118
a. Hubungan muḥsin dengan Allah swt
Dalam hubungannya dengan Allah swt, seorang muḥsin merealisasikan aktivitasnya ke dalam berbagai hal, yaitu :
1. Beriman dan bertakwa
Beriman dan bertaqwa merupakan dua unsur yang yang memiliki posisi penting dalam upaya membuktikan diri seorang muḥsin memiliki
hubungan yang kuat dengan Allah swt. Keduanya berkaitan langsung dengan dhat, sifat, perbuatan, dan ketetapan-ketetapan-Nya. Dengan kata
lain beriman dan bertakwa merupakan perwujudan dari hubungan melekat seorang muḥsin dengan Allah swt,
539
sebagai perwujudan dari sehatnya perkembangan sistem kepercayaan belief system
540
yang dimilikinya serta menjadi kemampuan dan kebutuhan untuk berkembang
secara psikologis
541
yang merupakan bagian dari kemampuan- kemampuan manusiawi.
542
539
Hal ini dapat dilihat pada surah Al-Zumar39 : 10 yang termasuk Makkiyyah dan surah Al-Mā`idah5 : 93 yang tergolong Madaniyyah Sekalipun
terdapat ayat dari surah Al-Mā`idah yang turun di Mekkah ayat 3, tetapi ayat di atas diturunkan setelah Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah, yaitu di waktu haji wada’.
Dewan Penterjemah Departemen Agama, Al-Qur`an dan Terjemahnya Madinah Munawwarah, Mujamma’ Al-Malik Fahd li Ṭibā’at Al-Muṣhaf Al-Sharīf, t.t, 155.
Selanjutnya disebut Dewan Penterjemah, Al-Qur`an.
540
Dalam bacaan pesikologi manusia dinilai mempunyai suatu sistem kepercayaan. Sistem kepercayaan adalah hal-hal yang diyakini, dijadikan pegangan
hidup, dan mewarnai seluruh tingkah laku manusia. Sistem kepercayaan yang berhubungan dengan spiritualitas agama atau iman dalam terminologi Islam yang
melandasi perilaku keberagamaan seseorang sesungguhnya tumbuh dan berkembang sebagai konsekuensi logis dari kecenderungan potensi fitrah manusia kepada ajaran
tauhid yang berwujud dalam ma’rifat Allah wa mahabbatuh wa tawhīduh mengenal, mencintai, dan mengesakan Allah. Taqy Al-Dīn Abī Al-Abas Ahmad bin Abd Al-
Halīm bin Abd Al-Salām Al-Ḥarrāniy Al-Damshiqiy ibn Taimiyyah, Al-Tafsīr Al-Kāmil Beirut, Dār Al-Fikr, 2002, Jilid 5, 212. Selanjutnya disebut Ibn Taimiyyah, Al-Tafsīr
Al-Kāmil.
541
Menurut Maslow setiap anak, paling tidak hampir setiap anak, yang terlahir di muka bumi ini memiliki kemampuan dan kebutuhan untuk berkembang secara
psikologis. Frank G Goble, The Third Force, The Pshchology of Abraham Maslow New York, N.Y, Washington Square Press, 1971, 54-55. Selanjutnya disebut Goble,
The Third Force.
542
Dalam diri manusia terdapat hasrat kuat untuk menjadi sehat, suatu dorongan ke arah pertumbuhan atau ke arah aktualisasi kemampuan-kemampuan
manusiawi. Pernyataan tersebut merupakan pendapat Maslow. Goble, The Third Force, 60.
119 Potensi inilah yang dalam Islam disebut fitrah
543
yang mengarahkan manusia menjadi makhluk spiritual,
544
yang selalu menghubungkan diri dengan kedalaman spiritualitasnya. Maslow menilai
aspirasi-aspirasi, cita-cita, dan kehidupan spiritual manusia yang lebih tinggi merupakan sesuatu yang alamiah atau naluriah dan merupakan
subjek penelitian ilmiah yang sesungguhnya, sebab semua itu memiliki dasar biologis.
545
Dengan spiritualitas itu terlihat dengan jelas perilaku dan kepribadiannya mencerminkan sistem kepercayaan tersebut,
sehingga ketentuan dan keharusan beriman dan bertakwa yang merupakan syir’ah ajaran agama atau fitrah munazzalah fitrah yang
diturunkan sebagai faktor eksternal
546
menjadi kelanjutan natur manusia sendiri.
547
Perintah bertakwa kepada Allah swt bagi orang-orang yang beriman yang kemudian diiringi oleh sebutan bagi orang-orang yang
berbuat ihsan mendapatkan kebaikan di dunia, seperti yang tertuang pada surah Al-Zumar39 : 10 mengindikasikan bahwa beriman dan bertakwa
merupakan dua unsur yang menyatu pada diri muḥsin.
548
Seorang muḥsin akan meningkatkan mutu keimanan dan ketakwaan dengan memperindah
keduanya, sehingga perintah berhijrah yang menjadi pesan ayat tersebut dengan meninggalkan tempat huniannya dalam rangka memperbanyak
dan meningkatkan kualitas perbuatan ihsan dilaksanakan dengan sabar.
549
543
Fitrah manusia senantiasa diidentikkan dengan konsep tauhid, karena fitrah tersebut cenderung kepada agama tauhid. Pemaknaan ini terlihat pada penafsiran Ibn
Taimiyah atas Q.S. Al-Rūm30 : 30, ”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Ibn Taimiyyah, Al-Tafsīr Al-Kāmil, Jilid 5, 212.
544
Spiritual berasal dari kata spirit yang berarti kekuatan energi pisik atau psikis. Sedangkan spirituality merepresentasikan keimanan dalam bentuk kekuatan non
material. David Fontana, Psycology, Religion, and Spirituality Victoria, Black Well Publishing, 2005, 11-12. Selanjutnya disebut Fontana, Psycology.
545
Goble, The Third Force, 93.
546
Ibn Taimiyyah, Al-Tafsīr al-Kāmil, Juz 5, 214.
547
Majid menyatakan bahwa dari sudut pandangan lain, itu berarti bahwa agama adalah kelanjutan natur manusia sendiri. Majid, Islam Doktrin, xvi.
548
Burhān Al-Dīn Abī Al-Ḥasan Ibrhim bin Umar Al-Biqā’iy w. 885 H, Naẓm Al-Durar fī Tanāsub Al-Āyāt wa Al-Suwar Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah,
2003, Jilid 6. 429. Selanjutnya disebut Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar.
549
Nāṣir Al-Dīn Abī Sa’īd Abd Allah bin ‘Umar bin Muhammad Al-Shīrāziy Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl wa Asrār Al-Ta’wīl, Tafsīr Al-Bayḍāwīy Beirut, Dār
120 Surah Al-Mā`idah5 : 93 yang memuat empat komponen, iman,
amal saleh, takwa, dan ihsan memperjelas keimanan dan ketakwaan itu menyatu pada diri muḥsin.
550
Keberadaan keempat komponen yang tersebut pada ayat ini menggambarkan adanya tahapan-tahapan iman dan
takwa. Pengulangan iman dan takwa dapat diartikan sebagai isyarat akan adanya keberadaan iman dan takwa yang berjenjang dan
berkesinambungan yang digunakan seseorang untuk berkomunikasi dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan Allah swt hingga
dicintai-Nya. Pengulangan iman dan takwa hingga kemudian iman diganti dengan ihsan pada tahap ke tiga dapat pula ditafsirkan sebagai
pertanda adanya tiga martabat. Iman dan takwa yang pertama pada tahap mabda` permulaan, yang kedua pada martabat yang lebih tinggi atau
wasaṭ pertengahan, dan yang terakhir adalah tingkat tertinggi atau muntahā puncak. Akhir ayat yang menekankan bahwa Allah menyukai
al-muḥsinīn orang-orang berbuat ihsan mengindikasikan kepada orang yang memiliki sifat-sifat tersebut dan melampauinya dengan baik disebut
muḥsin yang dicintai Allah dan ia merupakan tingkat tertinggi.
551
Penggunaan kata thumma kemudian pada ayat ini mengandung makna jarak, menyangkut tingkat dan martabat yang menunjukkan
kepada penjenjangan makna iman dan takwa. Dan penyertaan kosakata aḥsanū bersama term iman dan takwa bermakna ketinggian martabat
yang dapat membawa dan mendatangkan ridha Allah.
552
Dengan kata lain
Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1999, juz 2, 321. Selanjutnya disebut Al-Bayḍāwiy, Anwār Al- Tanzīl.
550
Kajian lebih jauh tentang penafsiran surah Al-Mā`idah5 : 93 dengan pesan tersebut dapat dilihat dalam Fakhr Al-Dīn Muhammad ibn Umar ibn Al-Ḥusain ibn Al-
Ḥasan ibn ‘Aliy Al-Tamīmiy Al-Bakriy Al-Rāziy Al-Shāfi’iy, Mafātiḥ Al-Ghayb Al- Tafsīr Al-Kabīr Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1990, Jilid 6, Juz 12, 70-71
.
Selanjutnya disebut Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb.
551
Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Juz 1, 282. Ayat di atas memuji pribadi muḥsin yang tidak sebatas konsisten dengan iman, takwa, dan peningkatan amal saleh
serta menjaga diri dari perbuatan tercela maksiat melainkan ia konsisten pula dalam memperindah amal dan berbuat ihsan kepada sesama manusia, serta memujinya . Abī
Al-Qāṣim Jār Allah Mahmud bin Umar Al-Zamakhshariy Al-Khawārizmiy 467 – 538 H, Al-Kashshāf ‘an Ḥaqā`iq Al-Tanzīl wa ‘Uyūn Al-Aqāwil fī Wujūh Al-Ta`wīl Mesir,
Maktabat Al-Muṣṭafā Al-Bāb Al-Ḥalabiy, 1972, 308. Selanjutnya disebut Al- Zamakhshariy, Al-Kashshāf.
552
Muhammad Ṭāhir Ibn ‘Āshūr, Tafsīr Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr Tunis, Dār Suhnūn li al-Nashr wa al-Tauzī’, t.t, Jilid 3, Juz 7, 36. Selanjutnya disebut Ibn ‘Āshūr,
Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, dan M. Quraish Shihab , Tafsir Al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan
121 orang yang berbuat ihsan memiliki iman dan takwa yang berkualitas
tertinggi. Sebab nuzul surah Al-Mā`idah5 : 93 memperjelas eksistensi
iman yang direalisasikan dengan amal saleh dan takwa yang tulus dapat menghapuskan tradisi buruk dan perbuatan dosa yang pernah dilakukan
seseorang. Terlebih, apabila perbuatan tersebut dikerjakan sebelum ditetapkan hukum haramnya.
Nasa’i dan Baehaqi yang bersumber dari Ibn Abbas meriwayatkan bahwa sebagian kalangan Anshar yang berat
meninggalkan minuman keras mendiskusikan najis yang telah diminum oleh para sahabat yang gugur di perang Uhud. Maka Allah menurunkan
ayat tersebut menjelaskan kedudukan mereka yang gugur sebelum turunnya ayat yang melarang minuman keras atau khamer dan
perjudian,
553
mereka tidak berdosa. Al-Qur`an menilai ketinggian iman seorang muḥsin,
554
karena keimanannya yang tulus dan berkualitas tinggi, seperti yang
diekspresikan dengan keterharuan yang mendalam tatkala mendengarkan dan mengetahui kebenaran isi Al-Qur`an seraya menginginkan dilindungi
dan digolongkan ke dalam orang-orang saleh. Terhadap perilaku seperti ini Allah memberikan penghargaan yang signifikan dengan memberikan
imbalan kebahagiaan hidup yang kekal di dalam surga dan melekatkan kepadanya predikat muḥsin. Pelekatan nama muḥsinīn dan pemberian
penghargaan tersebut menunjukkan harapan dan do’anya dikabulkan Allah QS. Al-Mā`idah5 : 83-85.
555
Keserasian Al-Qur`an Jakarta, Lentera Hati, 2000, Vol. 3, 184. Selanjutnya disebut Shihab , Tafsir Al-Mishbāh.
553
Jalāl Al-Dīn Abd Al-Rahman ibn Abi Bakar Al-Suyūṭiy w. 911 H, Asbāb Al-Nuzūl Mesir, Maktabah Nāshir, t.t, 114. Selanjutnya disebut Al-Suyūṭiy, Asbāb Al-
Nuzūl. Larangan minuman keras tercantum pada surah Al-Mā`idah5 : 90. Dilihat dari segi sabab turunnya ayat tersebut memiliki redaksi yang bersifat umum, tetapi
maknanya khusus, yaitu sesungguhnya perbuatan tercela dan dosa berhubungan erat dengan kemaksiatan, bagi mereka yang melakukannya, kemudian meninggal dunia
sebelum ditetapkan keharamannya, maka mereka tidak tergolong ke dalam orang-orang yang berbuat dosa atau maksiat selama beriman, bertakwa, dan berihsan. Muhammad
bin Yūsuf Abī Ḥayyān Al-Andalusiy, Tafsīr Al-Baḥr Al-Muḥīṭ Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2001, Jilid 4, 19. Selanjutnya disebut Abī Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ.
554
Abī Al-Faḍal Shihāb Al-Dīn Al-Sayyid Mahmud Al-Baghdadiy Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Aẓīm wa Al-Sab’ Al-Mathāniy Beirut, Dār Al-
Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1994, Jilid 4, 7. Selanjutnya disebut Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī.
555
Hal ini penafsiran Shihab terhadap rangkaian ayat di atas. Shihab, Tafsir Al- Mishbāh, Vol. 3, 170.
122 Secara khusus hubungan muḥsin dengan Allah swt
diimplementasikan dalam pembenaran keimanan yang sempurna kepada liqā`i Rabbihim atau pertemuan segenap manusia dengan Tuhan
dan melihat langsung amal baik dan buruk yang diperbuatnya berikut merasakan balasannya Al-An’ām 6 : 154.
556
Bagi orang-orang muḥsin peristiwa ini di akhirat kelak akan dirasakannya sebagai tingkat
kesempurnaan batin tertinggi yang menjadi nikmat besar.
557
Jika dikaitkan dengan pandangan Maslow, maka pribadi tersebut sebagai
pribadi yang teraktualisasikan dirinya yang hidup dalam sistem nilai yang kokoh dan penuh tanggung jawab, karena meyakini bahwa prinsip dan
sikap seperti ini mendatangkan penghargaan pahala,
558
meski bisa jadi sebagai pribadi yang teraktualisasikan dirinya tidak tergantung pada
penghargaan yang patut diterimanya.
559
Namun demikian kecenderungan konsep Maslow lebih kepada wilayah humanistik.
Al-Qur`an menuntut manusia melakukan upaya peningkatan ketaatan dan melukiskannya bagaikan suatu perlombaan dan kompetisi.
Bersegera menuju ampunan Tuhan dengan menyadari kesalahan yang dilakukannya dan berlomba mencapai surga yang sangat agung bagaikan
ketergesaan para peserta lomba yang ingin saling mendahului. Al-Qur`an menjadikan kompetisi sebagai salah satu metode untuk meningkatkan
kualitas dan menghendaki manusia menjadi pemenang dan terdepan QS. Ali ‘Imrān3 : 133.
