112 Dan surah Al-Mā`idah5 : 93 yang meletakkan āmanū
bersandingan dengan aḥsanū dan al-muḥsinīn berkenaan dengan hukum makanan dan minuman haram yang telah dimakan oleh orang-orang yang
beriman dan melaksanakan amal shaleh di masa sebelum mereka beriman. Penempatan aḥsanū dan āmanū dalam satu rangkaian ayat
tersebut mengisyaratkan kepada keduanya menjadi unsur penentu dan integral bagi seseorang untuk mencapai ranah muḥsinīn yang dicintai
oleh Allah swt, meski orang yang beriman belum tentu mencapai derajat muḥsin.
512
d. Al-Muttaqī
Kata muttaqin berasal dari ﻲَﻘﱠـﺗِإ
– ﻲ ِﻘﱠﺘ َـﻳ
– ً ءﺎَﻘﱢـﺗِإ
– ٍﻖﱠﺘ ُﻣ
yang bermakna waspada, menjaga, dan mengamalkan supaya tidak ditimpa bahaya atau
menghindari siksa, yaitu dengan melaksanakan yang diperintah dan meninggalkan yang dilarang Allah swt.
513
Sedangkan kata يَ ﻮْﻘَـﺘﻟا berasal
dari ﺎ ًﻴْـﻗ َ و
. ا ً وا َ و ُ ءﺎ َﻴْﻟا َ و ً ءﺎَﺗ ُ وا َ ﻮْﻟا ِﺖَﻟ ِﺪْﺑُﺄَﻓ
bermakna ءﺎَﻘﱢـﺗﻹا
514
artinya menjauhi siksa. Kata muttaqin dengan derivasinya terulang dalam Al-Qur`an sejumlah 240
kali, mayoritas bermakna menghindarkan diri dari siksa Allah swt. Adapun kata muttaqin atau derivasinya yang terangkai dalam Al-
Qur`an dengan kata muḥsin atau derivasinya tertulis pada delapan ayat dan dalam delapan surah. Misalnya surah Al-Zumar39 : 10 berisikan
perintah bagi orang-orang beriman agar bertakwa kepada Allah swt. Pada ayat ini ketakwaan yang diimplementasikan dalam ketaatan
melaksanakan ketentuan-Nya dan menghindari kemaksiatan serta memelihara kemurnian iman merupakan manifestasi dari berbuat ihsan
yang dijamin mendapatkan kebaikan di dunia.
515
Ayat tersebut mengukuhkan bahwa muḥsin meliputi mu`min dan mutttaqin. Sebagai sampelnya Al-Qur`an menampilkan Nabi Yūsuf as
menjadi contoh figur di masa lalu sebagai orang yang memiliki kepribadian tersebut QS. Yūsuf12 : 90.
516
Al-Qur`an terkadang memberikan kesan seolah-olah muḥsin dan muttaqin sebagai sosok pribadi yang sama persis, muḥsin berarti muttaqin
512
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 2, 539.
513
Majma’ Al-Lughah, Mu’jam, Jilid 2, 678. Teks aslinya ialah: ُﻪْﻨ ِﻣ ٌر َ ﺮَﺿ ُﻪَﺒ ْﻴ ِﺼُﻳ َﻻ ْنَأ ﻲَﻠَﻋ َ ﻞِﻤَﻋ َ و َنﱠﻮَﺼَﺗ َ و ُﻪْﻨ ِﻣ َﻆﱠﻔََﲢ
atau ُﻪْﻨَﻋ َ ﻲِ ُ ﺎﱠﻤَﻋ ِءﺎ َﻬِﺘْﻧﻹْا َ و ِﻪِﺑ َ ﺮ ِﻣُأ َﺎ ِﲟ ِﻞ َ ﻤَﻌْﻟﺎِﺑ َﻚِﻟاَذ َ و ، َباَﺬَﻌْﻟا َ ﺐﱠﻨََﲡ
514
Majma’ Al-Lughat, Mu’jam, Jilid 2, 680.
515
Abī Al-Su’ūd, Irshād Al-‘Aql Al-Salīm, Juz 5, 383.
516
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 13, 49.
113 dan muttaqin bermakna muḥsin. Pribadi yang berpredikat seperti ini
layak mendapatkan kebahagiaan, sebagaimana tersurat pada surah Al- Naḥl16 : 30.
517
Namun, pada hakekatnya, ayat tersebut memposisikan muttaqin merupakan bagian dari muḥsin dan menjadi karakternya.
Muttaqin merupakan sosok pribadi yang beriman, dan muḥsin adalah orang yang beriman serta berupaya memerintahkan orang lain untuk
patuh kepada Allah swt, memotivasi, dan mengajaknya kepada kebaikan.
518
Selain itu muttaqin menjadi predikat orang yang berorientasi kepada menjunjung tinggi perintah Allah swt untuk diamalkan.
Sedangkan muḥsin memiliki nilai lebih, ia adalah pribadi yang memperindah pengamalan perintah-Nya hingga mengutamakan kasih
sayang untuk mengasihi sesama hamba.
519
Sifat mulia ini akibat cara pandang muḥsin kepada pihak lain dengan keluhuran budi.
Dirangkainya ا ْ ﻮَﻘﱠـﺗا َ ﻦْﻳ ِﺬّﻟا dengan َنْ ﻮُـﻨ ِﺴُْﳏ ْ ﻢُﻫ َ ﻦْﻳ ِﺬﱠﻟا
dalam surah Al-Naḥl16 : 128 bermaksud memotret keluhuran budi pekerti muḥsin melebihi
muttaqin, dan muḥsin lebih mencerminkan kepada ketinggian nilai sepiritual, serta muttaqin merupakan kepribadian yang telah ada di dalam
diri muḥsin,
520
karena takwa menjadi zād seperti yang termaktub pada surah Al-Baqarah2 : 197
521
atau bekal yang dimiliki seorang muḥsin untuk mushāhadah terhadap Tuhannya.
