Hubungan Muḥsin dengan Sesama Manusia

156

c. Hubungan Muḥsin dengan Sesama Manusia

Pola hubungan yang dilakukan seorang muḥsin kepada Allah, seperti yang telah diuraikan di atas, berdimensi vertikal. Sedangkan pola hubungannya dengan sesama manusia, sebagaimana akan dibahas pada bagian ini berdimensi horizontal yang berbasis al-musāwah atau kesamaan derajat, hak, dan kewajiban. Pola hubungan kesederajatan atau egalitarian ini sejalan dengan keberadaan manusia yang satu sama lain setara, meskipun dalam beberapa hal terdapat perbedaan setatus, jenis kelamin, budaya, etnis, agama, dan latar belakang tatanan kehidupan serta kondisi pisik dan psihis. Hubungan muḥsin dengan sesama manusia meliputi poin-poin sebagai berikut:

1. Hubungan Muḥsin dalam Keluarga

Karakter muḥsin dan hubungannya dengan keluarga diwujudkan dalam bentuk relasi paternalian, patronase, dan emansipatoris, yaitu: Pertama; Hubungan Muḥsin dengan Kedua Orang Tua Hubungan muḥsin dengan kedua orang tua merupakan hubungan timbal-balik yang lintas batas sebagai perwujudan dari hukum kausalitas. Namun hubungan tersebut menekankan semangat penghormatan dan penghargaan serta persahabatan lahir-batin yang mengikutsertakan aspek material dan immaterial. Hal ini sejalan dengan ketetapan Al-Qur`an atas kewajiban berbuat ihsan kepada mereka yang diimplementasikan dengan kelembutan persahabatan 699 dalam memenuhi hak-hak mereka mengingat kedua orang tua bagian dari diri seorang anak. Kedua orang tua telah mengasuh dan mendidiknya hingga berkembang menjadi dewasa dan berpengetahuan. 700 Berbuat baik kepada kedua orang tua yang termaktub dalam Al- Qur`an menggunakan term ihsan dan barr kebajikan. Term ihsan dengan idiom “bi” yang berfungsi li al-ilṣāq kelekatan atau di-ta’diyah- kan ditransitifkan dengan partikel “bā bi” berarti birr berbuat baik mencakup kepada dua unsur, yakni unsur penghormatan atau penghargaan dengan tulus serta unsur persahabatan yang direalisasikan dalam relasi lalir-batin secara total dengan memenuhi segenap kebutuhan material dan immaterial. Sedangkan jika yang dimaksudkan memberikan 699 Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 264. 700 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 2, 23. 157 manfaat material semata, maka partikel yang digunakan ialah “li”. 701 Term ihsan yang menunjuk kepada kewajiban tersebut tercantum dalam lima ayat, yaitu surah Al-Baqarah2 : 83, Al-Nisā`4 : 36, Al- An’ām6 : 151, Al-Isrā`17 : 23 dan Al-Aḥqāf46 : 15. Sedangkan Al- Qur`an menggunakan kata barr kebajikan untuk makna berbuat baik kepada orang tua pada dua ayat, yakni surah Maryam19 : 14 dan 32. Meskipun Al-Qur`an menggunakan, terutama, kosakata ihsan maṣdar atau kata benda jadian, bukan berupa fi’il amar atau kata kerja perintah, tetapi, pada hakekatnya mengandung makna kata kerja perintah. Semisal yang termaktub pada surah Al-Nisā`4 : 36, 702 penggalannya wa bi al- wālidaini iḥsānan bermakna Allah memerintahkan kalian untuk berbuat ihsan kepada kedua orang tua atau SayaAllah berpesan kepada kamu supaya berbuat baik kepada kedua orang tua. 703 Surah Al-An’ām6 : 151 dengan penggalannya wa bi al-wālidaini iḥsānan dapat ditafsirkan dengan berbuat baiklah kalian dengan sebaik- baiknya kepada kedua orang tua. 704 Argumentasinya adalah penggalan ayat tersebut merupakan setruktur kalimat yang berkedudukan sebagai ‘aṭaf jumlah penyambungan kalimat kepada jumlah atau kalimat sebelumnya an lā tushrikū. Dan kata iḥsānan diposisikan sebagai maṣdar yang terletak pada tempat fi’il-nya. Ini berarti bahwa meng-‘aṭaf-kan jumlah amar perintah berbuat baik kepada kedua orang tua kepada jumlah nahyi larangan menyekutukan Allah swt untuk menunjukkan kesungguhan berbuat baik dan meninggalkan berbuat jahat kepada keduanya. Dengan demikian kalimat perintah tersebut meliputi larangan yang menjadi lawannya. Pola kalimat seperti ini digunakan Allah swt 701 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 2, Juz 5, 49. Dan Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol. 2, 417. 702 Ibn ‘Aṭiyyah menafsirkan ayat tersebut, terutama yang bertalian dengan berbuat baik kepada kedua orang tua dengan wa aḥsinū bi al-wālidain iḥsānan berbuat baiklah dengan sebaik-baiknya kepada kedua olrang tua. Abī Muhammad ‘Abd Al-Haq Ibn ‘Aṭiyyah Al-Andalusiy, Al-Muḥarrar Al-Wajīz fī Tafsīr Al-Kitāb Al-‘Azīz Beirut, Dār Ibn Haram, 2002, 433. Selanjutnya disebut Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar. 703 Al-Ṭabariy menginterpretasikannya dengan amarakum Allah bi al-wālidain iḥsānan bi ma’nā birran bihimā wa lidhālika nashb al-iḥsān, liannahu amara minhu jalla thanā`uhu bi luzūm al-iḥsān ilā al-wālidain ‘alā wajh al-ighrā`. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 4, 80. Al-Wāḥidiy menafsirkan penggalan ayat tersebut dengan wa uṣīkum bi al-wālidaini iḥsānan. Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 381. 704 Ibn ‘Aṭiyyah mendudukkan redaksi penggalan ayat tersebut sebagai kalimat yang terdapat di dalamnya kata kerja fi’il yang tersembunyi, yaitu aḥsinū bi al- wālidain iḥsānan. Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar, 675. 158 sebagai metoda yang mengutamakan maksud percakapan tentang berbuat baik kepada mereka. Pada masa jahiliah banyak bangsa Arab yang tidak menghargai kedua orang tua mereka yang lemah karena telah berusia lanjut. 705 Pelaksanan berbuat ihsan kepada kedua orang tua menuntut kesungguhan yang optimal dan ketulusan yang maksimal mengingat akan berdampak positif dan bermanfaat bagi diri sendiri, bukan bagi mereka. Dengan demikian berbuat ihsan kepada mereka melebihi daripada berbuat ihsan kepada diri sendiri. Apabila ihsannya diwujudkan dalam rasa cinta, maka kecintaan terhadap keduanya melebihi daripada cintanya kepada diri sendiri. Jika ihsannya direalisasikan dalam pemberian sesuatu, maka pemberian kepada mereka melebihi daripada yang semestinya diberikan. Konsep di atas relevan dengan eksistensi ihsan yang berorientasi kepada nilai tambah dan berdimensi kualitatatif. Oleh karena itu yang dikehendaki dengan hubungan muḥsin dengan kedua orang tua ialah penghormatan dan persahabatan sebagai perwujudan dari memuliakan mereka sekaligus sebagai prilaku bersyukur dan balas budi. Berbuat baik kepada kedua orang tua berarti pula berbuat sopan santun atau adab dengan optimal dalam ucapan dan perbuatan sejalan dengan tradisi masyarakat ‘ūrf hingga mereka merasa senang. Selain itu berarti pula upaya memenuhi hajat hidup mereka yang ditetapkan syareat sesuai dengan kemampuan anak. Tidak termasuk berbuat ihsan kepada mereka, jika melakukan sesuatu yang menghilangkan kemerdekaan dan kebebasan anak, baik yang berhubungan dengan pribadi dan rumah tangga maupun aktivitas yang berkaitan dengan pihak lain, agama, dan negara. Manakala salah satu atau keduanya berkeinginan memaksakan kehendak atas urusan anak, maka mengikuti pendapat atau kemauan mereka dengan meninggalkan sesuatu yang dinilai sebagai kemaslahatan umum atau khusus, atau melaksanakan kegiatan yang berbahaya bagi kepentingan umum atau khusus, bukanlah termasuk berbuat ihsan kepada mereka. 706 Al-Qur`an menetapkan kewajiban berbuat Ihsan kepada kedua orang tua tidak hanya berdimensi kemanusiaan, melainkan meliputi pula dimensi ketuhanan. Hal ini disebabkan dominasi keterlibatan Allah 705 Ibn ‘Āshūr mengartikannya dengan wa aḥsinū bi al-wālidaini iḥsānan. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 4, Juz 8, 159. 706 Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 264. 159 dalam menentukan kewajiban tersebut demikian besar. Keterlibatan Allah terlihat pada perintah serta larangan-Nya berikut latar belakang dan implementasinya. 707 Bahkan ketergantungan kerelaan atau kemurkaan- Nya terletak pada kerelaan atau kemurkaan kedua orang tua. 708 Al-Qur`an memberlakukan ketentuan berbuat baik kepada kedua orang tua, tetapi tidak menyertakan secara ekplisit perintah keharusan mereka berbuat baik kepada anak-anak mereka. Agaknya dapat dinyataka bahwa mereka secara ṭabī’iy naluriah akan mengurus dan menyayangi anak-anak mereka, sehingga orang tua memelihara dan melindungi anaknya merupakan fitrah yang melekat dalam rangka memelihara generasi penerus dan melestarikan kehidupan. 709 Hal ini berbeda dengan berbuat baik yang dilakukan anak kepada mereka, lebih merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai tindakan bersyukur dan balas budi mengingat anak lebih mencurahkan perhatiannya kepada isteri dan keturunan. 710 Sedangkan bersyukur dan balas budi dalam wujud berbuat baik kepada mereka berdua tergolong ke dalam perilaku yang sukar direalisasikan, jika tidak disertai dengan perintah dan ketentuan terutama yang bersifat samawi seperti Al-Qur`an, mengingat mayoritas bangsa Arab di masa jahiliyah mendapat julukan sebagai ahl jilāfah anak tidak menghormati kedua orang tuanya, terutama setelah mereka renta dimakan usia tua. 711 Berbuat baik kepada kedua orang tua memerlukan komitmen yang kuat pada setiap anak, sebab kebanyakan anak memproyeksikan perhatian dan kebaikannya kepada orang-orang yang datang kemudian dan hidup bersama dengannya, seperti isteri, anak atau generasi penerusnya, dan kemudian dengan mudah melupakan asal usulnya ibu dan bapak, meskipun jasa dan pengorbanan mereka lebih banyak, semisal mengandung, melahirkan, menyusui, menyuapi, melindungi, membesarkan, dan mendidiknya dengan fasilitas dan biaya yang tidak 707 Quṭub menyebutkan bahwa perintah berbuat baik kepada kedua orang terletak setelah larangan berbuat syirik seperti yang tercantum pada surah al-An’ām6 : 151 merupakan pengajaran Allah kepada manusia tentang hubungan kasih sayang antara orang tua dan anaknya yang terikat dengan pengetahuan mereka tentang ketuhanan yang bersifat Maha Esa . Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān, Jilid 3, 1230. 708 HR. Tirmidziy. Al-Tirmidziy, Al-Jāmi’. Jilid 3, 62. 709 Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 5, 2788. 710 Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 6, 3261. 711 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 4, Juz 8, 158. 160 terbatas. 712 Berlaku ihsan kepada kedua orang tua yang secara eksplisit tercantum dalam empat ayat menunjukkan amalan setrategis sehubungan kedudukannya disandingkan dengan perintah beribadah hanya kepada Allah swt atau larangan menyekutukan-Nya. Sandingan tersebut sejalan dengan letaknya yang berurutan dalam satu rangkaian ayat. 713 Pada surah Al-An’ām6 : 151 di samping kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua disandingkan dengan larangan syirik kepada- Nya, juga diletakkan berdampingan dengan larangan membunuh anak sendiri, berbuat keji , seperti zina, dan membunuh orang lain kecuali dengan hak. Perintah menyembah Allah dan larangan menyekutukan-Nya diletakkan terlebih dahulu sebelum perintah berbuat baik kepada kedua orang tua mengingat penyembahan mutlak semata-mata kepada Allah Yang Maha Satu, tiada sekutu bagi-Nya, yang menjadi sumber wujud bagi manusia dan segala instrumen kehidupannya. Sementara kedua orang tua merupakan perantara atau penyebab bagi kehadiran seseorang melalui cara melahirkan, memelihara, mendidiknya, dan menyediakan fasilitas yang dibutuhkannya dengan maksimal dan penuh kasih sayang sesuai dengan kemampuan hingga dapat hidup mandiri. 714 Kedudukan kedua orang tua dalam pandangan Allah begitu setrategis di tengah-tengah kehidupan manusia, sehingga Nabi saw menetapkan perbuatan durhaka kepada kedua orang tua sebagai dosa besar sebagaimana keberadaan syirik, membunuh jiwa, dan sumpah palsu. 715 Kemudian Nabi saw memprioritaskan berbuat baik kepada ibu 716 sehubungan faktor mengandung, melahirkan, dan menyusui yang beresiko berat dan memayahkan merupakan bagian melekat yang perlu mendapatkan apresiasi tersendiri. Namun demikian, apabila terjadi perbedaan keyakinan, agama atau prinsip hidup antara anak dan kedua orang tua, kemudian mereka 712 Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 4, 2221. 713 Seperti tercantum pada surah Al-An’ām6 : 151, Al-Baqarah2 : 83, Al- Nisā`4 : 36, dan Al-Isrā`17 : 23. 714 Riḍā, Tafsīr Al-Manār, Juz 5, 84, dan Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 3, 21, serta Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 15, 68. 715 HR. Al-Bukhāriy. Abī Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhāriy, Ṣaḥīḥ Al-Bukhāriy bi Hāshiyah Sandi Semarang, Maktabah Usaha Keluarga, t.t, Juz 4, 48. Selanjutnya disebut Al-Bukhāriy, Ṣaḥīḥ. 716 . HR. Al-Bukhāriy. Al-Bukhāriy, Ṣaḥīḥ, Juz 4. 47. 161 menghendakinya agar anak menghambakan diri kepada selain Allah, maka tidak diwajibkan baginya mematuhi kehendak mereka. Akan tetapi diharuskan atasnya untuk memperlakukan mereka dengan baik. Jadi ketaatan kepada Allah lebih diperioritaskan ketimbang kepatuhan kepada mereka, tetapi dalam berkomunikasi dengan mereka diharuskan menampilkan perilaku terpuji dengan cara ihsan. 717 Al-Qur`an menggunakan term ﻦﻳﺪﻟاﻮﻟا untuk menunjuk kedua orang tua yang dikorelasikan dengan ihsan, sebagai bentuk tathniyah dual dari kata ﺪﻟاﻮﻟا yang berarti bapak. Arti tersebut menunjukkan kepada orang tua kandung yang melahirkan. Kata ﻦﻳﺪﻟاﻮﻟا terulang dalam Al-Qur`an sebanyak tujuh kali. Kata ﻦﻳﺪﻟاو yang di-iḍāfah-kan disandarkan kepada kata yang lain termaktub sepuluh kali serta term ناﺪﻟاﻮﻟا tercantum tiga kali. Selain itu kata ةﺪﻟاﻮﻟا yang berarti ibu tersebut satu kali dalam Al-Qur`an dan ةﺪﻟاو yang di-iḍāfah-kan terulang dua kali serta تاﺪﻟاو jamak tersurah satu kali. 718 Akar katanya ialah ﺪﻟﻮﻣ - ﺪﻠﻳ - ةدﻻو - ﺪﻟو yang bermakna melahirkan. 719 Melahirkan dan mengandung yang dilalui dengan susah payah dan beresiko tinggi, ditambah masa menyusui hingga menyapih, keseluruhan dialami selama 30 bulan merupakan faktor-faktor utama yang menyebabkan setiap muḥsin wajib berbuat baik kepada kedua orang tuanya. 720 Ini merupakan perwujudan dari penghargaan Allah swt terhadap keberadaan mereka. Akan tetapi penghargaan tersebut tidak berarti meletakkan mereka melebihi kewajiban menyembah-Nya, sehubungan keberadaan mereka sebatas menjadi perantara bagi kelahiran seseorang. Sedangkan yang melahirkan sesungguhnya adalah Allah swt. Dengan demikian, hubungan anak dengan kedua orang tua yang menekankan pada penghormatan atau pengagungan dan persahabatan 717 Al-Samarqandiy menyatakan bahwa seorang anak tidak diperkenankan mematuhi perintah kedua orang tuanya untuk berbuat maksiat, kendati berbuat baik pada keduanya merupakan perbuatan mulia. Akan tetapi dalam bergaul bersama mereka, seorang anak dituntut untuk memperlakukan mereka dengan cara ihsan. Pernyataannya ini berhubungan dengan penafsirannya terhadap surah Luqmān31 : 15. Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 3, 22. 718 Abd Al-Bāqi’, Al-Mu’jam, 931. 719 Mahmud Yūnus. Kamus, 596. 720 Kajian yang lebih mendalam tentang hal ini dapat dilihat pada penafsiran Quṭub terhadap surah Al-Ahqāf46 : 15. Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 6, 3262. 162 selayaknya menyatu dalam diri seorang muḥsin sebagai manifestasi dari rasa syukur dan balas budi atas nikmat dari mereka yang telah diterimanya, 721 walaupun terjadi perbedaan yang fundamental dan berdampak negatif secara signifikan terhadap kehidupan bersama, semacam perbedaan aqidah. Perilaku macam ini menjadi karakter muḥsin yang terpuji. 722 Pada prinsipnya hubungan antara anak dengan kedua orang tuanya direalisasikan dalam aktivitas yang melukiskan perangai yang sopan dan santun, baik di kala kedua orang tua masih hidup atau telah meninggal dunia. 723

1. Mengurus dan Memelihara Kedua Orang Tua dengan Baik

Kewajiban seorang muḥsin dalam merefleksikan perilaku bersyukur, balas budi, dan berbuat ihsan kepada kedua orang tua kandung adalah mengurus dan melihara mereka. Namun, dapat dipastikan bahwa upaya mengurus dan memelihara mereka tidak akan sepadan, jika dibandingkan dengan ihsan yang telah dilakukan oleh mereka. 724 Penggalan ayat ﺎَُﳘَﻼِﻛ ْ وَأ ﺎَُﳘُﺪ َﺣَأ َ ﺮ َـﺒِﻜْﻟا َكَﺪْﻨِﻋ ﱠﻦَﻐُﻠ ْـﺒ َ ـﻳ ﺎﱠﻣِإ dari surah Isrā`17 : 23 mendeskripsikan secara tersirat kewajiban tersebut. Hal ini dapat dipahami dari dua aspek, yakni setruktur kalimat sharṭiyyah setimulus dan pesan penggunaan kosakata al-kibara usia tua. Kalimat sharṭiyyah berupa ﱠﻦَﻐُﻠ ْـﺒ َـﻳ ﺎﱠﻣِإ , pada umumnya, mengandung pesan “kepastian” mengingat نإ yang disertai dengan ﺎﻣ yang berfungsi sebagai taukīd atau mengukuhkan dan diiringi dengan nūn taukīd pada kata kerjanya ﱠﻦَﻐُﻠ ْـﺒ َـﻳ . Penggunaan kosakata َﺮَﺒِﻜْ ﻟا mengesankan bahwa pada usia tua kedua 721 Ibn ‘Āshūr menyampaikan penjelasan tentang masalah ini dengan luas ketika menafsirkan surah Al-Isrā`17 : 23 dan surah Al-Ahqāf46 : 15. Ibn ‘Āshūr, Al- Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 15, 210 dan Jilid 10, Juz 26, 29, dan Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 1012. 722 Al-Rāziy menafsirkan surah Luqmān31 : 15, terutama penggalannya wa ṣāhibhumā fī al-dunyā ma’rūfan dengan menyatakan bahwa kewajiban berbuat baik sebatas bersahabat secara fisik lahiriah mengingat dalam kondisi demikian hak keduanya hanya secara fisik lahiriah. Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 13, Juz 25, 270. 723 Quṭub dengan penafsirannya yang mendasar terhadap surah Al-Isrā`17 : 23 dan 24 meletakkan redaksi keduanya sebagai penggerak semangat berbuat baik dan menyayangi dalam hati anak terhadap mereka berdua. Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 4, 2221. 724 Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 4, 2222. 163 orang tua lebih membutuhkan kebaikan anaknya dibandingkan dengan usia sebelumnya. 725 Kebaikan yang dibutuhkan mereka adalah pemeliharaan atau pertolongan dan pengurusan atau penanggungan dari anak, yang terliput dalam kosakata َكَﺪْﻨِﻋ . 726

2. Tidak Melontarkan Ucapan “uf” atau ah atau cih;

Larangan mengucapkan ْفُأ terhadap kedua orang tua tersurah pada surah Al-Isrā`17 : 23 terutama potongannya ﱟفُأ ﺎ َ ﻤَُﳍ ْ ﻞُﻘَـﺗ َﻼَﻓ maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”. Kata ﱟفُأ terulang dalam Al-Qur`an sebanyak tiga kali. 727 Pada mulanya ﱟفُأ berarti ﺮﺠﻀﺗ 728 bosan , jemu, dan muak, 729 dan digunakan untuk menyatakan sesuatu yang tidak disukai, 730 serta segala sesuatu yang dinilai kotor, seperti kotoran telinga dan kotoran kuku. 731 Artinya ﱟفُأ menjadi simbol ucapan yang kasar dan buruk 732 atau lambang seringan- ringannya perkataan buruk. 733 Larangannya yang terkesan sederhana, tidak berarti, missi penggalan ayat tersebut terbatas pada tidak diperkenankan ucapan buruk yang ringan. Akan tetapi memberi isyarat kepada larangan mengucapkan berbagai kata yang dapat menyinggung dan menyakitkan perasaan kedua orang tua, baik kata-kata yang ringan ataupun kata-kata yang berat karena memiliki dampak pesikologis yang negatif bagi perasaan mereka, terlebih dalam kata tersebut mengandung perasaan bosan kepada mereka, yang termasuk pada kategori tindakan yang menyakitkan sekali. 734 Ucapan ﱟفُأ menandakan perkataan buruk dan melambangkan ketidakcocokan anak terhadap perbuatan kedua orang tuanya. Lebih jauh dapat dinyatakan bahwa ucapan itu menjadi pertanda kebencian dan keengganan mengurus atau memelihara mereka mengingat dalam ucapan 725 Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 1, 270. 726 Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 568. 727 QS. Al-Isrā`17 : 23, QS. Al-Anbiyā`21 : 67, dan QS Al-Ahqāf46 : 17. 728 Majma’ Al-Lughah , Mu’jam, Juz 1, 40. 729 Yūnus, Kamus, 226. 730 Majma’ Al-Lughah, Mu’jam, Juz 1, 40. 731 Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 15. 732 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 8, 59. 733 Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān, Jilid 3, 35. 734 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 15. 70. 164 tersebut memuat konotasi penghinaan dan pelecehan. 735 Situasi ini bisa terjadi di saat mereka menginjak usia tua, usia di saat mereka memiliki ketergantungan yang lebih tinggi kepada anak, sehingga bagi seorang anak dalam menghadapi mereka dibutuhkan kesiapan menanggung segala resiko yang berat dan kesabaran yang tinggi. 736 Seorang muḥsin akan menghindarkan diri dari mengutarakan perkataan ﱟفأ dalam menghadapi tindak-tanduk kedua orang tua yang tidak sesuai. Ia memperlakukan mereka dengan cara yang mulia, menghormati serta menyayangi dengan sabar dan bersahabat, hingga mereka merasa tersanjung, karena ia menyadari bahwa mereka telah mengurusnya dengan cara seperti itu sejak dalam kandungan. Al-Qur`an melukiskan dampak negatif yang ditimpakan kepada seseorang yang melanggar larangan tersebut pada surah Al-Aḥqāf46 : 18 sebagai ahli neraka. 737

