156
c. Hubungan Muḥsin dengan Sesama Manusia
Pola hubungan yang dilakukan seorang muḥsin kepada Allah, seperti yang telah diuraikan di atas, berdimensi vertikal. Sedangkan pola
hubungannya dengan sesama manusia, sebagaimana akan dibahas pada bagian ini berdimensi horizontal yang berbasis al-musāwah atau
kesamaan derajat, hak, dan kewajiban. Pola hubungan kesederajatan atau egalitarian ini sejalan dengan keberadaan manusia yang satu sama lain
setara, meskipun dalam beberapa hal terdapat perbedaan setatus, jenis kelamin, budaya, etnis, agama, dan latar belakang tatanan kehidupan
serta kondisi pisik dan psihis. Hubungan muḥsin dengan sesama manusia meliputi poin-poin
sebagai berikut:
1. Hubungan Muḥsin dalam Keluarga
Karakter muḥsin dan hubungannya dengan keluarga diwujudkan dalam bentuk relasi paternalian, patronase, dan emansipatoris, yaitu:
Pertama; Hubungan Muḥsin dengan Kedua Orang Tua
Hubungan muḥsin dengan kedua orang tua merupakan hubungan timbal-balik yang lintas batas sebagai perwujudan dari hukum kausalitas.
Namun hubungan tersebut menekankan semangat penghormatan dan penghargaan serta persahabatan lahir-batin yang mengikutsertakan aspek
material dan immaterial. Hal ini sejalan dengan ketetapan Al-Qur`an atas kewajiban berbuat ihsan kepada mereka yang diimplementasikan dengan
kelembutan persahabatan
699
dalam memenuhi hak-hak mereka mengingat kedua orang tua bagian dari diri seorang anak. Kedua orang tua telah
mengasuh dan mendidiknya hingga berkembang menjadi dewasa dan berpengetahuan.
700
Berbuat baik kepada kedua orang tua yang termaktub dalam Al- Qur`an menggunakan term ihsan dan barr kebajikan. Term ihsan
dengan idiom “bi” yang berfungsi li al-ilṣāq kelekatan atau di-ta’diyah- kan ditransitifkan dengan partikel “bā bi” berarti birr berbuat baik
mencakup kepada dua unsur, yakni unsur penghormatan atau penghargaan dengan tulus serta unsur persahabatan yang direalisasikan
dalam relasi lalir-batin secara total dengan memenuhi segenap kebutuhan material dan immaterial. Sedangkan jika yang dimaksudkan memberikan
699
Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 264.
700
Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 2, 23.
157 manfaat material semata, maka partikel yang digunakan ialah “li”.
701
Term ihsan yang menunjuk kepada kewajiban tersebut tercantum dalam lima ayat, yaitu surah Al-Baqarah2 : 83, Al-Nisā`4 : 36, Al-
An’ām6 : 151, Al-Isrā`17 : 23 dan Al-Aḥqāf46 : 15. Sedangkan Al- Qur`an menggunakan kata barr kebajikan untuk makna berbuat baik
kepada orang tua pada dua ayat, yakni surah Maryam19 : 14 dan 32. Meskipun Al-Qur`an menggunakan, terutama, kosakata ihsan maṣdar
atau kata benda jadian, bukan berupa fi’il amar atau kata kerja perintah, tetapi, pada hakekatnya mengandung makna kata kerja perintah. Semisal
yang termaktub pada surah Al-Nisā`4 : 36,
702
penggalannya wa bi al- wālidaini iḥsānan bermakna Allah memerintahkan kalian untuk berbuat
ihsan kepada kedua orang tua atau SayaAllah berpesan kepada kamu supaya berbuat baik kepada kedua orang tua.
703
Surah Al-An’ām6 : 151 dengan penggalannya wa bi al-wālidaini iḥsānan dapat ditafsirkan dengan berbuat baiklah kalian dengan sebaik-
baiknya kepada kedua orang tua.
704
Argumentasinya adalah penggalan ayat tersebut merupakan setruktur kalimat yang berkedudukan sebagai
‘aṭaf jumlah penyambungan kalimat kepada jumlah atau kalimat sebelumnya an lā tushrikū. Dan kata iḥsānan diposisikan sebagai maṣdar
yang terletak pada tempat fi’il-nya. Ini berarti bahwa meng-‘aṭaf-kan jumlah amar perintah berbuat baik kepada kedua orang tua kepada
jumlah nahyi larangan menyekutukan Allah swt untuk menunjukkan kesungguhan berbuat baik dan meninggalkan berbuat jahat kepada
keduanya. Dengan demikian kalimat perintah tersebut meliputi larangan yang menjadi lawannya. Pola kalimat seperti ini digunakan Allah swt
701
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 2, Juz 5, 49. Dan Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol. 2, 417.
702
Ibn ‘Aṭiyyah menafsirkan ayat tersebut, terutama yang bertalian dengan berbuat baik kepada kedua orang tua dengan wa aḥsinū bi al-wālidain iḥsānan berbuat
baiklah dengan sebaik-baiknya kepada kedua olrang tua. Abī Muhammad ‘Abd Al-Haq Ibn ‘Aṭiyyah Al-Andalusiy, Al-Muḥarrar Al-Wajīz fī Tafsīr Al-Kitāb Al-‘Azīz Beirut,
Dār Ibn Haram, 2002, 433. Selanjutnya disebut Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar.
703
Al-Ṭabariy menginterpretasikannya dengan amarakum Allah bi al-wālidain iḥsānan
bi ma’nā
birran bihimā wa lidhālika nashb al-iḥsān, liannahu amara minhu jalla thanā`uhu bi luzūm al-iḥsān ilā al-wālidain ‘alā wajh al-ighrā`. Al-Ṭabariy, Jāmi’
Al-Bayān, Jilid 4, 80. Al-Wāḥidiy menafsirkan penggalan ayat tersebut dengan wa uṣīkum bi al-wālidaini iḥsānan. Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 381.
704
Ibn ‘Aṭiyyah mendudukkan redaksi penggalan ayat tersebut sebagai kalimat yang terdapat di dalamnya kata kerja fi’il yang tersembunyi, yaitu aḥsinū bi al-
wālidain iḥsānan. Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar, 675.
158 sebagai metoda yang mengutamakan maksud percakapan tentang berbuat
baik kepada mereka. Pada masa jahiliah banyak bangsa Arab yang tidak menghargai kedua orang tua mereka yang lemah karena telah berusia
lanjut.
705
Pelaksanan berbuat ihsan kepada kedua orang tua menuntut kesungguhan yang optimal dan ketulusan yang maksimal mengingat akan
berdampak positif dan bermanfaat bagi diri sendiri, bukan bagi mereka. Dengan demikian berbuat ihsan kepada mereka melebihi daripada
berbuat ihsan kepada diri sendiri. Apabila ihsannya diwujudkan dalam rasa cinta, maka kecintaan terhadap keduanya melebihi daripada cintanya
kepada diri sendiri. Jika ihsannya direalisasikan dalam pemberian sesuatu, maka pemberian kepada mereka melebihi daripada yang
semestinya diberikan. Konsep di atas relevan dengan eksistensi ihsan yang berorientasi
kepada nilai tambah dan berdimensi kualitatatif. Oleh karena itu yang dikehendaki dengan hubungan muḥsin dengan kedua orang tua ialah
penghormatan dan persahabatan sebagai perwujudan dari memuliakan mereka sekaligus sebagai prilaku bersyukur dan balas budi.
Berbuat baik kepada kedua orang tua berarti pula berbuat sopan santun atau adab dengan optimal dalam ucapan dan perbuatan sejalan
dengan tradisi masyarakat ‘ūrf hingga mereka merasa senang. Selain itu berarti pula upaya memenuhi hajat hidup mereka yang ditetapkan syareat
sesuai dengan kemampuan anak. Tidak termasuk berbuat ihsan kepada mereka, jika melakukan sesuatu yang menghilangkan kemerdekaan dan
kebebasan anak, baik yang berhubungan dengan pribadi dan rumah tangga maupun aktivitas yang berkaitan dengan pihak lain, agama, dan
negara. Manakala salah satu atau keduanya berkeinginan memaksakan kehendak atas urusan anak, maka mengikuti pendapat atau kemauan
mereka dengan meninggalkan sesuatu yang dinilai sebagai kemaslahatan umum atau khusus, atau melaksanakan kegiatan yang berbahaya bagi
kepentingan umum atau khusus, bukanlah termasuk berbuat ihsan kepada mereka.
706
Al-Qur`an menetapkan kewajiban berbuat Ihsan kepada kedua orang tua tidak hanya berdimensi kemanusiaan, melainkan meliputi pula
dimensi ketuhanan. Hal ini disebabkan dominasi keterlibatan Allah
705
Ibn ‘Āshūr mengartikannya dengan wa aḥsinū bi al-wālidaini iḥsānan. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 4, Juz 8, 159.
706
Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 264.
159 dalam menentukan kewajiban tersebut demikian besar. Keterlibatan
Allah terlihat pada perintah serta larangan-Nya berikut latar belakang dan implementasinya.
707
Bahkan ketergantungan kerelaan atau kemurkaan- Nya terletak pada kerelaan atau kemurkaan kedua orang tua.
708
Al-Qur`an memberlakukan ketentuan berbuat baik kepada kedua orang tua, tetapi tidak menyertakan secara ekplisit perintah keharusan
mereka berbuat baik kepada anak-anak mereka. Agaknya dapat dinyataka bahwa mereka secara ṭabī’iy naluriah akan mengurus dan menyayangi
anak-anak mereka, sehingga orang tua memelihara dan melindungi anaknya merupakan fitrah yang melekat dalam rangka memelihara
generasi penerus dan melestarikan kehidupan.
709
Hal ini berbeda dengan berbuat baik yang dilakukan anak kepada mereka, lebih merupakan
kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai tindakan bersyukur dan balas budi mengingat anak lebih mencurahkan perhatiannya kepada isteri dan
keturunan.
710
Sedangkan bersyukur dan balas budi dalam wujud berbuat baik kepada mereka berdua tergolong ke dalam perilaku yang sukar
direalisasikan, jika tidak disertai dengan perintah dan ketentuan terutama yang bersifat samawi seperti Al-Qur`an, mengingat mayoritas bangsa
Arab di masa jahiliyah mendapat julukan sebagai ahl jilāfah anak tidak menghormati kedua orang tuanya, terutama setelah mereka renta
dimakan usia tua.