560
Pemenang adalah orang yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut; pertama, mereka yang kebiasaannya atau secara terus menerus
556
Penafsiran Al-Rāziy terhadap ayat tersebut. Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 7, Juz 14, 5.
557
Penafsiran Al-Marāghiy atas term al-Ziyādah yang tercantum pada surah Yūnus10 : 26. Ahmad Muṣṭafa Al-Marāghiy, Tafsīr Al-Marāghiy Beirut, Dār Ihyā`
Al-Turāth Al-‘Arabiy, t.t, Juz 11, 95. Selanjutnya disebut Al-Marāghiy, Tafsīr Al- Marāghiy.
558
Goble, The Third Force, 31-32.
559
Individu matang secara psikologis memiliki penghargaan yang sehat terhadap dirinya sendiri, penghargaan yang lahir dari keinsafan bahwa dirinya mampu
dan cakap, walaupun tidak sampai menjadi tergantung, sering kali dirinya mendapatkan penghargaan dari orang lain yang memang layak diterimanya. Pribadi semacam ini tidak
memerlukan atau mendewakan kemasyhuran atau ketenaran yang hampa dan tidak terlalu merisaukan kehormatan, prestise atau hadiah sebagai penghargaan. Goble, The
Third Force, 30-31.
560
Demikian penafsiran Shihab terhadap ayat tersebut. Shihab, Tafsir Al- Mishbāh, Vol. 2, 206.
123 menafkahkan hartanya di jalan Allah sebagai perwujudan dari akhlak
mulia dan jiwa yang suci, baik di waktu lapang, memiliki kelebihan dari kebutuhannya maupun di kala sempit rizki atau tidak memiliki kelebihan,
kedua, mereka yang mampu menahan emosi atau amarah hingga tidak muncul kepermukaan sebagai penjelmaan dari kekuatan akhlak utama,
baik dalam ucapan maupun tindakan, ketiga, mereka adalah al-’Āfīn orang-orang yang memaafkan kesalahan atau segala perbuatan jahat
yang dilakukan orang kepada dirinya sebagai penyempurna kemampuan menekan emosi. Lebih terpuji, jika mereka berbuat kebajikan terhadap
orang yang pernah melakukan kezaliman kepadanya, karena profil semacam ini dicintai-Nya. Allah menyukanyai yuḥibbu, yakni
melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya tanpa henti-henti bagi muḥsin
561
sebagai penghargaan dan sanjungan-Nya karena sifat-sifat mulia mereka
562
yang tidak sekedar menahan amarah atau memaafkan. Akan tetapi justru berbuat baik kepada siapa saja, sekalipun kepada orang yang
pernah melakukan kesalahan.
563
Yang tergambar dari karakteristik muḥsin tersebut adalah orientasinya kepada relasi dengan sesama manusia berbasis akhlak mulia.
Berinfak, menahan emosi, dan memaafkan kesalahan yang menjadi wujud perbuatan baiknya terus menerus adalah perilaku memperhatikan
pihak lain yang berada dalam suatu komunitas dan menjadikannya bagian kehidupan yang tidak terpisahkan. Artinya muḥsin ialah sosok
insan yang sacrifice
564
mau berkorban dan altruism
565
mengedepankan hajat orang lain dalam konteks kolektif dan meredam gejolak
kepentingan individu yang dapat memarjinalkan keberadaan kebutuhan lingkungan. Dan muḥsin adalah orang yang tidak meninggalkan berbuat
561
Abī Al-Ḥasan Ali bin Ahmad Al-Wāḥidiy w. 468 H, Al-Wajīz fī Tafsīr Al- Kītāb Al-‘Azīz, Tahqīq Ṣafwān ‘Adnān Dāwūdiy Beirut, Dār Al-Qalam, 1995, Jilid 1,
232. Selanjutnya disebut Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, dan Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-
Tanwīr, Jilid 2, Juz 4, 91, serta Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol 2, 207.
562
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 2, 157.
563
Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol. 2, 207-208.
564
Term ini menunjuk kepada sifat pengorbanan untuk kepentingan pihak lain. Sifat ini muncul karena adanya inspirasi ilham yang kuat dari keagamaan dalam diri
seseorang. Fontana, Psychology, 1.
565
Altruism merupakan istilah yang merepresentasikan sifat yang mengutamakan kepentingan orang lain akibat dari inspirasi keagaamaan seseorang.
Fontana, Psychology, 1.
124 baik kepada siapapun, meski hanya satu kalimat.
566
Karakter tersebut dalam gagasan Maslow memiliki kedekatan dengan karakter pribadi aktual self actialization, yakni selain senang
bersedekah kepada orang lain dan arif, juga transendensi atas motivasi- motivasi yang bersifat pribadi dan mementingkan diri sendiri,
mengorbankan keinginan-keinginan yang rendah demi hasrat yang tinggi, berkurangnya watak permusuhan, kekejaman, dan sifat-sifat merusak,
serta meningkatnya persahabatan, kebaikan hati, dan sifat-sifat lainnya.
567
Lagi-lagi dapat dinyatakan bahwa pribadi yang matang secara psikologis tersebut tidak dapat mencapai meta-fisik, meski dapat menjangkau meta-
motivasi. Sedangkan muḥsin mempunyai kesempurnaan dan ketinggian kepribadian yang telah mencapai puncaknya atau kesuksesan sepiritul
dan menikmati cita rasa bersama dengan Allah swt dan dicintai-Nya. Selain itu Al-Qur`an menjelaskan pula kelekatan takwa pada
seorang muḥsin dengan meletakan secara berdampingan antara al- ladhīna ittaqaw dan al-ladhīna hum muḥsinūn.
568
Karakteristik seperti ini menyebabkan kedekatan Allah swt dengan mereka. Kedekatan-Nya
dijelmakan dalam pemberian bantuan, pertolongan, kekuatan, perlindungan, penjagaan, dan keunggulan dalam menghadapi dan
mengalahkan musuh mereka.
569
Kelekatan tersebut berarti orang yang bertakwa menjadi bagian dari orang yang berihsan. Akan tetapi keduanya dapat diidentifikasi
melalui pembatasan masing-masing. Orang yang bertakwa adalah dia yang takut berbuat dosa hingga berupaya menghindarinya agar tidak
mendapatkan siksaan. Sedangkan orang yang berbuat ihsan ialah dia yang mempercantik amal dan memenuhi segenap hak-hak-Allah serta
konsisten dalam mentaati perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
570
Pribadi seperti ini layak mendapatkan imbalan yang istimewa dari-Nya
566
Abd Al-Karīm bin Ḥawāzin bin ‘Abd Al-Mālik bin Ṭalḥaḥ bin Muhammad Al-Naisābūriy Abū Al-Qāsim Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Tahqīq Saīd Qaṭīfat
Mesir, Al-Maktabah Al-Taufīqiyyah, t.t, Juz 2, 229. Selanjutnya disebut Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt.
567
Maslow menyatakan bahwa sifat-sifat orang yang teraktualisasikan dirinya dalam banyak hal mirip dengan nilai-nilai dan cita-cita yang diajarkan oleh agama-
agama besar. Goble, The Third Force, 31.
568
QS. Al-Naḥl16 : 128.
569
Muhammad Jamāl Al-Dīn Al-Qāsimiy 1283-1332 H, Tafsir al-Qāsimiy Mahāsin al-Ta’wīl Beirut, Dār Al-Fikr, 1978, Juz 10, 180. Selanjutnya disebut Al-
Qāsimiy, Mahāsin Al-Ta’wīl.
570
Al-Marāghiy, Tafsīr Al-Marāghiy, Juz 14, 163.
125 berupa kerelaan berihsan dan kelapangan hidup sebagai perwujudan dari
penyertaan-Nya.
571
Penyertaan serupa ini disebut dengan ma’iyyah khāṣṣah penyertaan yang eksklusif.
572
Ketakwaan pada diri muḥsin menjadi barometer kualitas kepribadiannya yang mengedepankan komitmen dengan Allah dan atura-
aturan-Nya hingga merasakan kebersamaam dengan-Nya. Hal ini berarti relasi takwa dengan ihsan, dilihat dari segi kualitas, tergantung pada
mutu pelakunya. Bertakwa dan berihsan bagi orang awam sebatas takut kepada larangan dan berbuat baik kepada semua makhluk. Sedangkan
bagi golongan khusus ialah mushāhadat al-Ḥaqq.
573
Dengan kata lain kedudukan ihsan sebagi faktor penentu dalam meningkatkan takwa dan
mengantarkan seseorang memperoleh keridhaan Allah swt.
574
Sedangkan takwa berperan sebagai khaer al-zād QS. Al-Baqarah2 : 197
575
atau sebaik-baik bekal bagi muḥsin dalam meniti hidup hingga berdampingan
dengan-Nya.
2. Beribadah Mahdhah dan meyakini Akhirat
Maksud beribadah sebagai karakter muḥsin adalah melaksanakan ‘ibādah maḥḍah ibadah murni dan langsung kepada Allah dengan
menegakkan salat dan menunaikan zakat. Sedangkan maksud dari yakin akan akhirat ialah perwujudan dari aqidah yang benar.
576
Ketiga-tiganya secara eksplisit tercantum pada surah Luqmān31 : 3-4. Ayat 4 yang
memuat tentang penegakkan salat, pelaksanaan zakat, dan meyakini akhirat merupakan tafsir atau penjelasan term al-muhsinīn yang trertera
pada ayat 3. Adapun termaktubnya term al-muḥsinīn pada ayat 3 menjadi
petunjuk akan kesempurnaan kepribadian. Mereka adalah orang-orang
571
Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 3, 339.
572
Ibn Kathīr mengutarakan bahwa Ma’iyyah khāṣṣah seperti ini diberikan oleh Allah kepada orang yang bertakwa dan berihsan berupa pertolongan-Nya yang khas
berbeda dengan ma’iyyah ‘āmmah penyertaan umum yang dirasakan oleh setiap manusia berupa pendengaran, penglihatan, dan pengetahuan. Abī Al-Fidā Ismā’īl Ibn
Kathīr Al-Quraishiy Al-Dimasyqiy. Tafsīr Al-Qur’ān Al-Aẓīm Tafsīr ibn Kathīr Makkah Al-Mukarramah, Al-Maktabah Al-Tijāriyyah, 1987, Juz 2, 592. Selanjutnya
disebut Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm.
573
Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Jilid 2, 134.
574
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 3, Juz 7, 36.
575
Ini adalah penafsiran Zamakhshariy atas ayat tersebut. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 120.
576
Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Juz 2, 226.
126 yang ma’rifat Allah yang melaksanakan ibadah seolah-seolah melihat
atau merasa diawasi-Nya, serta berbuat ihsan kepada sesama hamba yang mendekat atau menjauh, yang patuh atau yang maksiat kepada-Nya.
577
Secara kualitatif keadaan batin yang sarat keyakinan seolah-olah melihat Allah di kala melaksanakan ibadah tersebut menjadi motivasi kuat untuk
mencapai yang terbaik. Dorongan psikologis seperti ini dalam gagasan Maslow disebut dengan meta-motivasi.
578
Bagi mereka melihat-Nya bukan bayangan mengenai sesuatu yang fiktif dan maya, melainkan
perasaan yang mendalam akan adanya Yang Maha Wujud yang mengawasi dengan aktif, dinamis, dan objektif seluruh gerak lahir dan
batin dalam memenuhi hak-hak-Nya yang beragam.
579
Sifat-sifat muḥsin ini kendati mirip dengan sifat-sifat orang bertakwa yang tercantum pada surah Al-Baqarah2 : 3,
580
tetapi sesungguhnya secara kualitatif terdapat makna penjenjangan. Yang
disebut pertama lebih unggul dibandingkan dengan yang disebutkan terakhir mengingat seorang muḥsin merealisasikan sifat-sifatnya dijiwai
ihsan hingga mencapai derajat yang tertinggi, dan seorang yang bertakwa masih berada pada proses menempuh ke derajat tersebut. Jadi dapat
dinyatakan bahwa sifat-sifat yang tercantum pada permulaan surah Al- Baqarah tersebut sebagai pemula, dan yang termaktub pada awal surah
Luqmān di atas merupakan puncaknya.
581
Dengan demikian sifat-sifat orang takwa telah dimiliki dan dilalui oleh seorang muḥsin. Sedangkan
sifat-sifat seorang muḥsin belum dicapai sepenuhnya oleh seorang yang bertakwa, tetapi patut dilaluinya, supaya mencapai puncak kualitas amal.
Seorang muḥsin dalam beribadah seperti menegakkan salat tidak semata-mata memenuhi persyaratan lahiriah seperti menutup aurat,
bersuci dari hadas dan najis, menghadap kiblat, mengetahui waktu salat, dan memilih tempat yang suci, melainkan melibatkan aspek batiniah
yang berorientasi pada kualitas kedekatan dengan Tuhan. Bagi muḥsin menutup aurat melambangkan menutup aurat batin,
577
Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Iṣhārāt, Jilid 5, 128-129, dan Al-Biqā’iy, Naẓm Al- Durar, Jilid 6, 5.
578
Goble, The Third Force, 47.
579
Muhammad Gazali, Al-Jānib Al-‘Āṭifiy min Al-Islām, Baḥth fī Al-Khuluq wa Al-Sulūk wa Tahdhīb Al-Nafs Damsyiq, Dār Al-Qalam, 2005, 63. Selanjutnya disebut
Gazali, Al-Jānib Al-‘Āṭifiy.
580
Ibn Kathīr menyatakan bahwa terdapat kaitan antara surah Luqmān31 : 3-4 dengan surah Al-Baqarah2 : 2-4. Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm, Jilid 3, 442.
581
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 6, 5.
127 yakni membersihkan hati dari kecacatan dengan cara melebur diri
kepada-Nya. Bersuci dari hadas dan najis berarti mensucikan hati dari ketergantungan kepada dunia atau materi yang kasar. Melaksanakan salat
pada tempat yang suci membuahkan sikap konsisten kepada hukum- hukum-Nya. Mengetahui waktu salat melahirkan prilaku proporsional
dalam bertindak antara mewujudkan sifat rendah hati dan membanggakan diri. Menghadap ke arah kiblat menghasilkan mutu menghadapkan diri
kepada Allah dengan menghubungkan hati kepada-Nya dalam segala keadaan.
582
Dengan kata lain, seorang muḥsin melaksanakan salat pada waktunya dengan konsisten dan berkesinambungan serta menghadirkan
hatinya hingga salat itu berjalan dengan sendirinya dan jelas arahnya sebagai implementasi dari kemampuannya memenuhi syarat dan etika
ibadah. Demikian profil muḥsin yang agamanya melekat dan menyatu dalam kehidupannya hingga seaka-akan melihat Allah swt akibat dari
kemampuannya medayagunakan Al-Qur`an sebagai petunjuk hidup dan memandangnya dengan mata hati sampai berada pada puncak
kemuliaannya.
583
Sikap hidup yang berorientasi kepada hakekat sesuatu dalam bacaan psikologi Maslow merupakan esensialitas, hakiki, bersifat
abstrak, dan sempurna yang masuk dalam kategori Being-velues B- velues.
584
Nabi saw memerintahkan umatnya agar berihsan dalam melaksanakan salat hingga manfaatnya dirasakan langsung oleh dirinya
sendiri.
