : 36 dan 62, Al-An’ām6 : 151, Al-Taubah9 : 100, Al-Naḥl16 : 90, Al-Isrā`17 : 23, Al-Aḥqāf46 : 15, dan Al-
Rahmān55 : 60. Gramatika bahasa Arab menetapkan bahwa maṣdar berfungsi
sebagaimana fungsi fi’il-nya. Artinya kata iḥsān memuat subjek “muḥsin” sperti yang berlaku pada fi’il-nya.
92 Paparan di atas menggambarkan term muḥsin dan derivasinya
tercantum pada ayat-ayat atau surah Makiyyah dan Madaniyyah, tetapi pada Makiyyah term tersebut terulang 46 kali pada 43 ayat dan 20 surah
lebih banyak dibandingkan dengan yang tercatat pada Madaniyyah sebanyak 26 kali, tersebar pada 24 ayat dan sembilan surah.
Penggunaan muḥsin berikut derivasinya dalam ayat-ayat Makiyyah dan Madaniyyah lebih banyak berbentuk isim, baik berupa
isim fā’il yang menunjukkan sifat ataupun maṣdar yang jadi kata dasar, mencapai 51 kali. Dari sejumlah tersebut isim fā’il tercatat 39 kali, lebih
banyak dibandingkan dengan maṣdar yang termaktub 12 kali. Hal ini mengisyaratkan bahwa Allah menghendaki agar setiap orang berbuat
ihsan hingga menjadi muḥsin, yaitu sosok pribadi yang memiliki ihsan dengan pasti, mengingat muḥsin merupakan sebutan bagi orang yang
melekat pada dirinya aktivitas ihsan secara permanen. Muḥsin dalam segala kegiatannya tidak kosong dari ihsan, karena muḥsin dan ihsan
sebagai isim mengisyaratkan kepada sesuatu yang tetap dan terus berlangsung,
410
tidak terjadi secara temporer dan bersifat semu. Jadi, muḥsin dan ihsan mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan.
Ihsan menjadi faktor penentu bagi seseorang yang menghendaki mencapai martabat muḥsin. Sedangkan muḥsin adalah ahlu al-iḥsān
orang yang benar-benar berihsan atau sifat yang melekat pada diri pelakunya. Dengan kata lain, ihsan adalah proses, dan muḥsin adalah
hasilnya. Di samping itu term ihsan pada ayat-ayat tertentu memiliki fungsi
sebagai amar atau perintah, seperti lima term iḥsān yang tercantum pada QS. Al-Baqarah2 : 83, Al-Nisā`4 : 36, Al-An’ām6 : 151, Al-Isrā`17 :
23, Al-Ahqāf46 : 15. Iḥsān berarti aḥsinū berbuat baiklah.
411
Akan tetapi setatusnya tidak semata-mata sebagai amar, melainkan juga
sebagai maṣdar yang menunjukkan kepada sesuatu yang tetap dan berkesinambungan. Dengan demikian term ihsan yang bersetatus ganda
dan termaktub pada kelima ayat tersebut menunjukkan kepada “keharusan berbuat ihsan secara kontinyu”.
Dari isim fā’il yang disebut sebanyak 39 kali, sebutan al-muḥsinīn mencapai 32 kali, kebanyakan berhubungan dengan balasan Allah swt.
410
Jalāl Al-Dīn ‘Abd Al-Rahmān Al-Suyūṭiy 849-911 H, Al-Itqān fī ‘Ulūm Al-Qur`ān Beirut, Dār Ibn Kathīr, 1996, Juz 1, 633. Selanjutnya disebut Al-Suyūṭiy,
Al-Itqān.
411
Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 84.
93 Isyarat yang dapat ditangkap adalah figur muḥsin layak mendapatkan
balasan-Nya, sehubungan ia merupakan pemilik ihsan sejati, dan ihsannya berlangsung secara integral. Pencapaian derajat muḥsin menjadi
ukuran utama untuk mendapatkan balasan-Nya. Kepermanenan ihsan dan kualitasnya menjadi unsur yang menentukan bagi perolehan balasan.