3. Tidak Membentak;

Membentak kedua orang tua merupakan perangai tercela sehubungan adanya larangan yang terliput pada surah Al-Isrā`17 : 23, terutama penggalannya ﺎَُﳘ ْ ﺮ َﻬْـﻨَـﺗ َﻻ َ و yang berarti ظﻼﻏﺈﺑ ﻚﺒﺠﻌﻳ ﻻ ﺎﻤﻋ ﺎﳘﺮﺟﺰﺗ ﻻو 738 dan janganlah kamu membentak mereka dengan amarah karena perbuatan mereka yang tidak menyenangkan. Larangan menggunakan kosakata ْ ﺮ َﻬْـﻨَـﺗ َﻻ dalam Al-Qur`an terulang dua kali. Ayat ini pencatat pertama, dan surah Al-Dhuhā93 : 10 merupakan pencatat dan pengulang kedua, berkenaan dengan larangan membentak peminta-minta. Kata ini berasal dari ﺮ َﻬَـﻧ - ُ ﺮ َﻬْـﻨ َ ـﻳ - ا ً ﺮ ْ ﻬَـﻧ berarti menegur atau melarang dengan kasar, dan menghadapinya dengan benci dan sikap yang buruk. 739 735 Ini pendapat Ibn Anbāriy yang diakomodir oleh Al-Jauziy di kala menafsirkan kosakata uf yang termaktub pada surah Al-Isrā`17 : 23. Al-Jauziy, Zād Al- Masīr, 807. 736 Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 594. 737 Al-Bayḍāwiy memberikan julukan tersebut ketika menafsirkan surah Al- Ahqāf46 : 18 yang dikaitkan dengan ayat 17 dari surah yang sama. Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 2, 395. 738 Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 568. Dengan maksud yang senada dengan al-Baedhawiy, Al-Samarqandiy menafsirkan penggalan ayat tersebut dengan menyatakan لﻮﻘﻟﺎﺑ ﺎﻤﻬﻴﻠﻋ ﻆﻠﻐﺗ ﻻ jangan memarahi mereka dengan perkataan. Al- Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 2, 265. 739 Majma’ Al-Lughah mengartikannya dengan َ ﺮ َ ﺟَز ُﻩ ُ ءﻮ ُ ﺴَ ﻳ َ و ُﻪ ُﻫَ ﺮْﻜَ ﻳ ﺎَ ِﲟ ُﻪَﻠ َ ـﺒْﻘَـﺘ ْ ﺳا َ و ٍﺔَﻈْﻠ ِﻏ ِ ﰲ Majma’ Al-Lughah, Mu’jam, Juz 2, 573 dan Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 528. 165 Termasuk melakukan tindakan menegur dengan kasar, jika seseorang menggerakkan tangannya dengan arogan menimpa kedua orang tuanya. 740 Membentak merupakan tindakan yang menyakitkan hati, karena perbuatan tersebut menunjukkan sikap melawan atau merendahkan mereka. Sifat negatif tersebut merepresentasikan karakter merasa lebih besar dan lebih mulia, bersamaan dengan hal tersebut terdapat dalam diri seorang anak keengganan memelihara dan mengurus mereka, serta ia menganggap mereka semata-mata menyusahkannya. Seorang muḥsin akan berkata yang baik dan berbuat yang sopan di segala keadaan dan sepanjang masa, termasuk di saat menghadapi perkataan dan perbuatan tidak baik kedua orang tuanya. Ini menjadi bagian hidupnya dalam rangka melestarikan iklim hubungan yang santun, bersahabat, dan sarat penghormatan.

4. Berkata Mulia;

Berkata mulia adalah cermin keperibadian luhur yang dimiliki seorang muḥsin. Ia konsisten untuk berbuat baik dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan kepada semua pihak, terlebih kepada kedua orang tuanya mengingat perkataan tersebut melambangkan sikap memuliakan dan menghormati. 741 Berkata mulia yang diwujudkan dengan berkata indah merupakan salah satu faktor yang dapat melahirkan hubungan persahabatan antar mereka yang sarat penghormatan sebagai manifestasi dari tatakrama yang baik. 742 Hal ini merupakan pesan yang mudah dipahami dari penggalan ayat 23 surah Al-Isrā` ﺎًْﳝِﺮَﻛ ًﻻ ْ ﻮَـﻗ ﺎ َ ﻤَُﳍ ْ ﻞُﻗ َ و dan ucapkanlah kepada mereka berdua perkataan yang mulia atau indah. Kedudukannya dalam setruktur ayat sebagai badal pengganti dari ْ ﻞُﻘَـﺗ ﻼَﻓ َ ﻢُﻫ ْ ﺮ َﻬْـﻨَـﺗ َﻻ َ و ﱟفُأ ﺎ َ ﻤَُﳍ 743 Ucapan yang mulia sebagai pantulan dari ihsan yang melekat pada diri seorang muḥsin dapat diimplementasikan ke dalam tutur kata yang lembut, ucapan yang indah, dan kalimat yang santun. Tatakrama 740 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 8, 60. 741 Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 4, 2221. 742 Lebih jauh Al-Zamakhshariy melarang seorang anak memanggil nama kedua orang tuanya, karena memanggil nama tindakan kasar dan tatakrama yang buruk. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 594, dan Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 8, 55. 743 Al-Alūsiy menyebutnya badal dari ta`fīf mengucapkan is karena bosan dan nahr menghardik. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 8, 55. Al-Zamakhshariy memasukkan anak yang tidak memanggil nama kedua orang tuanya ke dalam perkataan mulia. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 594. 166 dalam ucapan yang disertai dengan sikap menghormati dan mengagungkan kedua orang tua menjadi ciri kepribadian mulia seorang muḥsin dalam membangun hubungan persahabatan dengan mereka.

5. Bersikap Tawāḍu’ Rendah Hati;

Sikap tawāḍu’ terhadap kedua orang tua adalah manifestasi dari berbuat ihsan seorang muḥsin kepada mereka, yang termuat pada surah Al-Isrā`17 : 24, terutama penggalannya ِﺔَْﲪﱠﺮﻟا َ ﻦ ِﻣ ﱢلﱡﺬﻟا َ حﺎَﻨ َﺟ ﺎ َ ﻤَُﳍ ْﺾِﻔ ْﺧا َ و Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang. 744 Al-Qur`an dalam penggalan ayat tersebut menjadikan perumpamaan sebagai metode untuk memerintahkan seseorang melakukan sesuatu yang mulia. Perumpaan berupa perintah khafḍ al- janāh atau merendahkan sayap bermakna tawāḍu’. Penggunaan term khafḍ al-janāh menggambarkan perilaku burung. Apabila ia hendak terbang, maka membukakan dan mengangkat sayapnya, dan jika ia tidak melakukan demikian, berarti ia hendak turun. 745 Akan tetapi burung mengembangkan sayapnya pula ketika takut untuk menunjukkan ketundukannya kepada segala hal mengancamnya. 746 Hal ini menggambarkan anak dituntut untuk merendahkan diri kepada kedua orang tuanya karena terdorong oleh keharusan menghormati mereka dan rasa takut melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kedudukan mereka. 747 Seorang muḥsin dengan sifat tawāḍu’-nya yang berbasis kasih sayang meletakkan kedudukan dirinya dan posisi kedua orang tuanya secara proporsional. Mereka ditempatkan pada derajat yang terhormat. Sedangkan dirinya menjadi pihak yang menghormati, kendati dalam kadar tertentu ia memiliki keistimewaan yang melebihi mereka berdua. “Dan ke-tawāḍu’-annya melahirkan kepatuhan yang sejati hingga tidak menolak untuk melakukan segala yang diperintahkan dan dicintai mereka, selama tidak bertentangan dengan Allah swt”. 748

6. Mendo’akan Keduanya dengan Hati yang Tulus;

744 Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 568, dan Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 15. 70. 745 Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 8, 55, dan Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al- Tanwīr, Jilid 6, Juz 15. 70. 746 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 15. 70. 747 Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol 7, 447. 748 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 8, 61. 167 Sebagai muḥsin, seorang anak dengan ihsannya akan selalu mendo’akan kedua orang tuanya dengan tulus dalam rangka melestarikan hubungan persahabatan, penghormatan, dan pengagungan yang berlandaskan kasih sayang. 749 Hal ini dikarenakan do’a menjadi faktor setrategis dalam kehidupan mereka di dunia dan akhirat. Apalagi do’a anak saleh merupakan modal utama, setelah mereka meninggal dunia, selain ṣadaqah jāriyah dan ilmu yang bermanfaat. 750 Pada prinsipnya, mendo’akan berfungsi sebagai balas budi dan upaya terimakasih seorang anak yang muḥsin kepada kedua orang tua yang telah memelihara, mengurus dengan tulus, penuh cinta dan kasih sayang serta mendo’akannya. 751 Materi do’a bagi kedua orang tua, yang dihadirkan kepada Allah swt oleh seorang anak yang ahli ihsan adalah: Pertama; Permohonan agar diampuni dosa mereka sebagaimana do’a Nabi Ibrāhīm as yang dipanjatkan kepada Allah bagi kedua orang tuanya. 752 Kedua; Do’a yang berisikan sayangilah mereka sebagaimana mereka telah mengurus atau mendidikku sejak kecil. 753 Ketiga; Do’a yang berisikan permohonan agar Allah swt memberikan petunjuk untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan kepada kedua orang tua. 754 Surah Al-Aḥqāf46 : 15 melukiskan profil muḥsin sebagai orang yang mendapatkan hidayah sehingga mengerti kewajiban melaksanakan berbuat ihsan kepada kedua orang tua. Do’a dipanjatkan agar Allah secara berkesinambungan memberikan petunjuk kepadanya untuk dapat mensyukuri nikmat yang telah diberikan kepada kedua orang tua di 749 Al-Biqā’iy menafsirkan surah Al-Isrā`17 : 24 terutama penggalannya wa qul rabb dengan ayyuha al-muḥsin ilayya bi ‘aṭfihimā ‘alayya wahai orang yang berbuat ihsan kepada-Ku dengan memasrahkan keduanya kepada-Ku. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 4, 375. 750 HR. Muslim. Muhyi Al-Dīn Yahya bin Sharaf Abī Zakariyā Al-Damshiqiy Al-Shāfi’iy, Ṣaḥīḥ Muslim bi Sharḥ Al-Nawawiy Al-Minhāj, Beirut, Dār Al-Ihyā` Al- Turāth Al-‘Arabiy, 2000, Juz 3, 1255. Selanjutnya disebut Al-Nawawiy, Al-Minhāj. 751 Al-Zamakhshariy menyebutkan bahwa jadikanlah do’a tersebut sebagai balas budi seorang anak kepada keduanya yang telah menyayangi dan mendidiknya sejak kecil. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 594. 752 QS. Ibrāhīm14 : 41. 753 QS. Al-Isrā`17 : 24. 754 QS. Al-Ahqāf46 : 15. 168 samping nikmat yang diterimanya. 755 Nikmat yang diterima kedua orang tua ialah nikmat kasih sayang dan kemampuan mengurusnya dari sejak kecil. 756 Berdo’a seperti ini merupakan kegiatan yang mewakili kewajiban mereka berdua untuk bersyukur dan berdo’a kepada-Nya. Pengambilalihan kewajiban orang tua oleh anak merupakan perwujudan dari berbuat ihsan, yang menjadi pertanda kedewasaan sikap dan kematangan kepribadian serta kemuliaan akhlak seorang anak yang muḥsin. Pengambilalihan kewajiban tersebut, pada umumnya adalah sesuatu yang berat. Seorang anak lebih mengorientasikan perhatiannya kepada istri dan keturunan, ketimbang kepada kedua orang tuanya. Akan tetapi hal tersebut menjadi ringan dan menyenangkan, bila diletakkan sebagai perbuatan ihsan dan dilaksanakan dengan hati yang tulus. Dengan demikian mendo’akan mereka akan mudah dilakukan ahli ihsan, karena ia memiliki keikhlasan yang memadai dan kesadaran yang mumpuni akan keharusan berterimakasih kepada mereka sebagai akibat dari ketinggian akhlaknya. 757 Abu Bakar Siddiq adalah sosok pribadi muḥsin yang tercatat dalam sejarah sebagai orang yang berhasil melaksanakan peran tersebut, para pakar tafsir melegitimasi ayat tersebut turun berkaitan dengan dirinya, 758 karena ia masuk Islam bersama kedua orang tuanya, sesungguhnya tidak terdapat seorang-pun dari kaum Muhājirīn dan Anṣār yang masuk Islam seperti dirinya. 759

7. Berterima Kasih

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa hubungan persahabatan dan penghormatan sebagai pengagungan muḥsin terhadap kedua orang tua merupakan prilaku bersyukur atau berterimakasih kepada mereka. Sebagai ahli ihsan seorang muḥsin akan berbuat ihsan terus menerus kepada kedua orang tuanya yang dimanifestasikan dalam sikap berterimakasih. Tradisi berterimakasih yang terpatri dalam hati mencerminkan pribadi yang mengenal dengan sempurna keberadaan 755 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 11, 285. 756 Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 5, 22. 757 Quṭub menyatakan bahwa do’a tersebut merupakan pencurahan kemampuan seorang anak untuk berterima kasih dan balas budi kepada kedua orang tuanya yang tidak mungkin terbalaskan atas pengorbanan mereka kepadanya selama ini dengan darah dan hati. Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 4, 2222. 758 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 11, 285. 759 Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 2, 395. 169 dirinya di tengah-tengah kehidupan yang terbingkai hukum kausalitas. Berterimakasih menjadi bukti adanya ikatan hukum kausalitas antara anak dengan kedua orang tuanya. Ini akibat dari hubungan antar mereka yang bersifat timbal balik. Kedua orang tua telah berjasa kepada anak, maka anak berkewajiban berterimakasih kepada mereka, kendati berterima kasihnya tidak akan sepadan dengan pengorbanan dan kasih sayang mereka yang telah diberikan kepadanya. 760 Kewajiban tersebut tercantum dalam surah Luqmān31 : 14. 761 Peran kausalitas antar mereka disebutkan dengan jelas oleh ayat ini. Ibunya mengandung dan melahirkan dengan kondisi pisik yang lemah, menyusui dan menyapihnya selama dua tahun. Hal ini berarti kedua orang tua berperan sebagai perantara. Sebagai ahli ihsan seorang anak berterima kasih kepada mereka dan bersyukur kepada Allah swt. 762 Hubungan muḥsin dengan kedua orang tuanya merupakan sesuatu yang permanen, berjalan secara berkesinambungan dan lintas batas alam dari sejak mereka berdua masih hidup hingga setelah meninggal dunia. Berbagai amal dapat dilakukannya terhadap mereka meski telah meninggal dunia. Ada lima bentuk kegiatan yang dapat dilakukan seorang muḥsin terhadap kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia 763 , yaitu: Pertama; Mendo’akan keduanya. Kedua; Memohonkan ampun kepada Allah swt atas dosa-dosa yang telah dibuat oleh keduanya. Ketiga; 760 Quṭub mengutarakan suatu kisah yang diceritakan oleh Abu bakar Al- Bazzār yang diterimanya dari Buraydah yang mendapatkannya dari ayahnya sendiri bahwa seorang peria menggendong ibunya dalam thawaf, kemudian bertanya kepada Nabi saw “apakah saya telah memenuhi haknya”? Nabi menjawab; belum, walaupun dengan zafrah wāhidah. Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 4, 2222. 761 Menurut Al-Rāziy di kala menafsirkan ayat tersebut surah Luqmān31 : 14, terutama penggalannya ‘an ushkurlī wa li wālidayk bahwa keharusan bersyukur kepada kedua orang tua disebabkan oleh karena keduanya secara lahiriah telah melahirkan wujud anak mereka, yang pada hakekatnya wujud kelahirannya tersebut dari Allah awt. Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 13, Juz 25, 129. 762 Al-Qushairiy dalam menafsirkan surah Luqmān31:14 mengemukakan bahwa kewajiban bersyukur kepada Allah swt dengan mematuhi-Nya dan menggunakan nikmat yang diberi-Nya untuk mematuhi-Nya. Sedangkan bersyukur kepada kedua orang tua dengan mamatuhi perintah dan nasihat keduanya selama tidak bertentangan dengan-Nya, serta memberikan nafakah dan mencukupkan kebutuhan keduanya. Al- Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Jilid 5, 122. 763 H.R. Ibn Mājah. Abī Abdullah Muhammad ibn Yazīd Ibn Mājah Al- Qazwainiy, Sunan Ibn Mājah Beirut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t, Juz 2, 1209. Selanjutnya disebut Ibn Mājah, Sunan. 170 Memenuhi janji yang telah dijanjikan oleh keduanya. Keempat; Menghormati orang yang menjadi kawan keduanya. Kelima; Meneruskan hubungan tali silaturrahim dengan berbagai pihak, yang telah dibangun semasa hidup keduanya. Kelima hal tersebut memiliki dua dimensi yang berbeda, dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Aktivitas kesatu dan kedua berdeminsi vertikal, bersifat langsung, dan bernuansa teologis. Sedangkan ketiga sampai kelima berdimensi horizontal, bersifat tidak langsung, dan bernuansa humanis. Do’a yang dipanjatkan seorang muḥsin kepada Allah swt untuk mereka yang telah meninggal dunia, merupakan wujud dari hubungan langsung dengan Allah swt yang berbasis teologis. Sedangkan memenuhi janji, menghormati orang lain, serta meneruskan silaturrahmi yang dilaksanakannya merupakan hubungan dengan sesama manusia yang berbasis humanis. Dengan kata lain berbuat baik kepada mereka bersifat teologis dan humanis. Dilihat dari segi jangkauannya dapat disebutkan bahwa hubungan seorang muḥsin dengan kedua orang tuanya tanpa batas. Ihsan kepada mereka bersifat terbuka dan lintas batas yang tidak dapat dihijab oleh perbedaan alam, usia, tradisi, watak, pemikiran, kebangsaan, dan warna kulit. Selain itu berihsan kepada mereka memiliki efek kausalitas yang berdimensi generatif atau turun temurun. Perbuatan seorang muḥsin terhadap kedua orang tuanya akan berpengaruh kepada apa yang dilakukan kepada dirinya oleh anak-anaknya. 764 Secara eksplisit hadis di atas menekankan seseorang untuk berbuat baik kepada orang tuanya, karena berdampak kepada anak- anaknya akan berbuat baik kepadanya. Apabila ia berbuat buruk kepada orang tuanya, maka anak-anaknya kelak akan berbuat buruk pula kepadanya. Kedua; Hubungan Muḥsin dengan Anak Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian terdahulu bahwa sebagai seorang muḥsin orang tua secara ṭabī’iy naluriah akan mengurus dan menyayangi anaknya. Kiranya ini menjadi salah satu penyebab tidak termaktub secara tekstual dan khusus ketetapan berihsan 764 H.R. Hākim. Abī Abd Allah Muhammad ibn Abd Allah Al-Hākim Al- Naisābūriy w. 405 H, Al-Mustadrak ‘alā Al-Ṣaḥīḥain Beirut, Dār Al-Kutub Al- ‘Ilmiyyah, t.t, Juz 4, 170. Selanjutnya disebut Al-Hākim, Al-Mustadrak. 171 orang tua kepada anaknya dalam ayat-ayat ihsan. 765 Akan tetapi hal ini dapat dipahami secara inplisit dalam perintah berihsan secara umum yang tersebut pada surah Al-Naḥl16 : 90. 766 Perintah berbuat ihsan yang tertulis pada ayat tersebut meliputi berihsan kepada anak, semakin jelas peliputan tersebut bila dikaitkan dengan komentar Ibn Mas’ûd ra mengenai ayat tersebut yang menilainya sebagai ayat yang memuat pesan yang luas cakupannya untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Komentar dan sikap kagum Ali bin Abi Thalib ra ketika dibacakan ayat ini oleh Usman bin Maẓ’un menambah bukti pesan ayat di atas mencakup perintah berihsan orang tua kepada anaknya. Demikian juga respon Abu Thalib di saat diberitahu telah turun ayat tersebut kepada Nabi saw, dan pernyataan Walid bin Mughîrah menguatkan pesan tersebut dan semakin meyakinkan asumsi di atas. 767 Ketidakadaan teks yang secara sepesifik mengharuskan orang tua berbuat ihsan kepada anaknya, diantaranya disebabkan keberadaan berihsan kepada anak bersifat ṭabī’iyyah naluriah yang berjalan secara otomatis. Hal ini berkaitan dengan fungsi orang tua terhadap anaknya 765 Quṭub menyebutnya jarang sekali pesan keharusan berbuat ihsan orang tua kepada anaknya. Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 6, 3261. 766 Al-Biqā’iy memnyebut ihsan yang tersebut pada surah Al-Naḥl16 : 90 adalah segenap aktivitas ketaatan yang dikerjakan dengan cara yang berkualitas tinggi. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 4, 302. Adapun Ibn ‘Āshūr perintah Allah agar manusia berbuat ihsan yang tertulis pada surah Al-Naḥl16 : 90 mencakup kepada ucapan dan perbuatan. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 14, 255. Sedangkan Al-Alūsiy dengan redaksi yang berbeda, tetapi memiliki subtansi yang sama tetang luasnya makna ihsan menyebutkan bahwa ihsan menyangkut segenap amal dan ibadah yang direalisasikan dengan cara yang elok, baik dari segi kualitas seperti yang dinyatakan dalam hadis Nabi saw tentang ihsan maupun sisi kuantitas, seperti memperbanyak amal yang disunnahkan. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 9, 454. 767 Adapun komentar Ali bin Abi Thalib ra adalah “Wahai Keluarga Ghālib ikutilah dia Muhammad saw niscaya kalian akan bahagia. Demi Allah, sesungguhnya Allah mengutusnya agar ia memerintahkan kalian dengan kemuliaan akhlak”. Sedangkan respon Abu Thalib adalah memerintahkan keluarga dan saudara-saudaranya supaya mengikutinya, dan berujar: “Demi Allah, sesungguhnya Muhammad tidak memerintahkan seseorang melakukan sesuatu kecuali dengan kebaikan akhlak”. Dan pernyataan Walīd bin Mughīrah pada waktu mendengarkan ayat tersebut yang dibacakan oleh Nabi saw adalah ia meminta agar bacaannya diulangi, pengulangan dilakukan Nabi saw, kemudian Walīd mengatakan: Demi Allah sesungguhnya Al- Qur`an itu menyenangkan, indah dan batangnya berdaun serta rantingnya berbuah, dan sesungguhnya Al-Qur`an bukan ucapan manusia”. Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’, Juz 10, 165. 172 adalah memelihara, mengurus, memberikan fasilitas, dan mendidik. 768 Adapun yang berhubungan dengan kewajiban orang tua menumbuhkan perilaku beragama islami bagi anaknya seperti melaksanakan ibadah maḥḍah dan ghaera maḥḍah, menjaga diri dari segenap aktivitas negatif yang menyesatkan, dan melestarikan iman diperhatikan Allah swt dengan berbagai firman-Nya, baik dengan teks yang bersifat umum semisal digunakan-Nya kosakata ahl atau keluarga maupun yang bersifat khusus seperti penggunaan term bunayya anakku. 769 Kata “ahl” yang diartikan dengan keluarga mencakup anak. Dalam surah Ṭāhā20 : 132 orang tua berkewajiban memerintahkan anaknya untuk melaksanakan salat. 770 Seorang anak yang muḥsin medirikan salat dengan konsisten dan berorientasi kepada kualitas, 771 dan orang tua yang muḥsin berbuat ihsan kepada anaknya dengan cara mendidiknya agar menegakkan salat, menolak perbuatan syirik atau bertauhid, dan berakhlak mulia. 772 Ini sebagai salah satu upaya orang tua 768 Quṭub menyebutnya kedua orang tua didorong oleh fithrahnya memelihara dan mendidik anak-anaknya. Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 6, 3261. 769 Di antara firman-Nya yang menggunakan kata ahl tertera pada surah Ṭāhā20 : 132 dan yang memakai kata bunayya termuat pada Q.S. Luqmān31 : 13-19. 770 Al-Rāziy menggolongkan kerabat dan orang Islam yang berada dalam tanggungan seseorang ke dalam term ahl. Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 11, Juz 22, 118. 771 Al-Qushairiy ketika menafsirkan surah Luqmān31 : 3-4 menjelaskan bahwa muḥsin adalah orang yang melaksanakan salat dengan memenuhi persyaratan lahiriahnya seperti menutup aurat badan, bersuci dari hadas dan najis, menghadap kiblat, mengetahui masuk waktu salat, dan melaksanakannya di tempat yang suci, serta memenuhi syarat batiniah, semacam menutup jiwa dari sifat-sifat buruk, mensucikan diri dari kotoran ruhani, serta menghadirkan dan menghadapkan hati kepada Allah. Al- Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Jilid 5, 129. 772 Al-Samarqandiy menafsirkan surah Luqmān31 : 13-19 dengan mengungkapkan bahwa Luqmān menasihati anaknya supaya tidak berbuat syirik, harus berbuat ihsan kepada kedua orang, bersyukur kepada Allah atas hidayah Islam dan berterima kasih kepada kedua orang tua atas apa yang telah diperbuatnya untuk anak, tidak mentaati perintah keduanya untuk berbuat syirik dengan tetap menghormati keduanya merupakan perbuatan mulia dan dengan tetap bersahabat dengan mereka dengan cara ihsan, mengikuti agama orang yang mengajak patuh kepada-Nya, meyakini bahwa Allah melihat dan akan memberi balasan atas kesalahan manusia walaupun disembunyikan di bawah bumi, di langit, atau di atas bumi, melaksanakan salat dengan sempurna, melakukan amar ma’ruf menuju tauhid, mencegah sesuatu yang tidak diketahui oleh syareat, sunnah, dan akal, bersabar di kala melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar serta menghadapi cobaan berupa hinaan, cercaan, dan tantangan berat, 173 menjaganya dari penderitaan yang berkepanjangan, 773 dan mengantarkannya kepada kebahagiaan hidup yang hakiki. Ketiga; Hubungan Muḥsin dengan Pasangannya Seorang muḥsin akan melakukan hubungan yang berakhlak karimah dengan pasangannya dan mengedepankan perilaku ihsan, baik di kala masih menjadi suami isteri maupun setelah menjadi mantan suami atau isteri. 1 Hubungan sebagai Suami Isteri Isteri sebagai pasangan hidup merupakan amanat bagi suaminya. Ia rela menyerahkan dirinya kepada seorang suami yang diyakini akan menciptakan rasa aman dengan pemeliharaan yang baik dan sempurna. Dan ia mempercayai suami sebagai pengganti yang lebih baik dari kedua orang tua dan saudara-saudaranya. 774 Bahkan ia bersiap diri untuk dijadikan parner suami dalam membangun kehidupan keluarga yang sakinah dengan menumbuhkan iklim komunikasi yang berbasis mawaddah dan raḥmah. 775 Kondisi seperti ini membutuhkan kepada suami yang berkepribadian muḥsin seperti yang diisyaratkan surah Al- Nisā`4 : 128 dengan bertanggung jawab sepenuh hati terhadap isterinya dan tidak menyakitinya, kendati isterinya melakukan sesuatu yang tidak disukainya seperti tidak peduli dan berpaling. 776 Di antara maksud dari penggalan ayat tersebut “wa in tuḥsinū wa tattaqū fainna Allaha kāna bimā ta’malūna khabīran” adalah berbuat memalingkan wajah dari manusia sebagai perwujudan dari sifat takabbur, berjalan dengan dengan membesarkan diri atas nikmat yang diterimanya, berjalan dengan merendahkan hati kepada Allah, merendahkan suara dalam berbicara. Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 3, 21-23. 773 Al-Qushairiy menafsirkan Al-Taḥrīm66 : 6 terutama penggalannya qū anfusakum wa ahlīkum nāran dengan diharuskan melakukan amar ma’ruf kepada orang yang terdekat dengan dididik dan diberi tuntunan untuk memahami agama, beradab, dan mengajaknya supaya patuh kepada Allah, dan mencegahnya dari siksaan yang berat. Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Jilid 6, 171. 774 Inilah kandungan makna dari penafsiran Shihab terhadap mīthāq ghalīẓ yang tertuang pada surah Al-Nisā`4 : 21. Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol. 2, 168. 775 Ibn ‘Āshūr menjelaskan bahwa Allah menjadikan pada suami dan isteri mawaddah rasa cinta, karena sebelumnya mereka berdua tidak saling mengenal sama sekali, setelah menikah mereka saling mencintai, dan Allah menjadikan pula bagi mereka berdua rahmah rasa sayang, sebab mereka sebelumnya tidak memiliki kecenderungan, tetapi sesudah menikah mereka saling menyayangi sebagai ayah dan ibu. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 8, Juz 21, 71. 776 Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 6, Juz 11, 54. 174 baik dalam pergaulan dan persahabatan dengan isteri seraya menjunjung tinggi martabatnya dan benar-benar takut berbuat tidak patut dan hawatir berbuat aniaya kepadanya. Sikap ini sebagai sesuatu yang istimewa, mengingat terdapat rasa tanggungjawab suami dalam melindungi dan memenuhi hak-hak isteri yang disertai kesabaran, kendati suami merasakan sesuatu yang tidak disukai dari istrinya. 777 Artinya ayat ini berpesan agar tidak ada perbuatan aniaya antara suami dan istri dalam merealisasikan hak dan kewajiban masing-masing. Caranya dengan berprilaku ihsan dan takwa meskipun terdapat problema relasi di antara mereka yang menyuburkan sifat al-ṣuḥḥ rakus, sedikit kebaikannya, atau kikir 778 . Apabila ihsan dijadikan ruh dalam hubungan persahabatan mereka, maka akan tumbuh semangat bertanggungjawab memenuhi hak dan kewajiban masing-masing yang disertai merasakan kehadiran Allah swt. Selain itu kondisi pesihologis seperti ini dapat meminimalisir sifat kikir, jika tidak dapat menghapusnya sama sekali. Penafsiran ini sejalan dengan esensi muḥsin yang memiliki pesan memperlakukan orang lain lebih baik dari pada memeprlakukan diri sendiri. Tentu suami yang muḥsin akan memperlakukan isterinya dengan baik, termasuk pemberian haknya akan lebih banyak dari yang seharusnya diterima istrinya. Seorang muḥsin akan memberikan seberapa-pun haknya kepada siapa saja dan hendak menerima hak dengan tidak mengurangi semangat memberi. 779 Dalam kaitan ini, muḥsin adalah orang yang berusaha menekan egonya dengan berorientasi kepada Allah swt untuk mencapai tingkat atau martabat berdampingan dengan-Nya. Semangat ini berbasis kesadaran akan kekurangan dalam mengabdi kepada-Nya dan mengedepankan kepentingan orang lain atau comunal interest tanpa mengurangi keberadaan dirinya sebagai hamba. Artinya seorang muḥsin senang berkorban dengan tulus dalam membangun relasi vertikal dan horizontal mengingat akan kepastian penilaian Allah kepadanya. 780 Di samping itu ayat di atas menjadi petunjuk bagi suami-isteri dalam menyelesaikan pertikaian di antara mereka, yakni dengan 777 Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 293, dan Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 263, serta Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’, Jilid 5, 407. 778 Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 2, 329. 779 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 1, 265. 780 Ini semakna dengan pesan yang disampaikan oleh Al-Biqā’iy ketika menafsirkan wa in tuḥsinū wa tataqū fainna Allah bimā ta’malūma khabīran penggalan surah Al-Nisā`4 : 128. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 2, 329. 175 perdamaian, meski disertai dengan mengorbankan sebagian milik dan hak mereka. 781 Perilaku seperti ini berdamai dan berkorban menjadi bagian yang integral pada diri muḥsin. Figur percontohannya adalah Saodah binti Za’mah yang usianya sudah tua, salah seorang isteri Nabi saw yang menghadiahkan bagiannya bersama Nabi saw kepada Aisyah karena ia hawatir dicerai. 782