Identifikasi di atas dapat dipahami dari pola kalimat yang terdiri dari kata kerja masa lampau ا ْ ﻮَﻘﱠـﺗا َ ﻦْ ﻳ ِﺬﱠﻟا
yang berarti takwa telah dimiliki mereka, realisasinya dengan melaksanakan kewajiban yang berbasis iman
agar dapat mengurangi perbuatan dosa, bila tidak dapat dihilangkan sama sekali, yang menjadi pesan utama dari takwa itu sendiri. Sedangkan
517
Al -Zamakhshariy, Al-Kashshāf ‘, 571.
518
Abd Al-Rahman bin Muhammad bin Idrīs al-Rāziy ibn abī Ḥātim w. 327 H, Tafsīr Al-Qur`ān Al-‘Aẓīm Musnadan ‘an Rasul Allah saw wa Al-Ṣahābat wa Al-
Tābi’īn Makkah, Maktabat Nazār Musthafa Al-Bāz, 2003, Jilid 7, 2282. Selanjutnya disebut Ibn abī Hātim, Tafsīr Al-Qur`ān, kemudian Jalāl Al-Dīn Abd Al-Rahman bin
Abī Bakar Al-Suyūṭiy w. 911 H, Al-Durr Al-Manthūr fī Mafātih bi Al-Ma`thūr Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2000, Jilid 4, 218-219. Selanjutnya disebut Al-
Suyūṭiy, Al-Durr Al-Manthūr, dan Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 3, 198.
519
Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 3, 252.
520
Al-Qushairiy, Lathāif Al-Ishārāt, Juz 3, 339.
521
Al-Rāziy memandang manusia berada dalam dua perjalanan, yaitu perjalanan di dunia dan perjalanan meninggalkan dunia menuju akhirat atau Tuhan.
Bekal perjalanannya di dunia berupa makanan, minuman, kendaraan, dan harta, sedangkan bekal perjalanannya menuju Tuhan adalah takwa. Al-Rāziy, Mafātih Al-
Ghayb, Jilid 15, juz 30, 36.
114 pencantuman pola kalimat yang terdiri dari kata benda
َ ﻦْﻳ ِﺬﱠﻟا َن ْ ﻮُـﻨ ِﺴُْﳏ ْ ﻢُﻫ
mengisyaratkan bahwa berihsan merupakan sesuatu yang permanen dan berkesinambungan dalam mempercantik takwa mereka, serta berihsan
berarti memiliki keutamaan dan keunggulan yang membutuhkan upaya pelestarian supaya tetap melekat.
522
Pemaparan sifat terpuji para sahabat Nabi saw yang terlibat perang Uhud kendati mereka telah terluka dalam surah Ali ‘Imrān3 : 172
menjadikan lebih jelas bahwa muḥsin merupakan pribadi yang mengedepankan keindahan dalam mewujudkan kepatuhannya kepada
Nabi saw, dan muttaqin sebatas pada sikap patuh dan adanya rasa takut bila berpaling darinya.
523
Demikian pula surah Al-Nisā`4 : 128 yang menyebutkan َ و ا ْ ﻮُـﻨ ِﺴُْﲢ ا ْ ﻮُﻘﱠـﺘَـﺗ
mendudukkan muḥsin sebagai orang yang mengharmonikan pergaulan dan pemenuhan hak-hak isterinya dengan indah, meski
terdapat perangai isterinya yang tidak disukai, dan meletakkan muttaqin selaku orang yang takut kepada Allah swt dengan tidak bertindak aniaya
terhadap isterinya, seperti tidak ingin menggauli dan tidak berkehendak memberikan hak nafakahnya.
524
Tercantumnya kosakata ي َ ﻮْﻘَـﺘﻟا dan ْ ﲔِﻨ ِﺴ ْﺤ ُ ﳌا
dalam surah Al-Ḥajj22 : 37 bertujuan memerankan al-taqwā untuk melukiskan rasa takut dan
patuh semata-mata kepada dan karena Allah swt, dan al-muḥsinīn untuk menggambarkan orang-orang yang mempercantik kepatuhan mereka
kepada-Nya.
525
Makna ini mengisyaratkan bahwa muḥsin adalah orang yang berupaya menjadikan takwanya lebih indah dan berkualitas.
Semakin lebih jelas lagi kaitan makna secara bertingkat antara muḥsin dan muttaqin dengan adanya surah Al-Mā`idah5 : 93.
Pencantuman kata ا ْ ﻮُـﻨ َ ﺴ ْﺣَأ dan َْ ﲔِﻨ ِﺴ ْﺤ ُ ﳌا
setelah ا ْ ﻮَﻘﱠـﺗِإ yang terulang tiga kali pada
ayat ini menunjukkan ketakwaan ditujukan untuk mencapai tingkat muḥsinīn sebagai figur yang dicintai Allah swt dengan melakukan amal
sempurna yang diridhai dan dapat mendekatkan kepada-Nya.
526
Dengan kata lain, kedua kata tersebut memiliki hubungan kausalitas, dalam arti
ketakwaan merupakan anak tangga untuk mencapai derajat muḥsin.
522
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 14, 338.
523
Al-Jauziy, Zād al-Masīr, 241.
524
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 4, 304.
525
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 9, 159-160.
526
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 5, 37.
115
e. Al-Ṣāliḥ