Adapun berupa fi’il terulang 21 kali. Fi’il māḍiy tercantum 17 kali, lebih banyak daripada fi’il muḍāri’ dan fi’il amar yang masing-
masing termaktub dua kali. Penggunaan fi’il māḍiy terdiri dari enam kali berupa aḥsanū, dua kali berupa aḥsantum, satu kali berbentuk aḥsana
berkaitan dengan balasan, enam kali berbentuk aḥsana yang berhubungan dengan ihsan Allah swt, dan dua kali terdiri dari aḥsana
yang berhubungan dengan ihsan manusia. Hubungan antara fi’il māḍiy-nya, baik aḥsanū atau aḥsana,
dengan balasan memberi petunjuk bahwa orang-orang yang patut mendapatkan balasan Allah adalah mereka yang telah memiliki ihsan
atau sudah melakukannya pada waktu yang telah lewat. Akan tetapi, sejalan dengan keterikatan fi’il dengan waktu, maka ihsan pada katagori
ini bersifat temporal, fluktuatif, dan mengalami perubahan atau mengenal dinamika. Kadar kemungkinan antara ihsan dilakukan seseorang dengan
konsisten atau tidak dan antara semakin meningkat pelaksanaannya atau tidak demikian besar, karena “pengungkapan fi’il bagi suatu term
menunjukkan kepada munculnya sesuatu yang baru dan terjadinya suatu perbuatan”.
412
Sebutan lain adalah fi’il memiliki sifat harakah bergerak, mengenal perubahan, atau mengalami dinamika.
413
Fi’il māḍiy dari ihsan yang dipakai oleh Allah swt berkaitan dengan pahala-Nya mendudukkan ihsan menjadi syarat yang urgen untuk
memperoleh pahala tersebut. Selain itu penggunaannya dalam rangkaian ayat, di samping tepat, juga menggambarkan keserasian redaksi dan
maknanya. Adapun ungkapan aḥsantum sebanyak dua kali dalam satu ayat
QS. Al-Isrā`17 : 7 yang bersifat kausalitas dalam tarkīb al-jumlah al- sharṭiyyah setruktur kalimat yang terdiri antara syarat dan jawab
menekankan kepada implikasi berbuat ihsan. Pada hakekatnya, implikasi tersebut dirasakan oleh diri sendiri. Oleh karena ungkapannya
menggunakan fi’il māḍiy, maka ihsan yang telah dilakukan dan dimiliki
412
Al-Suyūṭiy, Al-Itqān, Juz 1, 199.
413
Hasan Hanafi, Al-Dīn wa Al-Thawrah fī Miṣr 1952-1981 Kairo, Markaz Al-Kitāb li Al-Nashr, t.t, Jilid 7, 105.
94 itu yang berdampak pada diri pelakunya masih bersifat sementara dan
dependen. Apabila kepemilikan ihsan oleh seseorang dapat dipertahankan, maka implikasinya akan dirasakan berkesinambungan.
2. Konteks Penggunaan Term Muḥsin
Bagian ini memaparkan tema-tema yang berkaitan dengan penggunaan term muḥsin dan derivasinya dalam perspektif Makkiyyah
dan Madaniyyah. Tema-tema tersebut sebagai berikut: 1. Muḥsin berkaitan dengan balasan pahala Allah swt
Pengkaitan term al-muḥsinīn jamak dari term muḥsin dengan balasan yang terulang 32 kali membuktikan apresiasi Allah swt yang
tinggi kepada ahli ihsan sesuai dengan peranan Al-Qur`an dan agama Islam sebagai pemberi kabar gembira kepada pelaku kebaikan, dan
fungsinya menjadi peringatan kepada mereka pelaku tindak aniaya.
414
Peranannya menjadi bushrā memberi kabar gembira bertujuan memotivasi manusia, secara intensif, untuk memacu diri menjadi muḥsin
yang merupakan pribadi yang dapat menempatkan diri pada posisinya sebagai sosok yang selalu menyatakan diri Tuhannya adalah Allah dan
konsisten dalam beramal.
415
Dengan fungsinya sebagai bushrā,
416
Al- Qur`an mengakui kepandaian manusia memilih sesuatu yang terbaik
baginya agar terbebas dari kesedihan dan ketakutan,
417
dan Al-Qur`an memahami kecenderungan manusia menyukai penilaian, setimulasi, dan
penghargaan. Al-Qur`an menuntun manusia agar menjatuhkan pilihan kepada perbuatan baik yang menguntungkan dirinya
418
dan
414
Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 3, 232.
415
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 10, Juz 26, 26.
416
Maksudnya adalah memberikan kabar gembira yang sempurna, tidak disertai sama sekali berita yang menakutkan baik di dunia maupun akhirat. Al-Biqā’iy,
Naẓm Al-Durar, Jilid 7, 125.
417
Ibn ‘Āshūr menjelaskan bahwa kata bushrā yang termaktub pada penggalan surah Al-Ahqāf46 : 12 wa bushrā li al-muḥsinīn mengandung pengertian menafikan
rasa sedih dan takut yang sering menyelimuti kehidupan manusia, dan memiliki pesan mengikat erat-erat manusia agar berpegang teguh terhadap Al-Qur`an. Ibn ‘Āshūr, Al-
Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 10, Juz 26, 26.