585
Salat seorang muḥsin tidak hanya absah syarat dan rukunnya,
582
Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Jilid 5, 129.
583
Abū Ḥayyān berpendapat bahwa penyebutan secara khusus term muḥsinīn pada ayat 3 adalah liannahum hum al-ladhīna intafa’ū bihi wa naẓarūhu bi ‘ain al-
haqīqat karena mereka memiliki kemampuan memanfaatkan Al-Qur`an dan melihatnya dengan mata hakiki. Lebih jauh Abū Ḥayyān menafsirkan pengulangan isim iṣārat
“Ulā`ika” pada surah Luqmān31 : 5 “Ulā`ika ‘alā hudan min Rabbihim wa ulā`ika hum al-mufliḥūn” merupakan “tanbīhan ‘alā ‘iẓāmi qadrihim” menekankan bahwa muḥsin
berada pada puncak kemuliaan. Abū Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 7, 179..
584
Goble, The Third Force, 47-48. B-Values being Values adalah motif perkembangan manusia yang mengarah pada nilai-nilai kebaikan, seperti kebenaran,
kesempurnaan, esensialitas, hakiki, abstrak, keadilan, kesederhanaan, sifat penuh makna, ketertiban, keindahan, dan nilai-nilai positif lainnya, yang juga diistilahkan oleh
Maslow sebagai metamotivation. Robert W Crapps, An Introduction to Psychology of Religion, Terjemahan AM. Harjana, Dialog Psikologi dan Agama Yogyakarta,
Kanisius, 1993, 162-163. Selanjutnya disebut Crapps, Dialog.
585
Muḥyi Al-Dīn Yahya bin Sharaf Abī Zakariyā Al-Nawawiy Al-Damshiqiy Al-Shāfi’iy, Ṣaḥīḥ Muslim bi Sharḥ al-Nawawiy Al-Minhāj Beirut, Dār Al-Iḥyā` Al-
128 melainkan memantul ke dalam setiap gerakan yang disertai dengan hati
yang khusuk, ketenangan batin, konsenterasi penuh, dan keikhlasan kalbu dalam merasakan kehadiran-Nya.
586
Nabi saw dengan titahnya berpesan agar salat dilaksanakan dengan ihsan, khusuk, menyempurnakan ruku
dan sujud, serta memperkenankan pelaksanaan salat disertai dengan sumpah,
587
agar tercapai tingkat tertinggi yaitu mushāhadat al-Haq atau ma’rifat Allah yang berarti melihat Allah ka annnaka tarāh atau
tercapai tingkatan yang lebih rendah, yakni khashyat Allah yang berarti takut kepada-Nya fain lam takun tarāh fainnahu yarāk
588
yang menjadi inti ihsan dalam diri muḥsin.
Salat bagaikan manusia, terdiri dari dua unsur utama, jasad dan ruh. Gerakan dan ucapannya bagaikan jasad, sedangkan ruhnya adalah
khusuk dan ikhlas. Keduanya merupakan sesuatu yang integral. Manakala ada ruhnya salat terkesan hidup, berkualitas, dan berimplikasi
positif terhadap pelakunya, baik di saat melaksanakan atau sesudahnya. Khusuk dan ikhlas merupakaan jelmaan dari ihsan, sementara ihsan
bukan semata-mata sebagai pengetahuan dan amal biasa, akan tetapi ihsan adalah sebagai perilaku luhur yang memerlukan dukungan
kemampuan khusus yang dapat menjadikan segala sesuatu mencapai tingkat yang sempurna baik kualitas
maupun orsinilitasnya
589
berupa seolah-olah melihat Allah atau merasakan kehadiran dan pengawasan-
Nya, meski tidak melihat dengan mata kepala. Upaya mengintegrasikan sesuatu yang menjadi perwujudan dari sifat yang cenderung kepada
kesatuan unities dalam pandangan Maslow merupakan karakteristik self actualizaation.
590
Sebagai pelaksana salat dengan berkualitas seorang muḥsin mengamalkannya tidak terbatas pada waktu-waktu yang telah ditentukan
semata, melainkan melakukannya hingga di malam hari di antaranya salat
Turāth Al-‘Arabiy, 2000, Jilid 3, 246-247. Selanjutnya disebut Al-Nawawiy, Al- Minhāj.
586
Gozali, Al-Jānib Al-‘Āṭifiy, 68.
587
Al-Nawawiy, Al-Minhāj, Jilid 3, 247.
588
Ahmad ibn Ali ibn Ḥajar Al-‘Asqalāniy, Fatḥ Al-Bāriy Sharḥ Ṣaḥīḥ Al- Bukhāriy Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1997, juz 1, 160. Selanjutnya disebut
Al-‘Asqalāniy, Fatḥ Al-Bāriy.
589
Gozali, Al-Jānib Al-‘Āṭifiy, 68
590
Abraham Harold Maslow, Motivation and Personality New York, Revised by Robert Froger, James Fadiman, Cynthia McReynolds, Ruth Cox, Third Edition,
Longman, 1987, 149. Selnajutnya disebut Maslow, Motivation, dan Goble, The Third Force, 47.
129 tahajud mengingat seorang muḥsin sedikit sekali tidur di waktu malam.
Ini merupakan kandungan makna surah Al-Dhāriyāt51:17 yang mencitrakan profil muḥsin sebagai pribadi yang telah mencapai puncak
keistimewaan amal karena mengagungkan dan mencintai Allah hingga melekat dalam kehidupannya, perhatiannya terhadap diri sendiri minim
sekali. Hal ini dibuktikan dengan melakukan tidur di malam hari sebentar sekali, padahal waktu malam merupakan kesempatan untuk beristirahat
dan memenuhi kebutuhan biologis serta mengobati kelelahan, sebagian besar waktunya justru digunakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya,
seperti melaksanakan salat tahajud sampai akhir malam.
591
Ayat ini menjadi tafsir ayat sebelumnya Al-Dhāriyāt51:16 yang kosakata
terakhirnya termaktub term muḥsinīn,
592
dan term muḥsinīn tersebut merupakan makna dari term muttaqīn orang-orang yang bertakwa atau
orang-orang yang taat yang tercantum pada ayat 15 surah yang sama. Dengan kata lain yang dimaksud orang-orang yang taat adalah orang-
orang yang muḥsin.
593
Keistimewaan pribadi muḥsin disebutkan pula oleh ayat berikutnya bahwa mereka selalu istighfār mohon ampun kepada Allah
pada akhir malam. Istighfār berarti melaksanakan salat
594
mengingat dengan salat mereka berharap mendapatkan ampunan Allah.
595
yang dilakukan seorang muḥsin melibatkan faktor lahir dan batinnya sepanjang
hidupnya sebagai usaha sungguh-sungguh untuk membersihkan diri dari berbagai dosa yang melekat. Dirinya dinilai sendiri sebagai pribadi yang
591
Al-Biqā’iy menyatakan bahwa pencantuman kata mā pada ayat tersebut berkenaan dengan kata yahja’ūn tidur sebentar menekankan ketidaktiduran mereka.
Menurutnya al-Ḥujū’ berarti al-Naum al-Khafīf al-Qalīl tidur sebentar untuk istirahat menghilangkan lelah. Adapun dicantumkannya kata al-layl malam untuk menekankan
makna ayat bahwa yang dimaksuk al-Hujū’ adalah benar-benar tidur di malam hari. Oleh karena itu maksud ayat adalah mereka menghidupkan waktu malam dengan ibadah
dan menggunakannya untuk tidur sebentar sekali. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 7, 275.
592
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 7, 275, dan Al-Jauziy, Zād al-Masīr, 1348.
593
Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol. 13, 332.
594
Muhammad Shukrī Ahmad Al-Zāwiyaytiy, Tafsīr Al-Ḍaḥḥāk Mesir, Dār Al-Salām, 1999, Jilid 1, 242. Selanjutnya disebut Al-Zāwiyaytiy, Tafsīr Al-Ḍaḥḥāk.
595
Al-Jauziy dalam menafsirklan ayat ini mengkaitkannya dengan surah Ali ‘Imrān3:17, ia menyatakan bahwa term istighfār mempunyai dua makna, yaitu:
Pertama; Menurut Ibn Mas’ud beristighfar dengan lisan sebagaimana lazimnya dilakukan kebanyakan orang. Kedua; Menurut Al-Ḍahāk beristighfar adalah
melaksanakan salat mengingat dengan salat seseorang berharap mendapatkan ampunan Allah. Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 182.
130 banyak berbuat kesalahan yang tidak mungkin ditanggulangi dengan
istighfār keculai bila disertai dengan baṣīrah ketajaman mata hati yang dapat melihat dengan jernih kebesaran Tuhan yang tidak terhingga pada
totalitas dirinya dan alam semesta.
596
Sikapnya memperbanyak istighfār pertanda besarnya rasa takut kepada Allah,
597
meski ibadah yang dilaksanakannya sudah sedemikian banyak
598
dan kepatuhan kepada-Nya sedemikian kuat
599
yang disertai keikhlasan. Kepatuhan seorang muḥsin diaktualisasikan pula dengan
melaksanakan zakat yang dijiwai keikhlasan karena keikhlasan memiliki peranan yang menentukan bagi diterima atau ditolaknya zakat.
Keikhlasan berimplikasi secara subtansial bagi muzakki yang memiliki kedermawanan yang terbebas dari kekikiran.
600
Ikhlas dalam kaitannya dengan mematuhi ketentuan Allah swt berarti meninggalkan riya, ikhlas
bersifat konstruktif dan riya berwatak destruktif, karena; Pertama, Riya adalah sifat orang kafir. Kedua, Riya merusak pahala amal seseorang.
Ketiga, Riya dalam zakat atau sedekah melekat pada orang yang senang menyebut-nyebut infaq yang dilakukannya dan menyakiti orang yang
menerimanya.
601
Seseorang yang berbuat riya ditandai dengan kesukaannya menyebut-nyebut sedekah yang dilakukannya karena mengharapkan
pujian dan sanjungan sesama manusia, dan tidak menginginkan
596
Al-Biqā’iy menyebutkan bahwa kata ganti hum yang termaktub pada surah Al-Dhāriyāt51:18 mengisyaratkan mereka mengamalkan istighfār dengan menyertakan
unsur lahir dan batin selama masa hidupnya. Sedangkan kata al-Asḥār berarti seper enam dari akhir malam hari. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 7, 275.
597
Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 182.
598
Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol. 13, 333.
599
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 7, 275.
600
Makna ini dirujuk kepada Al-Biqā’iy yang menyatakan bahwa perintah berihsan karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan yang
terletak setelah perintah berinfak dan larangan menghancurkan diri sendiri dengan tangan sendiri yang diartikannya dengan kikir, karena kikir merupakan faktor yang
mempercepat menuju kehancuran seperti yang tercantum pada surah Al-Baqarah2 : 195 bermakna umum termasuk di dalamnya adalah memperbanyak infak dan berbaik
sangka kepada-Nya, sesungguhnya Allah memuliakan, mengangkat derajat, menolong, dan mencukupkan kebutuhannya sebagai perwujudan dari kecintaan-Nya. Al-Biqā’iy,
Naẓm Al-Durar, Jilid 1, 368.
601
Abī Al-Faḍal Shihāb Al-Dīn Al-Sayyid Mahmud Al-Baghdadiy Al-Alūsiy, Rūh Al-Ma’ānī fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Aẓīm wa Al-Sab’ Al-Matsāniy Beirut, Dār Al-
Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1994, Jilid 2, 34-35. Selanjutnya disebut Al-Alūsiy, Rūh Al- Ma’ānī
131 keridhaan Allah. Sedekah yang terpuji adalah sedekah yang dilakukan
seseorang disertai dengan niat yang tulus karena Allah dan tidak dibarengi mengungkap-ungkap pemberiannya, tidak menyakiti perasaan
orang yang diberi, dan tidak mengharapkan pujian, sanjungan, dan balas budi.
602
Berkaitan dengan sedekah yang disunnahkan lebih baik dilakukan dengan sirr tersembunyi atau tidak berkehendak dinilai orang. Apabila
dilakukannya dengan riya, maka pahalanya hilang dan diangggap tidak bersedekah, akan tetapi bebas dari ancaman Allah. Sedangkan sedekah
wajib jika diamalkannya dengan riya, maka hilang pahalanya dan dinilai tidak bersedekah, malah justru mendapatkan ancaman-Nya.
603
Pemahaman yang berpijak pada afḍaliyyah keutamaan tersebut tidak berarti menutup kesempatan mendapatkan nilai tambah bagi
sedekah yang dilaksanakan dengan terbuka dan dilihat orang banyak, mengingat subtansinya terletak pada niat hati pelakunya disertai riya atau
ikhlas. Selama pelakunya tidak bermaksud riya, maka akan memperoleh pahala, meski sedekahnya dilakukan dengan terbuka, seperti bertujuan
menyiarkan agama Allah atau memberikan rangsangan kepada pihak lain agar berbuat yang serupa, atau bermaksud melakukan tindakan prefentif
terhadap pihak-pihak yang berprasangka buruk, karena boleh jadi orang kaya dinilai kikir oleh banyak pihak disebabkan sedekahnya dikeluarkan
tanpa dilihat mereka.
604
Dilihat dari motivnya, tersembunyi atau terang-terangan tidak dapat dijadikan ukuran untuk menentukan sedekah seseorang tergolong
dilakukan dengan ikhlas atau riya. Pandangan yang menyatakan bahwa sedekah yang dilaksanakan dengan terang-terangan termasuk riya, dan
yang dilakukan dengan tersembunyi tergolong ikhlas tidak relevan lagi. Justeru dapat dinyatakan sebaliknya bahwa sedekah yang dilakukan
dengan terang-terangan patut disebut amal yang ikhlas selama
602
disebut Al-Rāziy, Mafātih Al-Ghayb, Jilid 4, Juz 7, 47.
603
Ini pendapat imam Malik. Abī Abd Allah Muhammad Al-Anṣāriy Al-
Qurṭubiy, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an Tafsīr Al-Qurṭubiy Kairo, Maktabah Al-Riyāḍ
Al-Hadīthah, t.t, Jilid 3, 312. Selanjutnya disebut Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’. Nama lengkap imam Malik ialah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Anas yang masyhur diberi julukan
Imam Dār al-hijarah, lahir tahun 95 H dan wafat pada 179 H. Al-Suyūṭiy, Tanwīr Al- Hawālik sharh Muwaṭṭa’ Al-Imām Malik Beirut, Dār Al-Fikr, t.t, Juz 1, 3. Selanjutnya
disebut Al-Suyūṭiy, Tanwīr.
604
M Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Atas Surat-surat Pendek Berdasarkan urutan turunnya Wahyu Bandung, Pustaka Hidayah, 1997, 627.
Selanjutnya disebut Shihab, Tafsir Atas Surat-surat Pendek.
132 motivasinya terkait dengan Allah swt. Sedangkan sedekah yang
dilakukan dengan tersembunyi layak dinyatakan sebagai amal yang riya, manakala subjeknya mempublikasikan keikhlasan dirinya. Dengan
demikian ibadah kepada Allah dan amal baik kepada sesama manusia tergantung pada ketulusan atau tidaknya hati.