2. Hubungan Muḥsin dalam Perceraian

Perceraian kerap terjadi di tengah-tengah kehidupan umat Islam. Pernikahan yang dibangun di atas pilar cinta dan kasih sayang terkadang berakhir dengan perceraian yang disertai dengan persateruan. Akan tetapi perceraian dapat menjadi solusi yang tepat atas problematika yang membelit kehidupan suami dan isteri. Perceraian dalam Al-Qur`an disebutkan dengan term ṭalāq dan tasrīḥ. Sebutan ṭalāq dengan derivasinya terulang sebanyak 23 kali. 783 Dan kata tasrīḥ berikut derivasinya tercantum sebanyak 7 kali. 784 Adapun term yang digandeng dengan kata ihsan adalah tasrīḥ. 785 Kata tasrīḥ berarti al-irsāl atau melepaskan atau menonaktifkan dengan tidak digunakan sama sekali atau al-ihmāl. Maksudnya ialah seorang suami sudah tidak mempunyai kecenderungan terhadap wanita yang telah dicerai untuk dirujuk. Oleh karenanya sebutan tasrīḥ menunjuk kepada perceraian yang ketiga. Sedangkan kosakata ṭalāq berarti melepaskan dengan harapan dapat mengembalikannya, 786 dan kosakata ṭalāq tercantum dalam Al-Qur`an dihubungkan dengan ungkapan muḥsinīn. 787 Makna surah Al-Baqarah2 : 229 terutama penggalannya aw tasrīḥin bi iḥsān atau dicerai ketiga kalinya dengan cara ihsan menunjuk kepada keberadaan perceraian sebagai sesuatu yang dibolehkan dan berada di tangan suami. Akan tetapi dalam memilih perceraian sebagai upaya pemecahan masalah dituntut adanya 781 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 2, Juz 5, 217. 782 Siti Saodah berujar: waktu giliranku bersama Nabi saw aku hadiahkan bagi Aisyah. Peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Ḥakim dari Aisyah ini menjadi sebab turunnya ayat tersebut yang memperkenankan langkah Saodah. Al- Suyūṭiy, Asbāb Al-Nuzūl, 95. 783 Abd Al-Bāqi’, Al-Mu’jam, 543. 784 Abd Al-Bāqi’, Al-Mu’jam, 442-443. 785 QS. Al-Baqarah2 : 229. 786 Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 3, Juz 6, 84-85, dan Al-Biqā’iy, Naẓm Al- Durar, Jilid 1, 430. 787 QS. Al-Baqarah2 : 236. 176 keterlibatan isteri sebagai subjek yang setara dengan suami. Ia bersama suami berperanserta dalam proses penetapan keputusan terjadinya perceraian tersebut. Tujuannya ialah supaya tidak terdapat upaya penganiayaan atau tindakan semena-mena yang dilakukan suami terhadapnya. Secara ekstrim, dapat disebutkan bahwa tidak terdapat penjelasan pada ayat ini atau ayat lainnya tentang perceraian yang membolehkan perceraian tidak seizin isteri, kendati perceraian terletak pada kewenangan suami. 788 Ini merupakan model perceraian yang berjiwa ihsan. Pemaknaan seperti ini memberikan isyarat bahwa ihsan merupakan sumber inspirasi bagi keharusan suami yang muḥsin meletakkan dengan tepat tingkat mutu moralitasnya yang baik. Isteri diposisikan sebagai bagian integral yang berjalan di atas prinsip egalitarian dalam melakukan solusi kolektif bagi proses penetapan putusan perceraian mengingat hubungan suami dan isteri adalah hubungan kemitraan yang diisyaratkan oleh kata zawāj yang berarti pasangan. 789 Penempatannya yang egalit dalam sekup hubungan suami- isteri berbasis ihsan disebabkan: Pertama, isteri adalah wanita yang pernah mengambil ikatan perjanjian yang kokoh dari suaminya dalam proses pernikahan atau wa akhadhnā minkum mīthāqan ghalīẓan. 790 Apresiasi terhadapnya menjadi sesuatu yang sangat urgen. Kedua, isteri merupakan tempat penampungan yang subur bagi benih yang ditanamkan oleh seorang suami. Isteri bagaikan areal tanah sawah yang setiap saat dengan rela dapat ditanami bibit pepohonan oleh suami Nisā`ukum ḥarthun lakum fa`tū ḥarthakum annā shi`tum. 791 Kerelaan atau tidak adanya pemaksaan mewarnai relasi antar keduanya. Lebih dari itu kerelaan merupakan unsur penting yang layak berkembang dalam tatanan hubungan suami isteri. Pemaksaan, terlebih, dengan kekerasan yang dilakukan suami kepada isterinya dekat dengan 788 Muhammad Al-Amīn ibn Muhammad Al-Mukhtār Al-Jakaniy Al-Shanqīṭiy, Aḍwā Al-Bayān fī Iḍāḥi Al-Qur’ān bi Al-Qur’ān Madīnah Munawwarah, Maktabat Al- ‘Ulūm wa Al-Hikam, 2005, Juz 1, 206. Selanjutnya disebut Al-Shanqīṭiy, Aḍwā`. 789 Shihab, Wawasan, 206. 790 Menurut Ḥasan, Ibn Sirīn, Qatadah, Dhaḥāk, al-Sadiy, dan pakar lainnya makna wa akhaḍnā minkum mītsāqan galīẓan yang tercantum pada surah Al-Nisā`4:21 adalah faimsāk bi ma’rūf aw tasrīh bi ihsān yang tertera pada surah Al-Baqarah2:229. Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 417. 791 Al-Shanqīthiy menafsirkan surah Al-Baqarah2:223 dengan menilai pentingnya perceraian melibatkan pendapat isteri. Al-Shanqīṭiy, Aḍwā`, Jilid 1, 206- 207. 177 tindak kezaliman. Perbuatan menegasi isteri dengan meninggalkan perannya dalam proses pengambilan keputusan cerai relevan disebut sebagai tindak penganiayaan yang melanggar hak asasi isteri. 792 Dengan kata lain dalam konteks ini, makna muḥsin menjadi figur bermoral mulia yang bersebrangan dengan kezaliman yang tergolong perbuatan isā`ah perbuatan buruk. Pada perceraian tahap ketiga kezaliman relatif mungkin dilakukan suami terhadap isterinya mengingat, di satu sisi, pengulangan melakukan perceraian pertanda problematika keluarga telah mencapai puncaknya yang bisa jadi sulit dipecahkan, dan di sisi lain, secara umum, isteri atau wanita adalah insan lemah yang cukup rawan dengan tindak kezaliman kaum pria. Jika merujuk kepada sabab nuzul surah Al-Baqarah2 : 229, semakin jelas pesan ayat ini menjawab persoalan sosial kaum pria Arab ketika itu yang sering berbuat zalim kepada wanita dengan menceraikan isterinya sesuka hati, mereka melakukan cerai dan rujuk berkali-kali, tanpa batas. 793 792 Hadis nabi saw yang ditakhrīj oleh Al-Ṭabariy dan diriwayatkan Ibn Abbas ra dengan sanad yang shahih cukup memadai untuk dikorelasikan dengan makna tersebut. Teks hadisnya sebagai berikut; لﺎﻗ : ﻄﺗ ﻪﺗأﺮﻣا ﻞﺟﺮﻟا ﻖﻠﻃ اذإ وأ ﺎﻬﺘﺑﺎﺤﺻ ﻦﺴﺤﻴﻓ فوﺮﻌﲟ ﺎﻬﻜﺴﳝ نأ ﺎﻣﺈﻓ ﺔﺜﻟﺎﺜﻟا ﺔﻘﻴﻠﻄﺘﻟا ﰲ ﷲا ﻖﺘﻴﻠﻓ ﲔﺘﻘﻴﻠ ﺎﺌﻴﺷ ﺎﻬﻘﺣ ﻦﻣ ﺎﻬﻤﻠﻈﻳ ﻼﻓ نﺎﺴﺣﺈﺑ ﺎﻬﺣﺮﺴﻳ . Artinya: Nabi saw bersabda “Apabila seorang pria menceraikan isterinya untuk kedua kalinya, maka bertakwalah kepada Allah swt pada perceraian yang ketiganya. Jika ia berkehendak mempertahankannya sebagai isteri, maka berihsanlah dalam melakukan relasi persahabatan dengannya, atau manakala ia memilih menceraikannya, maka jangan menganiaya haknya sama sekali”. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 2, 471, dan Al-Shanqiṭiy, Aḍwā`, Jilid 1, 208. 793 Imam Malik meriwayatkan dari Hisyam ibn ‘Urwah yang diterima dari ayahnya yang mengatakan bahwa kaum pria Arab manakala menceraikan isterinya, maka merujuknya sebelum habis masa ‘iddah masa menunggu. Apabila mereka menceraikannya hingga seribu kali, mereka merujuknya, kemudian menceraikannya kembali hingga hampir habis masa ‘iddah mereka merujuknya dan menceraikannya lagi seraya mereka berkata “Aku memberimu tempat tinggal, tapi tidak memberimu perhiasan”, kemudian turun ayat tersebut. Keberadaan ayat berfungsi sebagai pembatas jumlah tahapan perceraian yang dapat menyelamatkan kaum wanita dari kesewenang- wenangan kaum pria. Jalāl Al-Dīn ‘Abd Al-Raḥmān Al-Suyūṭiy Al-Shāfi’iy w. 911 H, Tanwīr Al-Ḥawālik Sharḥ Al-Muwaththa` Al-Imām Mālik Beirut, Dār Al-Fikr, t.t, Juz 2, 35. Selanjutnya disebut Al-Suyūṭiy, Tanwīr Al-Ḥawālik. Dan Al-Suyūṭiy, Al-Durr Al- Mantsūr, Jilid 1, 494. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa seorang pria Arab menceraikan istri sesukanya. Ia beranggapan, selama rujuk dilakukan pada masa iddah, masih tetap menjadi isterinya, meski sudah dicerai seratus kali atau lebih. Pria tersebut 178 Meski demikian dalam perjalanannya kesewenangan tidak dapat dihindari, karena dalam kasus perceraian bersemayam prilaku emosional yang sering dikedepankan dan dominan pada kebanyakan orang sewaktu mengalami proses perceraian. Fakta sejarah menunjukkan sering terjadi penganiayaan yang dilakukan oleh kaum pria kepada kaum wanita yang dicerainya, mereka tidak memberikan perhiasaan dan pakaian, bahkan justru mencerca dan menghardiknya. Seharusnya perceraian dilakukan dengan ihsan supaya berjalan dengan perkataan yang baik serta pemberian materi yang berharga dan bermanfaat dalam jangka waktu yang panjang. 794 Berihsan mempunyai posisi penting dalam perceraian agar produktif dan tidak kontra produktif. Perceraian menjadi solusi bagi problematika kehidupan keluarga yang menemui jalan buntu, tidak dapat diselesaikan dengan jalan kompromi. Perceraian dijadikan alternatif terakhir, karena sudah tidak ada pilihan lain. Perceraian berbasis ihsan merupakan peristiwa kontrofersial yang berlalu di jalan akhlak terpuji. Buruknya persahabatan dan hilangnya kesenangan hidup akibat akhlak tercela tidak terpuji dalam pandangan syareat dan tidak disukai oleh tradisi tarekat kaum sufi. 795 Perceraian, jika sudah menjadi pilihan sebagai solusi atas problem suami dan isteri, akan dilakukan seorang muḥsin dengan menempuh dua cara: a. Pemberian Mut’ah Pemberian mut’ah nafkah merupakan konpensasi yang diberikan oleh mantan suami kepada mantan isterinya. Pemberian tersebut manifestasi dari rasa tanggung jawab serta sirnanya rasa kebencian dan permusuhan dalam diri mantan suami. Lebih dari itu pemberian mut’ah merupakan refleksi dari perangai yang terpuji dan sikap yang bijaksana seorang mantan suami. 796 berujar kepada isterinya; Demi Allah aku tidak akan menceraikanmu, kamu tetap berada di sampingku, dan aku tidak akan menggaulimu. Isterinya bertanya; Apa yang akan kamu lakukan? Suaminya menjawab; Aku menceraikanmu, apabila hampir habis masa iddah, aku akan merujukmu. Kemudian wanita tersbut menemui Nabi saw untuk menceritakan kasusnya, Nabi berdiam hingga turun ayat tersbut. Al-Suyūṭiy, Asbāb Al- Nuzūl, 44-45. 794 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 407. 795 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 1, 168. 796 Persepsi ini tercantum dalam surah Al-Baqarah2 : 229 dan surah Al- Baqarah2 : 236 yang menjelaskan hal tersebut sebagai ciri ahlul ihsan. 179 Ungkapan tasrīḥ bi iḥsān yang termaktub pada Al-Baqarah2 : 229 sebagai perceraian yang disertai dengan pemberian hak harta kepada mantan isteri dan tidak menyebut-nyebut kejelekannya serta tidak berupaya menjauhkannya dari tengah-tengah kehidupan masyarakat. 797 Kata ihsan dan muḥsinīn pada kedua ayat tersebut, kelihatannya, ditekankan pada keharusan mantan suami memberikan mut’ah berupa nafkah harta kepada mantan isterinya. Hikmahnya ialah agar mantan isteri tidak kehilangan dua hal sekaligus dari mantan suaminya, yaitu diri suami berikut cintanya dan suatu pemberian dari mantan suaminya. 798 Akan tetapi dengan mut’ah hanya suami dan cintanya yang lepas, sehingga beban material dan mental tidak terlalu berat ditanggung olehnya, dan silaturahim tidak terputus. Selain itu perceraian-pun berjalan dengan suasana damai. Manakala perceraian tidak berlangsung damai, maka menjadi bencana kemanusiaan dalam keluarga. Penyebutan muḥsin pada penggalan surah Al-Baqarah2 : 236 ḥaqqan ‘ala al-muḥsinīn sebagai kewajiban bagi orang yang berbuat ihsan adalah orang yang berbuat baik kepada mantan isterinya dengan memberikan mut’ah pemberian yang menyenangkan dan berguna dalam jeda waktu yang panjang 799 sebagai akibat dari merasa bersama dengan Allah. Dalam pandangan sebagian pakar fiqih pemberian mut’ah kepada mantan isteri wajib dilakukan seorang yang muḥsin dan bertakwa sebagaimana wajibnya berihsan dan bertakwa. Sedangkan menurut sebagian lainnya sebatas sunnah dan sebagai perbuatan tabarru’ kedermawanan, karena Allah tidak menentukan kadar mut’ah, dan penyebutan kata muḥsinīn pada surah Al-Baqarah2 : 236 mengisyaratkan kepada kebaikan semata. 800 Pendapat yang kedua cenderung mengartikan 797 Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 3, Juz 6, 84-85, dan Al-Biqā’iy, Naẓm Al- Durar, Jilid 1, 430. 798 Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 1, 430. 799 Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 138. 800 Argumentasi pendapat pertama didasarkan kepada hubungan surah Al- Baqarah2 : 236, terutama penggalannya “ḥaqqan ‘alā al-Muḥsinīn sebagai kewajiban bagi orang yang berbuat ihsan dan surah Al-Baqarah2 : 241, terutama penggalannya ḥaqqan ‘alā al-Muttaqīn sebagai suatu kewajiban bagi orang yang bertakwa. Pendapat kedua dipelopori oleh Imam Malik dan pengikutnya. Menurut mereka penggunaan kata muḥsinīn yang bersifat khusus tidak mengisyartkan kepada hukum wajib. Al-Shanqīṭiy, Aḍwā, Juz 1, 220-221. Manakala wajib hukumnya, maka Al-Qur`an akan memakai lafaẓ al-nās ḥaqqan ‘alā al-nās yang bersifat umum. Dalam pandangan mereka term muḥsinīn mengisyaratkan kepada kebaikan semata, sehingga eksistensi mut’ah sebagai 180 sebutan Muḥsinīn dengan orang-orang yang dermawan, sehingga pemberian mut’ah merupakan bukti kedermawanan. Al-Qur`an mengesankan mut’ah sebagai suatu yang berarti dalam perceraian, terlebih dengan adanya perintah memberikannya kepada mantan isteri oleh mantan suami sebagai perekat luka hatinya akibat bercerai. 801 Penggunaan fi’il amar kata kerja perintah matti’ū berilah mut’ah dalam Al-Qur`an dalam penentuan mut’ah menunjukkan keberadaannya yang penting bagi suatu perceraian di luar terdapat perbedaan pendapat antar pakar dalam menentukan hukumnya, wajib atau sunnah. Salah satu peranannya adalah sebagai penghibur bagi isteri yang dicerai, sehingga terkesan adanya kedamaian di tengah-tengah perpisahan. b. Melalui Tahapan yang Paedagogis dan Berakhlak Perceraian yang dilakukan seorang muḥsin akan berjalan di atas prosedur yang bersifat edukatif dan etis. Pertama; Suami memberikan nasihat kepada isteri. Kedua; Pisah tempat tidur antar keduanya, jika cara kesatu tidak memberikan hasil. Ketiga; Suami memukulnya dengan tanpa melukainya, bila dengan cara kedua tidak berhasil. Keempat; Masing- masing pihak antara suami dan isteri mendatangkan hakam juru damai. 802 Ayat-ayat perceraian tersebut menunjukkan diperkenankannya perceraian yang dilaksanakan dengan cara ihsan. Pandangan yang menyatakan perceraian merupakan sesuatu yang halal tetapi dibenci Allah swt 803 terkesan tidak sejalan dengan pesan ayat-ayat tersebut, perbuatan tabarru’ kedermawanan. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 462. 801 Ini penafsiran Ibn ‘Āshūr berkenaan dengan perintah memberikan mut’ah yang termaktub pada surah Al-Aḥzāb33 : 49 . Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 9, Juz 22, 62. 802 Ibn ‘Aṭiyyah menyatakan bahwa “Menasihati, pisah tempat tidur tidak melakukan hubungan sebadan, dan memukul dengan tidak melukai merupakan tahapan yang ditempuh seorang suami dalam menghadapi problem isteri yang nushūz merasa lebih unggul dari suaminya hingga menentangnya, sedangkan suami menghawatirkannya, dan tahap beriktunya adalah mendatangkan juru damai untuk menyelesaikan persoalan gentingnya hubungan antara keduanya. Pernyatannya ini berhubungan dengan penafsirannya terhadap surah Al-Nisā`4 : 34-35. Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 432-433. 803 Pandangan tersebut dilandaskan kepada hadis Nabi saw, tetapi redaksi dan sanadnya tidak sama antara H.R. Ibn Mājah, H.R. Abū Dāwud, dan H.R. Al-Hākim. Ibn 181 kendati didasarkan pada hadis riwayat Ibn Mājah, Abu Dawud, dan Hakim. Berpijak pada perspektif logika teologis, Allah tidak akan melakukan sesuatu yang kontradiksi, membenci sesuatu yang dihalalkan, melainkan menghalalkan sesuatu yang disukai dan melarang yang dibenci. Logika ini mengisyaratkan bahwa perceraian tidak dilarang atau dapat dilakukan, jika penyelesaian problematika suami-isteri menemui jalan buntu, dan apabila perceraian dijadikan alternatif pamungkas. Keberadaannya sebatas menjadi pintu darurat yang mesti dilalui dalam rangka tindakan penyelamatan bersama. 804 Sedangkan yang dibenci-Nya adalah prilaku gegabah dari suami-isteri dalam melakukan perceraian. Apabila ayat-ayat dan hadis tersebut dikompromikan secara hati- hati, maka agaknya dapat dikatakan bahwa: perceraian diperkenankan bila dilakukan dengan cara ihsan, yaitu: Pertama; Terdapat sebab yang Mājah, Sunan, Juz 1, 650, Abū Dāwud, Sunan Abī Dawud, Juz 2, 120, dan Al-Hākim, Al-Mustadrak, Juz 2, 214. Para pakar hadis berbeda pendapat tentang setatus keabsahan hadis ini. Abū Hātim, al-Dāruquthniy, dan al-Baehaqiy men-tarjīh-nya sebagai hadis mursal. Al- Ṣan’āniy, Subul Al-Salām, Juz 3, 168. Muhammad Al-Ṭāhir al-Maqdisiy terhadap hadis di atas terutama yang diriwayatkan Ibn Mājah, menyebutkan bahwa di dalamnya terdapat seorang bernama ‘Ubaid Allah ibn al-Wālid yang tidak layak menjadi musnid. Namun Al-Hākim menshahihkannya. Al-Hākim, Al-Mustadrak, Juz 2, 214. Al- Dhahabiy menyatakan; penshahihan yang dilakukan Al-Hākim tersebut sejalan dengan syarat keshahihan yang ditetapkan imam Muslim, meskipun isinya kontradiktif, sebab kebencian Allah kepada sesuatu cenderung menegasikan kehalalannya. Al-Ṣan’āniy, Subul Al-Salām, Juz 3, 168. Dengan pendekatan hukum al-Nawawiy menyatakan bahwa hadis ini tidak mengharamkan perceraian, melainkan asal hukumnya adalah makrūh tanzīh. Lebih jauh dengan mengutip pendapat para pakar hukum fiqih, ia menyebutkan bahwa hukum perceraian terbagi menjadi empat macam sesuai dengan faktor yang melatarbelakanginya. Pertama; Wajib, yaitu apabila perselisihan antara suami isteri diselesaikan melalui juru damai dari kedua belah pihak, dan ditentukan oleh mereka perceraian lebih maslahat dibandingkan dengan diteruskan untuk hidup bersama sebagai suami-isteri. Kedua; Makruh, manakala perceraian dilakukan tanpa ada faktor penyebabnya sama sekali, tetapi isteri menerima bagiannya. Ketiga; Haram, jika perceraian dilangsungkan tanpa adanya sebab sementara isteri dalam keadaan haid dengan tidak mendapatkan pengganti dan pemberian atas permintaannya, atau isteri dalam keadaan suci dengan tidak ada penjelasan kehamilannya, atau menceraikan salah satu dari beberapa isteri dengan tanpa diberi bagiannya. Keempat; Sunnah, seandainya isteri tidak dapat menjaga dirinya dan keduanya hawatir tidak dapat melaksanakan hukum Allah swt. Al-Nawawiy, Al-Minhāj, Jilid 5, 402. 804 Al-Ṣan’āniy termasuk figur yang menilai bahwa: Sebaiknya perceraian tidak dijadikan pilihan selama masih banyak alternatif lain yang dapat memecahkan persoalan antara suami isteri. Al-Ṣan’āniy, Subul Al-Salām, Juz 3, 168. 182 sulit dipecahkan dengan cara selain bercerai. Kedua; Penyertaan isteri dalam urun rempug membicarakan persoalan perceraiannya. Ketiga; Pemberian mut’ah kepada mantan isteri. Keempat; Menempuh prosedur yang paedagogis dan berakhlak. Manakala perceraian dilaksanakan dengan cara sebaliknya atau semena-mena, bernuansa kezaliman dan rekayasa, serta berujung dengan persateruan dan putusnya tali silaturrahim, maka kiranya dapat dinilai bahwa perceraian macam ini tergolong sesuatu yang halal, tetapi dibenci Allah swt.