418
Al-Alūsiy menjelaskan tentang ayat takhyīr yang menjadi sebutan dari surah Al-Ahzab33 : 28-29 yang isi berkenaan dengan tuntutan kepada isteri-isteri Nabi saw
untuk memilih antara salah satu dari dua pilihan, yaitu perhiasan duniawi atau keridhaan Allah dan Nabi-Nya serta kebahagiaan akhirat sesungguhnya ayat tersebut menghendaki
agar isteri-isterinya memilih pilihan yang kedua, karena pilihan pertama disertai ancaman perceraian, sedangkan pilihan yang kedua diiringi dengan janji kebahagiaan
yang hakiki. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 11, 178-179.
95 memanfaatkan kecenderungannya untuk meraih penghargaan yang sesuai
dengan fitrah.
419
Hal ini dimaksudkan supaya manusia sukses mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu perkenan Allah,
420
dan tidak terjebak pada harapan semu. Di sini letaknya berita gembira itu diberikan kepada
orang-orang muḥsin sebagai insan yang telah dapat memadukan unsur lahiriah dan batiniah dalam mengagungkan nama Allah secara konsisten
hingga mendapatkan keridhaan-Nya.
421
Pada periode Mekkah Islam menghadapi masyarakat Arab yang terpuruk pada tradisi kemusyrikan dengan menuhankan makhluk seperti
berhala Lāta, ‘Uzza, dan Manāt yang diyakini menjadi anak-anak perempuan Tuhan sebagai warisan dari ajaran nenek moyang mereka.
422
Mereka terjebak orientasi keduniaan yang dianggap sebagai penentu kehidupan. Kebanggaan terhadap kedudukan, kekayaan, dan kehormatan
semu mewarnai praktek kehidupan sosial yang melahirkan sistem kelas di tengah-tengah tatanan kemasyarakatan. Wanita menempati kelas dua,
hingga kelahiran bayi wanita tidak disukai mereka.
423
Tradisi kemusyrikan dan orientasi hidup keduniaan menjadi penyebab mereka
menentang ajaran keimanan kepada Allah, nabi, dan Al-Qur`an, dan menolak tuntunan peribadatan yang berbasis tauhid, serta berpaling dari
panduan akhlak mulia. Sikap hidup seperti itu dinilai Allah sebagai ilmu atau
pengetahuan yang dangkal. Nabi saw diperintahkan untuk berpaling dari perilaku tersebut, meski mereka memuja dan mengagungkannya.
424
419
Ibn ‘Āshūr menyebutkan bahwa agama yang dimaksudkan oleh Al-Qur`an diridhai Allah memiliki dua sifat pokok yang dilekatkan kepada pengikutnya, yaitu
bebas dari syirik dan sesuai dengan fithrah. Pendapatnya ini berhubungan dengan penafsirannya terhadap surah Al-Rum30 : 30. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr,
Jilid 8, Juz 21, 89.
420
Majid, Islam Doktrin, xvi.
421
Makna al-muḥsinīn yang termaktub pada potongan surah Al-Ḥajj22 : 37 wa baṣṣir al-muḥsinīn adalah mereka yang mewujudkan ihsan dalam segala aktifitasnya,
baik bentuk atau aknanya lahir dan batin. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 5, 156.
422
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 11, 519.
423
Al-Zamakhshariy mengatakannya mereka diliputi rasa malu dan sedih dihadapan publik atas kelahiran bayi wanita, sehingga diri mereka dipenuhi gejolak
amarah yang meluap-luap. Pernyataan ini merupakan penafsirannya terhadap surah Al- Naḥl16 : 58. Al-Zamakhṣariy, Al-Kashshāf, 575.
424
Demikianlah Ibn ‘Āshūr menafsirkan surah Al-Najm53 : 29-30. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 11, Juz 27, 116-118.
96 Demikian pula mereka dinilai Tuhan sebagai orang-orang yang
asā`ū berbuat buruk dengan makna ashrakū berbuat syirik
425
yang akan menerima balasan yang setimpal. Sedangkan yang diinginkan-Nya
adalah aḥsanū atau berbuat ihsan dengan arti patuh kepada-Nya dengan sebaik mungkin
426
yang dijiwai sikap waḥḥadū
427
mentauhidkan Allah, konsekwensi logisnya adalah mendapatkan pahala yang lebih baik
dibandingkan dengan cita-cita dan orientasi keduniaan mereka.