605
Kendati demikian pendapat yang meletakkan sedekah dengan sirr atau sembunyi-sembunyi
lebih utama ketimbang terang-terangan dalam rangka ikhtiyāṭ hati-hati layak dihormati mengingat sifat kalbu manusia yang berubah-rubah dan
mudah tergoda.
606
Alhasil secara normatif riya merusak zakat atau sedekah yang dilaksanakan seseorang. Sedangkan ikhlas mengantarkannya dan orang
yang melakukannya mencapai kualitas yang tinggi hingga mendapatkan penghargaan yang layak dari Allah swt berupa keridhaan-Nya. Hal ini
sejalan dengan peranan dan tujuan disyareatkannya zakat atau sedekah, yakni, membersihkan orang yang melakukannya dari sifat al-bukhl atau
kikir, al-ṭama’ atau rakus, dan sikap keras terhadap orang fakir, serta menambah kebaikan dan keutamaan baginya hingga memperoleh derajat
yang tinggi dengan menempati posisi al-abrār atau orang-orang yang berbuat baik serta mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan
605
Ibn ‘Aṭiyyah menyebutnya ṣadaqah dilaksanakan tulus atau riya tergantung niat mengingat sifat riya ditentukan oleh sikap pelakunya yang menampakan
ṣadaqahnya disertai dengan kebanggaan dan kecongkakan. Ibn ‘Aṭiyyah, Abī Muhammad ‘Abd Al-Ḥaq Al-Andalusiy, Al-Muḥarrar Al-Wajīz fī Tafsīr Al-Kitāb Al-
‘Azīz Beirut, Dār Ibn Haram, 2002, 242. Selanjutnya disebut Ibn ‘Aṭiyyah, Al- Muḥarrar.
Berkenaan dengan niat atau motivasi seseorang dalam ṣadaqah Ibn Abī Hātim, Ibn Kathīr, dan Baydhâwiy mengutarakan bahwa surah Al-Baqarah2 : 274 memuji
orang yang berinfak di jalan Allah swt pada setiap waktu dan keadaan dengan motivasi semata-mata mencari keridhaan-Nya, baik melakukannya di siang hari maupun malam
hari, dengan terang-terangan atau tersembunyi. Pemahaman ini semakin relevan, apabila dihubungkan dengan sabab turunnya. Ayat ini memuji Ali bin Abi Thalib ra yang
memiliki uang sebanyak empat dirham, kemudian ia menginfakkan satu dirham di malam hari, satu dirham di siang hari, satu dirham dengan tersembunyi, dan satu dirham
dengan terang-terangan. Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-Aẓīm, Jilid 1, 326, dan Ibn Abī Hātim, Tafsīr Al-Qur`ān, Jilid 2, 543, serta Al-Bayḍāwiy, Anwār al-Tanzīl, Jilid 1, 141.
606
Argumentasi yang dijadikan rujukan pendapatnya ialah pengungkapan “al- layl” malam hari yang termaktub pada ayat di atas didahulukan dari pada al-nahār
siang hari dan penyebutan sirran terahasia lebih dahulu dibandingkan dengan ‘alāniyatan terbuka menunjukkan makna afḍaliyyah keutamaan. Al-Rāziy, Mafātih
Al-Ghayb, Jilid 4, Juz 7, 74.
133 akhirat.
607
Ikhlas bukan perilaku batin yang setatis, sekali tertanam dalam diri seseorang kemudian terpateri selamanya, tetapi dinamis dan
mengenal perubahan, serta mengalami pasang-surut, ikhlas membutuhkan upaya pelestarian dan peningkatan. Sebagai aktivitas
batin, ikhlas merupakan nilai yang tersembunyi atau terahasia, yang tidak mudah dilihat dan dinilai orang lain. Allah swt Yang Maha Tahu sebagai
Pihak Yang Maha Pertama mengetahui keadaan keikhlasan seseorang, dan diri sendiri sebagai pihak berikutnya yang dapat mengenalnya.
608
Sebagai ruh, ikhlas menentukan aktivitas hidup seseorang, menjadi amal shaleh atau tidak dan menjadi layak atau tidak
mendapatkan penghargaan Allah swt serta menjadi media untuk mendekatkan diri atau tidak kepada-Nya. Dengan keikhlasan ibadah
seseorang menjadi hidup hingga berjalan menuju keridhaan Allah swt, dan tanpa keikhlasan ibadahnya akan sirna dan gugur dalam meraih
607
Ahmad Muṣṭafa Al-Marāghiy, Tafsīr al-Marāghiy Beirut, Dār Ihyāi Al- Turāth Al-‘Arabiy, t.t, Juz 11, 15-16. Selanjutnya disebut Al-Marāghiy, Tafsīr al-
Marāghiy.
608
Dalam pandangan Al-Tustariy, seorang Sufi 200-283 H; Riya dapat terjadi pada tiga tahapan aktivitas manusia, yaitu: Pertama, Riya terdapat sebelum atau sejak
awal aktivitasnya, semacam sejak sebelum sedekah seseorang bermaksud melakukannya tidak karena Allah, tetapi supaya tidak dicela oleh manusia. Kedua, Riya muncul di saat
sedang melakukan suatu kegiatan. Ini berarti pada mulanya riya belum ada dalam hatinya. Namun di kala sedang melakukannya terpancing oleh kehadiran seseorang,
maka riya berkembang menguat dalam hatinya hingga melakukan hal-hal yang mengundang perhatian orang lain dan bergeser dari niat karena Allah. Ketiga, Riya
terjadi setelah selesai beramal. Ini menunjukkan amal sejak awal sampai akhir dilaksanakan dengan ikhlas, tetapi setelah itu ada orang yang memuji dan
menyanjungnya hingga hatinya berbunga-bunga. Penampilan seperti ini mengakibatkan riya, apabila pujian dan kekaguman itu dijadikan tangga untuk memperoleh sesuatu
yang bersifat duniawi. Dan manakala pujian itu sekedar didengar dengan rasa sukur dan gembira tanpa menjadi media untuk meraih sesuatu yang bersifat duniawi, maka tidak
termasuk riya. Shihab, Tafsir Atas Surah-surah Pendek, 626-627. Dari aspek tujuannya riya terbagi menjadi beberapa model: Pertama;
Memperindah perangai, tetapi untuk mendapatkan kebanggaan dan sanjungan. Kedua; Riya dengan berbaju pendek dan kasar supaya mendapatkan bentuk zuhud di dunia.
Ketiga; Riya dengan ucapan hingga menampakkan kebencian terhadap ahli dunia dan menampakkan nasihat dan penyesalan atas terputusnya kebaikan dan kepatuhan.
Keempat; Riya dengan menunjukkan salat dan sedekah, atau mempercantik salat dengan harapan dilihat oleh pihak lain. Kelima; Tidak termasuk riya, manakala menampakkan
amal saleh yang wajib bertujuan mempublikasikan Islam. Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’, Jilid 20, 212-213.
134 keridhaan-Nya. Ibadah bagaikan patung tidak bernyawa dan seperti
lampu pijar tidak memiliki arus listrik, serta serupa dengan patamorgana di tanah datar yang menipu kesenangan seorang yang dahaga, karena dari
kejauhan terlihat air yang menggiurkan, tetapi setelah didekati tidak dijumpai setetes-pun. Perumpamaan ini menjadi gambaran bagi ibadah
yang disertai dengan riya yang lebih berorientasi kepada keinginan untuk mendapatkan penghargaan orang lain yang semu hingga menegasikan
apresiasi Allah swt yang hakiki dan abadi. Ikhlas dan riya memiliki perbedaan yang tipis, keduanya sama-
sama sebagai aktivitas batin yang menyebabkan tidak mudah meletakkan setiap ibadah seseorang secara ekstrim ke dalam salah satu dari
keduanya. Penilaian tersebut membutuhkan sikap yang bijak dan hati-hati agar tidak salah menilai, meskipun ikhlas dan riya memiliki tanda-tanda
lahiriah. Secara definitif muḥsin dapat dipahami sebagai orang yang
melaksanakan ibadah mahḍah dan meyakini negeri akhirat dengan nemprioritaskan aspek kualitas. Kondisi ini sejalan dengan potret muḥsin
sebagai orang yang berorientasi kepada mempercantik diri, baik perbuatan, ucapan, maupun pemikiran dengan berbagai kebaikan hingga
mencapai kesempurnaan.
609
Sikap mengutamakan kecantikan dan keindahan aktivitas yang dilakukan merupakan sifat luhur orang yang
teraktualisasikan dirinya. Maslow menilai keindahan merupakan kebutuhan yang membuat seseorang lebih sehat dan berhubungan dengan
gambaran dirinya.
610
Dalam hal ini Muḥsin merupakan tingkat kepribadian tertinggi yang mampu memposisikan dirinya melihat Allah
atau menyadari akan pengawasan-Nya dalam beribadah dan beriman,
karena keikhlasannya berdimensi mushāhadah. 3. Zikir dan Do’a.
Hubungan muḥsin dengan Allah swt direalisasikan dengan zikir dan do’a yang menjadi karakteristiknya. Kedua aktivitas ini merupakan
bentuk komunikasi dan dialog dengan-Nya yang dibangun seorang muḥsin secara berkesinambungan hingga merasakan kehadiran-Nya.
Zikir dan do’a merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Seorang yang berdo’a berarti berzikir sehubungan di kala ia berdo’a kepada Allah
609
Abī Bakar Muḥyi Al-Dīn Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad Al-Ṭā`iy Al-Ḥātimiy Ibn ‘Arabiy w. 638 H, Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm Beirut, Dār
Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2006, Jilid 1, 306. Selanjutnya disebut Ibn ‘Arabiy, Tafsīr.
610
Goble, The Third Force, 44.
135 di saat itu pula ia menyebut dan mengingat-Nya. Demikian pula sewaktu
orang berzikir dalam saat yang bersamaan ia-pun berdo’a, meski redaksi permohonannya secara eksplisit tidak diucapkan, tetapi secara implisit
rasa memerlukan Allah agar memenuhi apa yang diinginkan dalam hati menyertainya terus menerus. Do’a menjadi bagian dari zikir, dan dalam
zikir terkandung do’a.
611
Dalam Al-Qur`an term zikir dengan berbagai bentuknya terulang tidak kurang dari 280 kali, salah satunya berupa perintah berzikir.
612
Sedangkan kosakata do’a berikut derivasinya terulang sebanyak 209 kali, di antaranya perintah berdo’a.
613
Pada dasarnya zikir merupakan inti sekaligus tujuan melakukan ibadah maḥḍah. Inti dan tujuan shalat adalah zikir,
614
inti dan tujuan ibadah puasa ialah zikir,
615
inti ibadah haji terletak pada zikir kepada Allah swt,
616
demikian pula berqurban dijiwai ketakwaan dan bersikap
611
Kisah Nabi Yūnus as berada dalam perut ikan menjadi contoh bahwa tasbih, tahlil, dan pengakuan atas kesalahan yang ditujukan kepada Allah swt menyebabkan
dikeluarkannya dari perut ikan, meskipun ia tidak menggunakan redaksi permohonan do’a. Demikian inti pendapat M. Quraish Shihab ketika menjelaskan surah Al-
Anbiyā`21 : 87 yang dikaitkan dengan surah Al-Ṣaffāt37 : 143-144. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an Tentang Dzikir dan Doa Jakarta, Lentera Hati, 2006,
175-176. Selanjutnya disebut Shihab, Wawasan.
612
Seperti surah Al-Baqarah2 : 152. Shihab, Wawasan, 9.
613
Semisal surah Ghāfir40 : 60. Muhammad Fu`ad Abdul Bāqi’, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfāẓ Al-Qur`an Al-Karīm Indonesia, Maktabah Dahlan, t.t, 326-330.
Selanjutnya disebut Bāqi’, Al-Mu’jam.
614
Pernyataan tersebut merupakan subtansi dari penafsiran Zamkhsyariy atas surah Ṭāhā20:14. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 652.
615
Hal ini merupakan subtansi penafsiran Al-Rāziy atas surah Al-Baqarah2 : 185
. Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 3, Juz 5, 80.
616
Zamakhshariy menyatakan bahwa tujuan utama dari segala sesuatu yang berkaitan dengan upaya mendekatkan diri kepada Allah adalah menyebut nama-Nya.
Hal ini berhubungan dengan penafsirannya atas surah Al-Ḥajj22 : 28. Al- Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 694. Demikian pula Ibn Taymiyyah dengan berpegang
pada hadis yang diriwayatkan Abū Dāwud dan al-Turmudziy sebagai argumentasinya menyatakan bahwa ibadah haji disebut nusuk karena merupakan ibadan dan semata-
mata merendahkan diri kepada Allah dengan menyebut nama-Nya dalam bentuk perbuatan atau aktivitas seperti sa’i, tawaf, dan lontar jumrah. Ibn Taimiyyah, Al-Tafsīr
Al-Kāmil, Juz 5, 367. Hadis Nabi saw tersebut mendudukkan thawaf, sa’i, dan lontar jumrah sebagai perwujudan berzikir kepada Allah swt. Abū Dāwud Sulaiman bin Al-
Asy’ath Al-Sabahtāniy w. 275 H, Sunan Abī Dāwud Beirut, Dār Al-Kutub Al- ‘Ilmiyyah, 1996, Juz 2, 44. Dan Abī ‘Isā Muhammad bin ‘Isā bin Saurat Al-Turmūdziy
w. 297 H, Sunan Al-Turmūḍiy Beirut, Dār Al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000, Jilid 2, Bab 65, 59.
136 selalu mengagungkan nama-Nya atau berzikir sebagai tanda bersyukur
kepada-Nya, karena daging qurban dan darah yang mengalir dinilainya tidak bermakna untuk mendapatkan keridhaan Allah kecuali dengan
takwa dan zikir syukur.
617
Zikir berarti menyebut dan mengingat,
618
kemudian zikir dapat dimaksudkan dengan arti menghafal, tetapi keduanya memiliki
perbedaan. Menghafal lebih menekankan kepada usaha mendapatkan pengetahuan dan menyimpannya dalam hati. Sedangkan zikir upaya
menghadirkan sesuatu yang telah tersimpan dalam hati. Berangkat dari pengertian ini, zikir dapat dilakukan dengan hati atau lisan, baik
berkenaan dengan mengingat sesuatu yang telah terlupakan maupun berkaitan dengan kegiatan melanggengkan ingatan atau hafalan.
619
Dengan demikian hakikat zikir adalah ingatan, kesadaran, dan perasaan akan keberadaan, kehadiran, dan pengawasan Allah swt. Secara
aksiologis zikir memiliki peranan setrategis dalam kehidupan yang kompleks, zikir sebagai media yang dapat menutup pintu-pintu kelalaian
hati dan dapat selalu terjaga di saat menuju Allah, meninggalkan zikir berarti melupakan-Nya. Hal ini berarti zikir menjadi media bagi
seseorang menuju ahli ihsan atau muḥsin yang menitikberatkan kepada seolah-olah melihat-Nya atau dilihat oleh-Nya.