711
Berbuat baik kepada kedua orang tua memerlukan komitmen yang kuat pada setiap anak, sebab kebanyakan anak memproyeksikan
perhatian dan kebaikannya kepada orang-orang yang datang kemudian dan hidup bersama dengannya, seperti isteri, anak atau generasi
penerusnya, dan kemudian dengan mudah melupakan asal usulnya ibu dan bapak, meskipun jasa dan pengorbanan mereka lebih banyak,
semisal mengandung, melahirkan, menyusui, menyuapi, melindungi, membesarkan, dan mendidiknya dengan fasilitas dan biaya yang tidak
707
Quṭub menyebutkan bahwa perintah berbuat baik kepada kedua orang terletak setelah larangan berbuat syirik seperti yang tercantum pada surah al-An’ām6 :
151 merupakan pengajaran Allah kepada manusia tentang hubungan kasih sayang antara orang tua dan anaknya yang terikat dengan pengetahuan mereka tentang ketuhanan yang
bersifat Maha Esa .
Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān, Jilid 3, 1230.
708
HR. Tirmidziy. Al-Tirmidziy, Al-Jāmi’. Jilid 3, 62.
709
Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 5, 2788.
710
Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 6, 3261.
711
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 4, Juz 8, 158.
160 terbatas.
712
Berlaku ihsan kepada kedua orang tua yang secara eksplisit tercantum dalam empat ayat menunjukkan amalan setrategis sehubungan
kedudukannya disandingkan dengan perintah beribadah hanya kepada Allah swt atau larangan menyekutukan-Nya. Sandingan tersebut sejalan
dengan letaknya yang berurutan dalam satu rangkaian ayat.
713
Pada surah Al-An’ām6 : 151 di samping kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua disandingkan dengan larangan syirik kepada-
Nya, juga diletakkan berdampingan dengan larangan membunuh anak sendiri, berbuat keji , seperti zina, dan membunuh orang lain kecuali
dengan hak. Perintah menyembah Allah dan larangan menyekutukan-Nya
diletakkan terlebih dahulu sebelum perintah berbuat baik kepada kedua orang tua mengingat penyembahan mutlak semata-mata kepada Allah
Yang Maha Satu, tiada sekutu bagi-Nya, yang menjadi sumber wujud bagi manusia dan segala instrumen kehidupannya. Sementara kedua
orang tua merupakan perantara atau penyebab bagi kehadiran seseorang melalui cara melahirkan, memelihara, mendidiknya, dan menyediakan
fasilitas yang dibutuhkannya dengan maksimal dan penuh kasih sayang sesuai dengan kemampuan hingga dapat hidup mandiri.
714
Kedudukan kedua orang tua dalam pandangan Allah begitu setrategis di tengah-tengah kehidupan manusia, sehingga Nabi saw
menetapkan perbuatan durhaka kepada kedua orang tua sebagai dosa besar sebagaimana keberadaan syirik, membunuh jiwa, dan sumpah
palsu.
715
Kemudian Nabi saw memprioritaskan berbuat baik kepada ibu
716
sehubungan faktor mengandung, melahirkan, dan menyusui yang beresiko berat dan memayahkan merupakan bagian melekat yang perlu
mendapatkan apresiasi tersendiri. Namun demikian, apabila terjadi perbedaan keyakinan, agama
atau prinsip hidup antara anak dan kedua orang tua, kemudian mereka
712
Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 4, 2221.
713
Seperti tercantum pada surah Al-An’ām6 : 151, Al-Baqarah2 : 83, Al- Nisā`4 : 36, dan Al-Isrā`17 : 23.
714
Riḍā, Tafsīr Al-Manār, Juz 5, 84, dan Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 3, 21, serta Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr,
Jilid 6, Juz 15, 68.
715
HR. Al-Bukhāriy. Abī Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhāriy, Ṣaḥīḥ Al-Bukhāriy bi Hāshiyah Sandi Semarang, Maktabah Usaha Keluarga, t.t, Juz 4, 48.
Selanjutnya disebut Al-Bukhāriy, Ṣaḥīḥ.
716
. HR. Al-Bukhāriy. Al-Bukhāriy, Ṣaḥīḥ, Juz 4. 47.
161 menghendakinya agar anak menghambakan diri kepada selain Allah,
maka tidak diwajibkan baginya mematuhi kehendak mereka. Akan tetapi diharuskan atasnya untuk memperlakukan mereka dengan baik. Jadi
ketaatan kepada Allah lebih diperioritaskan ketimbang kepatuhan kepada mereka, tetapi dalam berkomunikasi dengan mereka diharuskan
menampilkan perilaku terpuji dengan cara ihsan.
717
Al-Qur`an menggunakan term ﻦﻳﺪﻟاﻮﻟا untuk menunjuk kedua orang tua yang dikorelasikan dengan ihsan, sebagai bentuk tathniyah dual
dari kata ﺪﻟاﻮﻟا yang berarti bapak. Arti tersebut menunjukkan kepada orang tua kandung yang melahirkan. Kata ﻦﻳﺪﻟاﻮﻟا terulang dalam Al-Qur`an
sebanyak tujuh kali. Kata ﻦﻳﺪﻟاو yang di-iḍāfah-kan disandarkan kepada kata yang lain termaktub sepuluh kali serta term ناﺪﻟاﻮﻟا tercantum tiga kali.
Selain itu kata ةﺪﻟاﻮﻟا yang berarti ibu tersebut satu kali dalam Al-Qur`an dan ةﺪﻟاو yang di-iḍāfah-kan terulang dua kali serta
تاﺪﻟاو jamak tersurah satu kali.
718
Akar katanya ialah ﺪﻟﻮﻣ
-
ﺪﻠﻳ -
ةدﻻو
-
ﺪﻟو yang bermakna melahirkan.
719
Melahirkan dan mengandung yang dilalui dengan susah payah dan beresiko tinggi, ditambah masa menyusui hingga menyapih,
keseluruhan dialami selama 30 bulan merupakan faktor-faktor utama yang menyebabkan setiap muḥsin wajib berbuat baik kepada kedua orang
tuanya.
720
Ini merupakan perwujudan dari penghargaan Allah swt terhadap keberadaan mereka. Akan tetapi penghargaan tersebut tidak
berarti meletakkan mereka melebihi kewajiban menyembah-Nya, sehubungan keberadaan mereka sebatas menjadi perantara bagi kelahiran
seseorang. Sedangkan yang melahirkan sesungguhnya adalah Allah swt. Dengan demikian, hubungan anak dengan kedua orang tua yang
menekankan pada penghormatan atau pengagungan dan persahabatan
717
Al-Samarqandiy menyatakan bahwa seorang anak tidak diperkenankan mematuhi perintah kedua orang tuanya untuk berbuat maksiat, kendati berbuat baik
pada keduanya merupakan perbuatan mulia. Akan tetapi dalam bergaul bersama mereka, seorang anak dituntut untuk memperlakukan mereka dengan cara ihsan.
Pernyataannya ini berhubungan dengan penafsirannya terhadap surah Luqmān31 : 15. Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 3, 22.
718
Abd Al-Bāqi’, Al-Mu’jam, 931.
719
Mahmud Yūnus. Kamus, 596.
720
Kajian yang lebih mendalam tentang hal ini dapat dilihat pada penafsiran
Quṭub terhadap surah Al-Ahqāf46 : 15. Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 6, 3262.
162 selayaknya menyatu dalam diri seorang muḥsin sebagai manifestasi dari
rasa syukur dan balas budi atas nikmat dari mereka yang telah diterimanya,
721
walaupun terjadi perbedaan yang fundamental dan berdampak negatif secara signifikan terhadap kehidupan bersama,
semacam perbedaan aqidah. Perilaku macam ini menjadi karakter muḥsin yang terpuji.
722
Pada prinsipnya hubungan antara anak dengan kedua orang tuanya direalisasikan dalam aktivitas yang melukiskan perangai yang
sopan dan santun, baik di kala kedua orang tua masih hidup atau telah meninggal dunia.
723
1. Mengurus dan Memelihara Kedua Orang Tua dengan Baik
Kewajiban seorang muḥsin dalam merefleksikan perilaku bersyukur, balas budi, dan berbuat ihsan kepada kedua orang tua kandung
adalah mengurus dan melihara mereka. Namun, dapat dipastikan bahwa upaya mengurus dan memelihara mereka tidak akan sepadan, jika
dibandingkan dengan ihsan yang telah dilakukan oleh mereka.
724
Penggalan ayat ﺎَُﳘَﻼِﻛ ْ وَأ ﺎَُﳘُﺪ َﺣَأ َ ﺮ َـﺒِﻜْﻟا َكَﺪْﻨِﻋ ﱠﻦَﻐُﻠ ْـﺒ َ ـﻳ ﺎﱠﻣِإ dari surah Isrā`17 : 23
mendeskripsikan secara tersirat kewajiban tersebut. Hal ini dapat dipahami dari dua aspek, yakni setruktur kalimat sharṭiyyah setimulus
dan pesan penggunaan kosakata al-kibara usia tua. Kalimat sharṭiyyah berupa ﱠﻦَﻐُﻠ ْـﺒ َـﻳ ﺎﱠﻣِإ
, pada umumnya, mengandung pesan “kepastian” mengingat نإ yang disertai dengan ﺎﻣ yang berfungsi sebagai taukīd atau
mengukuhkan dan diiringi dengan nūn taukīd pada kata kerjanya ﱠﻦَﻐُﻠ ْـﺒ َـﻳ .
Penggunaan kosakata َﺮَﺒِﻜْ ﻟا mengesankan bahwa pada usia tua kedua
721
Ibn ‘Āshūr menyampaikan penjelasan tentang masalah ini dengan luas ketika menafsirkan surah Al-Isrā`17 : 23 dan surah Al-Ahqāf46 : 15. Ibn ‘Āshūr, Al-
Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 15, 210 dan Jilid 10, Juz 26, 29, dan Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 1012.
722
Al-Rāziy menafsirkan surah Luqmān31 : 15, terutama penggalannya wa ṣāhibhumā fī al-dunyā ma’rūfan dengan menyatakan bahwa kewajiban berbuat baik
sebatas bersahabat secara fisik lahiriah mengingat dalam kondisi demikian hak keduanya hanya secara fisik lahiriah.
Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 13, Juz 25, 270.
723
Quṭub dengan penafsirannya yang mendasar terhadap surah Al-Isrā`17 : 23 dan 24 meletakkan redaksi keduanya sebagai penggerak semangat berbuat baik dan
menyayangi dalam hati anak terhadap mereka berdua. Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid
4, 2221.
724
Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 4, 2222.
163 orang tua lebih membutuhkan kebaikan anaknya dibandingkan dengan
usia sebelumnya.
725
Kebaikan yang dibutuhkan mereka adalah pemeliharaan atau pertolongan dan pengurusan atau penanggungan dari
anak, yang terliput dalam kosakata َكَﺪْﻨِﻋ .
726
2. Tidak Melontarkan Ucapan “uf” atau ah atau cih;
Larangan mengucapkan ْفُأ terhadap kedua orang tua tersurah pada surah Al-Isrā`17 : 23 terutama potongannya ﱟفُأ ﺎ َ ﻤَُﳍ ْ ﻞُﻘَـﺗ َﻼَﻓ
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
“ah”. Kata ﱟفُأ terulang dalam Al-Qur`an sebanyak tiga kali.