428
Kepastian pahala bagi orang-orang muḥsin berupa naungan yang teduh dan berada di sekitar mata-mata air dengan menyebutkan muttaqīn
sesuai dengan isi pesan surah Al-Mursalāt77 : 41-44 sebagai bentuk sanjungan Tuhan karena sifat ihsan yang melekat pada mereka
429
orang- orang yang bertakwa, yakni menjaga diri dari siksa Allah dengan
melaksanakan kewajiban dan menjauhi maksiat
430
atau orang yang menjaga diri dari hal-hal yang dibenci-Nya untuk mendapatkan
keridhaan-Nya
431
menjadikan muttaqīn sebagai makna langsung muḥsinīn, yakni orang-orang yang bertakwa dari kalangan ahli ihsan
432
atau al-Muttaqīn al-Muḥsinīn pelaku takwa yang muḥsin.
433
Akan tetapi keberadaan kata muttaqīn tersebut sebagai bandingan dari kata
mukadhdhibīn orang-orang yang mendustakan hari kiamat.
434
Pesan yang tertangkap dari pembandingan kedua kosakata tersebut berinplikasi
kepada muḥsinīn menjadi lawan kata mukadhdhibīn. Makna ini relevan
425
Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 1364.
426
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 11, 525.
427
Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 1364.
428
Ibn ‘Āshūr lebih jauh menyebutkan bahwa balasan tersebut setimpal sesuai dengan perbuatan yang dikerjakannya selama hidup di dunia. Namun bagi ahli ihsan
akan memperoleh pahala melebihi Al-Husnā dari amal baik yang dikerjakannya, ini mengisyaratkan adanya penghargaan yang berlipat ganda atas berbagai kebaikan.
Ungkapannya ini berkaitan dengan penafsirannya terhadap surah Al-Najm53 : 31. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 11, Juz 27, 119-121.
429
Ungkapan Al-Alūsiy tersebut berhubungan dengan penafsirannya atas surah Al-Mursalāt77 : 41-44. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 15, 197.
430
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 12, 329.
431
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 8, 290.
432
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 12, Juz 29, 444.
433
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 8, 291.
434
Al-Alūsiy menuturkan bahwa makna muttaqīn yang tercantum pada surah Al-Mursalāt77 : 41 adalah mereka yang bersih dari kekafiran dan sifat berdusta
mengingat posisinya menjadi pembanding muqābalah bagi al-mukadhdhibīn yang termaktub pada ayat surah Al-Mursalāt77 : 40. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 15,
196.
97 dengan risalah Nabi saw pada periode Mekkah. Ajakan kepada
ketauhidan dan berakhlak mulia serta pembebasan masyarakat dari kemusyrikan pada periode ini memiliki porsi yang besar. Penafsiran
seperti ini tidak berpengaruh kepada penyempitan arti muḥsinīn, tetapi justru menghubungkan secara signifikan makna muḥsinīn kepada
peletakan dasar-dasar kemanusiaan yang di kala itu mengalami kenistaan. Sebagai contoh berupa penindasan, pembunuhan atau pengusiran
yang dilakukan oleh kaum musyrik Mekkah terhadap Nabi saw dan sahabat-sahabatnya seperti yang termuat pada surah Al-Mumtahanah60 :
9 sebagai wujud penolakan mereka terhadap ketuhanan Allah swt dan kenabian Muhammad saw dengan mengukuhkan tradisi kemusyrikan
setelah datangnya petunjuk dari Nabi saw yang mengemban misi ketuhanan dan kemanusiaan adalah bukti kenistaan tersebut,
435
yang termasuk ke dalam tindak pengrusakan di permukaan bumi yang bersifat
destruktif dan berdampak kepada rusaknya tatanan kehidupan lingkungan fisik, sosial, dan moral, dengan melakukan tindakan yang merusak
agama, badan, akal, keturunan, dan harta,
436
serta jiwa.
437
Larangan merusak di muka bumi yang tertera pada surah Al- A’rāf7 : 56 berdampingan dengan perintah berdo’a yang disertai khauf
rasa takut dan rajā` rasa harap
438
kemudian dihubungkan dengan pemberian balasan kepada muḥsinīn menandakan bahwa; tidak layak
dijuluki muḥsin, jika sesesorang melakukan kerusakan di muka bumi, sedangkan khauf serta rajā` memiliki peranan penting sepanjang hidup,
apabila kematian telah tiba, maka rajā`-pun menghilang,
439
dan keduanya
435
Hal ini merupakan isi dari penafsiran Al-Bayḍāwiy terhadap surah Al- Mumtahanah60 : 9. Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Juz 2, 487.
436
Al-Biqā’iy dengan menyebutkan kelimanya sebagai kegiatan merusak di bumi, tetapi tidak termasuk ke dalamnya melakukan kerusakan terhadap jiwa. Al-
Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 3, 44.