620
Dilihat dari segi kualitasnya zikir memiliki tingkatan-tingkatan, tingkat yang rendah adalah zikir yang bercampur kelalaian, dan yang
tinggi derajat dan kualitasnya ialah zikir yang berbasis keinginan dan kemampuan meniadakan segala hal selain Allah. Zikir dengan lisan,
sekalipun tidak disertai hati yang sedang mengingat Allah lebih baik dari pada tidak berzikir. Kelalaian tanpa zikir lebih buruk daripada lalai yang
masih disertai zikir. Zikir yang dibarengi dengan kelalaian berpeluang untuk beralih menuju zikir yang disertai dengan kesadaran, dan zikir
yang penuh kesadaran berpotensi menjadi zikir yang berintegrasi dengan kehadiran hati, serta zikir yang bersamaan dengan kehadiran hati menjadi
617
Penjelasan lebih jauh dapat dilihat dalam penafsiran Al-Biqā’iy atas surah Al-Ḥajj22 : 37. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 5, 155-156.
618
Abī Al-Fadhal Jamāl Al-Dīn Muhammad bin Mukram ibn Al-Manẓūr w. 711, Lisān al-Lisān, Tahḍīb Lisān Al-‘Arab beirut Dār al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1993,
447. Selanjutnya disebut Ibn Al-Manẓūr, Lisān, dan Mahmud Yūnus, Kamus Bahasa Arab – Indonesia Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Penafsir Al-
Qur`an, 1972, 134. Selanjutnya disebut Yūnus, Kamus.
619
Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 181.
620
Gazali, Al-Jānib Al-‘Āṭifiy, 76.
137 zikir yang melekat dengan kehendak untuk menegasikan selain-Nya.
621
Sejalan dengan konsep tersebut zikir bukan semata-mata dengan lisan dan hati, melainkan meliputi zikir dengan perbuatan. Seorang
muḥsin dalam melaksanakan ketiga zikir tersebut dapat seolah-olah melihat Allah atau merasakan keberadaan dan pengawasan-Nya
sehubungan Dia senantiasa bersama manusia dimanapun berada, dan Dia tidak pernah berpisah, menghilang, dan meninggalkan mereka walau
hanya sejenak.
622
Eksistensi zikir seperti ini menjadikan zikir bukan sebagai angan- angan jiwa tentang sesuatu yang terlepas dari manusia dan komunitasnya,
atau merupakan lamunan palsu yang tidak berhubungan dengan realita kehidupan. Akan tetapi zikir menyertai seluruh aspek kehidupan hingga
manusia menyadari akan pengawasan Allah swt yang berintegrasi dengan segala aktivitas dan menjangkau seluruh amal.
Bagi ahli ihsan atau muḥsin zikir merupakan jalan menuju kedekatan dengan Allah swt serta melestarikan keberadaan ihsannya
yang bersifat dinamis dan mengalami pasang surut. Zikir tidak dijadikannya sebagai tujuan akhir dan tertinggi, tetapi didudukkannya
sebagai metode dan motivasi untuk melestarikan ihsannya hingga ia benar-benar menempati posisi muḥsin sejati yang menjadi sosok pribadi
ideal, yaitu sosok yang meningkatkan semua amal dengan selalu mengingat Allah dalam setiap amal tersebut, bukan dengan
meninggalkan amal karena menginginkan mengingat Allah dalam kesendirian dan kesepian, karena ihsan itu sendiri bukanlah
memeperindah salah satu bagian ibadah dan meninggalkan bagian-bagian yang lain, yang bisa jadi bagian tersebut lebih penting dan lebih
diprioritaskan. Ihsan adalah melaksanakan fardu ain dan fardu kifayah, serta menggarap semua urusan duinia dan akhirat secara terpadu dan
621
Ibn ‘Aṭā` Allah berpesan kepada murid-muridnya: Jangan sekali-kali kalian meninggalkan zikir, sekalipun hatimu dalam keadaan tidak beserta Allah. Sebab
sesungguhnya kelalaian hatimu tanpa zikir kepada-Nya lebih buruk daripada kelalaian hati yang masih disertai dengan zikir kepada-Nya. Semoga Dia mengangkatmu dari
zikir yang dibarengi dengan kelalaian hati menuju zikir yang disertai dengan yaqẓah kesadaran, dan dari zikir yang penuh kesadaran kepada zikir yang berintegrasi dengan
ḥuḍūr kehadiran hati, dan dari zikir yang bersamaan dengan kehadiran hati menjadi zikir yang melekat dalam kehendak untuk mengesampingkan selain diri-Nya. Hal ini
bagi Allah bukan perkara besar sulit. Muhammad bin Ibrāhīm Ibn ‘Ibād. Sharḥ Al- Ḥikam Indonesia, Dār Al-Kutub Al-‘Arabiyyah, t.t, Juz 1, 40. Selanjutnya disebut Ibn
‘Ibād. Sharḥ Al-Ḥikam.
622
Ghazali, Al-Jānib Al-‘Āṭifiy. 79.
138 bersamaan
623
Dalam kondisi seperti ini seorang muḥsin merasakan suatu pengalaman puncak, mengingat secara psikologis setiap pengalaman
tentang keunggulan sejati, kesempurnaan tulen atau setiap gerak ke arah keadilan yang seadil-adilnya atau ke arah nilai-nilai yang tertinggi
cenderung melahirkan suatu pengalaman puncak.
624
Pengalaman puncak itu sendiri adalah saat dalam kehidupan seseorang merasa berfungsi
penuh, kuat, yakin pada dirinya, dan sepenuhnya menguasai dirinya
625
Luasnya cakupan zikir menyebabkan segenap ibadah yang berdimensi vertikal dan horizontal tercakup di dalamnya, bahkan jihad di
jalan Allah, di antaranya, berperang membela agama termasuk kegiatan zikir. Orang-orang yang berjihad di jalan Allah swt adalah mereka yang
mengerti tentang Allah swt dan menanamkan pengertiannya tersebut dalam kehidupan nyata serta siap mengorbankan segala sesuatu yang
dimilikinya termasuk jiwa. Mereka bukan tandingan bagi orang-orang yang berzikir dengan lisan dan hati melainkan implementasi lain dalam
bentuk amal yang berjalan bersamaan dengan keduanya. Dan mereka selalu berzikir untuk memenuhi titah dan seruan-Nya.
626
Orang-orang yang berjihad tidak melupakan kegiatan berzikir, terlebih ketika peperangan sedang berkecamuk, keadaan sulit, terdesak
musuh, tidak mungkin menang dalam peperangan, serta banyak para pejuang jihad yang terluka dan terbunuh.
627
Surah Ali ‘Imrān3 : 147-148 menjelaskan kecintaan dan pemberian pahala Allah swt kepada muḥsinīn merupakan penghargaan-
Nya akibat dari sikap batin mereka yang dicerminkan dalam do’a atau pernyataan mereka yang termaktub pada ayat tersebut. Do’a mereka
melukiskan harapan besar akan ampunan-Nya, ketabahan, keteguhan
623
Ghazali, Al-Jānib Al-‘Āṭifiy. 79.
624
Maslow menyebutnya dengan peak experience. Maslow, Motivation, 163, dan Goble, The Third Force, 57.
625
Goble, The Third Force, 56.
626
Kajian lebih mendalam tentang hal ini dapat dilihat dalam penafsiran Al- Ṭabariy atas surah Ali ‘Imrān3 : 148 bahwa Allah memberikan pahala kepada orang
yang bersabar dalam mematuhi Allah setelah nabi-nabi mereka terbunuh, ketika berjihad melawan musuh, di saat memohon pertolongan kepada-Nya atas segala urusan
mereka, dan di kala memilih program imam mereka meski harus berkorban di jalan- Nya. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 3, 466.
627
Contoh zikir yang diutarakan oleh mereka semisal tercantum dalam surah Ali ‘Imrān3 : 147-148 yang dijeklaskan oleh Al-Zamakhshariy bahwa permohonan
tersebut merupakan harapan mereka kepada Tuhan agar diri mereka suci, bersih, tunduk, dan mudah diterima oleh-Nya. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 198-199.
139 pendirian, dan keyakinan sepenuh hati memegang agama-Nya.
628
Selain itu do’a mereka merupakan permohonan yang manusiawi, yang
menunjukkan sifat khuḍū’ rendah diri karena kepatuhannya, kesucian hati, dan ketergantungan kepada-Nya, sehingga mereka menyadari bahwa
keadaan yang menimpa mereka berupa kekalahan perang disebabkan oleh dosa dan kesalahan sendiri serta perasaan optimis yang
berlebihan.
629
Oleh karena itu jihad yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat ihsan ini
630
adalah jihad yang didasari ketaatan, kesabaran, keikhlasan, dan sikap penuh harap untuk mendapatkan pertolongan Allah
swt.
631
Jihad seperti inilah yang layak disebut dengan ihsan.
632
Do’a yang diucapkan merupakan perwujudan zikir mereka kepada Allah swt dan menjadikan hati mereka mencapai ketenangan. Secara
fungsional do’a atau zikir berimplikasi kepada ketentraman hati
633
Maslow menggambarkan orang-orang yang teraktualisasikan dirinya tidak tampak suasana kekalutan, kebingungan, sikap tidak konsisten, atau
konflik-konflik yang umum terjadi pada rata-rata orang. Hal ini karena mereka sangat etis, memiliki setandar moral yang pasti, dan berbuat
benar.
634
Pesan kedua ayat di atas, pada dasarnya memotivasi umat Nabi saw agar lebih unggul semangatnya dibandingkan dengan umat
terdahulu, lebih kuat pendirian, tahan uji, gemar berzikir, dan lebih menyukai segala yang terdapat di sisi Allah swt, karena keberadaannya
sebagai sebaik-baik umat.
635
Sebagai pemilik sifat rendah diri seorang muḥsin tidak akan berhenti memohon kepada-Nya atas berbagai hal yang dibutuhkan
628
Abī Al-Faraj Jamāl Al-Dīn Abd Al-Rahmān bin Ali bin Muhammad Al- Jauziy, Zād Al-Masīr fī ‘Ilm Al-Tafsīr Beirut, Maktabah Dār Ibn Hazm, 2002, 329.
Selanjutnya disebut Al-Jauziy, Zād Al-Masīr.
629
Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Juz 1, 183.
630
Al-Muḥsinīn yang termaktub pada surah Ali ‘Imrān3 : 148 sebagai kumpulan insan yang dicintai Allah menurut penafsiran Al-Samarqandiy adalah orang-
orang mukmin yang berjihad. Abī Al-Laith Naṣr bin Muhammad bin Ahmad bin
Ibrāhīm Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm - Tafsīr Al-Samarqandiy Beirut, Dār Al- Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1993, Jilid 1, 306. Selanjutnya disebut Al-Samarqandiy, Baḥr Al-
‘Ulūm.
631
Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 2, 297-298.
632
Gozali, Al-Jānib Al-‘Āṭifiy. 75.
633
Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Juz 1, 508.
634
Maslow, Motivation, 141.
635
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 2, 165.
140 dengan cara khaufan rasa takut atas dosa yang pernah dilakukannya dan
thama’an rasa penuh harapan, atas rahmat-Nya.
636
Surah Al-A’rāf7 : 56 menjelaskan larangan Allah kepada manusia melakukan kerusakan di permukaan bumi dan memerintahkan
mereka untuk memanjatkan do’a ke hadirat-Nya. Bumi sepatutnya dipelihara dan dimakmurkan, di antaranya, dengan berdo’a yang disertai
khaufan rasa takut akan siksaan akibat perbuatan yang bertentangan dengan syareat dan sunnah-Nya, serta diiringi ṭama’an optimis akan
ampunan, rahmat, dan kebaikan-Nya di dunia dan akhirat. Ayat ini juga menjelaskan bahwa karakter ini menjadi milik orang-orang yang berbuat
ihsan yang layak mendapatkan rahmat-Nya berupa pahala yang baik. Dengan demikian berdo’a dengan khaufan dan ṭama’an merupakan ciri
muḥsin. Do’a dan permohonannya akan dikabulkan Allah swt jika dilakukan dengan cara ihsan.
637
Selain berdo’a secara umum, seorang muḥsin, secara khusus, menghadirkan permohonan maaf kepada Allah agar dosa dan
kesalahannya diampuni sebagai akibat dari perbuatan maksiatnya dan supaya ditambah pahalanya.
638
Term muḥsinīn pada surah Al-A’rāf7 : 161 Makkiyyah sebagai orang-orang yang memperindah amal perbuatan dengan melaksanakan
perintah dan meninggalkan larangan Allah, serta dengan mengutamakan kepatuhan yang berkualitas, termasuk mengharapkan ampunan-Nya, bagi
mereka patut memperoleh pahala berupa ampunan dan surga yang penuh kenikmatan yang tidak terhingga.
639
Surah Al-Baqarah2 : 58 yang tergolong Madaniyyah dengan redaksi sedikit berbeda dengan surah Al-A’rāf7 : 161 mengukuhkan
pernyataan tersebut dengan mengutarakan secara jelas ciri seorang muḥsin, yaitu menyadari kesalahan dan perbuatan dosanya, kemudian
memohon ampun kepada Allah. Sikap tersebut sejalan dengan esensi muḥsinīn sebagai orang-orang yang tidak senang melakukan kesalahan.
636
Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 1, 547.
637
Muhammad Rashīd Riḍā 1282-1354 H, Tafsīr Al-Manār Beirut, Dār al- Fikr, t.t, Jilid 8, 461-462. Selanjutnya disebut Riḍā, Tafsīr Al-Manār.
638
Al-Zamakhshariy ketika menafsirkan surah Al-Baqarah2 : 58 mengungkapkan bahwa kalimat tersebut memohon ampun menjadi faktor penyebab
ditambahnya pahala seorang muhsin, dan bagi yang berbuat salah patut baginya mendapat ampunan dan diterima taubatnya. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 78.
639
Ali Al-Ṣābūniy, Ṣafwat Al-Tafāsīr Beirut, D
ā
r Al-Fikr, t.t, Jilid 1, 477, dan Riḍā, Tafsīr Al-Manār, Juz 9, 373.
141 Implikasi positifnya adalah mereka ditambah perbuatan baik dan
pahalanya.
640
Dengan kata lain, barang siapa menjadi seorang muḥsin, maka akan bertambah kebaikan dan pahala dunia dan akhirat. Akan
tetapi barang siapa yang berperilaku sayyi`ah burukjahat, maka berpeluang taubatnya diterima Allah dan mendapatkan ampunan-Nya,
jika ia berkehendak memperbaiki diri.
641
Berangkat dari penafsiran di atas, muḥsinīn merupakan figur pribadi-pribadi yang secara kualitatif menjadi lawan bagi banī Isrā`il
sebagai objek ayat yang berperilaku menentang Allah swt dan Nabi Musa as. Artinya muḥsinīn ialah orang yang patuh dan tunduk kepada
ketetapan Allah dan rasul-Nya, serta berupaya menjauhkan diri dari perbuatan salah yang mengakibatkan dosa. Dapat dipahami juga bahwa
muḥsinīn merupakan orang-orang yang kebaikannya benar-benar optimal, yakni yang memohon ampun dan berhasil diampuni dosanya.
Sedangkan yang memohon ampun disertai dengan berbuat baik akan ditambah anugerah duniawi dan ukhrawinya.