727
Pada mulanya ﱟفُأ berarti ﺮﺠﻀﺗ
728
bosan , jemu, dan muak,
729
dan digunakan untuk menyatakan sesuatu yang tidak disukai,
730
serta segala sesuatu yang dinilai kotor, seperti kotoran telinga dan kotoran kuku.
731
Artinya ﱟفُأ menjadi simbol ucapan yang kasar dan buruk
732
atau lambang seringan- ringannya perkataan buruk.
733
Larangannya yang terkesan sederhana, tidak berarti, missi penggalan ayat tersebut terbatas pada tidak diperkenankan ucapan buruk
yang ringan. Akan tetapi memberi isyarat kepada larangan mengucapkan berbagai kata yang dapat menyinggung dan menyakitkan perasaan kedua
orang tua, baik kata-kata yang ringan ataupun kata-kata yang berat karena memiliki dampak pesikologis yang negatif bagi perasaan mereka,
terlebih dalam kata tersebut mengandung perasaan bosan kepada mereka, yang termasuk pada kategori tindakan yang menyakitkan sekali.
734
Ucapan ﱟفُأ menandakan perkataan buruk dan melambangkan ketidakcocokan anak terhadap perbuatan kedua orang tuanya. Lebih jauh
dapat dinyatakan bahwa ucapan itu menjadi pertanda kebencian dan keengganan mengurus atau memelihara mereka mengingat dalam ucapan
725
Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 1, 270.
726
Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 568.
727
QS. Al-Isrā`17 : 23, QS. Al-Anbiyā`21 : 67, dan QS Al-Ahqāf46 : 17.
728
Majma’ Al-Lughah
,
Mu’jam, Juz 1, 40.
729
Yūnus, Kamus, 226.
730
Majma’ Al-Lughah, Mu’jam, Juz 1, 40.
731
Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 15.
732
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 8, 59.
733
Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān, Jilid 3, 35.
734
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 15. 70.
164 tersebut memuat konotasi penghinaan dan pelecehan.
735
Situasi ini bisa terjadi di saat mereka menginjak usia tua, usia di saat mereka memiliki
ketergantungan yang lebih tinggi kepada anak, sehingga bagi seorang anak dalam menghadapi mereka dibutuhkan kesiapan menanggung
segala resiko yang berat dan kesabaran yang tinggi.
736
Seorang muḥsin akan menghindarkan diri dari mengutarakan perkataan ﱟفأ dalam menghadapi tindak-tanduk kedua orang tua yang
tidak sesuai. Ia memperlakukan mereka dengan cara yang mulia, menghormati serta menyayangi dengan sabar dan bersahabat, hingga
mereka merasa tersanjung, karena ia menyadari bahwa mereka telah mengurusnya dengan cara seperti itu sejak dalam kandungan. Al-Qur`an
melukiskan dampak negatif yang ditimpakan kepada seseorang yang melanggar larangan tersebut pada surah Al-Aḥqāf46 : 18 sebagai ahli
neraka.
737
3. Tidak Membentak;
Membentak kedua orang tua merupakan perangai tercela sehubungan adanya larangan yang terliput pada surah Al-Isrā`17 : 23,
terutama penggalannya ﺎَُﳘ ْ ﺮ َﻬْـﻨَـﺗ َﻻ َ و yang berarti ظﻼﻏﺈﺑ ﻚﺒﺠﻌﻳ ﻻ ﺎﻤﻋ ﺎﳘﺮﺟﺰﺗ ﻻو
738
dan janganlah kamu membentak mereka dengan amarah karena perbuatan mereka yang tidak menyenangkan. Larangan menggunakan
kosakata ْ ﺮ َﻬْـﻨَـﺗ َﻻ dalam Al-Qur`an terulang dua kali. Ayat ini pencatat
pertama, dan surah Al-Dhuhā93 : 10 merupakan pencatat dan pengulang kedua, berkenaan dengan larangan membentak peminta-minta.
Kata ini berasal dari ﺮ َﻬَـﻧ
- ُ ﺮ َﻬْـﻨ َ ـﻳ
- ا ً ﺮ ْ ﻬَـﻧ
berarti menegur atau melarang dengan kasar, dan menghadapinya dengan benci dan sikap yang buruk.
739
735
Ini pendapat Ibn Anbāriy yang diakomodir oleh Al-Jauziy di kala menafsirkan kosakata uf yang termaktub pada surah Al-Isrā`17 : 23. Al-Jauziy, Zād Al-
Masīr, 807.
736
Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 594.
737
Al-Bayḍāwiy memberikan julukan tersebut ketika menafsirkan surah Al- Ahqāf46 : 18 yang dikaitkan dengan ayat 17 dari surah yang sama. Al-Bayḍāwiy,
Anwār Al-Tanzīl, Jilid 2, 395.
738
Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 568. Dengan maksud yang senada
dengan al-Baedhawiy, Al-Samarqandiy menafsirkan penggalan ayat tersebut dengan menyatakan
لﻮﻘﻟﺎﺑ ﺎﻤﻬﻴﻠﻋ ﻆﻠﻐﺗ ﻻ jangan memarahi mereka dengan perkataan. Al- Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm,
Jilid 2, 265.
739
Majma’ Al-Lughah mengartikannya dengan َ ﺮ َ ﺟَز
ُﻩ ُ ءﻮ ُ ﺴَ ﻳ َ و ُﻪ ُﻫَ ﺮْﻜَ ﻳ ﺎَ ِﲟ ُﻪَﻠ َ ـﺒْﻘَـﺘ ْ ﺳا َ و ٍﺔَﻈْﻠ ِﻏ ِ ﰲ Majma’ Al-Lughah, Mu’jam, Juz 2, 573 dan Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 528.
165 Termasuk melakukan tindakan menegur dengan kasar, jika seseorang
menggerakkan tangannya dengan arogan menimpa kedua orang tuanya.
740
Membentak merupakan tindakan yang menyakitkan hati, karena perbuatan tersebut menunjukkan sikap melawan atau
merendahkan mereka. Sifat negatif tersebut merepresentasikan karakter merasa lebih besar dan lebih mulia, bersamaan dengan hal tersebut
terdapat dalam diri seorang anak keengganan memelihara dan mengurus mereka, serta ia menganggap mereka semata-mata menyusahkannya.
Seorang muḥsin akan berkata yang baik dan berbuat yang sopan di segala keadaan dan sepanjang masa, termasuk di saat menghadapi
perkataan dan perbuatan tidak baik kedua orang tuanya. Ini menjadi bagian hidupnya dalam rangka melestarikan iklim hubungan yang
santun, bersahabat, dan sarat penghormatan.
4. Berkata Mulia;
Berkata mulia adalah cermin keperibadian luhur yang dimiliki seorang muḥsin. Ia konsisten untuk berbuat baik dalam pikiran, ucapan,
dan perbuatan kepada semua pihak, terlebih kepada kedua orang tuanya mengingat perkataan tersebut melambangkan sikap memuliakan dan
menghormati.
741
Berkata mulia yang diwujudkan dengan berkata indah merupakan salah satu faktor yang dapat melahirkan hubungan
persahabatan antar mereka yang sarat penghormatan sebagai manifestasi dari tatakrama yang baik.
742
Hal ini merupakan pesan yang mudah dipahami dari penggalan ayat 23 surah Al-Isrā` ﺎًْﳝِﺮَﻛ ًﻻ ْ ﻮَـﻗ ﺎ َ ﻤَُﳍ ْ ﻞُﻗ َ و
dan ucapkanlah kepada mereka berdua perkataan yang mulia atau indah.
Kedudukannya dalam setruktur ayat sebagai badal pengganti dari ْ ﻞُﻘَـﺗ ﻼَﻓ
َ ﻢُﻫ ْ ﺮ َﻬْـﻨَـﺗ َﻻ َ و ﱟفُأ ﺎ َ ﻤَُﳍ
743
Ucapan yang mulia sebagai pantulan dari ihsan yang melekat pada diri seorang muḥsin dapat diimplementasikan ke dalam tutur kata
yang lembut, ucapan yang indah, dan kalimat yang santun. Tatakrama
740
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 8, 60.
741
Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 4, 2221.
742
Lebih jauh Al-Zamakhshariy melarang seorang anak memanggil nama kedua orang tuanya, karena memanggil nama tindakan kasar dan tatakrama yang buruk.
Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 594, dan Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī,
Jilid 8, 55.
743
Al-Alūsiy menyebutnya badal dari ta`fīf mengucapkan is karena bosan dan nahr menghardik. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī,
Jilid 8, 55. Al-Zamakhshariy
memasukkan anak yang tidak memanggil nama kedua orang tuanya ke dalam perkataan mulia. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 594.
166 dalam ucapan yang disertai dengan sikap menghormati dan
mengagungkan kedua orang tua menjadi ciri kepribadian mulia seorang muḥsin dalam membangun hubungan persahabatan dengan mereka.
5. Bersikap Tawāḍu’ Rendah Hati;
Sikap tawāḍu’ terhadap kedua orang tua adalah manifestasi dari berbuat ihsan seorang muḥsin kepada mereka, yang termuat pada surah
Al-Isrā`17 : 24, terutama penggalannya ِﺔَْﲪﱠﺮﻟا َ ﻦ ِﻣ ﱢلﱡﺬﻟا َ حﺎَﻨ َﺟ ﺎ َ ﻤَُﳍ ْﺾِﻔ ْﺧا َ و Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang.
744
Al-Qur`an dalam penggalan ayat tersebut menjadikan perumpamaan sebagai metode untuk memerintahkan seseorang
melakukan sesuatu yang mulia. Perumpaan berupa perintah khafḍ al- janāh atau merendahkan sayap bermakna tawāḍu’. Penggunaan term
khafḍ al-janāh menggambarkan perilaku burung. Apabila ia hendak terbang, maka membukakan dan mengangkat sayapnya, dan jika ia tidak
melakukan demikian, berarti ia hendak turun.
745
Akan tetapi burung mengembangkan sayapnya pula ketika takut untuk menunjukkan
ketundukannya kepada segala hal mengancamnya.
746
Hal ini menggambarkan anak dituntut untuk merendahkan diri kepada kedua
orang tuanya karena terdorong oleh keharusan menghormati mereka dan rasa takut melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kedudukan
mereka.
747
Seorang muḥsin dengan sifat tawāḍu’-nya yang berbasis kasih sayang meletakkan kedudukan dirinya dan posisi kedua orang tuanya
secara proporsional. Mereka ditempatkan pada derajat yang terhormat. Sedangkan dirinya menjadi pihak yang menghormati, kendati dalam
kadar tertentu ia memiliki keistimewaan yang melebihi mereka berdua. “Dan ke-tawāḍu’-annya melahirkan kepatuhan yang sejati hingga tidak
menolak untuk melakukan segala yang diperintahkan dan dicintai mereka, selama tidak bertentangan dengan Allah swt”.
748
6. Mendo’akan Keduanya dengan Hati yang Tulus;
744
Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 568, dan Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa
Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 15. 70.