437
Al-Rāziy menggolongkan enam hal ke dalam melakukan kerusakan di permukaan bumi, yakni merusak jiwa, anggota badan, harta, keturunan, agama, dan
akal. Al-Rāziy, Mafātih Al-Ghayb, Jilid 7, Juz 14, 108.
438
Khauf berarti rasa takut kepada siksa Allah, dan rajā` berarti mengharapkan pahala-Nya agar do’a dan segala aktivitas dilaksanakan dengan ikhlas dan terbebas dari
syirik. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 5, 515. Atau Khauf diartikan dengan takut ditolaknya do’a karena mines amal dan tidak layak menuntut haq kepada-Nya, dan rajā`
diartikan dengan rasa harap diterimanya do’a sebagai karunia dan kebaikan, karena limpahan rahmat-Nya. Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 3, 342.
439
Kutipan ini dikuatkan oleh Al-Qurṭubiy dengan sabda Nabi saw; Lā yamūtunna ahadukum illā wa huwa yuhsinu al-ẓanna bi Allah HR. Muslim. Al-
Qurṭubiy, Al-Jāmi’, Jilid 7, 227, dan Al-Nawawiy, Al-Minhāj, Jilid 9, 140.
98 merupakan ciri yang melekat bagi seorang muḥsin dalam berdo’a.
440
Al-Qur`an menyebutkan kehadiran para rasul yang berbekal wahyu dan dijuluki sebagai pribadi-pribadi muḥsin merupakan salah satu
faktor penentu dalam memperbaiki iṣlāḥ kehidupn di permukaan bumi.
441
Nabi Musa as sebagai utusan Allah bagi kaumnya berbekalkan wahyu disertai hikmah kenabian, ilmu pemahamannya yang luas
tentang agama,
442
dan kepribadian muḥsin seperti yang tercantum pada surah Al-Qaṣaṣ28 : 14 agar dapat menyampaikan risalah dengan bijak,
berwawasan, dan keteladanan, serta tidak berkata dan melakukan sesuatu yang tidak diketahuinya.
443
Nabi Yūsuf as dalam menyampaikan risalah memiliki bekal yang sama dengan Nabi Musa as, yakni hikmah dan ilmu
yang menjadi anugerah Tuhan bagi dirinya sebagai pribadi muḥsin sebagaimana tertulis pada surah Yūsuf12 : 22.
444
Demikian pula Nabi Dawud dan Sulaeman berbekal hikmah dan ilmu seperti yang termaktub
pada surah Al-Anbiyā`21 : 79. Hal ini mengandung pesan dibolehkannya para rasul berijtihad dalam menghadapi berbagai persoalan.
445
Sebagai kelompok Makkiyyah ayat-ayat di atas menitikberatkan kaitan muḥsinīn dengan pahala. Tujuannya memberikan motivasi kepada
manusia agar mencapai martabat tersebut. muḥsinīn merupakan citra pribadi ideal yang melekat pada diri para rasul, tokoh panutan yang
bertugas melakukan perubahan perilaku umat menuju pribadi-pribadi muḥsin yang berbasis tauhid dalam rangka mewujudkan tatanan
kehidupan yang harmoni. Meski memiliki perbedaan, ayat-ayat Madaniyyah yang
termaktub di dalamnya term muḥsin dan derivasinya mempunyai kesamaan dengan Makkiyyah, yakni memaparkan pertaliannya dengan
balasan Allah. Jumlahnya mencapai 11 ayat dari 24 ayat, sisanya sejumlah 13 ayat berhubungan dengan berbagai hal yang berbeda satu
dengan lainnya. Sedangkan perbedaan antara keduanya, terletak pada latar belakang rincian materi aktivitasnya. Jika pada kelompok Makiyyah
440
Abī Al-Su’ūd, Irshād Al-‘Aql Al-Salīm, Juz 2, 499.
441
Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 4, 380, dan Al-Shaukāniy, Fatḥ al-Qadīr, Jilid 2, 272.
442
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān,, Jilid 10, 42, dan Al-Bayḍāwiy, Anwār Al- Tanzīl, Jilid 2, 188, serta Al-Shaukāniy, Fatḥ al-Qadīr, Jilid 4, 203.
443
Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 2, 188.
444
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 5, Juz 12, 248.
445
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 7, Juz 17, 117.
99 lebih menekankan pada segi akidah dan akhlak, maka pada golongan
Madaniyyah berkaitan dengan pelaksanaan syareat di samping akidah dan akhlak.
Di antara ayat Madaniyyah berisikan penjelasan tentang kepatuhan membelanjakan harta dalam berjuang di jalan-Nya dan
meredam sifat kikir serta membiasakan membantu orang yang papa dan tidak berburuk sangka kepada perintah Allah bahwa berinfak
mengantarkan kepada kefakiran dan kesengsaraan materi menjadikan seseorang disebut muḥsin yang patut mendapatkan kecintaan Allah.