2. Hubungan Muḥsin dengan Lingkungan Sosial

Sebagai insan yang memiliki kesalehan sosial seorang muḥsin akan merealisasikannya ke dalam berbagai aspek kemasyarakatan, di antaranya adalah: 1 Relasi Muḥsin dengan Sepuluh Elemen Masyarakat Di samping seorang muḥsin memiliki hubungan yang berbasis ihsan dengan kedua orang tua, anak, dan isterinya, ia melakukan hubungan dengan lingkungan sosialnya, baik yang mempunyai relasi kekerabatan maupun tidak. Mereka terdiri dari sepuluh elemen masyarakat, yakni: Pertama, Orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan atau dhī al-Qurbā; Kedua, Anak-anak yatim atau al-Yatāmā; Ketiga, Orang-orang miskin atau al-Masākīn; Keempat, Tetangga dekat atau al-Jār dhī al-Qurbā; Kelima, Tetangga jauh atau al-Jār al-Junub; Keenam, Teman sejawat atau al-Ṣāḥib bi al-Janbi; ketujuh, Anak jalanan dan orang-orang yang kehabisan bekal di perjalanan atau Ibn Sabīl; Kedelapan, Hamba sahaya wanita atau mā malakat aymānukum; 805 Kesembilan; orang yang meminta-minta atau al-Sā`ilīn; Kesepuluh; hamba-hamba sahaya pria yang diperjualbelikan atau orang-orang yang hilang kemerdekaannya akibat dari kezaliman atau al-Riqāb. 806 805 Al-Zamakhshariy dalam menafsirkan surah Al-Nisā`4 : 36 menyebutkan tentang keharusan memuliakan dan memenuhi hak-hak mereka dengan baik. Al- Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 236. Berkaitan dengan al-ṣāhibi bi al-Janbi terdapat pakar yang mengartikannya dengan isteri, bahkan siapapun yang selalu menyertai seseorang di rumahnya, termasuk para pembantu rumah tangga karena sementara orang, baik sebelum turunnya Al-Qur`an maupun sesudahnya, hingga kini memperlakukan isteri dan atau para pembantu dengan tidak wajar. Lihat Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol. 2, 419. 806 Al-Zamakhshariy menjelaskan bahwa al-Sā`ilīn orang yang minta-minta patut mendapatkan layanan makanan, dan al-Riqāb layak memperoleh upaya 183 Surah Al-Nisā`4 : 36 meliput kedelapan golongan dari dhī al- Qurbā sampai dengan mā malakat aimānukum yang secara eksplisit disertai dengan penggunaan term ihsan. Sedangkan pada surah Al- Baqarah2 : 177 tercantum dua golongan lainnya, al-Sā`ilīn dan al-Riqāb dengan disertai pemakaian sebutan al-birr makna generiknya searti dengan ihsan, yairtu berbuat baik. Sebagai muḥsin seseorang akan berbuat ihsan kepada kedua orang tuanya, kemudian secara simultan ia-pun berbuat baik kepada orang yang mempunyai hubungan kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, kawan sejawat, ibn sabīl orang yang kesusahan di perjalanan, dan hamba sahaya. Dengan karakter seperti ini layak baginya mendapatkan persahabatan dari Allah swt. 807 Berihsan kepada mereka diimplementasikan seorang muḥsin dalam penampilan yang tidak sombong atau mukhtāl dan membanggakan diri atau fakhūr sehubungan kedua sifat negatif tersebut cenderung destruktif. 808 Karakteristik muḥsin lebih mengintegrasikan kehidupannya kepada orientasi vertikal dan horizontal, serta lingkungan alam. Orientasi vertikal merupakan upaya mengabdi kepada Allah swt sebagai bagian dari semangat ketuhanan yang melekat pada dirinya. Sedangkan orientasi horizontal merupakan usaha berbuat baik kepada siapapun dengan mengedepankan kepentingan mereka sebagai perwujudan dari kematangan kemanusiaannya. Adapun orientasi kepada lingkungan alam merupakan upaya perbaikan dan pelestarian. Orientasi tersebut melekat dalam hidupnya dan diaplikasikan dengan konsisten hingga merasakan kehadiran Allah swt. Berbuat ihsannya seorang muḥsin kepada kedua orang tua, anak, dan isteri meliputi ihsan fi’liy berihsan dalam perbuatan dan ihsan qauliy berihsan dalam ucapan. Sedangkan berbuat ihsan kepada seluruh manusia, selain orang tua, anak, dan isteri, lebih ditekankan pada aspek ucapan seperti perintah-Nya wa qūlū li al-Nāsi ḥusnan 809 berkata yang baik kepada manusia, dikarenakan ucapan relatif lebih mudah atau lebih pembebasan dengan harta zakat atau sedekah. Penjelasnnya ini diutarakannya ketika menafsirkan surah Al-Baqarah2 : 177. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 109. 807 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Jilid 2, 23. 808 Ibn ‘Aṭiyyah secara khusus menyatakan bahwa yang tidak bebuat ihsan kepada mereka hanya orang yang membanggakan diri ‘ujub dan kikir bukhl. Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 434. 809 QS. Al-Baqarah2 : 83. 184 memungkinkan diamalkan setiap manusia. 810 Namun ucapan tersebut bersumber dari keyakinan positif yang tertanam dalam hati, sehingga ucapan menyatu dengan hati. Penyatuan tersebut menjadi setandar utama dalam berbuat ihsan di tengah-tengah melakukan relasi sosial dengan sesama manusia. 811 Perintah berkata yang baik tersebut menunjukkan bahwa berihsan kepada sesama manusia dimulai dari yang mudah, tetapi memiliki nilai etika yang luhur dan menjadi basis komunikasi yang harmoni. 812 Dalam melakukan relasi sosial perkataan menjadi barometer yang mendasar. Sifat rendah hati tawāḍu’ atau tinggi hati mukhtāl dan fakhūr terukur dari ucapan. Apabila watak mukhtāl dan fakhūr lebih dominan pada diri seseorang, berarti ia telah meletakan mereka tidak setara, bahkan cenderung merendahkan dan memperlakukan mereka dengan diskriminasi. Mereka berada di derajat yang lebih rendah dari pada dirinya dan mereka dipandang sebagai orang yang lemah. Perlakuan seperti ini merupakan bagian dari kezaliman dan ketidakadilan, mengingat sifat fakhr memuat watak takabbur atau congkak. 813 Mukhtālan merupakan watak yang meliputi kesombongan, membanggakan diri, dan memamerkan pemberian Allah swt sambil menghinakan pihak lain, seperti merasa hina jika memiliki kerabat yang miskin dan meremehkan tetangganya yang lemah. Pemilik sifat ini tidak mungkin berbuat ihsan kepada mereka, karena hawatir tertimpa kesalahan dan kecacatan yang sama. Sedangkan fakhūr menekankan pada karakter yang berlebih-lebihan dalam memuji perangai diri. Penyebutan kedua watak tersebut pada surah Al-Nisā`4 : 36 menunjukkan sempurnanya sifat yang menghambat perbuatan ihsan dalam lingkungan sosial. 814 Kata mukhtālan terambil dari akar kata yang sama dengan khayāl, oleh karena itu kata ini pada mulanya berarti orang yang tingkah lakunya dikendalikan oleh khayalannya, bukan oleh kenyataan. Biasanya orang 810 Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 1, 133. 811 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 1, 583. 812 Al-Shaukāniy menafsirkan perintah berkata baik kepada manusia dengan semua ucapan atau perkataan yang benar atau jujur, tidak terbatas pada perketaan tertentu. Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 1, 135. 813 Selain itu Ibn ‘Aṭiyyah mengutip pendapat Abū Rajā` Al-Harawiy bahwa tidak dijumpai keburukan perangai seseorang kecuali pada sifat mukhtāl dan fakhūr. Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 434. 814 Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 2, 256. 185 semacam ini berjalan dengan angkuh, karena merasa memiliki kelebihan dibandingkan dengan orang lain. Keangkuhannya tampak dengan nyata dalam prilaku keseharian. Kuda dinamai khail karena cara jalannya mengesankan keangkuhan. Seorang yang mukhtāl membanggakan apa yang dimilikinya, bahkan tidak jarang membanggakan apa yang pada hakekatnya tidak dimiliki, dan inilah yang ditunjuk dengan kata “fakhūra”, yakni sering kali membanggakan diri. Kedua kata “mukhtāl dan fakhūr” mengandung makna kesombongan, tetapi yang pertama kesombongan terlihat dari tingkah laku, dan kedua kesombongan terdengar dari perkataan. 815 Watak orang yang mukhtāl dan fakhūr terlihat merugikan dalam relasi sosial dan tercermin dari sifat-sifatnya yang negatif sebagai berikut: pertama; Al-Bukhl atau kikir; Kedua; Memerintahkan orang lain berbuat kikir; Ketiga; Menyembunyikan anugerah Allah yang diterimanya; Keempat; Menginfakkan harta disertai dengan riya atau keinginan dipuji dan diketahui serta dinilai oleh orang lain sebagai orang yang dermawan, bukan semata-mata mengharapkan ridha-Nya, dan tidak dimotivasi oleh semangat tali kasih sayang terhadap sesama manusia. Kelima; Tidak beriman kepada Allah swt dan hari akhirat. 816 Sifat- sifat di atas, pada dasarnya, menurut surah Al-Nisā`4 : 37-38 disebabkan kekafiran yang melekat kuat dan persahabatannya dengan syaitan. Sedangkan kekafiran tidak menjanjikan sesuatu kecuali kesengsaraan dan tidak ada sahabat karib yang paling buruk selain dari syaitan. Seorang muḥsin akan berupaya menjauhkan diri dari kekafiran dan syaitan. Ia akan mendayagunakan kemampuannya untuk memperkokoh keimanan dan mengedepankan sikap kedermawanan yang tulus dengan memberikan sebagian harta yang dimilikinya. Pemberian zakat yang wajib atau sedekah yang sunnah merupakan komitmennya yang mendasar dalam memperlakukan kedelapan golongan di atas sebagai manifestasi dari perilaku ihsan yang berdimensi kesetiakawanan dan solidaritas sosial. Artinya seorang muḥsin adalah orang yang meninggalkan kebahagiaan lahiriah dirinya atau menuntaskan kebutuhan orang lain yang tergantung padanya atau beribadah tidak disertai 815 Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 2, 419. 816 Al-Shaukāniy menafsirkan surah Al-Nisā`4 : 37 sebagai badal dari man kāna mukhtālan fakhūran potongan ayat dari surah Al-Nisā`4 : 36 dan surah Al-Nisā`4 :38 sebagai aṭaf kepada surah Al-Nisā`4 : 37 . Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 1, 132. 186 kelalaian. 817 Pengkaitan term kikir atau al-bukhl dan riyā` dengan mukhtāl dan fakhūr pada ayat-ayat di atas mengisyaratkan sifat kikir dan keinginan disanjung menjadi perwujudan watak sombong dan membanggakan diri. Watak semacam ini merupakan implikasi dari lemahnya iman hingga dikelompokkan oleh Allah swt ke dalam orang-orang yang berkawan dengan syaitan. Harta yang dimiliki seseorang dapat menjadikan kebanggaan tersendiri dan meningkatkan prestisenya, jika tidak disyukuri dan disikapi dengan tawāḍu’ akan melahirkan sikap oragansi. Berkurangnya harta karena digunakan untuk kepentingan sosial, tetapi tidak menambah kebanggaan diri dan kehormatannya dinilai oleh seorang yang arogan sebagai suatu yang sia-sia dan merupakan kerugian material. Riya atau harapan mendapatkan sanjungan menjadi motivasi utama dalam berderma, karena akan menambah keagungan diri dan nama besarnya. Tradisi merasa rugi dan ingin disanjung tersebut bersumber dari karakter dasarnya, yakni kikir. 818 Kondisi ini mempunyai korelasi langsung dengan cercaan dan penolakan Allah swt kepada mereka karena tidak pandai memilih sesuatu yang bermanfaat dan suatu keyakinan yang salah. 819 Sepuluh golongan di atas seyogyanya diperlakukan dengan baik melalui pemberian infak yang tulus dan familier. Seorang muḥsin berihsan kepada mereka dengan menginfakkan hartanya disebabkan sifat kedermawanan dan pandangan hidupnya bahwa harta adalah milik Allah swt yang diberikan atau dititipkan kepadanya. Sebahagian harta sepatutnya diinfakkan kepada mereka. Sifat dan pandangan hidup tersebut tidak memberatkan, melainkan menjadi bagian yang melekat dalam kehidupannya. Selain itu seorang muḥsin memiliki persepsi bahwa secara langsung atau tidak penerima infak mempunyai kontribusi dalam 817 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 1, 588-589. 818 Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 2, 257. 819 Al-Alūsiy menafsirkan surah Al-Nisā`4 : 39 sebagai taubīkh menilai buruk terhadap mereka yang memiliki sifat yang digambarkan dalam surah Al-Nisā`4 : 37-38 karena kebodohan mereka kepada posisi yang bermanfaat dan kepada keyakinan tentang sesuatu yang berbeda dengan sesuatu yang selama ini diyakini mereka, dan mengajak mereka mendayagunakan berfikir untuk mendapatkan jawaban yang mengantarkan mereka mengetahui sesuatu yang menjadi hadiah jika meninggalkan kemaksiatan, serta memperingatkan mereka bahwa ajakan kepada urusan yang tidak mengandung bahaya merupakan langkah kehati-hatian. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 3, 31. 187 proses kepemilikan atau penitipan harta tersebut. Oleh karena itu bagi muḥsin tidak keberatan menginfakkan harta yang dicintainya sejalan dengan kriteria ideal yang ditetapkan Allah dalam surah Ali ‘Imrān3 : 92. 820 Ketentuan tersebut berorientasi untuk melahirkan kedermawanan yang dilandasi kasih sayang, ketulusan atau kebaikan niat, dan kesetaraan yang sempurna hingga menyamakan orang lain dengan dirinya, bahkan rela berkorban bagi keperluan orang lain yang membutuhkan. Karakteristik yang egalitarian dan ketulusan berkorban dapat menghilangkan sifat kikir dan rakus. 821