745
Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 8, 55, dan
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al- Tanwīr,
Jilid 6, Juz 15. 70.
746
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 15. 70.
747
Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol 7, 447.
748
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 8, 61.
167 Sebagai muḥsin, seorang anak dengan ihsannya akan selalu
mendo’akan kedua orang tuanya dengan tulus dalam rangka melestarikan hubungan persahabatan, penghormatan, dan pengagungan yang
berlandaskan kasih sayang.
749
Hal ini dikarenakan do’a menjadi faktor setrategis dalam kehidupan mereka di dunia dan akhirat. Apalagi do’a
anak saleh merupakan modal utama, setelah mereka meninggal dunia, selain ṣadaqah jāriyah dan ilmu yang bermanfaat.
750
Pada prinsipnya, mendo’akan berfungsi sebagai balas budi dan upaya terimakasih seorang anak yang muḥsin kepada kedua orang tua
yang telah memelihara, mengurus dengan tulus, penuh cinta dan kasih sayang serta mendo’akannya.
751
Materi do’a bagi kedua orang tua, yang dihadirkan kepada Allah swt oleh seorang anak yang ahli ihsan adalah:
Pertama; Permohonan agar diampuni dosa mereka sebagaimana do’a Nabi Ibrāhīm as yang dipanjatkan kepada Allah bagi kedua orang
tuanya.
752
Kedua; Do’a yang berisikan sayangilah mereka sebagaimana mereka telah mengurus atau mendidikku sejak kecil.
753
Ketiga; Do’a yang berisikan permohonan agar Allah swt memberikan petunjuk untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan kepada kedua
orang tua.
754
Surah Al-Aḥqāf46 : 15 melukiskan profil muḥsin sebagai orang yang mendapatkan hidayah sehingga mengerti kewajiban melaksanakan
berbuat ihsan kepada kedua orang tua. Do’a dipanjatkan agar Allah secara berkesinambungan memberikan petunjuk kepadanya untuk dapat
mensyukuri nikmat yang telah diberikan kepada kedua orang tua di
749
Al-Biqā’iy menafsirkan surah Al-Isrā`17 : 24 terutama penggalannya wa qul rabb dengan ayyuha al-muḥsin ilayya bi ‘aṭfihimā ‘alayya wahai orang yang
berbuat ihsan kepada-Ku dengan memasrahkan keduanya kepada-Ku. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 4, 375.
750
HR. Muslim. Muhyi Al-Dīn Yahya bin Sharaf Abī Zakariyā Al-Damshiqiy Al-Shāfi’iy, Ṣaḥīḥ Muslim bi Sharḥ Al-Nawawiy Al-Minhāj, Beirut, Dār Al-Ihyā` Al-
Turāth Al-‘Arabiy, 2000, Juz 3, 1255. Selanjutnya disebut Al-Nawawiy, Al-Minhāj.
751
Al-Zamakhshariy menyebutkan bahwa jadikanlah do’a tersebut sebagai balas budi seorang anak kepada keduanya yang telah menyayangi dan mendidiknya
sejak kecil. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 594.
752
QS. Ibrāhīm14 : 41.
753
QS. Al-Isrā`17 : 24.
754
QS. Al-Ahqāf46 : 15.
168 samping nikmat yang diterimanya.
755
Nikmat yang diterima kedua orang tua ialah nikmat kasih sayang dan kemampuan mengurusnya dari sejak
kecil.
756
Berdo’a seperti ini merupakan kegiatan yang mewakili kewajiban mereka berdua untuk bersyukur dan berdo’a kepada-Nya.
Pengambilalihan kewajiban orang tua oleh anak merupakan perwujudan dari berbuat ihsan, yang menjadi pertanda kedewasaan sikap dan
kematangan kepribadian serta kemuliaan akhlak seorang anak yang muḥsin.
Pengambilalihan kewajiban tersebut, pada umumnya adalah sesuatu yang berat. Seorang anak lebih mengorientasikan perhatiannya
kepada istri dan keturunan, ketimbang kepada kedua orang tuanya. Akan tetapi hal tersebut menjadi ringan dan menyenangkan, bila diletakkan
sebagai perbuatan ihsan dan dilaksanakan dengan hati yang tulus. Dengan demikian mendo’akan mereka akan mudah dilakukan ahli ihsan,
karena ia memiliki keikhlasan yang memadai dan kesadaran yang mumpuni akan keharusan berterimakasih kepada mereka sebagai akibat
dari ketinggian akhlaknya.
757
Abu Bakar Siddiq adalah sosok pribadi muḥsin yang tercatat dalam sejarah sebagai orang yang berhasil melaksanakan peran tersebut,
para pakar tafsir melegitimasi ayat tersebut turun berkaitan dengan dirinya,
758
karena ia masuk Islam bersama kedua orang tuanya, sesungguhnya tidak terdapat seorang-pun dari kaum Muhājirīn dan Anṣār
yang masuk Islam seperti dirinya.
759
7. Berterima Kasih
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa hubungan persahabatan dan penghormatan sebagai pengagungan muḥsin terhadap
kedua orang tua merupakan prilaku bersyukur atau berterimakasih kepada mereka. Sebagai ahli ihsan seorang muḥsin akan berbuat ihsan
terus menerus kepada kedua orang tuanya yang dimanifestasikan dalam sikap berterimakasih. Tradisi berterimakasih yang terpatri dalam hati
mencerminkan pribadi yang mengenal dengan sempurna keberadaan
755
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 11, 285.
756
Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 5, 22.
757
Quṭub menyatakan bahwa do’a tersebut merupakan pencurahan kemampuan seorang anak untuk berterima kasih dan balas budi kepada kedua orang tuanya yang
tidak mungkin terbalaskan atas pengorbanan mereka kepadanya selama ini dengan
darah dan hati. Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 4, 2222.
758
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 11, 285.
759
Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 2, 395.
169 dirinya di tengah-tengah kehidupan yang terbingkai hukum kausalitas.
Berterimakasih menjadi bukti adanya ikatan hukum kausalitas antara anak dengan kedua orang tuanya. Ini akibat dari hubungan antar mereka
yang bersifat timbal balik. Kedua orang tua telah berjasa kepada anak, maka anak berkewajiban berterimakasih kepada mereka, kendati
berterima kasihnya tidak akan sepadan dengan pengorbanan dan kasih sayang mereka yang telah diberikan kepadanya.
760
Kewajiban tersebut tercantum dalam surah Luqmān31 : 14.
761
Peran kausalitas antar mereka disebutkan dengan jelas oleh ayat ini. Ibunya mengandung dan melahirkan dengan kondisi pisik yang
lemah, menyusui dan menyapihnya selama dua tahun. Hal ini berarti kedua orang tua berperan sebagai perantara. Sebagai ahli ihsan seorang
anak berterima kasih kepada mereka dan bersyukur kepada Allah swt.
762
Hubungan muḥsin dengan kedua orang tuanya merupakan sesuatu yang permanen, berjalan secara berkesinambungan dan lintas batas alam
dari sejak mereka berdua masih hidup hingga setelah meninggal dunia. Berbagai amal dapat dilakukannya terhadap mereka meski telah
meninggal dunia. Ada lima bentuk kegiatan yang dapat dilakukan seorang muḥsin
terhadap kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia
763
, yaitu: Pertama; Mendo’akan keduanya. Kedua; Memohonkan ampun kepada
Allah swt atas dosa-dosa yang telah dibuat oleh keduanya. Ketiga;
760
Quṭub mengutarakan suatu kisah yang diceritakan oleh Abu bakar Al- Bazzār yang diterimanya dari Buraydah yang mendapatkannya dari ayahnya sendiri
bahwa seorang peria menggendong ibunya dalam thawaf, kemudian bertanya kepada Nabi saw “apakah saya telah memenuhi haknya”? Nabi menjawab; belum, walaupun
dengan zafrah wāhidah. Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 4, 2222.
761
Menurut Al-Rāziy di kala menafsirkan ayat tersebut surah Luqmān31 : 14, terutama penggalannya ‘an ushkurlī wa li wālidayk bahwa keharusan bersyukur
kepada kedua orang tua disebabkan oleh karena keduanya secara lahiriah telah melahirkan wujud anak mereka, yang pada hakekatnya wujud kelahirannya tersebut dari
Allah awt. Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 13, Juz 25, 129.
762
Al-Qushairiy dalam menafsirkan surah Luqmān31:14 mengemukakan bahwa kewajiban bersyukur kepada Allah swt dengan mematuhi-Nya dan menggunakan
nikmat yang diberi-Nya untuk mematuhi-Nya. Sedangkan bersyukur kepada kedua orang tua dengan mamatuhi perintah dan nasihat keduanya selama tidak bertentangan
dengan-Nya, serta memberikan nafakah dan mencukupkan kebutuhan keduanya. Al- Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Jilid 5, 122.
763
H.R. Ibn Mājah. Abī Abdullah Muhammad ibn Yazīd Ibn Mājah Al- Qazwainiy, Sunan Ibn Mājah Beirut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t, Juz 2, 1209.
Selanjutnya disebut Ibn Mājah, Sunan.
170 Memenuhi janji yang telah dijanjikan oleh keduanya. Keempat;
Menghormati orang yang menjadi kawan keduanya. Kelima; Meneruskan hubungan tali silaturrahim dengan berbagai pihak, yang telah dibangun
semasa hidup keduanya. Kelima hal tersebut memiliki dua dimensi yang berbeda, dimensi
vertikal dan dimensi horizontal. Aktivitas kesatu dan kedua berdeminsi vertikal, bersifat langsung, dan bernuansa teologis. Sedangkan ketiga
sampai kelima berdimensi horizontal, bersifat tidak langsung, dan bernuansa humanis.
Do’a yang dipanjatkan seorang muḥsin kepada Allah swt untuk mereka yang telah meninggal dunia, merupakan wujud dari hubungan
langsung dengan Allah swt yang berbasis teologis. Sedangkan memenuhi janji, menghormati orang lain, serta meneruskan silaturrahmi yang
dilaksanakannya merupakan hubungan dengan sesama manusia yang berbasis humanis. Dengan kata lain berbuat baik kepada mereka bersifat
teologis dan humanis. Dilihat dari segi jangkauannya dapat disebutkan bahwa hubungan
seorang muḥsin dengan kedua orang tuanya tanpa batas. Ihsan kepada mereka bersifat terbuka dan lintas batas yang tidak dapat dihijab oleh
perbedaan alam, usia, tradisi, watak, pemikiran, kebangsaan, dan warna kulit. Selain itu berihsan kepada mereka memiliki efek kausalitas yang
berdimensi generatif atau turun temurun. Perbuatan seorang muḥsin terhadap kedua orang tuanya akan berpengaruh kepada apa yang
dilakukan kepada dirinya oleh anak-anaknya.