446
Al-Qur`an lebih jauh mengutarakan kecintaan Allah kepada muḥsinīn yang dikaitkan dengan muttaqīn berikut menyebutkan sifat-
sifatnya yang dituangkan secara detail pada surah Ali ‘Imrān3 : 133-135. Terutama pelaksanaan berinfak yang diterangkannya dalam rangka
memenuhi kebutuhan orang yang membutuhkan atau menguatkan dana berjihad perjuangan di jalan-Nya, baik dalam kondisi sedang banyak
harta dan senang maupun sedang sedikit harta dan sempit kehidupan.
447
Al-Qur`an menyebutkan pula kecintaan Allah dan balasan-Nya diberikan kepada muḥsin berupa pertolongan di dunia dan kebaikan di akhirat pada
surah Ali ‘Imrān3 : 148, karena ihsannya dalam perbuatan dan perkataannya yang direalisasikan dalam setiap aktivitas yang indah
dengan motivasi semata-mata tulus mengabdi kepada-Nya.
448
Kemudian Al-Qur`an menjelaskan alasan, kenapa Allah menyerahkan pahala-Nya kepada muḥsin, yakni karena ia telah
memenuhi faktor kepatuhan total kepada-Nya dan rasul-Nya hingga kesiapan mengorbankan diri dan jiwa dalam berjihad secara pisik di
jalan-Nya semacam tercantum pada surah Ali ‘Imrān3 : 172. Ayat ini melukiskan pujian-Nya atas keberadaannya sebagai insan yang selalau
berbuat ihsan dan bertakwa muḥsin yang bertakwa.
449
2. Muḥsin berhubungan dengan Sifat Allah
Kajian bagian ini membahas tentang Allah telah ber-ihsan kepada manusia. Artinya Allah memiliki sifat muḥsin. Term yang menunjuk
kepada hal tersebut adalah derivasinya berupa aḥsana yang diungkapkan
446
Ini merupakan penafsiran Al-Ṭabariy atas surah Al-Baqarah2 : 195. Al- Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 2, 206-212
447
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 3, 437.
448
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 2, 164-165.
449
Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 190.
100 Al-Qur`an secara eksplisit dalam enam ayat dan enam surah,
450
empat ayat tergolong Makkiyyah dan dua ayat termasuk Madaniyyah.
Perintah Allah kepada Karun agar berbuat ihsan seperti Dia telah berbuat ihsan kepadanya QS. Al-Qaṣaṣ28 : 77 menunjukkan perbuatan
ihsan-Nya dijadikan sebagai alasan untuk memerintahkan Karun berbuat ihsan kepada diri sendiri dan kepada segenap makhluk dengan cara
meneladani-Nya. Hal ini mengandung maksud agar Karun khususnya, dan manusia pada umumnya dalam berbuat ihsan kepada semua pihak
dan lingkungan hidup meneladani ihsan-Nya sehubungan kāf pada penggalan ayat wa aḥsin kamā aḥsana Allahu ilaika menunjukkan
tashbīh atau penyerupaan yang mengandung makna ta’līl alasan atau sebab seperti kāf yang tersurah pada surah Al-Baqarah2 : 198.
451
Ihsan yang diperbuat Allah bermakna pemberian nikmat,
452
hubungan penggalan ayat kamā aḥsana Allah ilaika yang secara implisit menyebutkan Allah bersifat muḥsin erat sekali dengan surah Ibrāhīm14
: 7 terutama potongannya lain shakartum la azīdannakum yang menerangkan tentang “Allah menambahkan nikmat-Nya kepada manusia
yang selalu bersyukur.”
453
Potongan surah Ibrāhīm14 : 7 tersebut dapat dipahami bahwa “memperbanyak bersyukur yang direfleksikan ke dalam
penghayatan akan keragaman anugerah, kemurahan, dan perbuatan baik Tuhan kepada manusia yang menumbuhkan penguatan rasa cinta kepada-
Nya hingga tertutup peluang tumbuh perilaku berpaling dari nikmat-Nya akan mendatangkan limpahan nikmat, baik jasmani atau ruhani.
454
Perbuatan ihsan Allah yang termuat dalam term aḥsana terlihat pula pada kisah Nabi Yūsuf as dibebaskan dari penjara sebagai
pemberian nikmat-Nya QS. Yūsuf12 : 100.