2. Relasi Muḥsin dengan Keluarga Korban

Muḥsin sebagai manusia biasa memiliki kemungkinan melakukan kekeliruan atau mengerjakan dosa, baik yang kecil maupun yang besar, meski ia berkarakter ijtināb kabā`ir al-ithmi wa al-fawāhish illa al- lamam menjauhkan diri dari dosa-dosa besar dan perbuatan keji kecuali yang dikerjakan di masa lalu atau kesalahan-kesalahan kecil. Kesalahan tersebut lebih bersifat kasuistik, yang mungkin dikerjakan seorang muḥsin yang berat ujian dan cobaannya. 822 Hal ini berhubungan dengan sunnat Allah yang berlaku bagi setiap orang, semakin tinggi derajat seseorang, semakin berat cobaan dan godaannya. Ibarat tanaman, semakin menjulang tinggi batangnya, semakin keras diterpa angin. Muḥsin yang berada pada tingkat kepribadian tertinggi akan selalu berhadapan dengan ujian dan godaan berat yang datang silih berganti. Seorang muḥsin memungkinkan bagi dirinya melakukan pembunuhan sebagai dosa besar. Namun dengan kepribadiannya yang unggul akan menghadapi segala konsekwensi yang mesti ditanggung, baik hukum qisas sanksi atau hukuman yang setimpal dengan kesalahan yang dikerjakan, yaitu dibunuh maupun ganti rugi atau diyat yang harus dibayarnya dengan cara ihsan sebagai alternatif pengganti akibat dari keluarga korban memaafkannya. 823 Dengan demikian hubungannya adalah hubungan tanggungjawab dan apresiatif. Hal ini dikarenakan 820 Al-Alūsiy menafsirkan term birr yang termaktub pada ayat tersebut surah Ali ‘Imrān3 :92 dengan iḥsān wa kamāl al-khayr ihsan dan kesempurnaan suatu kebaikan. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 2, 213. 821 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid2, Juz 4, 6. 822 Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 7, 328. 823 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 140-142, dan Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 103. 188 muḥsin adalah orang yang memenuhi hak-hak Allah swt dengan tanpa melalaikannya dan memenuhi hak-hak orang lain tanpa menunda- nunda. 824 Diyat ganti rugi dijadikan Allah sebagai salah satu sanksi hukum sebagai pengganti qisas bagi pelaku tindak pidana pembunuhan atau penganiayaan pisik anggota badan orang lain tanpa hak. 825 Surah Al-Baqarah2 : 178 yang menjadi rujukan qisas dan diyat turun berkenaan dengan kejadian dua kabilah Arab jahiliyah, mereka saling menuntut penggantian, seorang hamba sahaya diganti dengan seorang majikan, dan wanita diganti dengan pria. 826 Turunnya ayat tersebut merespon sikap mereka yang tidak proporsional dengan mempertimbangkan faktor keadilan. Balasan sebagai sanksi hukum dalam ayat tersebut dilaksanakan di atas prinsip sebanding dan sepadan. Orang merdeka diganti dengan orang merdeka, wanita dengan wanita, dan budak belian dengan budak belian. 827 Maksud ayat tersebut, terutama, penggalannya yang berbunyi “faman ‘ufiya lahū min akhīhi shai`un fattibā’un bi al-ma’rūf wa adā`un ilaihi bi iḥsān” ialah terpidana yang dimaafkan oleh keluarga korban wajib membayar diyat dengan cara yang baik. 828 Dengan memaafkan terpidana, keluarga korban menerima pembayaran diyat yang pemungutannya oleh keluarga korban dilakukan dengan cara yang baik atau ma’rūf dan pemberiannya oleh terpidana dilaksanakan dengan cara ihsan. 829 Pemungutan diyat tidak disertai dengan tuntutan beban 824 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 3, 92-93. 825 QS. Al-Baqarah2 : 178. 826 Hal ini berhubungan dengan peristiwa peperangan antara dua suku Arab yang terjadi di masa jahiliyyah. Di antara mereka terdapat orang-orang yang terbunuh dan terluka, mereka membunuh hamba sahaya dan wanita. Belum sempat mereka melakukan balas dendam, mereka telah masuk Islam. Masing-masing dari mereka membanggakan diri dengan jumlah pasukan dan harta kekayaan yang dimiliki. Mereka saling bersumpah bahwa mereka tidak rela, jika hamba sahaya yang terbunuh tidak diganti dengan orang yang merdeka majikannya dan kaum wanita tidak diganti dengan kaum pria, kemudian turunlah ayat tersebut. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 2, 108, dan ‘Abd Al-Rahmān bin Muhammad bin Idrīs Al-Rāziy, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm Musnadan ‘an Rasūl Allah saw wa Al-Ṣaḥābat wa Al-Tābi’īn Tafsīr Ibn Abī Ḥātim Makkah Al-Mukarramah, Maktabah Nazar Mushṭafā Al-Baz, 2003, Jilid 1, 293-294. Selanjutnya disebut Ibn Abī Ḥātim, Tafsīr Al-Qur’ān. Serta Al-Suyūṭiy, Asbāb Al- Nuzūl, 29-30. 827 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 136-137. 828 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 2, 112. 829 Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’, Jilid 2, 253. 189 tambahan oleh keluarga korban kepada terpidana, karena akan memberatkan terpidana, dan tuntutan beban tambahan merupakan tradisi jahiliyyah. Penyampaian jumlahnya oleh terpidana kepada keluarga korban tidak dikurangi atau ditunda-tunda, 830 karena menunda pembayaran atau mengurangi jumlahnya merupakan tindak penganiayaan. Selain itu pembayaran ganti rugi tidak disertai kebencian, ungkapan yang tidak menyenangkan, atau tidak disertai tindakan memutuskan hubungan kekeluargaan, baik dilakukan oleh pelaku pembunuhan, keluarga terbunuh, atau utusannya. 831 Dengan demikian pencantuman term ihsan di sini menekankan pada nilai keadilan sehubungan watak dari sebagian manusia cenderung berbuat melampaui batas. Kata ihsan pada ayat ini menjadi rambu moralitas yang mendorong terpidana merespon keluarga terbunuh dengan sikap yang apresiatif dan tidak merugikan orang yang rela menggugurkan hak qisas yang seharusnya dijalani terpidana. 832 Pembayaran diyat dengan cara yang ihsan, dapat dikatakan, sebagai respon yang setara atas pemberian maaf yang kedua-duanya diletakkan oleh Allah sebagai dispensasi yang memiliki missi saling memberi dan menerima secara sebanding, yang dilakukan dengan ketulusan hati, dengan perinsip tidak saling merugikan kedua belah pihak dan berorientasi kepada kepentingan nilai kemanusiaan serta berwatak sepiritualis, mengingat yang ditekankan pada dua hal tersebut bukan semata aspek kuantitas pembayaran, melainkan melibatkan sepenuhnya segi kualitas mental dan kepribadian. Kedua belah pihak saling menyadari sepenuh hati akan garis kehidupan seseorang berada pada ketentuan Allah takdir dan menjunjung tinggi nilai serta harkat manusia. 833 Peristiwa terbunuh atau terlukanya anggota tubuh seseorang didudukkan secara proporsional. Di satu sisi terbunuh atau terluka sebagai musibah yang tidak dikehendaki siapa-pun, kecuali telah menjadi takdir Allah. Di sisi lain nilai manusia tetap harus dihormati dan dimuliakan. Jadi pemberian diyat dengan cara ihsan ditempatkan dalam konteks keimanan, kasih sayang, dan kemuliaan manusia.

3. Relasi Muḥsin dengan Sahabat Nabi saw

830 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 2, 114-115. 831 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 143. 832 Ali Al-Ṣābūniy, Ṣafwat Al-Tafāsīr, Jilid 1, 118. 833 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 140-141. 190 Sahabat Nabi saw baik dari kalangan muhajirin maupun anshar adalah orang-orang yang mendapatkan apresiasi khusus dari Allah dan Nabi saw sebagaimana sifat-sifat terpujinya dilukiskan dalam beberapa ayat yang telah dikutip di atas, seperti surah Ali ‘Imrān3 : 172. Mereka ialah orang-orang muḥsin yang senantiasa memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya dengan mengorbankan segenap yang dimiliki sebagai perwujudan dari kepatuhan total mereka. 834 Bagi muḥsin mereka dijadikan sebagai panutan sejati dan diikuti secara baik atau ihsan. Para tabi’in pengikut para sahabat telah melakukannya dengan konsisten, meski menanggung resiko yang sangat berat. 835 Surah Al-Taubat9 : 100 mencatat term ihsan yang berkenaan dengan al-ladhīna ittaba’ūhum orang-orang yang mengikuti jejak sahabat-sahabat nabi saw. Kata ganti Hum kata ganti jamak bagi pihak ketiga yang berarti mereka merujuk kepada al-Sābiqūn al-Awwalūn min al-Muhājirīn wa al-Anṣār yang menjadi permulaan ayat. Mereka adalah sahabat-sahabat nabi saw yang lebih dahulu beriman baik mereka yang berhijrah dari Mekah ke Madinah maupun penduduk Madinah yang menolong mereka dan Nabi saw ketika berhijrah, mereka melakukan peperangan bersama nabi saw melawan orang-orang kafir, serta mereka berbaeat melakukan janji setia membela Nabi saw dan Islam. 836 Figur sahabat dijadikan pusat keteladanan setelah Nabi Muhammad saw sehubungan mereka adalah orang-orang yang konsisten memenuhi panggilan Allah swt dan rasul-Nya yang terefleksikan dalam sifat-sifat mulia dan amal saleh yang ikhlas, dan mereka adalah muḥsinīn. Mereka sebagai generasi yang dijuluki dengan golongan salaf yang memiliki kewenangan atau otoritas. 837 Pencantuman term ihsan pada Al- 834 Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 2, 236. 835 Ibn ‘Aṭiyyah dalam menafsirkan surah Al-Taubat9 : 100 menyebutkan bahwa para tabi’in dan segenap umat mengikuti jejak para sahabat dengan ihsan sepen uhnya. Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 878. 836 Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 602-603. 837 Kata salaf berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti “yang lampau”. Biasanya kata ini dihadapkan dengan kata khalaf yang makna harfiahnya ialah “yang belakangan.” Kemudian, dalam perkembangan semantiknya kata salaf memperoleh makna sedemikian rupa sehingga mengandung konotasi masa lampau yang berkewenangan atau memiliki otoritas, sesuai dengan kecenderungan banyak masyarakat untuk melihat masa lampau sebagai masa yang memiliki otoritas. Dalam pandangan para sarjana Islam masa lampau itu otoratif karena dekat dengan masa hidup Nabi. Pada masa ini Nabi tidak saja menjadi sumber pemahaman ajaran agama Islam, 191 Taubat9 : 100 Ali ‘Imrān3 : 172 tersebut menunjukkan kepada mutu peneladanan terhadap mereka, karena secara etimologis ba yang menjadikan ihsan sebagai kata transitif berfungsi sebagai al- mulābasah 838 atau berintegrasi dalam peneladanan. Peneladanan terhadap para sahabat dimulai dari respek atas kebaikan dan apresiatif kepada kepribadian mereka yang mengetahui dan memahami persis ajaran Islam yang didengarnya langsung dari Nabi dan melaksanakannya berdasarkan hasil penglihatan dan peneladanan terhadap praktek-praktek Nabi, 839 sampai dengan mengikuti atau meneladani minhāj 840 cara hidup dan sifat-sifat mulia mereka, di antaranya ialah beriman kepada Allah swt dan rasul-Nya serta berhijrah dari dār al-ḥarb wilayah peperangan yang sarat fitnah -pen- menuju dār al-Islām wilayah damai yang sarat kepatuhan atas aturan dengan mengedepankan dan supremasi hukum menuju keadilan -pen 841 hingga berhijrah menuju perhatian penuh terhadap jiwa dengan menanamkan ilmu hakekat dengan mengutamakan perbuatan ihsan dan kemurahan hati. 842 Peneladanan seperti ini menuntut upaya kesinambungan yang tergantung pada ihsan dalam ucapan dan perbuatan yang diimplementasikan dalam amal saleh 843 hingga mencampai tingkat mushāhadah berhadapan dengan Allah swt 844 akibat dari keinginan mendapatkan keridhaan-Nya. Ketiadaan ihsan menjadikan usaha peneladanan tidak utuh dan sempurna, bisa jadi, tidak terwujud sama sekali. tetapi sekaligus menjadi teladan realisasi ajaran itu dalam kehidupan nyata. Mereka menyepakati masa ini dimulai pada masa Nabi sendiri. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban “Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan” Jakarta, Paramadina, Jakarta, 2005, 374-375. Selanjutnya disebut Masjid, Islam Doktrin. 838 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 5, Juz 11, 18. 839 Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 875, dan Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 602-603, serta Masjid, Islam Doktrin, 375. 840 Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 479. 841 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 11, 7-8. 842 Ibn ‘Arabiy, Tafsīr Al-Qur’ān, Juz 1, 292. Nurcholis Majid menyebutkan bahwa pada masyarakat zaman Nabi yang berada di bawah bimbingan beliau sangat diwarnai oleh semangat etis yang kuat, yang membuat mereka lebih mendahulukan perbuatan baik dan kemurahan hati daripada mempertahankan hak hukumnya yang sah. Sikap seperti ini cukup banyak di kalangan para sahabat Nabi sampai ke masa-masa sesudah Nabi sendiri setelah tidak lagi bersama mereka. Majid, Islam Doktrin, 385. 843 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr,Jilid 5, Juz 11, 18. 844 Ibn‘Arabiy, Tafsīr Al-Qur’ān, Juz 1, 292. 192 Dalam bacaan kesejarahan orang-orang yang mengikuti sahabat- sahabat Nabi saw memiliki tingkatan mutu keimanan yang terbagi menjadi dua. Pertama; Mereka yang mempunyai mutu iman kuat yang menjadi mayoritas penduduk kota Madinah. Kedua; Mereka yang disebuat mu`allafah qulūbuhum orang-orang yang imannya lemah dan diliputi keraguan, terkadang iman mereka menurun dan terkadang meningkat sempurna. Kelompok mukmin yang kedua jika mengikuti sahabat-sahabat nabi saw disertai dengan tingkat kepribadian yang terintegrasi dengan ihsan, maka layak bagi mereka mendapatkan keridhaan Allah swt dan surga yang menjadi lambang tempat kebahagiaan hidup yang hakiki sebagaimana tersurah pada ayat tersebut. 845 Tingkat mutu kepribadian seperti ini ditentukan oleh ihsan. Adapun maksud dari orang-orang yang mengikuti jejak dan pola hidup sahabat-sahabat nabi saw dengan berihsan adalah generasi manapun sampai hari kiamat yang meneladani mereka. 846 Dengan kata lain, mereka yang mengikuti jejak para sahabat dan meneladani kebaikan dan sepakterjang mereka adalah kalangan tabi’in dan orang-orang yang secara bergenerasi sampai hari kiamat mengikuti jalan hidup mereka, sehingga tidak terbatas pada generasi priode tabi’in, melainkan generasi yang berkesinambungan dan tidak terikat dengan waktu dan tempat selama memiliki kriteria mengikuti dengan ihsan terhadap prilaku hidup terpuji sahabat yang direalisasikan dalam sikap hidup yang selalu riḍā` 847 atas segala ketetapan Allah. Mereka akan mendapatkan keridhaan-Nya 845 Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 875, dan Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 5, Juz 11, 18. 846 Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 602. 847 Dalam kajian tasawuf, riḍā` merupakan salah satu maqām stasion yang mesti dilalui oleh seseorang yang hendak mencapai tujuan sufi, yaitu memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari dengan benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Riḍā` kerelaan berarti tidak berusaha. Tidak menentang kada dan kadar Tuhan. Menerima kada dan kadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati, sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnya kadha dan kadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya kadha dan kadar, malahan perasaan cinta bergelora di waktu turunnya bencana atau cobaan. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam Jakarta, Bulan Bintang, 1990, 56 dan 69. Selanjutnya disebut Nasution, Filsafat dan Mistisisme. 193 dan surga yang penuh nikmat sebagai kebahagiaan yang besar seperti yang diterima al-sābiqūn al-awwalūn. Keridhaan Allah swt kepada al-sābiqūn al-awwalūn merupakan bukti ihsan-Nya yang diwujudkan dalam berbagai hal, di antaranya ialah pertolongan dan perlindungan, serta pemberiaan kemuliaan kepada mereka di segala bidang kehidupan. Pertolongan dan perlindung-Nya kepada mereka menghasilkan kemenangan di hampir seluruh peperangan melawan orang-orang kafir, musyrik, dan munafiq. Kemenangan ini melahirkan kesuksesan membentuk masyarakat Madinah yang marhamah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Mereka yang gugur di medan perang dimuliakan Allah swt dengan diberi gelar shuhadā` yang dinilai hidup di sisi-Nya dan mereka tidak patut disebut orang-orang yang telah mati. 848 Potongan ayat raḍiya Allah ‘anhum wa raḍū ‘anhu adalah khabar dari al-Sābiquna al-Awwalūn. Raḍiya dan raḍū merupakan fi’il māḍin lāzim kata kerja intransitif, menunjukkan masa lalu, َ ﻲ ِﺿَ ر – ﻲَﺿْ ﺮَـﻳ – ﻲ ًﺿِر 849 berarti rela, suka, atau senang. Keberadaannya menjadi lawan kata dari al-sukhṭ 850 bermakna kemarahan atau kemurkaan. Kata riḍā dapat menjadi fi’il muta’addi kata kerja transitif dengan disertai ‘an. Penggalan ayat ini berarti Allah swt rela kepada mereka dan mereka rela kepada-Nya. Kerelaan Allah menjadi pahala atau imbalan bagi al- Sābiquna al-Awwalūn dan al-ladhīna ittaba’ūhum bi iḥsān dan orang- orang yang mengikuti mereka, sahabat-sahabat Nabi saw Keridhaan-Nya merupakan respon dan penerimaan-Nya atas kepatuhan dan pengamalan segala hal yang dipikulkan kepada mereka di berbagai aspek kehidupan, baik menyangkut aqidah, syareat, maupun akhlak hingga kepatuhan menegasikan sifat-sifat tercela yang melekat 848 Ibn ‘Aṭiyyah menafsirkan surah Al-Baqarah2:154 dengan mendudukkannya sebagai penghibur begi shuhadā`` orang-orang yang mati syahid, memuliakan kedudukan mereka, menggambarkan keberadaan mereka yang sebenarnya, dan menentukan mereka senantias merasa nimat yang tidak disentuh kesusahan sama sekali. Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 145. Ketika ia menafsirkan surah Ali ‘Imrān3:169 mengutarakan maksud yang sama; syuhadā` terlihat secara lahiriahnya jasad terkubur dalam tanah, tetapi ruhnya hidup sebagaimana orang-orang beriman yang masih hidup, mereka mendapatkan rizki sebagai keistimewaan dari Allah hingga mereka seolah-olah hidup selamanya. Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 381. 849 Abī Al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā w. 395 H, Mu’jam Al- Maqāyīs fī Al-Lughah Beirut, Dār Al-Fikr, 1998, 406-407. Selanjutnya disebut Ibn Fāris, Mu’jam. 850 Ibn Fāris, Mu’jam, 406. 194 pada manusia, kemudian menggantikannya dengan sifat-sifat ke-Tuhan- an yang terpuji. Kepatuhan dan pengamalan tersebut merupakan bentuk kerelaan mereka kepada pemberian dan ketentuan-Nya. Keridhaan mereka menerima nikmat keagamaan dan keduniaan serta ketentuan-Nya dengan tulus merupakan faktor penyebab mendapatkan keridhaan-Nya. 851 Pemandangan yang kontradiktif dalam realita kehidupan sebagian umat Islam ialah itbā’ mereka kepada leluhur, tokoh-tokoh idola dan zu’amā’ pemimpin tanpa disertai pengetahuan yang mendalam atau memadai tentang mereka. Apabila salah pilih, ikut-ikutan semacam ini menjerumuskan ke dalam fanatisme buta dan primordialisme sempit yang memprihatinkan bagi kebersamaan. Jika keteladanan mereka merujuk kepada kepribadian para sahabat, maka menjadi cermin ideal yang relevan dijadikan acuan. Oleh karena itu mengikuti akhlak dan sepak terjang para sahabat Nabi saw dengan cara ihsan merupakan ciri muḥsin dan menjadi kebutuhan hidup yang diperlukan dalam menghadapi berbagai persoalan yang menumpuk di tengah-tengah kehidupan umat. d. Hubungan Muḥsin dengan Lingkungan Alam Seseorang dapat disebut sebagai muḥsin manakala aktivitas mewujudkan perilaku ihsan di berbagai aspek kehidupannya, di antaranya tidak merusak lingkungan, karena salah satu ciri seorang muḥsin adalah berihsan kepada lingkungan. Perilaku seperti ini akan mendekatkannya kepada rahmat Allah swt QS. Al-A’rāf 7 : 56. 852 Ayat tersebut melarang manusia melakukan kerusakan di permukaan bumi, baik daratan ataupun lautan dengan melakukan tindakan yang merusak agama, badan, akal, keturunan, dan harta, 853 serta jiwa. 854 Ddemikian pula termasuk merusak bumi dengan berbuat syirik, mengalirkan darah, merusak hutan, menutup sumber air, menebang tanaman dengan sembarangan, mengotori lautan dengan berbagai limbah, mengerjakan kemaksiatan, dan mengajak taat kepada selain Allah swt. 851 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 3, 8. 852 Ini merupakan tafsir Al-Shaukāniy atas surah Al-A’rāf 7 : 56. Al- Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 2, 272. 853 Al-Biqā’iy dengan menyebutkan kelimanya sebagai kegiatan merusak di bumi, tetapi tidak termasuk ke dalamnya melakukan kerusakan terhadap jiwa. Al- Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 3, 44. 854 Al-Rāziy menggolongkan enam hal ke dalam melakukan kerusakan di permukaan bumi, yakni merusak jiwa, anggota badan, harta, keturunan, agama, dan akal. Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 7, Juz 14, 108. 195 Sedangkan bumi telah diperbaiki-Nya dengan mengutus rasul yang menjelaskan syareat dan mengajak taat kepada-Nya. 855 Selain itu disebutkan pula bahwa larangan tersebut meliputi enam hal, yaitu: Pertama; Janganlah membuat kerusakan di muka bumi dengan kekafiran, setelah diperbaiki dengan keimanan. Kedua; Janganlah melakukan kerusakan di muka bumi dengan kedzaliman setelah diperbaiki dengan keadilan. Ketiga; Janganlah merusak bumi dengan kemaksiatan setelah dibangun dengan ketaatan. Keempat; Janganlah melakukan perbuatan durhaka di muka bumi yang menyebabkan Allah swt menurunkan hujan yang menghancurkan pertanian setelah disuburkan-Nya dengan hujan hingga tumbuh aneka ragam tanaman. Kelima; Janganlah membunuh orang-orang beriman di muka bumi setelah mereka disebarluaskan di atasnya. Keenam; Janganlah mendustakan para rasul di muka bumi setelah diturunkan wahyu. 856 Dengan kata lain kerusakan itu mencakup bentuk kerusakan fisik dan non fisik. Selain itu, termasuk bentuk-bentuk fasād adalah kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan dan berkurangnya air hujan, banyak rasa takut, musim peceklik yang menyebabkan kekurangan pangan dan buah- buahan, tersebarnya wabah penyakit yang sukar diobati seperti virus HIV, Flu Burung, dan Flu Babi -pen-, serta tersebarnya tindak kekerasan yang melahirkan suasana kacau dan menyakitkan. 857 Paparan bentuk-bentuk kerusakan tersebut di atas mendeskripsikan bahwa tindakan merusak bumi berbahaya bagi tatanan kehidupan alam dan manusia, meski dalam kondisi tertentu merusak bumi secara fisik diperkenankan, jika tidak ada jalan lain kecuali dengan merusaknya hanya karena darurat. Akan tetapi, pada dasarnya, merusak bumi meski sedikit membahayakan bagi keseluruhan bumi, upaya nemperbaikinya lebih berat dan rumit dibandingkan dengan merusak. Pada surah Al-Qaṣaṣ28 : 77 larangan merusak bumi terletak setelah disebutkan terlebih dahulu perintah berbuat ihsan, ini merupakan peringatan kepada manusia agar tidak mencampuradukkan antara kebaikan dengan keburukan. Sebab keburukan dan perusakan merupakan lawan kebaikan. Penegasan ini diperlukan -walaupun sesungguhnya perintah berbuat baik berarti pula larangan berbuat keburukan- 855 Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 398, dan Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’. Juz 7, 219. 856 Al-Zāwiyaytiy, Tafsīr Al-Ḍaḥḥāk, Jilid 1, 370. 857 Muhammad ‘Itrīs, Mu’jam Al-Ta’bīrāt Al-Qur’āniyyah Kairo, Dār Al- Thaqāfiyyah li Al-Nasyr, 1998, 465. Sealnjutnya disebut ‘Itrīs, Mu’jam Al-Ta’bīrāt. 196 dikarenakan sumber-sumber kebaikan dan keburukan banyak, sehingga terdapat orang yang lengah dan lupa bahwa berbuat kejahatan terhadap sesuatu sambil berbuat baik walau menguntungkan banyak pihak merupakan hal yang bukan ihsan. 858 Perintah berihsan diiringi dengan larangan berbuat kerusakan di permukaan bumi menunjukkan keberadaan berihsan sungguh berat dan sulit, sementara melakukan kerusakan terhadap lingkungan alam mudah sekali. Bukankah telah dimaklumi, kalau membuat produk suatu barang tertentu berhajat kepada fasilitas yang memadai, sumber daya manusia yang mumpuni, bahan baku yang berkualitas, waktu yang mencukupi dan lingkungan yang kondusif. Adapun merusaknya tidak sulit dilakukan. Kaidah umum menyebutkan: Membangun memerlukan waktu panjang, menghancurkan dapat dilakukan sekejap. 859 Oleh karena itu perintah berihsan perlu dikukuhkan dengan larangan berbuat kerusakan. Begitu pentingnya berihsan kepada lingkungan, Nabi saw berperanserta memerintahkan manusia supaya berihsan dalam membunuh yang dibenarkan agama dengan cara hak 860 dan melakukan 858 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr,Jilid 8, Juz 20, 180. 859 Bukti terdekat yang dapat dijadikan parameter adalah musibah bobolnya situ Gintung dan meletusnya gunung Merapi yang menelan korban nyawa manusia dan harta benda dalam sekejap. 860 QS. Al-An’ām 6 : 151. Apabila pembunuhan dilaksanakan dengan alasan yang hak, seperti karena mengerjakan perintah jihad di jalan Allah swt melawan musuh- musuh-Nya dan mempertahankan diri serta membela agama-Nya, maka pembunuhan diperkenankan dan dibenarkan, wa qātilūhum ḥattā lā takūna fitnatun wa yakūna al- dīnu kulluhū lillāh….surah Al-Anfal8 : 39. Pembunuhan dibenarkan oleh agama bila disebabkan oleh adanya bughāt para pembangkang. Upaya membunuh atau memerangi mereka hingga kembali ke jalan Allah dibolehkan, selama perdamaian yang telah dilakukan di antara mereka mengalami kegagalan dikarenakan pembangkangan tersebut, Fain baghat iḥdāhumā ‘alā al-ukhrā faqātilū al-latī tabghī ḥattā tafī`a ilā amr Allah….surah Al-Hujurāt49 : 9. Demikian pula disebut pembunuhan dengan hak lantaran merealisasikan sangsi hukum dengan mengeksekusi terpidana mati melalui qisas, maka membunuh dilegitimasi oleh Al-Qur`an surah Al-Baqarah2 : 178 Yāayyuhā al-ladhīna āmanū kutiba ‘alaikum al-qiṣaṣ fī al-qatlā …. Namun pembunuhan dengan hak ini bukan semata-mata bertujuan untuk menghilangkan nyawa, terlebih didorong rasa dendam dan penuh kebencian, betapapun tindak kejahatan yang dilakukannya melampaui batas. Akan tetapi, khususnya dalam pelaksanaan qisas, untuk menegakkan perintah Allah dengan sebenar-benarnya, yakni mewujudkan keadilan dan menciptakan rasa aman serta kelestarian hidup bagi suatu komunitas manusia wa lakum fī al-Qiṣāṣ ḥayātun yā ulī al-Albāb la’allakum tattaqūn, Q.S. Al-Baqarah2 : 179. Dalam kondisi semisal di atas pembunuhan dapat dilaksanakan dengan cara ihsan, yakni dilaksanakan dengan tidak disertai rasa kebencian dan balas dendam serta penganiayaan 197 penyembelihan hewan. 861 Perilaku berihsan seperti ini merefleksikan hubungan kasih sayang seorang muḥsin terhadap binatang yang menjadi salah satu bagian dari lingkungan hidupnya, shingga secara proporsional akan selektif dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sikap membabibuta dan emosional mengekploitasi dengan semena-semena segala binatang yang hidup di permukaan bumi akan melahirkan kerugian kolektif. Selain itu Nabi saw mensyareatkan penyembelihan qurban, dam 862 , aqīqah 863 dan walimah pernikahan berupa hewan yang berjenis kelamin laki-laki. 864 Penetapan Nabi saw mengenai hewan jenis kelamin laki-laki yang disembelih menandakan komitmen syareat Islam kepada pelestarian lingkungan hidup dalam rangka merealisasikan ihsan kepada lingkungan alam. Jika jenis kelamin perempuan diperkenankan untuk disembelih bagi kepentingan berbagai ibadah dan konsumsi keseharian umat manusia akan berdampak kepada punahnya sepesis hewan tersebut. Dengan demikian hubungan muḥsin dengan lingkungan alam mengemban misi pelestarian alam dan kemakmurannya.