764
Secara eksplisit hadis di atas menekankan seseorang untuk berbuat baik kepada orang tuanya, karena berdampak kepada anak-
anaknya akan berbuat baik kepadanya. Apabila ia berbuat buruk kepada orang tuanya, maka anak-anaknya kelak akan berbuat buruk pula
kepadanya. Kedua; Hubungan Muḥsin dengan Anak
Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian terdahulu bahwa sebagai seorang muḥsin orang tua secara ṭabī’iy naluriah akan
mengurus dan menyayangi anaknya. Kiranya ini menjadi salah satu penyebab tidak termaktub secara tekstual dan khusus ketetapan berihsan
764
H.R. Hākim. Abī Abd Allah Muhammad ibn Abd Allah Al-Hākim Al- Naisābūriy w. 405 H, Al-Mustadrak ‘alā Al-Ṣaḥīḥain Beirut, Dār Al-Kutub Al-
‘Ilmiyyah, t.t, Juz 4, 170. Selanjutnya disebut Al-Hākim, Al-Mustadrak.
171 orang tua kepada anaknya dalam ayat-ayat ihsan.
765
Akan tetapi hal ini dapat dipahami secara inplisit dalam perintah berihsan secara umum yang
tersebut pada surah Al-Naḥl16 : 90.
766
Perintah berbuat ihsan yang tertulis pada ayat tersebut meliputi berihsan kepada anak, semakin jelas peliputan tersebut bila dikaitkan
dengan komentar Ibn Mas’ûd ra mengenai ayat tersebut yang menilainya sebagai ayat yang memuat pesan yang luas cakupannya untuk melakukan
kebaikan dan meninggalkan keburukan. Komentar dan sikap kagum Ali bin Abi Thalib ra ketika dibacakan ayat ini oleh Usman bin Maẓ’un
menambah bukti pesan ayat di atas mencakup perintah berihsan orang tua kepada anaknya. Demikian juga respon Abu Thalib di saat diberitahu
telah turun ayat tersebut kepada Nabi saw, dan pernyataan Walid bin Mughîrah menguatkan pesan tersebut dan semakin meyakinkan asumsi di
atas.
767
Ketidakadaan teks yang secara sepesifik mengharuskan orang tua berbuat ihsan kepada anaknya, diantaranya disebabkan keberadaan
berihsan kepada anak bersifat ṭabī’iyyah naluriah yang berjalan secara otomatis. Hal ini berkaitan dengan fungsi orang tua terhadap anaknya
765
Quṭub menyebutnya jarang sekali pesan keharusan berbuat ihsan orang tua
kepada anaknya. Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 6, 3261.
766
Al-Biqā’iy memnyebut ihsan yang tersebut pada surah Al-Naḥl16 : 90
adalah segenap aktivitas ketaatan yang dikerjakan dengan cara yang berkualitas tinggi. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 4, 302. Adapun Ibn ‘Āshūr perintah Allah agar
manusia berbuat ihsan yang tertulis pada surah Al-Naḥl16 : 90 mencakup kepada ucapan dan perbuatan. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 14, 255.
Sedangkan Al-Alūsiy dengan redaksi yang berbeda, tetapi memiliki subtansi yang sama tetang luasnya makna ihsan menyebutkan bahwa ihsan menyangkut segenap amal dan
ibadah yang direalisasikan dengan cara yang elok, baik dari segi kualitas seperti yang dinyatakan dalam hadis Nabi saw tentang ihsan maupun sisi kuantitas, seperti
memperbanyak amal yang disunnahkan. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 9, 454.
767
Adapun komentar Ali bin Abi Thalib ra adalah “Wahai Keluarga Ghālib ikutilah dia Muhammad saw niscaya kalian akan bahagia. Demi Allah, sesungguhnya
Allah mengutusnya agar ia memerintahkan kalian dengan kemuliaan akhlak”. Sedangkan respon Abu Thalib adalah memerintahkan keluarga dan saudara-saudaranya
supaya mengikutinya, dan berujar: “Demi Allah, sesungguhnya Muhammad tidak memerintahkan seseorang melakukan sesuatu kecuali dengan kebaikan akhlak”. Dan
pernyataan Walīd bin Mughīrah pada waktu mendengarkan ayat tersebut yang dibacakan oleh Nabi saw adalah ia meminta agar bacaannya diulangi, pengulangan
dilakukan Nabi saw, kemudian Walīd mengatakan: Demi Allah sesungguhnya Al- Qur`an itu menyenangkan, indah dan batangnya berdaun serta rantingnya berbuah, dan
sesungguhnya Al-Qur`an bukan ucapan manusia”. Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’, Juz 10, 165.
172 adalah memelihara, mengurus, memberikan fasilitas, dan mendidik.
768
Adapun yang berhubungan dengan kewajiban orang tua menumbuhkan perilaku beragama islami bagi anaknya seperti
melaksanakan ibadah maḥḍah dan ghaera maḥḍah, menjaga diri dari segenap aktivitas negatif yang menyesatkan, dan melestarikan iman
diperhatikan Allah swt dengan berbagai firman-Nya, baik dengan teks yang bersifat umum semisal digunakan-Nya kosakata ahl atau keluarga
maupun yang bersifat khusus seperti penggunaan term bunayya anakku.
769
Kata “ahl” yang diartikan dengan keluarga mencakup anak. Dalam surah Ṭāhā20 : 132 orang tua berkewajiban memerintahkan
anaknya untuk melaksanakan salat.
770
Seorang anak yang muḥsin medirikan salat dengan konsisten dan berorientasi kepada kualitas,
771
dan orang tua yang muḥsin berbuat ihsan kepada anaknya dengan cara
mendidiknya agar menegakkan salat, menolak perbuatan syirik atau bertauhid, dan berakhlak mulia.
772
Ini sebagai salah satu upaya orang tua
768
Quṭub menyebutnya kedua orang tua didorong oleh fithrahnya memelihara dan mendidik anak-anaknya.
Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur‘ān, Jilid 6, 3261.
769
Di antara firman-Nya yang menggunakan kata ahl tertera pada surah Ṭāhā20 : 132 dan yang memakai kata bunayya termuat pada Q.S. Luqmān31 : 13-19.
770
Al-Rāziy menggolongkan kerabat dan orang Islam yang berada dalam tanggungan seseorang ke dalam term ahl. Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 11, Juz 22,
118.
771
Al-Qushairiy ketika menafsirkan surah Luqmān31 : 3-4 menjelaskan bahwa muḥsin adalah orang yang melaksanakan salat dengan memenuhi persyaratan
lahiriahnya seperti menutup aurat badan, bersuci dari hadas dan najis, menghadap kiblat, mengetahui masuk waktu salat, dan melaksanakannya di tempat yang suci, serta
memenuhi syarat batiniah, semacam menutup jiwa dari sifat-sifat buruk, mensucikan diri dari kotoran ruhani, serta menghadirkan dan menghadapkan hati kepada Allah. Al-
Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Jilid 5, 129.
772
Al-Samarqandiy menafsirkan surah Luqmān31 : 13-19 dengan mengungkapkan bahwa Luqmān menasihati anaknya supaya tidak berbuat syirik, harus
berbuat ihsan kepada kedua orang, bersyukur kepada Allah atas hidayah Islam dan berterima kasih kepada kedua orang tua atas apa yang telah diperbuatnya untuk anak,
tidak mentaati perintah keduanya untuk berbuat syirik dengan tetap menghormati keduanya merupakan perbuatan mulia dan dengan tetap bersahabat dengan mereka
dengan cara ihsan, mengikuti agama orang yang mengajak patuh kepada-Nya, meyakini bahwa Allah melihat dan akan memberi balasan atas kesalahan manusia walaupun
disembunyikan di bawah bumi, di langit, atau di atas bumi, melaksanakan salat dengan sempurna, melakukan amar ma’ruf menuju tauhid, mencegah sesuatu yang tidak
diketahui oleh syareat, sunnah, dan akal, bersabar di kala melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar serta menghadapi cobaan berupa hinaan, cercaan, dan tantangan berat,
173 menjaganya dari penderitaan yang berkepanjangan,
773
dan mengantarkannya kepada kebahagiaan hidup yang hakiki.
Ketiga; Hubungan Muḥsin dengan Pasangannya
Seorang muḥsin akan melakukan hubungan yang berakhlak karimah dengan pasangannya dan mengedepankan perilaku ihsan, baik di
kala masih menjadi suami isteri maupun setelah menjadi mantan suami atau isteri.
1 Hubungan sebagai Suami Isteri
Isteri sebagai pasangan hidup merupakan amanat bagi suaminya. Ia rela menyerahkan dirinya kepada seorang suami yang diyakini akan
menciptakan rasa aman dengan pemeliharaan yang baik dan sempurna. Dan ia mempercayai suami sebagai pengganti yang lebih baik dari kedua
orang tua dan saudara-saudaranya.
774
Bahkan ia bersiap diri untuk dijadikan parner suami dalam membangun kehidupan keluarga yang
sakinah dengan menumbuhkan iklim komunikasi yang berbasis mawaddah dan raḥmah.
775
Kondisi seperti ini membutuhkan kepada suami yang berkepribadian muḥsin seperti yang diisyaratkan surah Al-
Nisā`4 : 128 dengan bertanggung jawab sepenuh hati terhadap isterinya dan tidak menyakitinya, kendati isterinya melakukan sesuatu yang tidak
disukainya seperti tidak peduli dan berpaling.
776
Di antara maksud dari penggalan ayat tersebut “wa in tuḥsinū wa tattaqū fainna Allaha kāna bimā ta’malūna khabīran” adalah berbuat
memalingkan wajah dari manusia sebagai perwujudan dari sifat takabbur, berjalan dengan dengan membesarkan diri atas nikmat yang diterimanya, berjalan dengan
merendahkan hati kepada Allah, merendahkan suara dalam berbicara. Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm,
Jilid 3, 21-23.
773
Al-Qushairiy menafsirkan Al-Taḥrīm66 : 6 terutama penggalannya qū
anfusakum wa ahlīkum nāran dengan diharuskan melakukan amar ma’ruf kepada orang yang terdekat dengan dididik dan diberi tuntunan untuk memahami agama, beradab,
dan mengajaknya supaya patuh kepada Allah, dan mencegahnya dari siksaan yang berat. Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt,
Jilid 6, 171.
774
Inilah kandungan makna dari penafsiran Shihab terhadap mīthāq ghalīẓ yang tertuang pada surah Al-Nisā`4 : 21. Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol. 2, 168.
775
Ibn ‘Āshūr menjelaskan bahwa Allah menjadikan pada suami dan isteri mawaddah rasa cinta, karena sebelumnya mereka berdua tidak saling mengenal sama
sekali, setelah menikah mereka saling mencintai, dan Allah menjadikan pula bagi mereka berdua rahmah rasa sayang, sebab mereka sebelumnya tidak memiliki
kecenderungan, tetapi sesudah menikah mereka saling menyayangi sebagai ayah dan ibu. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr,
Jilid 8, Juz 21, 71.