642
4. Jihad di jalan Allah
Term jihad berasal dari َﺪ َﻫﺎ َﺟ
– ُﺪ ِﻫﺎ َُﳚ
– ًةَﺪ َﻫﺎَُﳎ
– ًادﺎ َﻬ ِﺟ
berarti kemampuan dalam rangka menolak musuh
643
atau mencurahkan kekuatan semaksimal mungkin untuk menahan dan mengalahkan
musuh,
644
dan jihad berarti pula mengerjakan segenap aktivitas kepatuhan.
645
Makna ini mengandung pengertian daya tahan dan semangat juang yang tidak mengenal pasrah dan putus asa dalam
menghadapi fitnah, penganiayaan, dan serangan musuh
646
baik internal maupun eksternal dengan pendayagunaan segenap potensi yang
dimiliki.
647
Jihad bersifat konstruktif, tidak terdapat indikasi yang
640
Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 107.
641
Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 392, dan Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al- Tanwīr, Jilid 1, Juz 1, 516.
642
Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol. 1, 198.
643
Al-Aṣfahāniy menyebutnya dengan istifrāgh al-wus’i fī mudāfa’at al-‘aduw. Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 99.
644
Majma’ Al-Lughah, Mu’jam Alfāẓ Al-Qur’an Al-Karīm Al-Qāhirah, Al- Maṭba’ah Al-Amīriyyah, 1953, Jilid 1, Juz 2, 38.
645
Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 967.
646
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 8, Juz 21, 36.
647
Al-Bayḍāwiy menyebutnya keluasan semangat jihad mencakup segenap jihad melawan keragaman musuh lahir dan batin. Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Juz 2,
214.
142 cenderung destruktif, mengingat semangatnya adalah mengajak ke jalan
Allah swt dan menyampaikan kebenaran. Apabila dihubungkan dengan karakter orang yang
teraktualisasikan dirinya, jihad merupakan tugas yang berhajat kepada keikhlasan dan pengorbanan watak egois mementingkan diri sendiri.
Orang yang teraktualisasikan dirinya memusatkan perhatiannya pada persoalan-persoalan di luar dirinya, bukan pada egonya.
648
Ia merasa memiliki misi dan tugas kehidupan yang seyogyanya dipenuhi, serta
mempunyai persoalan pokok yang bersifat falsafi dan etik di luar dirinya yang menyedot perhatian dan energi, walaupun tugas tersebut tidak
disukainya, tetapi dinilai menjadi bagian dari tanggung jawab atau kewajibannya terhadap kehidupan sosial.
649
Hal ini lahir dari kemampuannya berkonsentrasi pada tugas yang harus dikerjakannya
dengan melupakan kepentingan pribadi.
650
Sikap tersebut ditopang sepenuhnya oleh cakrawala dan wawasan berfikir yang luas dengan pandangan hidup dalam suatu kerangka acuan
yang menyeluruh dan paradigma jauh ke depan, serta mempunyai arti penting dalam kehidupan sosial dan interpersonal.
651
Jihad dilihat dari objeknya terbagi menjadi tiga macam, yaitu: Jihad melawan musuh-musuh agama, jihad melawan syetan, dan jihad
melawan hawa nafsu amarah.
652
Sedangkan dilihat dari aspek medianya, jihad terdiri dari tiga macam pula, yakni: Jihad dengan jiwa, jihad dengan
kalbu, dan jihad dengan harta.
653
Oleh karena itu dapat pula dinyatakan bahwa kebanyakan term jihad dan derivasinya yang tercantum dalam Al-
Qur`an sebanyak 35 kali memuat makna mencurahkan kekuatan semaksimal mungkin dalam menyebarkan dakwah Islam dan
648
Maslow, Motivation, 133.
649
Maslow, Motivation, 134.
650
Goble, The Third Force, 28.
651
Maslow, Motivation, 134.
652
Abū Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 7, 155, dan Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 99.
653
Al-Qushairiy dalam menafsirkan penggalan surah Al-Ḥajj22 : 78 wa jāhidū fī Allah ḥaqqa jihādih menjelaskan lebih jauh ketiga macam jihad tersebut dengan
menyatakan bahwa jihad dengan jiwa adalah mencurahkan kekuatan dalam melaksanakan kepatuhan dengan kesiapan menanggung beban berat tanpa menghendaki
sama sekali dispensasi dan kemurahan. Jihad dengan kalbu ialah menjaganya dari keburukan seperti lalai, merencanakan berpaling dari Tuhan, mengingat peristiwa masa
lalu di waktu senggang. Sedangkan jihad dengan harta ialah kedermawanan dengan memberi lebih banyak. Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 4, 233.
143 melindunginya.
654
Sedangkan term jihad yang dihubungkan langsung dengan muḥsinīn tertera pada satu ayat, yaitu QS. Al-‘Ankabūt29 : 69.
Makna jihad yang terliput dalam penggalan ayat wa al-ladhīna jāhadū fīnā adalah berjuang melawan orang kafir dalam rangka
menegakkan kalimat Allah dan agama-Nya yang diingkari.
655
Makna jihad seperti ini tidak berarti semata-mata menekankan kepada jihad fisik,
melainkan mencakup pula jihad non fisik seperti jihad dengan pemikiran, perilaku akademik, dan membentengi diri dari pengaruh mereka yang
negatif. Hal ini didasarkan kepada penyebutan kemutlakan term jihad.
656
Sedangkan maksud dari sebutan al-Muḥsinīn yang termaktub pada ayat di atas adalah mereka yang memperindah akhlak dan menolong
kebenaran ajaran Rasul serta membela orang-orang yang memperjuangkannya dari ancaman orang musyrik atau musuh-musuh
mereka.
657
Artinya mereka adalah orang yang menghiasi lahiriyah dengan berjuang dan mempercantik sepiritual dengan kesucian sebagai
upaya melihat Tuhan.
658
Dalam bacaan psikologi humanistik keindahan menjadi kebutuhan naluriah manusia, sehingga paling tidak pada
sementara orang, kebutuhan akan keindahan begitu mendalam, sedangkan hal-hal yang serba buruk tidak indah membuatnya merasa
tidak nyaman. Keindahan dapat menjadikan seseorang lebih sehat mengingat estetika berhubungan dengan gambaran dirinya.
659
Kesungguhan berjuang di jalan Allah yang mencakup membela agama, menolak kebatilan, meredam tindak penganiayaan, menjunjung
tinggi amar makruf dan nahi munkar, serta memerangi hawa nafsu di kala mentaati Allah,
660
merupakan sikap hidup setiap muḥsin yang patut mendapatkan pertolongan di dunia dan ampunan-Nya di akhirat sebagai
654
Majma’ Al-Lughah menyebutnya dengan baḍl al-wus’i fī nashr al-da’wat al-Islāmiyyah wa al-difā’ ‘anhā, Majma’ Al-Lughah, Mu’jam, Jilid 1, Juz 2, 38.
655
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 10, 161.
656
Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 2, 214, dan Muhammad bin Muhammad bin Mushṭafā al-‘Amādiy Abī Al-Su’ūd 893-982 H, Irshād Al-‘Aql Al-
Salīm ilā Mazāy Al-Kītāb Al-Karīm -Tafsīr Abī Al-Su’ūd- Beirut, Dār Al-Kutub al- Ilmiyyah, 2002, Juz 5, 161. Selanjutnya disebut
Abī Su’ūd, Tafsīr Abī Al-Su’ūd.
657
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 10, 161.
658
Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 5, 108.
659
Goble, The Third Force, 79.
660
Deskripsi jihad seperti ini menurut Abū Sulaiman al-Dārāniy yang dikutip Al-Marāghiy. Al-Marāghiy, Tafsir Al-Marāghiy, Juz 21, 23-24.
144 penghargaan baginya.
661
5. Mencari Keridhaan Allah dan Kebahagiaan Akhirat
Ciri lain bagi muḥsin ialah mengarahkan kehidupannya kepada mencari keridhaan Allah. Segenap potensi yang dimiliki dikerahkan
untuk mendapatkannya. Setiap muḥsin memahami dan meyakini bahwa keridhaan-Nya merupakan unsur penentu dalam meraih kebahagiaan
hidup yang hakiki. Ridha Allah dapat bermakna penerimaan-Nya atas ketaatan,
keimanan, dan keislaman seseotang, atau berarti perkenan-Nya atas kesalehan aktivitasnya dan terhindar dari kebencian-Nya.
662
Selain itu ia dibebaskan dari perilaku syirik dan dianugerahi hidayah terus menerus
hingga imun dari kesesatan, serta dimuliakan-Nya setelah terhinakan dan dianugerahi kekayaan setelah hidup serba kekurangan.
663
Dengan berorientasi kepada ridha-Nya seseorang akan selalu mempertahankan dan melestarikan keberadaannya sebagai muḥsin,
karena persyaratan mendapatkan keridhaan-Nya adalah berbuat sebaik- baiknya hingga mejadi muḥsin. Hal ini dapat dimengerti dari pesan yang
terkandung dalam surah Al-Aḥzāb33 : 28-29.
664
Sebab nuzul ayat tersebut menurut riwayat Muslim, Ahmad, dan Nasa`i dari Abi Zubair bersumber dari Jabir berhubungan dengan
problem keluarga yang sedang dihadapi nabi Muhammad saw. Isteri- isteri beliau, terutama Aisyah ra menuntut kekayaan materi berupa
permintaan tambahan nafkah, sementara beliau tidak memilikinya. Turunnya ayat tersebut menjadi petunjuk bagi beliau dalam memecahkan
problem yang dihadapinya. Beliau mengharuskan mereka menetapkan salah satu pilihan dari dua alternatif, yakni memilih Allah, Nabi, dan
kebahagiaan akhirat atau harta kekayaan. Akhirnya mereka menjatuhkan pilihan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dimulai oleh Aisyah r.a yang
menyatakan: “Apakah sesuatu yang bertalian dengan engkau harus aku
661
Abi Muhammad Al-Husein ibn Mas’ud Al-Farrā` Al-Shafi’iy Al-Baghawiy, Ma’ālim Al- Tanzīl Tafsīr Al-Baghawiy Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1993,
Juz 3, 408. Selanjutnya disebut Al-Baghawiy, Ma’ālim Al- Tanzīl.
662
Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 419. Bandingkan dengan Al- Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 2, 508.
663
Al-Marāghiy, Tafsīr Al-Marāghiy, Juz 11, 11.
664
Uraian yang rinci dan luas tentang isteri-isteri Nabi saw lebih memilih keridhaan Allah dan Rasul-Nya serta kebahagiaan akhirat yang termuat pada kedua ayat
tersebut pada Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 10, 288-291 dan
Al-Zamakhshariy, Al- Kashshāf, 853.
145 bicarakan terlebih dahulu dengan kedua orang tuaku?, padahal aku sudah
memastikan untuk memilih Allah dan Rasul-Nya.
665
Ayat ini dapat disebut dengan ayat takhyīr atau pemberian alternatif dari dua pilihan.
Isteri-isteri Nabi saw yang disebut pada ayat tersebut, setatusnya sekaligus sebagai sahabatnya dan mereka sama-sama akan mendapatkan
keridhaan Allah mengisyaratkan bahwa sahabat-sahabat Nabi saw yang lain patut mendapatkan julukan muḥsin, dan orang-orang yang mengikuti
jejaknya dengan ihsan akan memperoleh ridha Allah swt sebagaimana tertera pada surah Al-Taubah9 : 100.
Predikat muḥsin bagi sahabat dan muḥsināt bagi isteri-isteri Nabi saw yang tersurat pada ayat di atas merupakan pemberian Allah yang
dilekatkan kepada orang yang mempunyai prinsip dan tujuan hidup semata-mata memilih keridhaan Allah dan Nabi-Nya serta mencari
kebahagiaan akhirat. Bagi ahli ihsan akan memperoleh pahala yang besar berupa surga. Prinsip dan sikap serta orientasi kehidupan mencari
perkenan Allah tidak dapat dijangkau oleh gagasan Maslow mengingat parameternya adalah kerangka teori humanistik yang terbatas pada sendi-
sendi kemanusiaan semata. b. Hubungan muḥsin dengan diri sendiri
Hubungan muḥsin dengan diri sendiri, pada dasarnya, merupakan
665
Suatu saat Abu Bakar meminta izin kepada Nabi untuk berbicara dengannya, akan tetapi ditolak. Begitu juga Umar dengan maksud yang sama ditolak
pula oleh beliau. Namun tidak lama berselang keduanya mereka diizinkan masuk dan beliau dijumpai sedang duduk berdiam diri dikelilingi isteri-isterinya yang menuntut
nafkah. Di tengah-tengah situasi demikian Umar berkehendak menghibur beliau agar dapat tertawa sembari berujar: “Ya Rasul Allah apabila puteri Zaid isteriku isteri
Umar meminta belanja kepadaku akan aku penggal lehernya”. Maka Rasul Allah tertawa, dan bersabda: “Mereka yang ada di sekitarku tengah meminta nafkah
kepadaku”. Seraya berdirilah Abu Bakar Sidik mendekati Aisyah untuk memukulnya serta Umar menghampiri Hafshah dan keduanya berkata: “Kenapa kamu berdua
meminta sesuatu yang tidak dipunyai Rasul Allah”. Kemudian turun kedua ayat tersebut sebagai panduan supaya isteri-isterinya menjatuhkan pilihan memilih Rasul atau harta
kekayaan. Beliau mengawali pertanyaan yang disampaikan kepada Aisyah mengenai pilihannya sambil bersabda: “Sesungguhnya aku menghendaki kamu menetapkan suatu
pilihan dan jangan tergesa-gesa menetapkannya hingga konsultasi terlebih dahulu dengan kedua orang tuamu”. Aisyah bertanya kepada beliau “apakah gerangan sesuatu
itu?”. Beliau membacakan ayat 28-29. Aisyah menjawab: “Apakah hal yang berhubungan dengan engkau, aku harus berbincang terlebih dahulu dengan kedua orang
tuaku?, padahal aku telah menetapkan unutk memilih Allah dan Rasul-Nya”. Al- Suyūṭiy, Asbāb Al-Nuzūl, 219 dan Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’, Jilid 14, 162-173 dan Al-
Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 10, 288-291.
146 keharusan sekaligus menjadi sesuatu yang melekat secara kausalitas. Hal
ini dikarenakan perbuatan ihsan kepada Allah swt dan kepada pihak lain sebagai perwujudan dari kepatuhan atas perintah kitab-Nya agar berbuat
adil dan ihsan, yang pada hakekatnya berbuat ihsan tersebut merupakan perlakuan ihsan kepada diri sendiri.
666
Maslow memandang sikap seperti ini sebagai perwujudan dari self actualizer, mengingat dalam dirinya
tidak dijumpai lagi dikotomi antara orienhtasi kepada kepentingan di luar dirinya dengan kepentingan dalam dirinya. Kepentingan Tuhan dan
kepentingan pihak lain berarti menjadi kepentingan dirinya sendiri. Orang yang sehat bersikap mementingkan diri sendiri dengan cara yang
sehat, cara yang bermanfaat bagi dirinya dan pihak lain.