455
Perbuatan ihsan-Nya kepada Karun dan Nabi Yūsuf as mengesankan ihsan-Nya diberikan
kepada orang tertentu yang menjadi pelaku sejarah masa lalu, tidak kepada semua manusia. Akan tetapi, apabila dilihat dari segi latar
belakang perilaku kedua tokoh tersebut yang saling bertentangan menunjukkan bahwa ihsan-Nya bersifat umum dan terbuka, tidak
450
Berdasarkan urutan turunnya ayat-ayat tersebut adalah QS. Al-Qaṣaṣ28 :
77, QS. Yūsuf12 : 100, QS. Al-Mu`min40 : 64, QS. Al-Sajdah32 : 7, QS. Al-Ṭalāq65
: 11, dan QS. Al-Taghābun64 : 3.
451
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 241.
452
Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’, Jilid 13, 314.
453
Al-Rāziy, Mafātih Al-Ghayb, Jilid 13, juz 25, 14.
454
Al-Rāziy, Mafātih Al-Ghayb, Jilid 10, juz 19, 68.
455
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 13, 57.
101 diberikan kepada orang yang berakhlak mulia semata seperti Nabi Yūsuf
as, melainkan dibagikan pula kepada orang yang berperangai buruk semacam Karun. Pemberian nikmat-Nya dengan tanpa pilih kasih kepada
manusia, meskipun perilaku mereka berbeda-beda, bahkan saling bertentangan secara diametral di antara mereka sudah seharusnya
dijadikan teladan oleh mereka. Kedua kisah yang eksklusif di atas merupakan perwakilan dari
perbuatan ihsan Allah kepada manusia sehubungan harta, ilmu, dan bebas dari rumah tahanan merupakan kebutuhan primer manusia. Secara
induktif menunjukkan bahwa ihsan-Nya diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Selain itu Al-Qur`an dengan ayat Makkiyyahnya
menggambarkan pula perbuatan ihsan-Nya yang ditujukan bagi manusia secara keseluruhan QS. al-Mu`min 40 : 64.
456
Sebagai muḥsin Allah swt memperindah bentuk manusia yang dijadikan-Nya sebagai makhluk
yang paling mulia dan istimewa dari seluruh ciptaan-Nya di tengah- tengah tatanan kehidupan komunitas makhluk. Tujuannya memudahkan
pelaksanaan perannya sebagai khalifah di bumi yang diimplementasikan dalam berbagai aktivitas dan kreatifitas, sehingga bumi dan langit berikut
isinya dapat dimanfaatkan secara maksimal bagi kesejahteraan bersama.
457
Dengan mencantumkan kata aḥsana pada surah Al-Sajdah32 : 7 Al-Qur`an nengukuhkan bukti lain tentang sifat Muhsin Allah. Kata
aḥsana pada ayat ini tidak berarti mengisyaratkan penciptaan makhluk memiliki kesamaan persis dan setara keistimewaannya dengan manusia.
Akan tetapi menguatkan mengenai penciptaan semua makhluk dengan baik dan sempurna sesuai dengan wujud dan sifatnya masing-masing,
terutama manusia yang tidak memiliki kekurangan, baik lahir maupun batin, dilengkapi dengan akal menjadi makhluk yang paling mulia.
458
Dilihat dari susunan dan konteks kalimatnya ayat tersebut mendudukan manusia lebih khusus ketimbang makhluk secara umum. Al-
insān yang menjadi kata khāsh khusus terletak setelah kata kulla shay` segala sesuatu yang bersifat ām umum menunjukkan keistimewaan
makna kata al-insān di tengah-tengah makna kata kulla shay`. Artinya manusia merupakan makhluk paling istimewa dan mulia di tengah-tengah
456
Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 12, 335.
457
Sayyid Muhammad Quṭub 1906-1966 M, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān Beirut, Dār Shurūq, 1992, juz 5, 3093. Selanjutnya disebut Quṭub, Fī Ẓilāl.
458
Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 842.
102 setiap makhluk yang memiliki keistimewaan masing-masing, seperti
bumi yang keras menjadi tempat tinggal dan berjalannya manusia, lembut dan halusnya udara memudahkan manusia bernafas, jilatan api ke atas
udara, karena udara tidak terbakar, dan lain sebagainya.
459
Ayat-ayat Makkiyyah di atas dari kisah Karun dan Nabi Yūsuf sampai dengan penciptaan manusia terindah menjadi jawaban terhadap
keingkaran manusia kepada Allah swt dan kerasulan Nabi saw. Jawaban tersbut dimaksudkan agar mereka beriman dengan meninggalkan tradisi
kemusyrikan, dan Nabi saw bersabar dalam menghadapi mereka. Adapun ayat yang tergolong Madaniyyah, yang membicarakan
tentang keistimewaan dan keindahan penciptaan manusia terdapat pada surah Al-Taghābun 64 : 3. Penciptaannya yang indah tersebut menjadi
peringatan bagi orang kafir supaya beriman dan beramal saleh serta memperkuat keimanan bagi orang yang telah beriman. Dengan kata lain
manusia dituntut untuk menjadi hamba yang bersyukur setelah diciptakan oleh Allah dengan rupa yang menawan.