776
Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 6, Juz 11, 54.
174 baik dalam pergaulan dan persahabatan dengan isteri seraya menjunjung
tinggi martabatnya dan benar-benar takut berbuat tidak patut dan hawatir berbuat aniaya kepadanya. Sikap ini sebagai sesuatu yang istimewa,
mengingat terdapat rasa tanggungjawab suami dalam melindungi dan memenuhi hak-hak isteri yang disertai kesabaran, kendati suami
merasakan sesuatu yang tidak disukai dari istrinya.
777
Artinya ayat ini berpesan agar tidak ada perbuatan aniaya antara suami dan istri dalam merealisasikan hak dan kewajiban masing-masing.
Caranya dengan berprilaku ihsan dan takwa meskipun terdapat problema relasi di antara mereka yang menyuburkan sifat al-ṣuḥḥ rakus, sedikit
kebaikannya, atau kikir
778
. Apabila ihsan dijadikan ruh dalam hubungan persahabatan mereka, maka akan tumbuh semangat bertanggungjawab
memenuhi hak dan kewajiban masing-masing yang disertai merasakan kehadiran Allah swt. Selain itu kondisi pesihologis seperti ini dapat
meminimalisir sifat kikir, jika tidak dapat menghapusnya sama sekali. Penafsiran ini sejalan dengan esensi muḥsin yang memiliki pesan
memperlakukan orang lain lebih baik dari pada memeprlakukan diri sendiri. Tentu suami yang muḥsin akan memperlakukan isterinya dengan
baik, termasuk pemberian haknya akan lebih banyak dari yang seharusnya diterima istrinya. Seorang muḥsin akan memberikan
seberapa-pun haknya kepada siapa saja dan hendak menerima hak dengan tidak mengurangi semangat memberi.
779
Dalam kaitan ini, muḥsin adalah orang yang berusaha menekan egonya dengan berorientasi kepada Allah swt untuk mencapai tingkat
atau martabat berdampingan dengan-Nya. Semangat ini berbasis kesadaran akan kekurangan dalam mengabdi kepada-Nya dan
mengedepankan kepentingan orang lain atau comunal interest tanpa mengurangi keberadaan dirinya sebagai hamba. Artinya seorang muḥsin
senang berkorban dengan tulus dalam membangun relasi vertikal dan horizontal mengingat akan kepastian penilaian Allah kepadanya.
780
Di samping itu ayat di atas menjadi petunjuk bagi suami-isteri dalam menyelesaikan pertikaian di antara mereka, yakni dengan
777
Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 293, dan Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 263, serta Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’, Jilid 5, 407.
778
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 2, 329.
779
Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 1, 265.
780
Ini semakna dengan pesan yang disampaikan oleh Al-Biqā’iy ketika menafsirkan wa in tuḥsinū wa tataqū fainna Allah bimā ta’malūma khabīran penggalan
surah Al-Nisā`4 : 128. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 2, 329.
175 perdamaian, meski disertai dengan mengorbankan sebagian milik dan
hak mereka.
781
Perilaku seperti ini berdamai dan berkorban menjadi bagian yang integral pada diri muḥsin. Figur percontohannya adalah
Saodah binti Za’mah yang usianya sudah tua, salah seorang isteri Nabi saw yang menghadiahkan bagiannya bersama Nabi saw kepada Aisyah
karena ia hawatir dicerai.
782
2. Hubungan Muḥsin dalam Perceraian
Perceraian kerap terjadi di tengah-tengah kehidupan umat Islam. Pernikahan yang dibangun di atas pilar cinta dan kasih sayang terkadang
berakhir dengan perceraian yang disertai dengan persateruan. Akan tetapi perceraian dapat menjadi solusi yang tepat atas problematika yang
membelit kehidupan suami dan isteri. Perceraian dalam Al-Qur`an disebutkan dengan term ṭalāq dan
tasrīḥ. Sebutan ṭalāq dengan derivasinya terulang sebanyak 23 kali.
783
Dan kata tasrīḥ berikut derivasinya tercantum sebanyak 7 kali.
784
Adapun term yang digandeng dengan kata ihsan adalah tasrīḥ.
785
Kata tasrīḥ berarti al-irsāl atau melepaskan atau menonaktifkan dengan tidak digunakan sama sekali atau al-ihmāl. Maksudnya ialah seorang
suami sudah tidak mempunyai kecenderungan terhadap wanita yang telah dicerai untuk dirujuk. Oleh karenanya sebutan tasrīḥ menunjuk kepada
perceraian yang ketiga. Sedangkan kosakata ṭalāq berarti melepaskan dengan harapan dapat mengembalikannya,
786
dan kosakata ṭalāq tercantum dalam Al-Qur`an dihubungkan dengan ungkapan muḥsinīn.
787
Makna surah Al-Baqarah2 : 229 terutama penggalannya aw tasrīḥin bi iḥsān atau dicerai ketiga kalinya dengan cara ihsan
menunjuk kepada keberadaan perceraian sebagai sesuatu yang dibolehkan dan berada di tangan suami. Akan tetapi dalam memilih
perceraian sebagai upaya pemecahan masalah dituntut adanya
781
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 2, Juz 5, 217.
782
Siti Saodah berujar: waktu giliranku bersama Nabi saw aku hadiahkan bagi Aisyah. Peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Ḥakim dari Aisyah ini
menjadi sebab turunnya ayat tersebut yang memperkenankan langkah Saodah. Al- Suyūṭiy, Asbāb Al-Nuzūl, 95.
783
Abd Al-Bāqi’, Al-Mu’jam, 543.
784
Abd Al-Bāqi’, Al-Mu’jam, 442-443.
785
QS. Al-Baqarah2 : 229.
786
Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 3, Juz 6, 84-85, dan Al-Biqā’iy, Naẓm Al-
Durar, Jilid 1, 430.
787
QS. Al-Baqarah2 : 236.
176 keterlibatan isteri sebagai subjek yang setara dengan suami. Ia bersama
suami berperanserta dalam proses penetapan keputusan terjadinya perceraian tersebut. Tujuannya ialah supaya tidak terdapat upaya
penganiayaan atau tindakan semena-mena yang dilakukan suami terhadapnya. Secara ekstrim, dapat disebutkan bahwa tidak terdapat
penjelasan pada ayat ini atau ayat lainnya tentang perceraian yang membolehkan perceraian tidak seizin isteri, kendati perceraian terletak
pada kewenangan suami.
788
Ini merupakan model perceraian yang berjiwa ihsan.
Pemaknaan seperti ini memberikan isyarat bahwa ihsan merupakan sumber inspirasi bagi keharusan suami yang muḥsin
meletakkan dengan tepat tingkat mutu moralitasnya yang baik. Isteri diposisikan sebagai bagian integral yang berjalan di atas prinsip
egalitarian dalam melakukan solusi kolektif bagi proses penetapan putusan perceraian mengingat hubungan suami dan isteri adalah
hubungan kemitraan yang diisyaratkan oleh kata zawāj yang berarti pasangan.
789
Penempatannya yang egalit dalam sekup hubungan suami- isteri berbasis ihsan disebabkan: Pertama, isteri adalah wanita yang
pernah mengambil ikatan perjanjian yang kokoh dari suaminya dalam proses pernikahan atau wa akhadhnā minkum mīthāqan ghalīẓan.
790
Apresiasi terhadapnya menjadi sesuatu yang sangat urgen. Kedua, isteri merupakan tempat penampungan yang subur bagi benih yang ditanamkan
oleh seorang suami. Isteri bagaikan areal tanah sawah yang setiap saat dengan rela dapat ditanami bibit pepohonan oleh suami Nisā`ukum
ḥarthun lakum fa`tū ḥarthakum annā shi`tum.
791
Kerelaan atau tidak adanya pemaksaan mewarnai relasi antar keduanya. Lebih dari itu kerelaan merupakan unsur penting yang layak
berkembang dalam tatanan hubungan suami isteri. Pemaksaan, terlebih, dengan kekerasan yang dilakukan suami kepada isterinya dekat dengan
788
Muhammad Al-Amīn ibn Muhammad Al-Mukhtār Al-Jakaniy Al-Shanqīṭiy, Aḍwā Al-Bayān fī Iḍāḥi Al-Qur’ān bi Al-Qur’ān Madīnah Munawwarah, Maktabat Al-
‘Ulūm wa Al-Hikam, 2005, Juz 1, 206. Selanjutnya disebut Al-Shanqīṭiy, Aḍwā`.
789
Shihab, Wawasan, 206.
790
Menurut Ḥasan, Ibn Sirīn, Qatadah, Dhaḥāk, al-Sadiy, dan pakar lainnya makna wa akhaḍnā minkum mītsāqan galīẓan yang tercantum pada surah Al-Nisā`4:21
adalah faimsāk bi ma’rūf aw tasrīh bi ihsān yang tertera pada surah Al-Baqarah2:229. Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 417.
791
Al-Shanqīthiy menafsirkan surah Al-Baqarah2:223 dengan menilai pentingnya perceraian melibatkan pendapat isteri. Al-Shanqīṭiy, Aḍwā`, Jilid 1, 206-
207.
177 tindak kezaliman. Perbuatan menegasi isteri dengan meninggalkan
perannya dalam proses pengambilan keputusan cerai relevan disebut sebagai tindak penganiayaan yang melanggar hak asasi isteri.
792
Dengan kata lain dalam konteks ini, makna muḥsin menjadi figur bermoral mulia yang bersebrangan dengan kezaliman yang tergolong
perbuatan isā`ah perbuatan buruk. Pada perceraian tahap ketiga kezaliman relatif mungkin dilakukan suami terhadap isterinya mengingat,
di satu sisi, pengulangan melakukan perceraian pertanda problematika keluarga telah mencapai puncaknya yang bisa jadi sulit dipecahkan, dan
di sisi lain, secara umum, isteri atau wanita adalah insan lemah yang cukup rawan dengan tindak kezaliman kaum pria.
Jika merujuk kepada sabab nuzul surah Al-Baqarah2 : 229, semakin jelas pesan ayat ini menjawab persoalan sosial kaum pria Arab
ketika itu yang sering berbuat zalim kepada wanita dengan menceraikan isterinya sesuka hati, mereka melakukan cerai dan rujuk berkali-kali,
tanpa batas.
793
792
Hadis nabi saw yang ditakhrīj oleh Al-Ṭabariy dan diriwayatkan Ibn Abbas ra dengan sanad yang shahih cukup memadai untuk dikorelasikan dengan makna
tersebut. Teks hadisnya sebagai berikut;
لﺎﻗ :
ﻄﺗ ﻪﺗأﺮﻣا ﻞﺟﺮﻟا ﻖﻠﻃ اذإ وأ ﺎﻬﺘﺑﺎﺤﺻ ﻦﺴﺤﻴﻓ فوﺮﻌﲟ ﺎﻬﻜﺴﳝ نأ ﺎﻣﺈﻓ ﺔﺜﻟﺎﺜﻟا ﺔﻘﻴﻠﻄﺘﻟا ﰲ ﷲا ﻖﺘﻴﻠﻓ ﲔﺘﻘﻴﻠ
ﺎﺌﻴﺷ ﺎﻬﻘﺣ ﻦﻣ ﺎﻬﻤﻠﻈﻳ ﻼﻓ نﺎﺴﺣﺈﺑ ﺎﻬﺣﺮﺴﻳ .