B. Martabat Muḥsin

Secara umum Allah swt memerintahkan suatu ketentuan kepada manusia selalu diiringi dengan penghargaan bagi yang melaksanakannya. Sebagai ahli ihsan, setiap muḥsin disetimulasi Al-Qur`an dengan penghargaan yang sepadan disesuaikan dengan jenis aktivitas yang dilakukan, sehingga, pada prinsipnya, orang yang berihsan akan mendapatkan penghargaan berupa ihsan pula QS. Al-Raḥmān55 : terhadap orang yang dibunuh, karena merasakan kehadiran dan pengawasan Allah dalam diri orang yang membunuh atau muḥsin. 861 HR. Muslim. Al-Nawawiy, Al-Minhāj, Juz 3, 1548. 862 Dam ialah denda yang harus dibayar dikala melaksanakan ibadah haji akibat memilih haji selain ifrad, meninggalkan wajib haji, atau melanggar larangan ihram. 863 Aqīqah adalah menyembelih hewan kambing karena adanya kelahiran bayi. Al-Ṣan’āniy, Subul Al-Salām, Juz 4, 97. 864 HR. Muslim. Teksnya adalah; َلﺎَﻗ ُﻪْﻨَﻋ َ ﱃﺎ َﻌَـﺗ ُﷲا َ ﻲِﺿَ ر ٍﺲَﻧَأ ْ ﻦَﻋ َةَدَﺎﺘَﻗ ْ ﻦَﻋ َﺔَﻧا َ ﻮَﻋ ْ ﻮُـﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪ َﺣ ٍﺪْﻴِﻌ َﺳ ُ ﻦْﺑ ُﺔَﺒ ْﻴَـﺘُـﻗ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪ َﺣ : ُﷲا ﻰﱠﻠ َﺻ ِﷲا ُل ْ ﻮ ُﺳَ ر ﻰﱠﺤَﺿ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َ ﻤِﻬ ِﺣﺎَﻔ ِﺻ ﻰَﻠَﻋ ُﻪَﻠ ْﺟِر َﻊَﺿَ و َ و َ ﺮﱠـﺒَﻛ َ و ﻰﱠَﲰ ِﻩ ِﺪَﻴِﺑ ﺎ َ ﻤ ُﻬََﲝَذ ِ ْ ﲔَـﻧ َ ﺮْـﻗَأ ِ ْ ﲔَﺤَﻠ ْﻣَأ ِ ْ ﲔَﺸْﺒَﻜِﺑ َ ﻢﱠﻠ َﺳ َ و ﺎ . ﻢﻠﺴﻣ ﻩاور Artinya : Diceritakan oleh Anas ra bahwa: Rasul Allah saw telah berkurban dengan dua ekor kambing yang baik-baik dan bertanduk, beliau menyembelihnya dengan tangannya sendiri, beliau membaca basmallah dan membaca takbīr serta meletakkan kakinya di samping leher keduanya. H.R. Muslim. Al-Nawawiy, Al- Minhāj, Juz 3,1556. 198 60. 865 Hal ini sejalan dengan kebutuhan akan harga diri dan penghargaan dari pihak lain yang melekat pada self aktualizer, 866 terutama selama hidupnya di dunia, kendati tidak dijadikannya sebagai harapan dan motivasi mutlak, dan sejalan dengan teori yang menyebutkan bahwa kebajikan mendatangkan penghargaan. 867 Penghargaan tersebut diberikan karena martabat seorang muḥsin berada pada level tertinggi dan karena keberadaan penghargaan itu sendiri yang termasuk ke dalam janji Allah yang pasti ditepati, setiap muḥsin tidak patut meragukannya, kendati janji-Nya bersifat misteri atau rahasia yang sulit ditaksir oleh penalaran logika. Al-Qur`an memberikan jaminan kepastian penghargaan tersebut QS. Hūd11 : 115. 868 Suatu hal yang mirip dengan keberadaan level tertinggi yang ditempati oleh muḥsin, Maslow menyebutnya dengan “the growing tip” atau “pucuk yang tumbuh mekar” yang dilabelkan kepada orang-orang yang sehat dan matang secara luar biasa sebagai pribadi-pribadi yang terkatualisasikan. 869 Namun predikat ini terbatas pada tingkat kematangan psikologis yang manusiawi, tidak mencapai kepada kematangan “psikologis plus” yang ditandai dengan mampu berkomunikasi dengan Tuhan seperti peristiwa Isra` dan Mi’raj, dan berhubungan dengan malaikat seperti dialog tentang islam, iman, dan ihsan yang dialami oleh Nabi saw. Surah Al-Qaṣaṣ28 : 77 menempatkan muḥsin pada martabat yang tertinggi. Surah ini memerintahkan manusia supaya berbuat ihsan kepada sesamanya dengan meniru perbuatan ihsan Allah yang telah dan selalu dilakukan kepada manusia. Huruf kāf yang tercantum pada penggalan ayat wa aḥsin kamā aḥsana Allah ilaika berfungsi sebagai adāt al- tashbīh 870 huruf yang digunakan pada ayat tersebut sebagai alat untuk 865 Al-Samarqandiy membahasnya lebih jauh ketika menafsirkan surah. Al- Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 3, 311. 866 Goble, The Third Force, 42. 867 Teori ini merupakan cetusan Plato dan Sokrates. Goble, The Third, 35. 868 Al-Alūsiy menjelaskan hal tersebut berhubungan dengan penafsirannya terhadap ayat di atas. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 6, 361. 869 Goble, The Third Force, 19 dan 24. 870 Kāf adalah salah satu alat yang digunakan untuk menyatakan penyerupaan yang menjadikan terjadi kaitan antara mushabbah sesuatu yang hendak diserupakan dengan mushabbah bih sesuatu yang serupai. Al-Sayyid Ahmad Al-Hāshimiy, Jawāhir Al-Balāghah fī Al-Ma’ānī wa Al-Bayān wa Al-Badī’ Indonesia, Maktabah Dār Al- Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1960, 248. Selanjutnya disebut Al-Hāshimiy, Jawāhir Al- Balāghah. 199 menyerupakan ihsan manusia dengan ihsan Allah dalam sebagian sifatnya dan sebagai huruf ta’līl yang berarti sebab. Dengan huruf kāf didudukan pada fungsi yang pertama menjadikan ihsan mutlak untuk diaplikasikan oleh manusia dengan menyerupai ihsan Tuhan. Sedangkan huruf kāf diposisikan sebagai fungsi yang kedua menjadikan ihsan Allah sebagai sebab dan teladan bagi keharusan manusia berbuat ihsan kepada sesamanya. 871 Hal ini berarti manusia dituntut agar menjadikan ihsan Allah sebagai uswah sekaligus rujukan dalam melakukan ihsan kepada semua pihak. Pengulangan iman dan takwa pada surah Al-Mā`idah5 : 93 hingga kemudian iman diganti dengan ihsan pada tahap ke tiga menandakan terdapatnya tiga martabat. Iman dan takwa yang pertama pada tahap mabda` permulaan, yang kedua pada martabat wasaṭ pertengahan, dan yang terakhir pada tingkat tertinggi atau muntahā puncak. Akhir ayat yang menekankan bahwa Allah menyukai al- muḥsinīn orang-orang berbuat ihsan mengindikasikan kepada orang yang memiliki sifat-sifat tersebut dan melampauinya dengan baik disebut muḥsin yang dicintai Allah dan ia merupakan tingkat tertinggi. 872 Jika seseorang tidak dapat mencapai martabat ihsan, maka ia dinilai cukup sampai pada takwa dan iman. Pencapaian martabat tertinggi tersebut salah satunya berhajat kepada perilaku wara’ menjauhkan dari hal-hal yang mendatangkan dosa dalam makan dan minum. 873 Semakin jelas lagi penggunaan kata thumma yang berarti kemudian pada ayat tersebut mengandung makna jarak serta menyangkut tingkat dan martabat yang menunjukkan kepada penjenjangan makna iman dan takwa. Demikian pula penyertaan kosakata aḥsanū bersama term iman dan takwa bermakna ketinggian martabat yang dapat 871 Essey di atas merupakan penafsiran Abī Ḥayyān terhadap ayat tersebut. Muhammad ibn Yūsuf Abū Ḥayyān Al-Andalusiy, Tafsīr Al-Baḥr Al-Muḥīṭ Beirut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001, Jilid 7, 128. Selanjutnya disebut Abū Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ. 872 Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Juz 1, 282. Ayat di atas memuji pribadi muḥsin yang tidak sebatas konsisten dengan iman, takwa, dan peningkatan amal saleh serta menjaga diri dari perbuatan tercela maksiat melainkan ia konsisten pula dalam memperindah amal dan berbuat ihsan kepada sesama manusia, serta memujinya . Abī Al-Qāṣim Jār Allah Mahmud bin Umar Al-Zamakhshariy Al-Khawārizmiy 467 – 538 H, Al-Kashshāf ‘an Ḥaqā`iq Al-Tanzīl wa ‘Uyūn Al-Aqāwil fī Wujūh Al-Ta`wīl Mesir, Maktabat Al-Muṣṭafā Al-Bāb Al-Ḥalabiy, 1972, 308. Selanjutnya disebut Al- Zamakhshariy, Al-Kashshāf. 873 Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 2, 539. 200 membawa dan mendatangkan ridha Allah. 874 Dengan kata lain ahli ihsan berada pada rengking tertinggi karena memiliki iman dan takwa yang berkualitas tertinggi. Penyebutan secara khusus term muḥsinīn pada QS. Luqmān31 : 3 adalah liannahum hum al-ladhīna intafa’ū bihi wa naẓarūhu bi ‘ain al- haqīqat karena mereka memiliki kemampuan memanfaatkan Al-Qur`an dan melihatnya dengan mata hakiki. 875 Hal ini mengisyaratkan bahwa sosok muḥsin adalah pribadi yang konsisten dalam mengamalkan Al- Qur`an dan memiliki ketajaman penglihatan yang dapat menembus sekat- sekat antara dirinya dengan makna Al-Qur`an hingga mampu memahami makna tersurat dan tersirat yang terdapat didalamnya. Pengulangan isim iṣārat “Ulā`ika” pada surah Luqmān31 : 5 “Ulā`ika ‘alā hudan min Rabbihim wa ulā`ika hum al-mufliḥūn” merupakan “tanbīhan ‘alā ‘iẓāmi qadrihim” menekankan bahwa muḥsin berada pada puncak kemuliaan. 876 Penempatannya pada martabat seperti ini merupakan sesuatu yang esensial mengingat pengamalan ibadah maḥḍah yang tercantum pada ayat 3 lebih berorientasi pada kualitas dengan melibatkan aspek rūḥāni sampai tingkat mushāhadah Al-Ḥaqq atau paling tidak level khashyat Allah. Hal ini berdampak kepada pelaksanaan salat, zakat, dan iman kepada akhirat seorang muḥsin berada pada derajat muntahā` puncak 877 yang menunjukkan a’lā marātib martabat tertinggi. Adapun ungkapan mengenai penghargaan tersebut dituangkan dalam Al-Qur`an ke dalam beberapa istilah, yaitu ziyādah tambahan, yuḥibbu mencintai, jazā’ balasan, Ajr pahala, al-tamlīk dengan menggunakan huruf jar “li” atau li al-milk kepunyaan yang tidak digandengkan dengan term ajr, tabshīr bashshir -fi’il amar- yang berarti gembirakanlah, muṣāhabah dengan memakai ma’a yang berarti bersama, riḍā raḍiya atau memperkenankan, i’dād a’adda yang bermakna menyediakan terabadikan, dan thawāb ganjaran. Pada dasarnya dari kesembilan term itu teridentifikasi ke dalam 874 Muhammad Ṭāhir Ibn ‘Āshūr, Tafsīr Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr Tunis, Dār Suhnūn li al-Nashr wa al-Tauzī’, t.t, Jilid 3, Juz 7, 36. Selanjutnya disebut Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, dan M. Quraish Shihab , Tafsir Al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`an Jakarta, Lentera Hati, 2000, Vol. 3, 184. Selanjutnya disebut Shihab , Tafsir Al-Mishbāh. 875 Abī Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 7, 179. 876 Abī Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 7, 179. 877 Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 6, 5. 201 dua macam penghargaan yang menggambarkan martabatnya yang mulia, yaitu martabat muḥsin di dunia dan martabatnya di akhirat. a. Martabat Muḥsin di Dunia Setiap muḥsin telah dijanjikan Allah swt akan merasakan martabat yang mulia dalam kehidupannya di dunia. 878 Sebutan “ḥasanah” yang tercantum pada surah Al-Naḥl16 : 30 dapat diinterpretasikan dengan ḥayāh ḥasanah atau kehidupan yang baik, mut’ah ḥasanah atau kesenangan yang baik, dan makānah ḥasanah atau martabat yang baik. 879 Hal ini dikarenakan kepribadiannya yang tertinggi. Muḥsin sebagai pemilik kepribadian 880 tertinggi ditandai oleh orientasi aktivitasnya yang lebih mengedepankan kualitas dan kuantitas amal saleh serta keindahan perangai, akibat dari kemauan kuat meninggalkan kebahagiaan lahiriah dengan mengutamakan kebutuhan orang lain yang tergantung kepadanya, atau beribadah tidak disertai kelalaian bersama Tuhan. 881 Pandangan hidupnya dilatarbelakangi oleh sikap berbaik sangka secara total kepada-Nya atas pahala dan dampak positif yang akan diterima. 882 Dalam pandangan Maslow kondisi psikologis seperti ini karena dimotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan yang lebih mulia dan lebih tinggi yang disebutnya meta-motivasi atau B-velues Being-velues hingga berkenan mengorbankan kehendak-kehendak yang rendah untuk meraih hasrat-hasrat luhur. 883 Pandangan dan sikap hidupnya tersebut direalisasikan pada kebiasaan berinfak dengan tulus serta upaya meredam sifat kikir yang membelit dirinya, dan menyadari dampak positif yang akan diterimanya sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah2 : 195. 884 Ayat ini, jika dilihat dari konteksnya, yang tercantum setelah perintah i’tidā` ‘alā al- 878 Bertepatan dengan penafsirannya terhadap surah Al-Naḥl16 : 30 Al- Zamakhshariy mengemukakan bahwa karena ihsannya orang yang berbuat ihsan mendapatkan kebaikan di dunia, sedangkan di akhiratnya akan mendapatkan yang lebih baik. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 571. 879 Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān, Jilid 4, 2169. 880 Kepribadian sebagai pola perilaku dan cara berfikir yang khas, yang menentukan penyesuaian diri seseorang dengan lingkungan. Sedangkan perilaku merupakan hasil interaksi antara karakteristik kepribadian dan kondisi sosial serta kondisi fisik lingkungan. Rita, Introduction, Jilid 2, 383. 881 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 1, 148. 882 Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 155 883 884 Penafsiran lebih jauh terhadap pesan ayat tersebut dapat dilihat dalam Al- Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 1, 368. 202 Mu’tadi melawan orang yang melakukan penyerangan sebagaimana termaktub pada penggalan QS. Al-Baqarah2 : 194 ِﻪ ْﻴَﻠَﻋ ا ْ وُﺪَﺘْﻋﺎَﻓ ْ ﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ يَﺪَﺘﻋا ِﻦ َ ﻤَﻓ ْ ﻢُﻜْﻴَﻠ َﻋ يَﺪَﺘْﻋا ﺎ َﻣ ِﻞْﺜِِﲟ yang mengindikasikan dibolehkannya membalas secara sepadan kepada orang yang telah menyerangnya, tetapi dibolehkan pula memaafkannya dengan tidak melawan atau membalas sebagaimana redaksi penggalan ayat tersebut yang diakhiri dengan perintah bertakwa dan pernyataan bahwa Allah senantiasa menyertai orang-orang yang bertakwa - َﲔِﻘﱠﺘ ُ ﻤْﻟا َ ﻊ َﻣ َﻪﱠﻠﻟا ﱠنَأ اﻮ ُ ﻤَﻠْﻋا َ و َﻪﱠﻠﻟا اﻮُﻘﱠـﺗا َ و - 885 Penempatan tersebut mengindikasikan kepada infāq fī sabīl Allah berderma di jalan Allah, dan larangan ‘an al-ilqā` bi al-yaddi ilā al- tahlukat menghancurkan diri sendiri ke dalam kebinasaan serta i’tidā` ‘alā al-Mu’tadī berhajat kepada penyertaan ihsan mengingat ihsan dibutuhkan dalam segala hal. 886 Berinfak disertai dengan upaya memperindahnya berihsan 887 menjadi bukti adanya motivasi berbuat 885 Al-Biqā’iy menyatakan hal ini berkaitan dengan penafsirannya terhadap ayat tersebut. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 1, 366. 886 Ibn ‘Āshūr menyatakan hal tersebut dengan merujuk kepada sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut: َﻼِﻗ ِﰉَأ ْ ﻦَﻋ ِءاﱠﺬَْﳊا ِﺪِﻟﺎ َﺧ ْ ﻦَﻋ َﺔْﻴَﻠُﻋ ُ ﻦْﺑ ُ ﻞْﻴِﻋﺎَْﲰِإ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪ َﺣ َﺔَﺒْﻴَﺷ ِﰉَأ ُ ﻦْﺑ ِﺮْﻜ َﺑ ْ ﻮُـﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪ َﺣ َﻋ ِﺚَْﴰَﻷْا ِﰉَأ ْ ﻦَﻋ َﺔَﺑ ِﻦْﺑ ِداﱠﺪَﺷ ْ ﻦ َلﺎَﻗ ٍس ْ وَأ : َلﺎَﻗ َ ﻢﱠﻠ َﺳ َ و ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠ َﺻ ِﷲا ِلْ ﻮ ُﺳَ ر ْ ﻦَﻋ ﺎ َ ﻤ ُﻬُـﺘْﻈِﻔ َﺣ ِنﺎَﺘْﻨِﺛ : ْ ﻢُﺘْﻠَـﺘَـﻗ اَذِﺈَﻓ ٍﺊْﻴَﺷ ﱢﻞُﻛ ﻰَﻠَﻋ َنﺎ َ ﺴْﺣِﻹْا َ ﺐَﺘَﻛ َﷲا ﱠنِإ َ ﺢْﺑﱠﺬﻟا ا ْ ﻮُـﻨ ِﺴْﺣَﺄَﻓ ْ ﻢُﺘَْﲝَذ اَذِإ َ و َﺔَﻠْـﺘ ِﻘْﻟا ا ْ ﻮُـﻨ ِﺴْﺣَﺄَﻓ ُﻪَﺘ َﺤْﻴِﺑَذ ْ حِ ُ ﲑْﻠَـﻓ ،ُﻪَﺗ َ ﺮْﻔَﺷ ﻢُﻛُﺪ َﺣَأ ﱠﺪ ِﺤُﻴْﻟ َ و . ﻢﻠﺴﻣ ﻩاور Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 216. Adapun Al-Biqā’iy menyebutkan bahwa hal tersebut menunjukkan kepada infāq fī sabīl Allah berderma di jalan Allah, dan larangan ‘an al-ilqā bi al-yadd ilā al- tahlukat menghancurkan diri sendiri ke dalam kebinasan memerlukan kepada penyertaan ihsan agar dalam pendayagunaan harta dijiwai ihsan, serta i’tidā` ‘ala al- Mu’tadī membutuhkan ketakwaan supaya dalam berperang tidak didominasi oleh keinginan membalas dendam. Penafsirannya merujuk kepada Al-Ḥarāliy yang menyatakan bahwa kedua ayat tersebut berpesan supaya tidak terjadi balas dendam dalam peperangan dan agar ihsan selalu menyertai pengelolaan harta. Hal ini pada mulanya dimaksudkan agar orang-orang Anshar gemar berinfak mengikuti jejak orang- orang Muhajirin yang rela meninggalkan harta mereka. Mereka membulatkan tekad melakukan hijrah, orang-orang Anshar dituntut untuk tidak terjebak dengan kelezatan dunia, dan mereka telah meninggalkan tumpah darah mereka, orang-orang Anshar sepatutnya meninggalkan watak mereka yang cnderung mempertahankan harta. Alhasil orang-orang Anshar sepatutnya bercermin kepada sifat-sifat Muhajirin yang tulus meninggalkan harta mereka. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 1, 294. 887 Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 113. 203 baik kepada sesama manusia yang melahirkan ketulusan dan menghindar dari dorongan pamrih sejalan dengan perintah ihsan. 888 Berihsan dalam menghindarkan diri dari tindakan yang dapat menghancurkan diri sendiri seperti putus asa menghadapi kehidupan adalah dengan berbaik sangka kepada Allah. 889 Sedangkan pelaksanaan sanksi hukum bagi penyerang dilandaskan pada ketulusan, tanpa disertai sikap emosional. Balasan kepada penyerang agar berjalan di atas prinsip kesepadanan dan berorientasi kepada perbaikan pribadi orang yang dibalas. Demikian pula berjihad di jalan Allah supaya menyayangi orang yang ditahan, menjaga harta, melindungi rumah dari kehancuran, dan waspada terhadap hal-hal yang dapat menghancurkan diri sendiri. Pemilik perilaku ini disebut muḥsin yang patut mendapatkan kecintaan Allah. Kecintaan-Nya merupakan faktor utama untuk mendapatkan perbaikan dan kebaikan kehidupan di dunia dan akhirat. 890 Dalam kaitannya dengan pengertian tersebut, maka infāq fī sabīl Allah dapat berarti menggunakan harta untuk berjihad di jalan Allah swt dalam rangka memuliakan Islam dan umat Islam, dengan tidak menganiaya siapa-pun dan merusak apa-pun, sehingga selamat dari al- ilqā` bi al-yaddi ilā al-tahlukat. Perilaku ini menunjukkan ketinggian perangai yang hanya dimiliki oleh muḥsin sebagai sosok pribadi yang mampu berderma, mengekang sifat emosional dan egoisnya, serta mengutamakan tumbuhnya sikap pemaaf dan toleran. 891 Sifat-sifat mulia tersebut mencerminkan sosok pribadi yang mengaktualisasikan dirinya sebagai manusia super yang di antara cirinya ialah kepedulian kepada 888 Bagi Samarqandiy perintah ihsan yang termaktub pada ayat tersebut ditafsirkannya dengan berihsan dalam berinfak yang bermakna ikhlas dalam niat melaksanakan nafakah. Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 1, 163. 889 Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 113. 890 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 216. 891 Setitmen di atas merupakan kandungan dari penafsiran Al-Alūsiy atas surah Ali ‘Imrān3 : 134. Menurutnya al yang tercantum pada kata al-muḥsinīn memiliki dua maksud yaitu li al-jins yang melahirkan makna al-muḥsinīn adalah mencakup seluruh sifat mulia yang telah disebutkan, dan li al-‘ahd yang mengakibatkan al-muḥsinīn berarti sifat-sifat mulia tersebut termasuk dalam kategori ihsan. Al-Alūsiy, Rūḥ Al- Ma’ānī, Jilid 2, Juz 4, 273-274. Sedangkan Ibn ‘Āshūr dalam menafsirkan ayat tersebut menyebutkan bahwa adanya keutuhan sifat-sifat mulia tersebut pada diri seseorang menunjukkan melekatnya ihsan yang mengantarkannya menjadi muḥsin yang dicintai oleh Allah. Pernyataannya ini berkaitan dengan penafsirannya terhadap QS. Ali ‘Imrān3 : 134 yang diakhiri dengan wa Allah yuḥibb al-shābirīn. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 3, 217. 204 semua manusia dan berusaha untuk meningkatkan kehidupan, 892 keterikatannya dengan kemanusiaan, ia memperhatikan kesejahteraan, dan memiliki minat sosial yang direfleksikannya ke dalam sifat simpati, empati, dan altruis, serta demokratis yang ditunjukkan dalam sikap toleran, tidak rasialis, dan terbuka, 893 serta kasih sayang yang mendalam sehingga ikhlas untuk membantu mereka, seolah-olah mereka semuanya adalah anggota dari satu keluarga. 894 Akan tetapi keunggulan seorang muḥsin adalah mengkaitkan sifat-sifat positif tersebut kepada Tuhannya. Pribadi muḥsin yang termaktub dalam surah Ali ‘Imrān3 : 134 tidak sebatas rela menginfakan hartanya di jalan Allah di kala lapang dan sempit, mengekang amarah, dan pemaaf. Akan tetapi dia tidak menganggap pihak lain berbuat salah dan mempunyai kesalahan pada dirinya, bahkan dia senantiasa berbuat baik kepada siapa-pun termasuk kepada mereka yang berbuat salah kepada dirinya. 895 Sikap ini menunjukkan keluhuran budi pekerti seorang muḥsin yang memiliki mutu sepiritual ideal yang tidak terbatas pada terjadinya harmoni antara dirinya dengan lingkungan, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu menikmati pengalaman puncak yang bersifat surgawi dan suci, dan dirasakan dalam pertemanan, keluarga, dan pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari. Poin ini merupakan ciri penting yang menunjukkan keunggulan pribadi muḥsin dibandingkan dengan pribadi aktual yang pengalaman puncaknya tidak sepenuhnya bersifat surgawi dan suci. 896 Surah Al-Nisā`4 : 128 mengisyaratkan ketinggian martabat seorang muḥsin yang direalisasikannya dengan mempercantik perangai dalam tata kehidupan berkeluarga. Komunikasinya diperindah dalam memenuhi hak-hak isterinya, dengan bersabar meski perangai isterinya tidak disukai. Pernyataan Al-Qur`an pada penggalan ayat ا ْ ﻮُـﻨ ِﺴُْﲢ ْنِإ َ و jika kamu berbuat baik kepada isteri mengisyaratkan alternatif yang relevan untuk dipilih seorang suami, jika berkehendak mencapai derajat muḥsin 892 Howard S. Friedman dan Miriam W. Schustack, Personality, Classic Theories and Modern Research, terjemahan Fransiska Dian Ikarini, S.Psi, Maria Hany, dan Andreas Provita Prima, Kepribadian, Teori Klasik dan Penelitian Modern Jakarta, Penerbit Erlangga, 2008, Jilid 1, 352. Selanjutnya disebut Friedman, Kepribadian. 893 Wilcox, Personality, 297, Rita, Introduction, Jilid 2, 402, dan Syamsu, Teori, 163. 894 Maslow, Motivation, 138. 895 Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Volume 2, 208. 896 Howard, Kepribadian, Jilid 1, 352. 205 atau ahl al-iḥsān yang menjadi lambang pemilik perangai dan mutu sepiritual tertinggi yang diaktualkan dengan sifat sabar. 897 Apabila ditilik dari sudut pandang klasifikasi mutu kepribadian, maka pelaku ihsan digolongkan ke dalam dua subjek yang mengandung makna berjenjang, yakni golongan awam dan kelompok khusus. Golongan yang disebut pertama menunjukan kepada kualitas perangai yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang disebut terakhir. Bagi kaum awam bertakwa dan berihsan adalah takut kepada larangan dan berbuat baik kepada semua ciptaan Allah swt. Sedangkan bertakwa dan berihsan dalam kehidupan golongan khusus ialah berhati-hati menghadapi dan menyelami realita kehidupan makhluk, dikarenakan semata-mata menginginkan mushāhadah atau menyaksikan Allah, dan melaksanakan ibadah seolah-olah melihat-Nya, kemudian mereka memandang kecintaan Allah akan diberikan kepada orang yang berihsan dalam perbuatan, sifat, dan pemikiran. 898 Pandangan ini meletakkan muḥsin pada tingkat tinggi. 897 Kajian lebih jauh tentang hal tersebut dilihat dalam Al-Alūsiy, Rūḥ Al- Ma’ānī, Jilid 3, Juz 5, 155-157, dan Ibn ‘Aṭiyyah menyatakan ayat ini menganjurkan suami agar berbuat ihsan dalam memperindah relasi dan pergaulan dengan istrinya serta bersabar atas keburukan perangai istrinya yang tidak disukai sebagai implementasi dari keluhuran akhlaknya. Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar, h. 487. 898 Ini adalah penafsiran Al-Qushairiy atas QS. Al-Mā`idah5 : 93. Penggalan ayat “thumma ittaqaw wa āmanū tsumma ittaqaw wa aḥsanū” ditafsirkannya bahwa mereka takut kepada segala larangan Allah dan berbuat ihsan kepada segenap makhluk, perilaku ini berlaku bagi kaum awam. Adapun waspada atau berhati-hati akan kehadiran makhluk dengan prinsip sebaik-baiknya yang hadir adalah al-Ḥaqq Allah dan beribadah seolah-olah melihat-Nya merupakan karakteristik bagi kelompok atau kaum khusus. Allah mencintai mereka yang berbuat ihsan dalam perbuatan, pemikiran dan sifat. Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Jilid 2, 134. Sedangkan Ibnu ‘Aṭiyyah dengan subtansi penafsirannya yang sama dengan Al-Qushairiy menyatakan bahwa pengulangan kata ittaqaw pada ayat tersebut mengindikasikan adanya nilai tambah yang lebih tinggi pada setiap penyebutan dari yang disebutkan sebelumnya hingga mencapai pada puncak tertinggi. Dengan mengutip pendapat para pakar tafsir ia menyatakan di antara mereka terdapat pakar yang berpendapat bahwa pengulangan tersebut menunjukkan tiga tingkat ketakwaan. Tīngkat pertama ialah menjaga diri dari syirik dan dosa-dosa besar seraya beriman dengan sempurna serta beramal saleh. Tīngkat kedua adalah konsisten dengan perilaku pada tingkat pertama. Tīngkat ketīga ialah puncak tingkatan takwa dengan melaksanakan yang dianjurkan di samping mengamalkan yang difardukan, baik dalam ibadah yang berdimensi vertikal seperti salat maupun yang berdimensi horizontal seperti sedekah dan lainnya, tingkat ini disebut perilaku ihsan. Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar, 576. 206 Penempatan muḥsin pada posisi yang tertinggi sejalan dengan eksistensi agama. Agama memiliki tiga unsur yang termuat di dalamnya maksud yang bertingkat. Ketiga unsur itu adalah Islam, iman, dan ihsan. Seseorang memulainya dengan Islam, berkembang menuju iman, dan puncaknya berakhir pada ihsan. 899 Orang yang menerima warisan Kitab Suci yakni, mempercayai dengan berpegang pada ajaran-ajaran-Nya namun masih juga berbuat aniaya adalah orang yang baru memiliki kepasrahan atau menjadi seorang muslim, yakni suatu tingkat permulaan dalam pelibatan diri melakukan kebenaran. Ia bisa berkembang menjadi seorang yang beriman atau menjadi seorang mukmin, suatu tingkat lebih tinggi yang telah dicapainya dari jenjang muslim, yaitu tingkat yang disebut dengan muqtaṣid menengah. Ia sebagai orang yang telah membebaskan diri dari melakukan perbuatan aniaya, tetapi dalam berbuat kebaikan ia masih berada pada martabat atau kualitas sedang. Pada tingkat yang lebih tinggi lagi, seseorang dalam melaksanakan kitab suci tidak hanya terbatas pada berbuat baik dan melepaskan diri dari belenggu perbuatan jahat atau aniaya, melainkan ia berupaya di depan dan menjadi pelomba yang unggul atau sābiq pemenang lomba yang selalu berada di muka dalam meraih dan melaksanakan berbagai kebaikan. Potret orang semacam ini tergolong orang yang telah berihsan, yakni figur yang telah mencapai tingkat menjadi seorang muḥsin atau ahli al-iḥsān. Orang yang telah berada pada tingkat muqtaṣid dengan imannya dan tingkat sābiq dengan ihsannya akan masuk surga dengan tidak sama sekali merasakan ‘adhāb atau siksaan api neraka. Sedangkan orang yang melaksanakan kitab suci sebatas mencapai tingkat sebagai ẓālim li nafsih atau muslim yang masih sempat berbuat aniaya, ia akan masuk surga setelah terlebih dulu merasakan siksaan neraka untuk membersihkan dosa-dosa yang diperbuatnya. Manakala ia tidak bertobat, maka dosanya tidak akan diampuni oleh Allah swt. 900 Selain itu, penempatan Muḥsin pada martabat tertinggi, dikarenakan kemampuannya melestarikan perilaku ihsan yang menjadi tingkat tertinggi dari kebaikan amal. Apabila perbuatan ihsan itu 899 Ibn Taimiyyah 661-728 H mengkaitkan ketiga unsur tersebut dengan QS. Fāṭir35 : 32. Taqy Al-Dīn Abī Al-Abas Ahmad bin Abd Al-Halīm bin Abd Al-Salām Al-Ḥarrāniy Al-Damshiqiy ibn Taimiyyah, Al-Tafsīr Al-Kāmil Beirut, Dār Al-Fikr, 2002, Jilid 5, 312. Selanjutnya disebut Ibn Taimiyyah, Al-Kāmil. 900 Ibn Taimiyah, Al-Kāmil, Jilid 5, 312, dan Ibn Taimiyah, Al- Īmān, Tahqīq wa Takhrīj, ‘Ishām Al-Dīn Al-Shabābiṭiy Kairo, Dār Al-Hadīth, 1994, 11. 207 direalisasikan terhadap sesama makhluk, maka seorang muḥsin akan melihat dirinya pada diri pihak lain, sehingga ia memberikan kepadanya sesuatu yang semestinya untuk dirinya sendiri. Dalam kondisi seperti ini ia tidak lagi melihat dirinya, melainkan hanya melihat pihak lain. Apabila diaplikasikannya dalam beribadah kepada Allah swt, maka seorang muḥsin akan meleburkan dirinya sampai semata-mata melihat Allah swt dan tidak melihat dirinya lagi. 901 Dengan demikian muḥsin memiliki kemampuan melihat dan menemukan sesuatu yang hakiki. Kemampuan ini merupakan kondisi sepiritual yang sukar dipahami dan dicapai kaum awam. Sesuatu yang hakiki dalam dimensinya yang utuh terlihat sebagai tanda kebesaran Allah yang mengandung hikmah, baik yang terdapat di dalam maupun di luar dirinya termasuk di dalamnya sesuatu yang seolah-olah mengandung pertentangan yang menjadi sunnatullah sebagai bagian dari ciptaan-Nya yang berpasang-pasangan. 902 Seseorang dapat belajar menangkap hakekat sesuatu, jika terlatih melihat hikmah dan berusaha menangkap hakikat di balik yang tampak pada tataran lahiriah dengan menyisihkan, kalau tidak dapat menghapuskan, tabir yang menghalanginya. 903 Keberhasilan seseorang melakukannya akan mendatangkan penghargaan Allah swt yang menilainya sebagai pribadi unggulan, dan Dia tidak akan menyia-nyiakan kedudukannya sebagai muḥsin. Keberadaan muḥsin pada martabat tertinggi, baik dalam perspektif Al-Qur`an dengan beberapa ayatnya, maupun menurut pandangan beberapa pakar menjadikan muḥsin merupakan profil ideal yang merepresentasikan pribadi yang memuat keutuhan komunikasi dengan Allah swt dan sesama makhluk secara integral dan sempurna. 904 Keadaan pribadi seperti ini tentunya memilkiki manfaat yang signifikan 901 Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 1, 142. 902 Al-Biqā’iy dalam menafsirkan QS. Al-Dhāriyāt51 : 18 menyatakan bahwa sesungguhnya permohonan ampunan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat ihsan muḥsinīn kepada Allah adalah dengan menggunakan mata hati, karena mereka mempunyai kemampuan melihat tanda-tanda kebesaran Allah dan hikmahnya yang tidak terhingga yang terdapat pada segala milik-Nya, baik berupa alam semesta atau diri manusia sendiri. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 8, 198. 903 Al-Biqā’iy ketika menafsirkan QS. Al-Dhāriyāt51 : 16 menyebutnya mereka orang-orang yang berbuat ihsan muḥsinīn beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 8, 198. 904 Al-Biqā’iy ketika menafsirkan QS. Al-Dhāriyāt51 : 16 mengungkapkan pula bahwa muḥsinīn adalah orang-orang yang berbuat ihsan dalam berkomunikasi dengan Allah swt dan sesama makhluk. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 8, 198. 208 dalam kehidupan kolektif. Martabat seperti ini layak diterimanya sehubungan muḥsin adalah orang yang beriman dan taat selama hayat di kandung badan serta dengan tanggung jawab sosialnya mengajak orang lain untuk beriman dan mengamalkan segala sesuatu yang diperintahkan-Nya. 905 Iman dan kepatuhan serta watak solider yang diimplementasikan dalam dedikasi yang tinggi menjadi faktor yang signifikan untuk mendapatkan martabat kehidupan yang baik sebagai penghargaan Allah. Sebagai contoh Nabi Yūsuf as yang dalam sejarah kehidupannya, disamping mengalami kepedihan yang dihadapinya dengan tabah, merasakan pula kehidupan yang ḥasanah dengan martabat yang mulia dan dimuliakan. Hal ini dikarenakan bagi orang yang berbuat ihsan memperoleh martabat tinggi di dunia merupakan keniscayaan, dan Allah dengan konsekwen menghendaki ihsan menjadi bagian hidup setiap orang. Nabi Yūsuf as menikmati martabat tersebut berupa jabatan tinggi sebagai anugerah Allah. 906 Jabatan tinggi yang dipegang Nabi Yūsuf as disebut dengan “makīnun amīn” 907 yang melambangkan keluhuran martabat di dunia karena dipercaya mutlak oleh raja di negeri Mesir. 908 Jabatannya sebagai bendahara negara atau khazā’in al-arḍ 909 atau lembaga pengelola kekayaan negara, 910 yang memiliki kekuasaan penuh sesuai dengan permintaannya, 911 menjadikannya leluasa mengelilingi seluruh penjuru 905 Al-Marāghiy, Tafsīr Al-Marāghiy, Juz 14, 74. 906 Penafsiran Zamakhsyariy terhadap surah Yūsuf12 : 56 menggambarkan martabat Nabi Yūsuf as yang merupakan anugerah Allah dapat dimanfaatkannya semaksimal mungkin hingga mendapatkan sukses yang menakjubkan . Al- Zamakhshariy, Tafsīr al-Kashshāf, 521. 907 QS. Yūsuf12 : 54. 908 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 13, 7. 909 QS. Yūsuf12 : 55. 910 Termasuk dalam terminologi khazā’in al-arḍ, kebutuhan pokok, pertanian, perpajakan, dan seluruh kekayaan bumi Mesir. Al-Fayrūzabādiy, Tafsīr Ibn ‘Abbās, 242, Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān Jilid 7, 241, Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 2, 166, Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 1002, Al-Baghawiy, Ma’ālim Al-Tanzīl, Juz 2, 363, Abī Ḥayyān, Tafsīr al-Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 5, 318, dan Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al- Tanwīr, Jilid 6, Juz 13, 8. 911 Permintaan dan pilihan tugas dan jabatan Nabi Yūsuf as sebagai bendaharawan negara adalah sesuai dengan keahliannya yang memungkin dirinya dapat melaksanakan pekerjaan dan pengabdian dengan maksimal dan adil dalam rangka menegakkan kebenaran, keadilan, mencegah kezaliman serta memperbaiki dan meningkatkan kehidupan masyarakat, baik lahir maupun batin, dan aspek material atau 209 negeri dan mudah menginstruksikan dan mensosialisasikan setiap kebijakannya. Hal ini disebabkan memperoleh rahmat dan pertolongan Allah swt sebagai penghargaan yang diterima karena keberadaannya sebagai muḥsin. 912 Martabat yang diterima Nabi Yūsuf as sebagai penghargaan Allah akan diterima pula oleh setiap muḥsin mengingat kosakata muḥsinīn sebagai jamak plural yang tercantum pada surah Yūsuf12 : 56 bersifat umum yang meliputi keseluruhan ahli ihsan. 913 Surah Al-Zumar39 : 10 secara tekstual melukiskan pula penghargaan bagi muḥsinīn berupa kebaikan dunia sebagai karunia Allah dalam rangka memuliakan dan melindunginya. 914 Kebaikan atau ḥasanah di dunia bagi muḥsin yang tertera pada surah Al-Naḥl16 : 30 dan surah Al-Zumar39 : 10 masih bersifat umum yang dapat dirinci ke dalam beberapa hal sebagai berikut: 1. Anugerah dan Hidayah dari Allah swt Anugerah yang termuat dalam sebutan wahabnā 915 yang termaktub pada surah Al-An’ām6 : 84 dijadikan Allah swt sebagai sepiritual, tanpa terselip sedikitpun dalam hati kepentingan pribadi sebagaimana layaknya dilakukan para nabi. Seseorang yang berkehendak memperoleh kedudukan atau jabatan dapat ditolelir selama keselamatan kedudukan dan jabatan tersebut terjamin di tangannya dan tidak ada orang lain lagi yang dapat mengembannya. Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 2, 166, Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 1002, Al-Bayḍāwiy, Anwār Al- Tanzīl, Jilid 1, 488, Abī Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 5, 318, dan Ibn ‘Āshūr, Al- Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 13, 8-9. 912 Termasuk dalam terminologi rahmat adalah seluruh nikmat, di antaranya kenabian, ketundukan sepenuhnya kepada Allah, kekuasaan, dan keselamatan dari berbagai bencana. Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 2, 166, Al-Baghawiy, Ma’ālim Al-Tanzīl, Juz 2, 364, Al-Qāshimiy, Tafsīr al-Qāshimiy, Juz 9, 244-245, dan Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 13, 11. 913 Al-Ṭabariy menyatakan bahwa Allah tidak akan menggugurkan pahala bagi orang yang berbuat ihsan yang diwujudkan dalam kepatuhan serta melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya sebgagaimana Allah tidak menggugurkan pahala bagi Nabi Yūsuf as. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 7, 242. 914 Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān, Jilid 5. h. 3034. Ḥasanah pada surah Al- Zumar39 : 10 ditafsirkan oleh sebagian pakar tafsir dengan kesehatan badan yang prima dan sempurna. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 10 : 622. 915 Kata wahabnā ditafsirkan oleh Shaukāniy dengan jazā` imbalan atau pemberian Allah kepada Nabi Ibrāhīm yang membela dan mencurahkan kemampuan dirinya untuk agama. Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 2, 173. Sedangkan Ibn ‘Āshūr menyatakan bahwa Wahabnā berasal dari wahaba, yahibu, hibah berarti pemberian cuma-cuma dalam rangka mengistimewakan dan memberi kemudahan. Ibn ‘Āshūr, Al- Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 3, Juz 7, 337. 210 penghargaan yang diberikan kepada setiap muḥsin, berupa anak-cucu yang saleh, bahkan menjadi rasul dan nabi dikarenakan hidayah-Nya, seperti yang dialami Nabi Ibrāhīm dan Nabi Nuh. Nabi Ibrāhīm mendapatkan putera yang menjadi utusan Allah bernama Nabi Ishak as dan cucu bernama Nabi Ya’qub as, putera Nabi Ishak. Nabi Nuh as dianugerahi keturunan menjadi rasul, di antaranya Nabi Dawud as, Nabi Sulaiman, Nabi Ayyub, Nabi Yūsuf, Nabi Musa, dan Nabi Harun as. 916 Anugerah ini merupakan penghargaan Allah kepada Nabi Ibrāhīm dan Nabi Nuh as. Keturunan mereka yang ahli ihsan atau muḥsinīn sebagai buah dari hidayah yang diterima dan diamalkan serta kesungguhan dan kesabaran mentaati berbagai ketentuan dan mengemban pesan-pesan-Nya. Selain itu, secara bersama-sama, mereka mendapatkan anugerah kenabian dan kitab dari Allah. 917 Penyebutan al- muḥsinīn pada ayat tersebut memuat makna setiap individu dapat menjadi ahli ihsan 918 yang patut memperoleh anugerah dan hidayah-Nya.