667
Redaksi surah Al-Isrā`17 : 7 yang terdiri dari kalimat sharṭiyyah berupa in aḥsantum jika kalian semua berbuat ihsan dengan tidak
disebutkan objeknya maf’ūl bih, dan jawab sharṭ-nya berupa aḥsantum berarti kalian semua berbuat baik yang dihubungkan dengan “li
anfusikum” kepada dirimu sendiri mengisyaratkan luasnya wilayah dan bidang garapan yang dapat disentuh setiap muḥsin, serta menunjukkan
kepada pentingnya berbuat ihsan kepada diri sendiri dan kepada semua pihak. Termasuk di dalamnya adalah tidak berbuat isā`ah buruk kepada
diri sendiri atau pihak lain yang tertera pada penggalan ayat tersebut wa in asa`tum falahā dan jika kalian berbuat buruk, berarti menimpakan
keburukan itu pada diri sendiri. Hal ini dikarenakan berbuat ihsan atau berbuat buruk kepada siapapun berdampak kepada diri sendiri.
Keyakinannya yang terobsesi oleh implikasi berbuat baik pada hakekatnya kepada diri sendiri menjadikan seorang muḥsin selalu
berupaya untuk berbuat ihsan secara terus menerus dan berusaha meninggalkan segala bentuk perbuatan buruk. Jadi berihsan berarti
melakukan investasi kebaikan pada diri sendiri hingga menjadi muḥsin. Adapun yang dimaksud hubungan muḥsin dengan diri sendiri
adalah sifat yang menyatu dengan dirinya yang menjiwai segala karakteristiknya, baik yang berhubungan dengan Allah swt maupun
dengan pihak lain, di antaranya berupa:
666
Essey ini merupakan inti pesan dari penafsiran Al-Biqā’iy terhadap surah Al-Isrā`17 : 7. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 4, 348.
667
Maslow berpendapat bahwa pada orang-orang yang sehat, dikotomi antara mementingkan diri sendiri dan tidak mementingkan diri sendiri telah sirna sama sekali
dan lebur menjadi satu, karena baginya setiap perbuatan adalah mementingkan diri sendiri dan sekaligus tidak mementingkan diri sendiri. Maslow, Motivation, 149, dan
Goble, The Third Force, 29-30.
147
1. Patuh dan Tunduk.
Term yang menunjuk makna patuh dan tunduk berupa kosakata ṭā’ah
668
dan istijābah
669
merepresentasikan sifat mulia seorang muḥsin yang menyatu dalam dirinya sebagai pertanda ketinggian kualitas
pribadi.
670
Patuh dan tunduk yang dicerminkan oleh kosakata istijābah meliputi berbagai aspek, baik dilakukan hati atau fikiran dan yang
dikerjakan lisan atau anggota badan, baik dalam kaitannya dengan segi keimanan dan amal saleh maupun menjauhkan diri dari perbuatan keji
dan kemaksitan disertai rasa kebersamaan dengan Allah mengingat dalam kosakata tersebut terdapat dimensi kepatuhan yang tulus, tidak
disertai keterpaksaan sama sekali.
671
Firman Allah surah Al-Ṣaffāt37 : 113
672
menggambarkan klasifikasi manusia ke dalam dua golongan, yakni orang yang
menganiaya diri sendiri ẓālim li nafsih dan orang yang berbuat baik muḥsin. Muḥsin merupakan anti tesis bagi ẓālim li nafsih. Ayat tersebut
mengisyaratkan bahwa pada manusia terdapat potensi yang memiliki peluang yang sama untuk menjadi muḥsin atau ẓālim li nafsih yang
668
Makna ini dicetuskan oleh Al-Jauziy ketika menafsirkan surah Al-Isrā`17 : 7 seperti yang termaktub di atas. Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 803.
669
Al-Alūsiy menafsirkan penggalan surah Ali ‘Imrān3 : 172 -al-ladhīna istajābū- dengan al-ladhīna aṭā’ū mereka yang patuh. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī,
Jilid 2, 336.
670
Al-Zamakhshariy menafsirkan al-ladhīna istajābū yang tertera dalam surah Ali ‘Imrān3 : 172 sebagai orang-orang yang semua muḥsin dan bertakwa. Al-
Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 206. Demikian pula Al-Alūsiy dalam menafsirkan surah Ali ‘Imrān3 : 172 menyatakan bahwa al-ladhīna istajābū adalah orang-orang yang
muḥsin dan bertakwa. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 3, 336.
671
Al-Qushairiy sewaktu menafsirkan surah Ali ‘Imrān3 : 172 lebih jauh menjelaskan bahwa kepatuhan mereka sahabat-sahabat Nabi saw kepada Allah tanpa
keraguan meskipun menanggung resiko yang berat, mereka justeru dalam mematuhi- Nya ditopang dengan kecondongan dan kecintaan hati, kesiapan mengorbankan jiwa,
dan ketulusan menjungjung tinggi komitmen kepada ketentuan-Nya dan dalam mematuhi rasul-Nya dengan mengamalkan syareatnya. Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-
Ishārāt, Jilid 1, 282.
672
Al-Samarqandiy menafsirkan ayat tersebut dengan memnyatakan bahwa keberkahan yang diterima keduanya dari Allah swt berupa peningkatan dan
penambahan harta dan anak. Dari keduanya lahir keturunan yang tidak terhitung jumlahnya, di antaranya adalah keturunan yang muḥsin seperti Nabi Musa, Harun,
Dawud, Sulaeman, Isa as, dan orang-orang mukmin ahli kitab. Dan di antaranya terdapat keturunan yang jelas-jelas menganiaya diri sendiri, yaitu mereka orang-orang
yang mengingkari ayat-ayat Allah swt. Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 3, 122.
148 terlihat sebagai dua hal yang paradok. Al-Qur`an menuntutnya supaya
berihsan dalam kiprah kehidupannya, termasuk berihsan kepada diri sendiri yang menjadi bagian melekat pada setiap individu hingga menjadi
muḥsin.
673
Setiap orang yang mengamalkan ketentuan Allah dari sejak iman dan beribadah kepada-Nya hingga menjauhkan duri dari jalan layak
mendapatkan predikat muḥsin.
674
Dapat dinyatakan sebaliknya bahwa orang yang melanggar ketentuan-Nya dari sejak berbuat syirik sampai
dengan memasang duri di tengah jalan yang dapat mencelakakan pihak lain termasuk ke dalam ẓālim li nafsih.
Seorang muḥsin memiliki sifat mentaati sepenuh hati istijābah terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya tanpa ragu-ragu. Sikap konsisten
yang disertai dengan komitmen yang tinggi dan siap menanggung resiko yang diakibatkan sikapnya tersebut merupakan karakter yang dimiliki
dan melekat pada setiap muḥsin. Surah Ali ‘Imrān3 : 172 yang memaparkan sifat istijābah
tersebut turun setelah perang Uhud, merupakan penghargaan Allah swt kepada sahabat-sahabat Nabi yang berjumlah 70 orang, termasuk Abu
Bakar Siddiq, Umar ibn Khathab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abd Al-Rahman ibn Auf, Abd Allah ibn Mas’ud, Hūdhaifah ibn Al-
Yaman, Abu Ubaidah ibn al-Jarrah dan Al-Zubair ra yang memiliki kepatuhan tinggi terhadap perintah serta undangan Allah dan Nabi-Nya
untuk menghadapi kaum musyrikin yang telah melukai Nabi saw dan sebagian sahabat serta membunuh sebagian lainnya.
675
673
Al-Bayḍāwiy menyebutkan bahwa muḥsin adalah orang yang memperindah amal atau berlaku ihsan kepada diri sendiri dengan beriman dan kepatuhan. Sedangkan
ẓālim li nafsih ialah orang yang merusak dirinya dengan kemaksiatan dan kekafiran. Al- Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 2, 300, dan Abī Al-Su’ūd, Tafsīr Abī Al-Su’ūd, Jilid 5,
336. Adapun Ibn ‘Āshūr dalam menafsirkan surah Al-Ṣaffāt 37 : 113 menyatakan bahwa kebaikan dan keburukan manusia tidak selamanya sejalan dengan pendahulunya
yang menjadi asal-usulnya. Orang yang baik memungkinkan melahirkan generasi yang buruk, dan orang yang jahat berpeluang melahirkan generasi yang baik. Ibn ‘Āshūr, Al-
Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 9, Juz 23, 162. Dengan demikian kebaikan dan keburukan seseorang tidak ditentukan oleh keturunan melainkan oleh amalnya, dan ketidak baikan
suatu keturunan tidak mempengaruhi kecacadan dan kelemahan seseorang. Al- Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 912.
674
Ṭanṭāwiy Jauhariy, Al-Jawāhir fī Tafsīr Al-Qur`an Al-Karīm Al-Mushtamil ‘alā ‘Ajā`ib badā`i’ Al-Mukawwanāt wa Gharā`ib Al-Āyāt Al-Bāhirāt Beirut, Dār Ihyā`
Al-Turāth Al-‘Ārabiyyah, 1991, Juz 8, 187. Selanjutnya disebut Jauhariy, Al-Jawāhir.
675
Abī Al-Hasan Ali bin Ahmad Al-Wāḥidiy Al-Naysābūriy, Asbāb Al-Nuzūl Beirut, Dār Ibn Kathīr, 1997, 111-112. Selanjutnya disebut Al-Wāḥidiy, Asbāb Al-
Nuzūl. Dan Al-Suyūṭiy, Asbāb Al-Nuzūl, 66-67.
149 Mereka mendapatkan dua penghargaan, yaitu predikat ahli ihsan
dan ahli surga, karena mereka telah mengorbankan kepentingan pribadi dan menenggelamkan gejolak keinginan hawa nafsu, mengutamakan
kehendak Allah dan Rasul di atas segala-galannya. Kesiapan dan ketaatan memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya menjadi prioritas
dalam kehidupan mereka. Sebutan sebagai orang yang berbuat ihsan dan bertakwa yang
diberikan kepada orang-orang beriman yang memilih taat serta memenuhi ajakan Allah dan Rasul-Nya merupakan apresiasi yang tinggi
sehubungan berbuat ihsan adalah melakukan suatu amal dengan sempurna hingga melihat Allah atau merasakan kebersamaan dengan-
Nya, dan bertakwa ialah perasaan takut yang mendalam untuk berbuat jahat dan bertindak lalai.
676
Lebih jelas lagi, apabila pesan ayat di atas dikaitkan dengan latar belakang turunnya bahwa “Sesungguhnya Abu Sufyan dan sahabat-
sahabatnya ketika meninggalkan medan perang Uhud dan setibanya di al- Rauḥā, mereka kecewa dan berkeinginan untuk kembali lagi. Berita ini
sampai kepada Nabi saw, beliau berkehendak menghancurkan mereka dan menunjukkan kekuatan diri dan kekuatan sahabat-sahabatnya show
of force di hadapan mereka, kemudian beliau mengajak para sahabat mencari Abu Sufyan, seraya bersabda “Tidak perlu seorang-pun keluar
bersama kami kecuali ia yang berada bersama kami kemarin”, kemudian Nabi saw keluar bersama sahabat-sahabat hingga sampai di Ḥamrā Asad,
suatu daerah yang jaraknya delapan mil dari kota Madinah, padahal mereka terluka, tetapi mereka bersemangat heroik untuk mendapatkan al-
ajr pahala, Allah swt mendatangkan rasa takut dalam hati orang-orang musyrikin hingga mereka lari.
677
Pesan ayat tersebut menekankan kesiapan menjaga dan menjunjung tinggi kehormatan kolektif dengan landasan semangat rasa
memiliki yang kuat serta dedikasi yang konstruktif dan kreatif. Kepedulian yang mendalam terhadap lingkungan sekitar, baik
yang bersekala kecil seperti kerluarga, maupun yang bersekala luas semacam bangsa dan negara menjadi bagian tanggungjawab seorang
muḥsin yang berkarakter istijābah sesuai dengan kemampuan dan bidang keahliannya. Akan tetapi dalam kiprahnya diwarnai moralitas tinggi
yang terpancar dalam akhlak mulia hingga terlihat merepresentasikan
676
Riḍā, Tafsīr Al-Manār, Jilid 4, 237-238.
677
Al-Suyūṭiy, Asbāb Al-Nuzūl, 66.
150 pribadi yang berkualitas. Sedangkan Istijābah berarti kesediaan
memenuhi panggilan Allah swt dan nabi dengan ketaatan total, tidak disertai keterpaksaan. Istijābah kepada Allah ialah komitmen terhadap
wujud dan ketetapan-Nya, dan istijābah kepada Nabi berarti berprilaku dengan ketentuannya secara konsisten.
678
2. Tulus
Karakter seorang muḥsin adalah tulus atau ikhlas kepada Allah dan Nabi dalam beriman dan melaksanakan amal saleh sebagai makna
dari ﺢﺼﻨﻟا,
679
seperti diisyaratkan surah Al-Taubah9 : 91.
680
Term ﺢﺼﻨﻟا pada ayat ini berkaitan erat dengan penggalan ayat mā ‘alā al-muḥsinīn min sabīl yang bermakna “tidak ada alasan
menyalahkan muḥsinīn karena ikhlas mencari keridaan Allah dan rasul- Nya meski tidak mampu berjihad. Kondisi seperti ini dihargai-Nya
dengan diberi pahala yang senilai dengan yang berjihad. Penafsiran ini menggunakan munāsabah atau mengkaitkan ayat ini dengan Al-Nisā`4 :
95 Tidaklah sama antara mukmin yang duduk atau tidak turut berperang yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan
Allah dengan harta dan jiwa mereka.”
681
Orang mukmin yang mendapatkan dispensasi tidak berjihad adalah para manula, orang-orang sakit, dan mereka yang tidak
mendapatkan sesuatu yang dinafkahkan untuk pergi berjihad. Tidak ada alasan sedikitpun untuk menyalahkan dan menghukum mereka, karena
mereka adalah muḥsinīn yang dengan keikhlasannya ingin sekali berjihad. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada mereka
yang memilki prilaku tersebut ikhlas dan tidak berpura-pura.
682
678
Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 1, 283.
679
Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 516.
680
Menurut Al-Alūsiy al-Nuṣḥ secara leksikal berarti al-khulūṣ tulus. Berhubungan dengan surah Al-Taubah9 : 91 Al-Alūsiy mengutarakan bahwa yang
dimaksud dengan nuṣḥihim yang tercantum pada ayat tersebut idhā naṣaḥū adalah mencurahkan daya kemampuan mereka dalam memanfaatkan agama Islam dan umat
Islam untuk mengikat diri kepada urusan dan keluarga mereka, serta berita-berita tentang mereka yang seharusnya disampaikan kepada mereka. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-
Ma’ānī, Jilid 5, 345.
681
Muhammad Shukrī Ahmad Al-Zāwiyaytiy, Tafsīr Al-Ḍaḥḥāk Mesir, Dār Al-Salām, 1999, Jilid 1, 417-418. Selanjutnya disebut Al-Zāwiyaytiy, Tafsīr Al-
Ḍaḥḥāk.
682
Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 477.