Artinya: Nabi saw bersabda “Apabila seorang pria menceraikan isterinya untuk kedua kalinya, maka bertakwalah kepada Allah swt pada perceraian yang ketiganya.
Jika ia berkehendak mempertahankannya sebagai isteri, maka berihsanlah dalam melakukan relasi persahabatan dengannya, atau manakala ia memilih menceraikannya,
maka jangan menganiaya haknya sama sekali”. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 2, 471, dan Al-Shanqiṭiy, Aḍwā`, Jilid 1, 208.
793
Imam Malik meriwayatkan dari Hisyam ibn ‘Urwah yang diterima dari ayahnya yang mengatakan bahwa kaum pria Arab manakala menceraikan isterinya,
maka merujuknya sebelum habis masa ‘iddah masa menunggu. Apabila mereka menceraikannya hingga seribu kali, mereka merujuknya, kemudian menceraikannya
kembali hingga hampir habis masa ‘iddah mereka merujuknya dan menceraikannya lagi seraya mereka berkata “Aku memberimu tempat tinggal, tapi tidak memberimu
perhiasan”, kemudian turun ayat tersebut. Keberadaan ayat berfungsi sebagai pembatas jumlah tahapan perceraian yang dapat menyelamatkan kaum wanita dari kesewenang-
wenangan kaum pria. Jalāl Al-Dīn ‘Abd Al-Raḥmān Al-Suyūṭiy Al-Shāfi’iy w. 911 H, Tanwīr Al-Ḥawālik Sharḥ Al-Muwaththa` Al-Imām Mālik Beirut, Dār Al-Fikr, t.t, Juz
2, 35. Selanjutnya disebut Al-Suyūṭiy, Tanwīr Al-Ḥawālik. Dan Al-Suyūṭiy, Al-Durr Al- Mantsūr, Jilid 1, 494. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa seorang pria Arab
menceraikan istri sesukanya. Ia beranggapan, selama rujuk dilakukan pada masa iddah, masih tetap menjadi isterinya, meski sudah dicerai seratus kali atau lebih. Pria tersebut
178 Meski demikian dalam perjalanannya kesewenangan tidak dapat
dihindari, karena dalam kasus perceraian bersemayam prilaku emosional yang sering dikedepankan dan dominan pada kebanyakan orang sewaktu
mengalami proses perceraian. Fakta sejarah menunjukkan sering terjadi penganiayaan yang
dilakukan oleh kaum pria kepada kaum wanita yang dicerainya, mereka tidak memberikan perhiasaan dan pakaian, bahkan justru mencerca dan
menghardiknya. Seharusnya perceraian dilakukan dengan ihsan supaya berjalan dengan perkataan yang baik serta pemberian materi yang
berharga dan bermanfaat dalam jangka waktu yang panjang.
794
Berihsan mempunyai posisi penting dalam perceraian agar produktif dan tidak kontra produktif. Perceraian menjadi solusi bagi
problematika kehidupan keluarga yang menemui jalan buntu, tidak dapat diselesaikan dengan jalan kompromi. Perceraian dijadikan alternatif
terakhir, karena sudah tidak ada pilihan lain. Perceraian berbasis ihsan merupakan peristiwa kontrofersial yang
berlalu di jalan akhlak terpuji. Buruknya persahabatan dan hilangnya kesenangan hidup akibat akhlak tercela tidak terpuji dalam pandangan
syareat dan tidak disukai oleh tradisi tarekat kaum sufi.
795
Perceraian, jika sudah menjadi pilihan sebagai solusi atas problem suami dan isteri, akan dilakukan seorang muḥsin dengan menempuh dua
cara: a. Pemberian Mut’ah
Pemberian mut’ah nafkah merupakan konpensasi yang diberikan oleh mantan suami kepada mantan isterinya. Pemberian
tersebut manifestasi dari rasa tanggung jawab serta sirnanya rasa kebencian dan permusuhan dalam diri mantan suami. Lebih dari itu
pemberian mut’ah merupakan refleksi dari perangai yang terpuji dan sikap yang bijaksana seorang mantan suami.
796
berujar kepada isterinya; Demi Allah aku tidak akan menceraikanmu, kamu tetap berada di sampingku, dan aku tidak akan menggaulimu. Isterinya bertanya; Apa yang akan
kamu lakukan? Suaminya menjawab; Aku menceraikanmu, apabila hampir habis masa iddah, aku akan merujukmu. Kemudian wanita tersbut menemui Nabi saw untuk
menceritakan kasusnya, Nabi berdiam hingga turun ayat tersbut. Al-Suyūṭiy, Asbāb Al- Nuzūl, 44-45.
794
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 407.
795
Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 1, 168.
796
Persepsi ini tercantum dalam surah Al-Baqarah2 : 229 dan surah Al- Baqarah2 : 236 yang menjelaskan hal tersebut sebagai ciri ahlul ihsan.
179 Ungkapan tasrīḥ bi iḥsān yang termaktub pada Al-Baqarah2 :
229 sebagai perceraian yang disertai dengan pemberian hak harta kepada mantan isteri dan tidak menyebut-nyebut kejelekannya serta tidak
berupaya menjauhkannya dari tengah-tengah kehidupan masyarakat.
797
Kata ihsan dan muḥsinīn pada kedua ayat tersebut, kelihatannya, ditekankan pada keharusan mantan suami memberikan mut’ah berupa
nafkah harta kepada mantan isterinya. Hikmahnya ialah agar mantan isteri tidak kehilangan dua hal sekaligus dari mantan suaminya, yaitu diri
suami berikut cintanya dan suatu pemberian dari mantan suaminya.
798
Akan tetapi dengan mut’ah hanya suami dan cintanya yang lepas, sehingga beban material dan mental tidak terlalu berat ditanggung
olehnya, dan silaturahim tidak terputus. Selain itu perceraian-pun berjalan dengan suasana damai. Manakala perceraian tidak berlangsung
damai, maka menjadi bencana kemanusiaan dalam keluarga. Penyebutan muḥsin pada penggalan surah Al-Baqarah2 : 236
ḥaqqan ‘ala al-muḥsinīn sebagai kewajiban bagi orang yang berbuat ihsan adalah orang yang berbuat baik kepada mantan isterinya dengan
memberikan mut’ah pemberian yang menyenangkan dan berguna dalam jeda waktu yang panjang
799
sebagai akibat dari merasa bersama dengan Allah.
Dalam pandangan sebagian pakar fiqih pemberian mut’ah kepada mantan isteri wajib dilakukan seorang yang muḥsin dan bertakwa
sebagaimana wajibnya berihsan dan bertakwa. Sedangkan menurut sebagian lainnya sebatas sunnah dan sebagai perbuatan tabarru’
kedermawanan, karena Allah tidak menentukan kadar mut’ah, dan penyebutan kata muḥsinīn pada surah Al-Baqarah2 : 236 mengisyaratkan
kepada kebaikan semata.
800
Pendapat yang kedua cenderung mengartikan
797
Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 3, Juz 6, 84-85, dan Al-Biqā’iy, Naẓm Al-
Durar, Jilid 1, 430.
798
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 1, 430.
799
Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 138.
800
Argumentasi pendapat pertama didasarkan kepada hubungan surah Al- Baqarah2 : 236, terutama penggalannya “ḥaqqan ‘alā al-Muḥsinīn sebagai kewajiban
bagi orang yang berbuat ihsan dan surah Al-Baqarah2 : 241, terutama penggalannya ḥaqqan ‘alā al-Muttaqīn sebagai suatu kewajiban bagi orang yang bertakwa. Pendapat
kedua dipelopori oleh Imam Malik dan pengikutnya. Menurut mereka penggunaan kata muḥsinīn yang bersifat khusus tidak mengisyartkan kepada hukum wajib. Al-Shanqīṭiy,
Aḍwā, Juz 1, 220-221. Manakala wajib hukumnya, maka Al-Qur`an akan memakai lafaẓ al-nās ḥaqqan ‘alā al-nās yang bersifat umum. Dalam pandangan mereka term
muḥsinīn mengisyaratkan kepada kebaikan semata, sehingga eksistensi mut’ah sebagai
180 sebutan Muḥsinīn dengan orang-orang yang dermawan, sehingga
pemberian mut’ah merupakan bukti kedermawanan. Al-Qur`an mengesankan mut’ah sebagai suatu yang berarti dalam
perceraian, terlebih dengan adanya perintah memberikannya kepada mantan isteri oleh mantan suami sebagai perekat luka hatinya akibat
bercerai.
801
Penggunaan fi’il amar kata kerja perintah matti’ū berilah mut’ah dalam Al-Qur`an dalam penentuan mut’ah menunjukkan
keberadaannya yang penting bagi suatu perceraian di luar terdapat perbedaan pendapat antar pakar dalam menentukan hukumnya, wajib
atau sunnah. Salah satu peranannya adalah sebagai penghibur bagi isteri yang dicerai, sehingga terkesan adanya kedamaian di tengah-tengah
perpisahan. b. Melalui Tahapan yang Paedagogis dan Berakhlak
Perceraian yang dilakukan seorang muḥsin akan berjalan di atas prosedur yang bersifat edukatif dan etis. Pertama; Suami memberikan
nasihat kepada isteri. Kedua; Pisah tempat tidur antar keduanya, jika cara kesatu tidak memberikan hasil. Ketiga; Suami memukulnya dengan tanpa
melukainya, bila dengan cara kedua tidak berhasil. Keempat; Masing- masing pihak antara suami dan isteri mendatangkan hakam juru
damai.
802
Ayat-ayat perceraian tersebut menunjukkan diperkenankannya perceraian yang dilaksanakan dengan cara ihsan. Pandangan yang
menyatakan perceraian merupakan sesuatu yang halal tetapi dibenci Allah swt
803
terkesan tidak sejalan dengan pesan ayat-ayat tersebut,
perbuatan tabarru’ kedermawanan. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 462.
801
Ini penafsiran Ibn ‘Āshūr berkenaan dengan perintah memberikan mut’ah yang termaktub pada surah Al-Aḥzāb33 : 49
. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid
9, Juz 22, 62.
802
Ibn ‘Aṭiyyah menyatakan bahwa “Menasihati, pisah tempat tidur tidak melakukan hubungan sebadan, dan memukul dengan tidak melukai merupakan tahapan
yang ditempuh seorang suami dalam menghadapi problem isteri yang nushūz merasa lebih unggul dari suaminya hingga menentangnya, sedangkan suami
menghawatirkannya, dan tahap beriktunya adalah mendatangkan juru damai untuk menyelesaikan persoalan gentingnya hubungan antara keduanya. Pernyatannya ini
berhubungan dengan penafsirannya terhadap surah Al-Nisā`4 : 34-35. Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 432-433.