460
Penciptaan bentuk dan rupa manusia dengan indah sudah menjadi komitmen Allah dalam memuliakan dan menempatkannya sebagai
makhluk yang paling sempurna dan mengagumkan, baik pisik maupun psihisnya.
461
Oleh karenanya manusia menjadi makhluk yang kokoh dan tertata rapih, berbagai komponen serta anggota badannya menawan, tidak
ada satu makhlukpun yang dapat menyaingi, apalagi melebihi keindahan dan kerapihan wujudnya.
462
Perbuatan ihsan Allah menjadi nikmat yang diprioritaskan bagi manusia yang memiliki kemampuan ideal dalam melaksanakan tugas
kekhalifahan, memakmurkan bumi dan mengelola alam semesta. Manakala terjadi kerusakan kelangsungan hidup akan terancam.
Al-Qur`an dengan ayat Madaniyyahnya lebih jauh menjelaskan Allah sebagai muḥsin memberikan rizki yang baik, yang menjadi
kelengkapan hidup manusia. Rizki terdiri dari dua macam, yakni rizki dunia dan rizki akhirat. Pengkaitan kata rizki dengan nikmat surga yang
tercantum pada penggalan surah Al-Ṭalāq 65 : 11, Qad aḥsana Allah lahū rizqan, berarti rizki yang luas dalam surga
463
atau rizki yang
459
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 8, Juz 21, 215
460
Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 1112.
461
Quṭub, Fī Ẓilāl, Juz 6, 3585.
462
Al-Rāziy, Mafātih Al-Ghayb, Jilid 15, juz 30, 20-21.
463
Al-Shaukāniy, Fatḥ al-Qadīr, Jilid 5, 307.
103 agung,
464
dan dapat ditafsairkan dengan sebaik-baik rizki yang diberikan kepada manusia berupa surga yang penuh dengan kenikmatan yang tidak
terhingga dibandingkan dengan segala macam rizki yang diterimanya.
465
Jadi rizki pada ayat tersebut berarti nikmat Allah yang layak diterima orang beriman dan beramal saleh sebagai pahala, yakni surga yang
mengagumkan,
466
mengingat bagian akhir ayat cenderung mengunggulkan pahala menjadi rizki bagi orang mukmin.
467
Rizki bersifat umum, dan nikmat surga bersifat khusus yang dijadikan puncak dari segala rizki yang diterima orang mukmin yang
beramal saleh. Rizki meliputi material dan immaterial. Rizki yang baik ialah rizki yang cukup, tidak kekurangan hingga terpenuhi kebutuhan,
dan tidak berlebih hingga lalai akibat keserakahan.
468
Kesemuanya dimanfaatkan dan diproyeksikan dalam rangka mendapatkan puncak rizki
berupa surga. Ini berarti megunggulkan dan mengagungkan nikmat pahala surga atas segala rizki.
469
Ayat tersebut diturunkan di Madinah setelah hijrah. Isinya menonjolkan aspek syareat dengan tidak mengabaikan pesan-pesan
keimanan dan akhlak. Pemberian rizki yang baik pada ayat tersebut berkenaan dengan hukum perceraian.
470
Mantan suami dituntut melaksanakan perintah Allah berbuat baik kepada mantan isteri dengan
memberikan mut’ah dari rizkinya -pen- agar terjaga agamanya serta memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
471
3. Muḥsin berhubungan dengan sesama manusia
Ayat yang lebih dahulu turun berkenaan dengan tajuk pembahasan ini adalah ayat-ayat Makkiyyah yang menjelaskan tentang
berbuat ihsan kepada kedua orang tua dengan penggunaan term ihsan yang menjadi derivasi dari term muḥsin, kemudian berbuat ihsan kepada
pihak-pihak lain dalam berbagai bentuk.
464
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 11, Juz 28, 338.
465
Quṭub, Fī Ẓilāl, jilid 6, 3606.
466
Al-Alūsiy, Rūh al-Ma’ānī, Jilid 7, juz 14, 337.
467
Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 1118.
468
Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Jilid 6, 167.
469
Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 2, 503.
470
Sesuai dengan nama surah al-Thalâq yang memuat ketentuan perceraian dilakukan dengan santun terutama dalam memberikan nafkah dan hak-hak mantan isteri
agar tetap terjalin hubungan baik. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 8, 23.
471
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 8, 42.
104
a. Berbuat ihsan kepada kedua orang tua