2. Rahmat Allah

Kedekatan para muḥsin dengan rahmat Allah swt merupakan kehormatan-Nya yang layak diterima mengingat sikap hidup mereka yang berorientasi kepada kemaslahatan diri dan lingkungan hidupnya. 919 Penggalan ayat yang termaktub dalam surah Al-A’rāf7 : 56 “inna rahmata Allah qarībun min al-muḥsinīn” dapat diinterpretasikan bahwa rahmat Allah dekat kepada orang-orang yang berbuat ihsan, karena penghargaan-Nya akan diberikan kepada seseorang, sesuai dengan kapasitas amal yang dilakukannya. Seorang ahli ihsan dalam ibadah akan menerima penghargaan sebaik-baiknya, dan seorang ahli ihsan dalam berdo’a patut mendapatkan sesuatu yang lebih baik atau setara dengan 916 Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 1, 499. 917 Al-Alūsiy menafsirkan surah Al-Ḥadīd57 : 26 dengan menyebutkan bahwa Allah telah memberikan wahyu berupa kitab dan menganugerahkan predikat kenabian kepada Nabi Nuh dan Ibrāhīm. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 14, 189. 918 Al-Ṭabriy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 5, 257. Ibn ‘Āshūr mendudukkan penggalan ayat wa kadhālika najzī al-muḥsinīn sebagai jumlah i’tirāḍ di antara kalimat yang disambungkan dengan kata sambung, dan wāw-nya sebagai hāl. Artinya anugerah yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrāhīm as dan hidayah-Nya yang dikaruniakan kepada keturunannya menjadi penghargaan-Nya bagi muḥsinīn. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 3, Juz 7, 340. 919 Ketika menafsirkan surah Al-A’rāf 7 : 56 Al-Rāziy mengutarakan bahwa Rahmat Allah akan deberikan kepada orang-orang yang berbuat ihsan, sementara orang- orang kafir tidak akan mendapatkannya. Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 9, Juz 14, 111. 211 yang diinginkannya. 920 Adapun rahmat Allah dapat berupa al-‘afw penghapusan, al- ghufrān pengampunan, dan ihsan-Nya perbuatan baik Allah atau al- maṭar pemberian hujan yang dapat menyuburkan tanah untuk kesejahteraan hidup. 921 Makna tersebut memperlihatkan bahwa hakekat rahmat meliputi aspek material seperti hujan dan immaterial seperti ampunan yang dirasakan muḥsinīn. 3. Hikmah dan Ilmu Pemberian hikmah dan ilmu kepada muḥsin merupakan kehormatan Allah swt yang patut diterimanya. Nabi Yūsuf, 922 Musa, 923 Lut, 924 Dawud, dan Sulaeman as 925 adalah figur-figur yang dijadikan contoh dalam Al-Qur`an sebagai penerima kehormatan tersebut. Sebutan ḥukman pada surah Yūsuf12 : 22, Al-Anbiyā`21, 74 dan 79, serta Al- Qaṣaṣ28 : 14 identik dengan ḥikmah yang ditafsirkan dengan kenabian, 926 dan diinterpretasikan dengan ilmu tentang kebenaran yang diamalkan dan berupaya menghindari dari sesuatu yang tidak diketahui. 927 Ḥukman diartikan pula dengan potensi yang dapat membentengi seseorang dari kejahatan hawa nafsu. 928 Selain itu ḥukman bermakna kekuasaan dan menetapkan keputusan hukum dengan benar. 929 920 Al-Marāghiy, Tafsīr Al-Marāghiy, Juz 8, 179-180. 921 Rahmat ditafsirkan dengan al-‘afw penghapusan dan al-ghufrān pengampunan oleh al-Zujāj yang dipilih sebagai rujukan oleh al-Nuḥās. Rahmat diartikan pula dengan al-iḥsān kebaikan Allah yang dapat diartikan pula perbuatan Allah sesempurna mungkin bagi muḥsin, dan rahmat diinterpretasikan oleh al-Akhfasy dengan al-maṭar hujan. Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’, Juz 7, 227. 922 QS. Yūsuf12 : 22. 923 QS. Al-Qaṣaṣ28 : 14. 924 QS. Al-Anbiyā`21 : 74. 925 QS. Al-Anbiyā`21 : 79. 926 Al-Baghawiy, Ma’ālim Al-Tanzīl, Juz 2, 351, dan Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 5, Juz 12, 248. Ibn ‘Āshūr merujuk penafsirannya tentang ḥukman dengan kenabian kepada firman Allah yang termaktub pada surah Al-Anbiyā`21 : 79 yang melekatkan ḥukman dan ‘ilman kepada Nabi Dawud dan Sulaiman as. 927 Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 509. Al-Bayḍāwiy menafsirkannya dengan ilmu yang diperkuat dengan amal. Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 480. Adapun Ibn ‘Āshūr menginterpretasikannya dengan ilmu tentang hakekat sesuatu yang dikerjakan dengan cara yang benar dan menjauhi hal-hal yang berlawanan. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 5, Juz 12, 248. 928 Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 4, 248. 929 Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 986. Al-Bayḍāwiy, Tafsīr al-Baeḍāwiy, Jilid 1, 480. 212 Sedangkan ilman berarti memahami agama. 930 Di antara beberapa pakar tafsir, terdapat mufassir yang mengatakan bahwa ḥukman ialah tepat sasaran jika berbicara, 931 dan ilman yang berkenaan dengan Nabi Yūsuf as adalah kemampuan menakwilkan mimpi, 932 dan terdapat pendapat yang membedakan antara al-ḥakīm yang diartikan dengan orang yang melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan ilmu, dengan al-‘ālim yang didefinisikan dengan orang yang mengetahui berbagai hal. 933 Hikmah dan ilmu dianugerahkan kepada Nabi Yūsuf dan Musa as, khususnya, sebagai penghargaan-Nya atas perbuatan ihsan mereka yang konsisten, yang direalisasikan dalam pengabdian mereka yang maksimal kepada umat meski berhadapan dengan kezaliman. 934 Penghargaan tersebut layak diterima setiap ahli ihsan mengingat ihsannya berpengeruh besar kepada kesucian akal, kejernihan dalam pemahaman, dan penguasaan berbagai hakekat persoalan. 935 Kesemua makna hikmah dan ilmu yang ditawarkan para pakar tafsir tersebut telah menyatu pada diri mereka dan dijadikan sebagai bekal dalam merealisasikan dan mengemban misi ketuhanan dan kemanusiaan yang melekat pada tugas kenabian. 936

4. Karunia Allah Manna Allah

Karunia Allah atau al-Minnah menjadi penghargaan yang patut diterima setiap muḥsin, sebagaimana telah dirasakan Nabi Yūsuf as dan keluarganya. 937 Karunia Allah diberikan kepada Nabi Yūsuf as berupa kesuksesan dalam menghadapi cobaan dan ujian yang berat dan bertubi- tubi, bertemu dan berkumpul kembali bersama keluarganya setelah lama berpisah, mendapatkan kemuliaan setelah terhinakan, dan merasakan kegembiraan sesudah kesedihan. Hal ini dikarenakan keberadaannya sebagai muḥsin dengan mengedepankan takwa dan sabar dalam 930 Al-Baghawiy, Ma’ālim Al-Tanzīl, Juz 2, 351, dan Abī Ḥayyān, Al-Baḥr Al- Muḥīṭ, Jilid 5, 293. 931 Al-Baghawiy, Ma’ālim Al-Tanzīl, Juz 2, 352. 932 Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 986, dan Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 480, serta Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 5, Juz 12, 248. 933 Al-Baghawiy, Ma’ālim Al-Tanzīl, Juz 2, 351-352. 934 Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 2, 156, Al-Zamakhshariy, Tafsīr al- Kashshāf, 509, dan Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 480, serta Abī Ḥayyān, Al- Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 5, 293. 935 Al-Marāghiy, Tafsīr Al-Marāghiy, Juz 12, 127. 936 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 5, Juz 12, 248. 937 QS. Yūsuf12 : 90. 213 menerima ujian. 938 Penyebutan term muḥsinīn pada akhir surah Yūsuf12 : 90 merupakan kehormatan Allah kepada ahli ihsan yang dalam perilaku kehidupannya selalu bertakwa dan bersabar, meski menghadapi cobaan berat yang memancing rasa prustasi dan sifat dendam. Takwa dan sabar menjadi bagian melekat dari karakteristik muḥsin. 939

5. Salām Keselamatan, Kedamaian, dan Kesejahteraan

Salām sebagai penghargaan bagi ahli ihsan adalah maṣdar berasal dari kosakata َ ﻢِﻠ َﺳ – ُ ﻢَﻠ ْ ﺴَﻳ – ًﺔ َﻣَﻼَﺳ - ﺎ ًﻣَﻼ َﺳ yang berarti keselamatan dan terhindar dari kebinasaan lahir dan batin, serta berarti kedamaian dan kesejahteraan. 940 Nabi Nuh as merupakan salah satu figur muḥsin yang telah mendapatkan dan merasakan penghargaan tersebut. 941 Nabi Nuh as mendapatkan karunia Allah keselamatan, kedamaian, kesejahteraan, dan keharuman nama baik yang abadi sepanjang hayat di dunia dan akhirat, 942 hingga tidak ada seorangpun yang menilai buruk kepadanya, meski dari penganut agama Majusi. 943 Penghargaan yang sama dinikmati pula Nabi Ibrāhīm as lantaran dirinya sebagai ahli ihsan, dengan kepatuhan yang tulus dan menepati janji dalam melaksanakan perintah Allah serta bersabar, tidak kenal putus 938 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 7, 290. Kemudian lihat Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 2, 174, Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 3, 208, Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 495, Abī Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 5, 337, dan Al- Qāshimiy, Tafsīr al-Qāshimiy, Juz 9, 272. 939 Ibn ‘Āshūr menyebutkan bahwa pencantuman kata muḥsinīn tersebut merupakan indikasi kuat bahwa takwa dan sabar menjadi bagian yang melakat dari ihsan, sehingga eksistensi kata tersebut yang bersifat umum mencakup setiap ahli ihsan termasuk Nabi Yūsuf as dan saudara-saudaranya. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 13, 49. 940 Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 245-246. 941 Keberhasilan Nabi Nuh mendapatkan salam dari Allah swt karena dinilai oleh-Nya sebagai sosok muḥsin yang bersabar dalam menghadapi cercaan dan hinaan orang-orang kafir yang membangkang ajakannya. Pernyataan ini merupakan tafsir Ibn ‘Aṭiyyah atas surah Al-Ṣaffāt37 : 79-80 dengan mengutip pendapat Abū Muhammad. Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 1580. 942 Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 1580, dan Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān, Jilid 5, 2991. 943 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 10, 498 dan Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’, Jilid 15, 90. 214 asa dalam menghadapi ujian dan godaan yang berat. 944 Anugerah salām berupa nama besar sebagai bapak para nabi dan agama samawi yang dikenang setiap generasi dan ducantumkan dalam kitab yang abadi. 945 Potret pribadi muḥsin lainnya yang memperoleh balasan serupa adalah Nabi Musa dan Nabi Harun as yang memiliki komitmen kuat disertai keikhlasan dan kesabaran yang tinggi dalam melaksanakan risalah ketuhanan yang sarat dengan tindak penganiayaan yang dilakukan Firaun dan para pengikutnya. 946 Kesejahteraan yang diterima merka, di antaranya adalah diselamatkan dari penganiayaan dan bencana tenggalam dalam lautan. 947 Selain itu Nabi Ilyas as termasuk pula profil insan saleh yang memperoleh karunia kesejahteraan serupa dari Allah swt. 948 Pengulangan kehormatan-Nya berupa kesejahteraan sebagaimana yang tertuang pada ayat-ayat tersebut merupakan penetapan Al-Qur`an mengenai jenis penghargaan yang layak diterima para muḥsin. 949

6. Berkah dari Allah

Orang yang berihsan akan mendapatkan berkah tetapnya kebaikan 950 dari Allah swt sebagai balasannya 951 Muḥsin yang merealisasikan ihsannya dalam kepatuhan diri dengan tulus akan menuai kebaikan dan keberkahan, baik berkenaan dengan agama, dunia maupun keturunan. 952 Kosakata muḥsin yang termaktub pada surah Al-Ṣaffāt37 : 113 944 Berkaitan dengan penafsirannya atas surah Al-Ṣaffāt37 : 109-110 yang dihubungkan dengan ayat-ayat sebelumnya Ibn kathīr menjastifikasi Nabi Ibrāhīm sebagai figur yang patuh, sabar, dan ikhlas yang patut mendapatkan kesejahteraan dari Allah. Ibn Kathīr, Tafsir Al-Qur’ān Al-Aẓīm, Jilid 4, 17. 945 Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān, Jilid 5, 2997. 946 Kajian lebih mendalam mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam penafsiran Al-Biqā’iy terhadap surah Al-Ṣaffāt37 : 120-121 yang dikaitkanya dengan ayat-ayat sebelumnya. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 5, 335-336. 947 Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān, Jilid 5, 2997, dan Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al- Tanwīr, Jilid 9, Juz 23, 165. 948 QS. Al-Shaffat37 : 130-131. 949 Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān, Jilid 5, 2997. 950 Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 41. 951 Barakah berarti pula ziyādat al-khayr bertambahnya kebaikan sebagai anugerah yang diterima muḥsin. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 9, Juz 23,162. 952 Allah telah memberikan berkah kepada Nabi Ibrāhīm as dengan menjadikan anak-anaknya sebagai nabi dan kepada Nabi Ishaq as dengan melahirkan keturunan yang diangkat sebagai nabi, seperti Ayyub dan Syu’aib ‘alaihimā al-salām, serta memberikan berkah keagamaan dan dunia. Abī Su’ūd, Tafsīr Abī Su’ūd, Juz 5, 336. 215 menunjukkan keturunan yang berkualitas sebagai berkah Allah swt yang dianugerahkan kepada Nabi Ibrāhīm dan Ishaq as serta sebagai penghargaan yang layak diterima karena perilaku ihsan keduanya. Sementara di antara mereka terdapat juga generasi penerus yang didiskualifikasi dengan mendapatkan julukan ẓālim li nafsih menganiaya diri sendiri. 953 Dua sebutan yang kontradiktif mengindikasikan bahwa tersesat atau tidaknya seseorang dalam hidup tidak terkait langsung dengan kesalehan atau kezaliman suatu keturunan. Orang tua yang saleh tidak menjamin akan melahirkan anak-anak yang saleh. Orang tua yang zalim tidak secara otomatis melahirkan keturunan yang zalim. Demikian pula sebaliknya anak yang saleh atau zalim tidak dipastikan sebagai akibat dari orang tua yang saleh atau zalim. 954 Keduanya berdiri masing-masing mengingat kaitannya dengan hidayah Tuhan yang berarti kecenderungan hati kepada kebenaran dan berpaling dari kebatilan, sementara hidayah menjadi hak prerogative-Nya, 955 bukan persoalan genetika atau nasab keturunan.

7. Dicintai Allah swt

Al-Qur`an menjelaskan kecintaan Allah atau al-ḥubb dijadikan balasan bagi ahli ihsan atau muḥsinīn. 956 Tafsir penggalan surah Al- Mā`idah5 : 13; inna Allah yuḥibb al-muḥsinīn yang berarti “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berihsan” adalah 953 Ibn ‘Āshūr menjelaskan bahwa dengan disebutnya dua golongan keturunan Nabi Ibrāhīm dan Ishak mengisyaratkan kepada adanya keanekaragaman keturunan mereka berdua. Turunan Nabi Ibrāhīm terdapat generasi yang muḥsin yang menjadi nabi, orang-orang beriman, dan orang-orang saleh, dan terdapat pula generasi yang ẓālim li nafsih yang menjadi penentang ajarannya, seperti orang-orang musyrik Arab, demikian pula turunan Nabi Ishak terdapat generasi yang baik, menjadi nabi, dan terdapat keturunannya yang zalim, seperti orang-orang Yahudi yang mengingkari Nabi isa dan Muhammad saw. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 12, Juz 13, 150. 954 Penyebutan keturunan Nabi Ibrāhīm dan Ishaq alaihimā al-salām yang terdiri dari muḥsin yang terealisir dalam keimanan, kepatuhan, dan amal yang baik serta ẓālim li nafsih yang terwujud dalam kekafiran dan perilaku maksiat menjadi bukti bahwa keturunan tidak memiliki pengaruh kepada mendapatkan hidayah atau ketersesatan bagi seseorang. Keturunan yang tersesat tidak berakibat kepada cacatnya orang tua. Abī Su’ūd, Tafsīr Abī Su’ūd, Juz 5, 336. 955 Al-Qushairiy menyatakan hal tersebut berkenaan dengan penafsirannya atas surah Al-Qaṣaṣ28 : 56. Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 5, 76. 956 Balasan tersebut tercantum dalam lima ayat dan terekam dalam tiga surah, yakni Al-Baqarah2 : 195, Ali ‘Imrān3 : 134 dan 148 serta Al-Mā`idah5 : 13 dan 93. 216 kecintaan Allah akan diberikan kepada ahli ihsan akibat dari sifat selalu memaafkan atau al-‘afw dan tidak mencerca atau al-Shafḥ 957 kepada orang-orang yang bertindak buruk dan jahat kepadanya. Kecintaan tersebut sebagai penghormatan-Nya kepada muḥsin yang mengorientasikan ihsannya kepada keutamaan diri hingga merasakan kebersamaan dengan-Nya. 958 Tafsir surah Al-Mā`idah5 : 93 adalah; Allah mencintai ahli ihsan sebagai orang yang berupaya dengan maksimal berdekatan dengan- Nya melalui aktivitas yang memiliki nilai tambah dan diridhai-Nya. 959 Hal ini dikarenakan di dalam hatinya tidak terdapat pengaruh kejahatan yang diakibatkan keinginan berbuat durhaka seperti meminum khamer dan berjudi yang menjerumuskan mereka ke dalam watak permusuhan dan berpaling dari mengingat Allah. 960 Secara normatif balasan berupa kebaikan hidup di dunia akan diperoleh setiap orang yang berihsan selama hidupnya, dan tidak terkontaminasi berbagai kemaksiatan dan keburukan yang menyelimuti lingkungannya, meski figur yang dikedepankan oleh Allah swt pada beberapa ayat di atas adalah para nabi dan rasul yang secara kualitatif mereka merupakan potret pribadi unggulan dan pilihan-Nya yang tidak disangsikan lagi layak menerima penghargaan tersebut. Namun pada beberapa ayat tersebut Allah selalu mengutarakan term “muḥsinīn” yang menunjukkan jamak plural yang secara induktif balasan tersebut berpeluang untuk diraih setiap muḥsin, kendati bukan dari golongan nabi atau rasul. 8. Riḍā` Allah Al-Qur`an menetapkan keridhaan Allah, di antaranya, akan diterima oleh orang-orang yang mengikuti jejak generasi yang terdahulu masuk Islam di masa Nabi saw sahabat-sahabatnya dan segenap umat dengan cara ihsan, baik dalam ucapan atau perbuatan. 961 Ridha Allah dapat diartikan sebagai penerimaan-Nya atas ketaatan, keimanan, dan keislaman mereka, atau sebagai perkenan-Nya 957 Al-ṣafḥ lebih unggul dari al-‘Afw. Al-Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 290. 958 Al-Marāghiy, Tafsīr Al-Marāghiy, Juz 6, 76. 959 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 5, 37. 960 Al-Marāghiy, Tafsīr Al-Marāghiy, Juz 7, 26. 961 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 6, 454 dan Al-Qushairiy, Laṭā`if Al- Ishārāt, Juz 3, 58. serta Abī Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 5, 96. Subtansi pemahaman ini merupakan penafsiran ketiga pakar tersebut terhadap surah Al-Taubat9 : 100. 217 atas kesalehan aktivitas mereka dan terhindar dari kebencian-Nya. 962 Selain itu mereka diselamatkan dari prilaku syirik dan diberi hidayah terus menerus hingga imun dari kesesatan, serta dimuliakan-Nya setelah terhinakan dan dianugerahi kekayaan setelah hidup serba kekurangan. 963 Pada kepribadian seperti ini terdapat keindahan dan kewibawaan Islam yang menyebabkan pihak luar Islam mengagumi dan menghormatinya. Ridha Allah menjadi sasaran hidup yang diusahakan untuk diperoleh manusia dengan berbuat sebaik-baiknya, di antaranya melalui peneladanan kepada jejak para sahabat dengan cara ihsan, mengikuti perangai mereka yang dalam konteks umum dikesankan positif. 964

b. Martabat Muḥsin di Akhirat