151 Dengan makna ikhlas, term ﺢﺼﻨﻟا yang ditautkan dengan Allah
dan rasul-Nya sebagaimana penggalan ayat di atas idhā naṣaḥū li Allah wa rasūlih dapat dipahami lebih jauh. Al-naṣḥu li Allah ialah beriman
kepada Allah swt, melaksanakan syareat dan meninggalkan hal-hal yang bertentangan dengannya, menasehati orang lain, cinta kepada orang yang
berjihad di jalan-Nya, dan memberi pandangan kepada mereka mengenai urusan jihad serta tidak memberikan bantuan sekecil apa-pun kepada
musuh. Sedangkan al-naṣhu li rasūlihi adalah membenarkan kenabian dan semua hal yang dibawa Nabi Muhammad saw dengan mencintai dan
menghidupkan sunnahnya secara maksimal, mengikuti orang yang mengikutinya dan waspada kepada orang yang memusuhinya. Jadi arti
potongan ayat mā ‘alā al-muḥsinīn min sabīl adalah jins al-muḥsinīn orang-orang yang tergolong muḥsin atau mereka yang melakukan
taubatan naṣūhā atau memohon ampun kepada Allah dan rasul-Nya denga ikhlas. Dengan demikian ketidakikutsertaan mereka berjihad tidak
berdosa dan tidak beralasan untuk dimarjinalkan.
683
Dengan kata lain keikhlasan tersebut terbebas dari sifat pura-pura dan tidak memiliki rasa
takut kepada sesama manusia, serta tidak berkeinginan menghalangi dan menyebarkan fitnah kepada yang berangkat berperang, malah justru
memotivasinya dengan tulus. Ayat ini diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan seorang buta
bernama ‘Abd Allah bin Ummi Maktum yang tulus disampaikan kepada Nabi saw tentang ketidak mampuannya melaksanakan perintah jihad.
684
Ketulusan hati tersebut sebagai perwujudan dari komitmennya kepada perbuatan ihsan berdampak kepada lahirnya respon Allah yang apresiatif
dengan menganugerahkan gelar muḥsin dan memberi dispensasi serta ampunan dan kasih sayang-Nya. Ini berarti faktor ketulusan hati menjadi
sesuatu yang fundamental bagi kehidupan seorang muḥsin. 3. Sabar
683
Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr Al-Jāmi’ bayna Fannay Al-Riwāyah wa Al-Dirāyah mīn ‘Ilm al-Tafsīr Beirut, Dār Al-Kutub Al-
‘Ilmiyyah, t.t, Jilid 2, 500. Selanjutnya disebut Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr.
684
Ayat ini diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw berkenaan dengan ke datangan seorang buta bernama ‘Abd Allah bin Ummi Maktūm kepadanya yang
bertepatan dengan Zaid ibn Tsābit tengah menulis ayat-ayat dari surah Al-Barā`ah sampai ayat yang berisikan perintah jihad, seraya ia bertanya kepadanya: “Bagaimana
dengan saya yang buta ya Rasul Allah ?”, kemudian turun ayat ini sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut. Al-Zāwiyaytiy, Tafsīr Al-Ḍaḥḥāk. Jilid 1, 417-418, dan Al-Suyūṭiy,
Asbāb Al-Nuzūl, 146 dan Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān, Jilid 2, 382.
152 Seorang muḥsin merupakan sosok pribadi yang berpenampilan
sabar atas segala hal yang diterimanya dari Allah swt, baik yang menyenagkan atau yang menyedihkan. Sabar adalah salah satu unsur
esensial yang menentukan seseorang mendapatkan predikat muḥsin.
685
Penggalan ayat 148 dari surah Ali ‘Imrān wa Allah yuḥibbu al- Muḥsinīn berkedudukan sebagai tadhyīl kalimat yang mengiringi yang
menunjukkan subjek pembicaraan pada ayat ini adalah setiap muḥsin yang memperoleh kemenangan, harta rampasan, dan sanjungan di dunia
sebagai penghargaan dan kecintaan Allah, serta kebahagiaan hidup yang hakiki dan kekal di akhirat.
686
Apresiasi ini menjadi bukti diterimanya doa orang-orang sabar yang terdiri dari para nabi dan sahabat-sahabat
mereka. Interpretasi ini meletakkan potongan ayat tersebut memiliki
kaitan erat dengan dua ayat sebelumnya, yaitu ayat 146 yang menjelaskan kecintaan Allah swt kepada orang-orang yang bersabar,
karena kekuatan mental ketika tertimpa bencana dan ketangguhan pendirian di jalan-Nya dalam menghadapi musuh. Selain itu, mereka
bersikap mengorientasikan diri kepada Allah swt semata dengan memanjatkan doa agar diampuni dosa dan tindakan berlebihan mereka,
serta supaya diteguhkan pendirian mereka dan mendapatkan pertolongan- Nya, seperti yang tertuang dalam ayat 147.
687
Lebih jelas lagi sifat sabar
685
Al-Ṭabariy dalam menafsirkan term muḥsinīn yang tertera pada surah Ali ‘Imrān3 : 148 orang yang mendapatkan predikat sebagai orang yang berperilaku
sebagaimana orang yang memiliki perilaku dan sifat tersebut yaitu sabar dalam merealisasikan kepatuhannya kepada Allah meski nabinya terbunuh, sabar dalam
berjihad melawan musuh, memohon pertolongan semata-mata kepada-Nya, dan senantiasa tunduk kepada petunjuk pemimpinnya dalam membela-Nya. Al-Ṭabariy,
Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 3, 466.
686
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 2, Juz 4, 121. Tadhyīl dalam kajian balāghah bermakna mengiringi suatu kalimat dengan kalimat lain yang memiliki
kandungan makna yang meliputinya dengan tujuan mempertegas dan memperkuat maknanya. Al-Sayyid Ahmad Al-Hāshimiy, Jawāhir Al-Balāghah fī Al-Ma’ānī wa Al-
Bayān wa Al-Badī’ Indonesia, Maktabah Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1960, 231-232. Selanjutnya disebut Al-Hāshimiy, Jawāhir Al-Balāghah.
687
Ibn ‘Āshūr melukiskan kandungan surah Ali ‘Imrān3 : 146-147 sebagai sifat yang layak dimiliki oleh pengikut para nabi, yaitu tidak rendah dalam kemampuan
beramal dan dalam melakukan gerakan ketika berjuang, serta tidak pernah menunjukkan kelemahan fisik mereka. Apabila sebaliknya, maka mereka akan mengalami rendah
semangat juang dan mudah putus asa, serta gampang menyerah dan takluk kepada musuh. Sifat tersebut disertai dengan perilaku memohon ampunan kepada Allah atas
kesalahan yang pernah dilakukan mereka bila mendapatkan bencana, serta berdo’a
153 menjadi ciri muḥsin dimuat secara eksplisit pada surah Hūd11 : 115.
688
Ayat ini merupakan satu-satunya yang mengkaitkan secara langsung term sabar dengan titel muḥsinīn dalam satu teks, meskipun
term sabar dengan berbagai derivasi dan konteksnya terulang dalam Al- Qur`an sebanyak 103 kali.
Kecenderungan pesan ayat di atas berlaku umum bagi semua umat, meski perintah bersabar dalam melaksanakan kepatuhan dan
menjauhi maksiat ditujukan kepada Nabi saw, karena penggalan ayat fainna Allah lā yuḍī’u ajr al-Muḥsinīn menjadi argumen dan petunjuk
bahwa sabar termasuk bagian dari berbuat ihsan.
689
Dengan demikian, kesabaran seseorang dalam menghadapi liku-liku kehidupan, baik ketika
berpegang pada aturan Allah, melaksanakan ibadah ataupun menghadapi ujian yang berat menjadikan dirinya patut menyandang sebutan
muḥsinīn.
690
Kesabaran menjadi karakter bagi seorang muḥsin, dikarenakan di dalam berbuat ihsan dengan istiqamah termuat keyakinan penuh akan
ketentuan Allah swt, keteguhan tekad, pengendalian mental, kesadaran akan keseimbangan hidup, dan optimisme yang proporsional.
4. Integrasi Lahir dan Batin
Sosok pribadi muḥsin memiliki kepekaan dalam merespon perintah ibadah kepada Allah yang berdimensi sosial dengan
mengintegrasikan aspek lahir dan batin serta segi material dan sepiritual. Sebagai bagian yang melekat dari kepekaan dan solideritas sosialnya
seorang muḥsin melakukan penyembelihan binatang kurban dengan tulus dan senang hati. Ia mengamalkannya tidak sebatas mengalirkan darah
hewan kurban dan membagikan dagingnya yang menjadi sisi lahiriah atau material kepada orang-orang yang berhak menerima, melainkan
kepada-Nya agar memperoleh pertolongan-Nya. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 2, Juz 4, 119.
688
Dalam menafsirkan ayat tersebut Al-Biqā’iy menyatakan bahwa muḥsin adalah orang yang konsisten dalam merealisasikan watak ihsan, sehingga dalam
beribadah ia seolah-olah melihat Allah. Hal ini ditopang oleh kesabarannya yang melekat. Menurutnya kepatuhan beribadah sebagai suatu keharusan tidak dapat
direalisasikan kecuali dengan kesabaran mengingat seluruh aktivitas keagamaan tertumpu pada kesabaran.
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 3, 587.
689
Abī Al-Su’ūd, Tafsīr Abī Al-Su’ūd, Juz 3, 357, dan Al-Bayḍāwiy, Anwār Al- Tanzīl, Jilid 1, 473.
690
Sayyid Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān Mesir, Dār Al-Shurūq, 1992, Juz 4, 1932. Selanjutnya disebut Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān.
154 melibatkan ketakwaan hati secara utuh sebagai refleksi dari
ketauhidannya yang merupakan segi batiniah.
691
Takwa sebagai faktor batin yang menentukan diterimanya kurban oleh Allah swt lantaran dalam takwa terdapat dimensi menjungjung
tinggi aturan-Nya, semangat mendekatkan diri, dan ikhlas kepada-Nya.
692
Artinya takwa menjadi ruh yang menghidupkan amal seseorang untuk menuju bersama Allah.
Oleh karena itu pengintegrasian segi lahir dan batin dalam berkurban merupakan perbuatan ihsan. Sebagi pelaku ihsan, seorang
muḥsin dalam mengaplikasikan pengintegrasian tersebut disertai usaha memperindah tampilan, perasaan, dan komunikasi dengan Allah dalam
segala aspek kehidupan.
693
Keharusan Nabi saw memberikan kabar gembira kepada muḥsinīn seperti pesan surah Al-Ḥajj22 : 37, mengingat muḥsin adalah orang yang
berhasil menghidupkan dan merealisasikan sunnat Allah memadukan segi lahir dan batin atau material dan sepiritual, sehingga ia merupakan
profil pribadi yang telah berada pada puncak kepribadian yang dikehendaki dan dicintai-Nya.
5. Pemaaf dan Lapang Dada
Sifat seorang muḥsin adalah pemaaf dan lapang dada sebagai perwujudan dari pola hidupnya yang mengutamakan berbuat baik untuk
akhirat dengan tidak menunda-nunda dalam memenuhi hak-hak Allah swt dan hak-hak sesama hamba.
694
Sehingga ia berupaya mempercantik diri, baik perbuatan, ucapan, maupun pemikirannya dengan berbagai
kebaikan hingga mencapai kesempurnaan.
695
Surah Al-Mā`idah5 : 13 mengabadikan kedua sifat tersebut melekat pada figur muḥsin.
696
691
Al-Rāziy di saat menafsirkan surah Al-Ḥajj22 : 37 mengungkapkan bahwa ketakwaan dalam berqurban dan hal yang berhubungan dengannya menjadi faktor yang
mengantarkannya kepada Allah swt. Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 12, Juz 23, 162.
692
Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 2, 90.
693
Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān, Juz 4, 2423.
694
Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 3, 92-93.
695
Abī Bakar Muhyi Al-Dīn Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad Ibn ‘Arabiy Al-Ṭā`iy Al-Hātimiy, Tafsīr Al-Qur’ān –Tafsīr Ibn ‘Arabiy Beirut, Dār Al-
Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2006, Juz 1, 306. Selanjutnya disebut Ibn‘Arabiy, Tafsīr Al- Qur’ān.
696
Dalam menafsirkan surah Al-Mā`idah5 : 13, Quṭub memposisikan sifat memaafkan keburukan orang lain dan berlapang dada atas penghianatannya sebagai
perilaku ihsan. Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān, Juz 2, 860.
155 Sebagian ulama menggolongkan ayat ini sebagai ayat yang telah
di-mansūkh atau dihapus, terutama penggalannya fa’fu ‘anhum wa iṣfaḥ maafkanlah dan biarkan mereka oleh ayat saef atau peperangan yang
tercatat pada Al-Taubah9 : 5, terutama, penggalannya fa uqtulūhum ḥaithu wajattumūhum wa khudhūhum wa uḥṣurūhum wa iq’udū lahum
kulla marṣad maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana kamu menjumpai mereka, tangkaplah, kepunglah dan intailah ditempat
pengintaian mereka. Sedangkan pendapat lain mengungkapkan bahwa di-mansūkh-nya surah Al-Mā`idah5 : 13 oleh Al-Taubah9 : 5 tidak
menghilangkan seluruh pesan yang terdapat di dalamnya, maka arti fa’fu ‘anhum wa iṣfaḥ adalah orang-orang beriman diperintah supaya
memaafkan dan membiarkan kaum musyrikin yang telah beriman dan tidak menyebut-nyebut kembali segala hal yang telah dilakukan
sebelumnya.
697
Berangkat dari pemikiran ini, dapat disebutkan sifat pemaaf dan tidak mengungkapkan sejarah hidup yang gelap di masa lalu atau lebih
mengutamakan lembaran hidup baru
698
seseorang merupakan perilaku ihsan yang mempunyai peran yang setrategis dalam tatanan kehidupan
kolektif yang pluralistis. Dengan kata lain muḥsin adalah orang yang memiliki sifat inklusif dan akomodatif serta toleran sebagai perwujudan
dari orientasi hidupnya yang mengutamakan memenuhi hak orang lain, menghargai, dan memberikan manfaat kepadanya. Karakteristik ini
dilandasi prinsip hidup yang meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa pekerjaan seyogayanya dilakukan dengan sebaik mungkin hingga
merasakan kehadiran Allah swt dan apa yang dikerjakannya merasa diawasi-Nya.
697
Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 282-283.
698
Term al-‘Afw dengan berbagai bentuknya terulang dalam al-Qur`an sebanyak 35 kali. Abd Al-Bāqiy, Mu’jam, 592. Pada mulanya ia berarti menyengaja
mendapatkan sesuatu, termasuk sengaja mendapatkan tambahan. Kemudian maknanya berkembang menjadi menghapus dosa atau kesalahan dan memberi maaf kepada
seseorang. Pemberi maaf berarti menghapus dosa orang lain, yang berarti orang yang diberi maaf mendapatkan ampunan, bahkan bisa jadi ia mendapatkan yang lebih atau
tambahan dari apa yang diharapkan. Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 351-352. Sedangkan al- ṣafḥ dengan bentukannya terdapat delapan kali dalam Al-Qur`an. Abd Al-Bāqiy,
Mu’jam, 519. Kata ini berarti luas, lapang, atau lebar. Kemudian ia berarti meninggalkan sesuatu yang tercela. Al-ṣafḥ lebih unggul daripada al-‘afw, karena al-
ṣafḥ menekankan kepada menghilangkan segala yang tercela di masa lalu, dan mengutamakan pada lembaran baru. Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 290.
156
c. Hubungan Muḥsin dengan Sesama Manusia