803
Pandangan tersebut dilandaskan kepada hadis Nabi saw, tetapi redaksi dan sanadnya tidak sama antara H.R. Ibn Mājah, H.R. Abū Dāwud, dan H.R. Al-Hākim. Ibn
181 kendati didasarkan pada hadis riwayat Ibn Mājah, Abu Dawud, dan
Hakim. Berpijak pada perspektif logika teologis, Allah tidak akan melakukan sesuatu yang kontradiksi, membenci sesuatu yang dihalalkan,
melainkan menghalalkan sesuatu yang disukai dan melarang yang dibenci. Logika ini mengisyaratkan bahwa perceraian tidak dilarang atau
dapat dilakukan, jika penyelesaian problematika suami-isteri menemui jalan buntu, dan apabila perceraian dijadikan alternatif pamungkas.
Keberadaannya sebatas menjadi pintu darurat yang mesti dilalui dalam rangka tindakan penyelamatan bersama.
804
Sedangkan yang dibenci-Nya adalah prilaku gegabah dari suami-isteri dalam melakukan perceraian.
Apabila ayat-ayat dan hadis tersebut dikompromikan secara hati- hati, maka agaknya dapat dikatakan bahwa: perceraian diperkenankan
bila dilakukan dengan cara ihsan, yaitu: Pertama; Terdapat sebab yang
Mājah, Sunan, Juz 1, 650, Abū Dāwud, Sunan Abī Dawud, Juz 2, 120, dan Al-Hākim, Al-Mustadrak, Juz 2, 214.
Para pakar hadis berbeda pendapat tentang setatus keabsahan hadis ini. Abū Hātim, al-Dāruquthniy, dan al-Baehaqiy men-tarjīh-nya sebagai hadis mursal. Al-
Ṣan’āniy, Subul Al-Salām, Juz 3, 168. Muhammad Al-Ṭāhir al-Maqdisiy terhadap hadis di atas terutama yang diriwayatkan Ibn Mājah, menyebutkan bahwa di dalamnya
terdapat seorang bernama ‘Ubaid Allah ibn al-Wālid yang tidak layak menjadi musnid. Namun Al-Hākim menshahihkannya. Al-Hākim, Al-Mustadrak, Juz 2, 214. Al-
Dhahabiy menyatakan; penshahihan yang dilakukan Al-Hākim tersebut sejalan dengan syarat keshahihan yang ditetapkan imam Muslim, meskipun isinya kontradiktif, sebab
kebencian Allah kepada sesuatu cenderung menegasikan kehalalannya. Al-Ṣan’āniy,
Subul Al-Salām, Juz 3, 168. Dengan pendekatan hukum al-Nawawiy menyatakan bahwa hadis ini tidak
mengharamkan perceraian, melainkan asal hukumnya adalah makrūh tanzīh. Lebih jauh dengan mengutip pendapat para pakar hukum fiqih, ia menyebutkan bahwa hukum
perceraian terbagi menjadi empat macam sesuai dengan faktor yang melatarbelakanginya. Pertama; Wajib, yaitu apabila perselisihan antara suami isteri
diselesaikan melalui juru damai dari kedua belah pihak, dan ditentukan oleh mereka perceraian lebih maslahat dibandingkan dengan diteruskan untuk hidup bersama sebagai
suami-isteri. Kedua; Makruh, manakala perceraian dilakukan tanpa ada faktor penyebabnya sama sekali, tetapi isteri menerima bagiannya. Ketiga; Haram, jika
perceraian dilangsungkan tanpa adanya sebab sementara isteri dalam keadaan haid dengan tidak mendapatkan pengganti dan pemberian atas permintaannya, atau isteri
dalam keadaan suci dengan tidak ada penjelasan kehamilannya, atau menceraikan salah satu dari beberapa isteri dengan tanpa diberi bagiannya. Keempat; Sunnah, seandainya
isteri tidak dapat menjaga dirinya dan keduanya hawatir tidak dapat melaksanakan hukum Allah swt. Al-Nawawiy, Al-Minhāj, Jilid 5, 402.
804
Al-Ṣan’āniy termasuk figur yang menilai bahwa: Sebaiknya perceraian tidak dijadikan pilihan selama masih banyak alternatif lain yang dapat memecahkan
persoalan antara suami isteri. Al-Ṣan’āniy, Subul Al-Salām, Juz 3, 168.
182 sulit dipecahkan dengan cara selain bercerai. Kedua; Penyertaan isteri
dalam urun rempug membicarakan persoalan perceraiannya. Ketiga; Pemberian mut’ah kepada mantan isteri. Keempat; Menempuh prosedur
yang paedagogis dan berakhlak. Manakala perceraian dilaksanakan dengan cara sebaliknya atau
semena-mena, bernuansa kezaliman dan rekayasa, serta berujung dengan persateruan dan putusnya tali silaturrahim, maka kiranya dapat dinilai
bahwa perceraian macam ini tergolong sesuatu yang halal, tetapi dibenci Allah swt.
2. Hubungan Muḥsin dengan Lingkungan Sosial
Sebagai insan yang memiliki kesalehan sosial seorang muḥsin akan merealisasikannya ke dalam berbagai aspek kemasyarakatan, di
antaranya adalah: 1 Relasi Muḥsin dengan Sepuluh Elemen Masyarakat
Di samping seorang muḥsin memiliki hubungan yang berbasis ihsan dengan kedua orang tua, anak, dan isterinya, ia melakukan
hubungan dengan lingkungan sosialnya, baik yang mempunyai relasi kekerabatan maupun tidak. Mereka terdiri dari sepuluh elemen
masyarakat, yakni: Pertama, Orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan atau dhī al-Qurbā; Kedua, Anak-anak yatim atau al-Yatāmā;
Ketiga, Orang-orang miskin atau al-Masākīn; Keempat, Tetangga dekat atau al-Jār dhī al-Qurbā; Kelima, Tetangga jauh atau al-Jār al-Junub;
Keenam, Teman sejawat atau al-Ṣāḥib bi al-Janbi; ketujuh, Anak
jalanan dan orang-orang yang kehabisan bekal di perjalanan atau Ibn
Sabīl; Kedelapan, Hamba sahaya wanita atau mā malakat aymānukum;
805
Kesembilan; orang yang meminta-minta atau al-Sā`ilīn; Kesepuluh;
hamba-hamba sahaya pria yang diperjualbelikan atau orang-orang yang hilang kemerdekaannya akibat dari kezaliman atau al-Riqāb.
806
805
Al-Zamakhshariy dalam menafsirkan surah Al-Nisā`4 : 36 menyebutkan tentang keharusan memuliakan dan memenuhi hak-hak mereka dengan baik. Al-
Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 236. Berkaitan dengan al-ṣāhibi bi al-Janbi terdapat pakar yang mengartikannya dengan isteri, bahkan siapapun yang selalu menyertai seseorang di
rumahnya, termasuk para pembantu rumah tangga karena sementara orang, baik sebelum turunnya Al-Qur`an maupun sesudahnya, hingga kini memperlakukan isteri
dan atau para pembantu dengan tidak wajar. Lihat Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol. 2, 419.
806
Al-Zamakhshariy menjelaskan bahwa al-Sā`ilīn orang yang minta-minta patut mendapatkan layanan makanan, dan al-Riqāb layak memperoleh upaya
183 Surah Al-Nisā`4 : 36 meliput kedelapan golongan dari dhī al-
Qurbā sampai dengan mā malakat aimānukum yang secara eksplisit disertai dengan penggunaan term ihsan. Sedangkan pada surah Al-
Baqarah2 : 177 tercantum dua golongan lainnya, al-Sā`ilīn dan al-Riqāb dengan disertai pemakaian sebutan al-birr makna generiknya searti
dengan ihsan, yairtu berbuat baik. Sebagai muḥsin seseorang akan berbuat ihsan kepada kedua orang
tuanya, kemudian secara simultan ia-pun berbuat baik kepada orang yang mempunyai hubungan kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga dekat,
tetangga jauh, kawan sejawat, ibn sabīl orang yang kesusahan di perjalanan, dan hamba sahaya. Dengan karakter seperti ini layak baginya
mendapatkan persahabatan dari Allah swt.
807
Berihsan kepada mereka diimplementasikan seorang muḥsin dalam penampilan yang tidak sombong atau mukhtāl dan membanggakan
diri atau fakhūr sehubungan kedua sifat negatif tersebut cenderung destruktif.
808
Karakteristik muḥsin lebih mengintegrasikan kehidupannya kepada orientasi vertikal dan horizontal, serta lingkungan alam. Orientasi
vertikal merupakan upaya mengabdi kepada Allah swt sebagai bagian dari semangat ketuhanan yang melekat pada dirinya. Sedangkan orientasi
horizontal merupakan usaha berbuat baik kepada siapapun dengan mengedepankan kepentingan mereka sebagai perwujudan dari
kematangan kemanusiaannya. Adapun orientasi kepada lingkungan alam merupakan upaya perbaikan dan pelestarian.
Orientasi tersebut melekat dalam hidupnya dan diaplikasikan dengan konsisten hingga merasakan
kehadiran Allah swt. Berbuat ihsannya seorang muḥsin kepada kedua orang tua, anak,
dan isteri meliputi ihsan fi’liy berihsan dalam perbuatan dan ihsan qauliy berihsan dalam ucapan. Sedangkan berbuat ihsan kepada seluruh
manusia, selain orang tua, anak, dan isteri, lebih ditekankan pada aspek ucapan seperti perintah-Nya wa qūlū li al-Nāsi ḥusnan
809
berkata yang baik kepada manusia, dikarenakan ucapan relatif lebih mudah atau lebih
pembebasan dengan harta zakat atau sedekah. Penjelasnnya ini diutarakannya ketika menafsirkan surah Al-Baqarah2 : 177. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 109.
807
Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Jilid 2, 23.
808
Ibn ‘Aṭiyyah secara khusus menyatakan bahwa yang tidak bebuat ihsan kepada mereka hanya orang yang membanggakan diri ‘ujub dan kikir bukhl. Ibn
‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 434.
809
QS. Al-Baqarah2 : 83.
184 memungkinkan diamalkan setiap manusia.
810
Namun ucapan tersebut bersumber dari keyakinan positif yang tertanam dalam hati, sehingga
ucapan menyatu dengan hati. Penyatuan tersebut menjadi setandar utama dalam berbuat ihsan di tengah-tengah melakukan relasi sosial dengan
sesama manusia.
811
Perintah berkata yang baik tersebut menunjukkan bahwa berihsan kepada sesama manusia dimulai dari yang mudah, tetapi
memiliki nilai etika yang luhur dan menjadi basis komunikasi yang harmoni.
812
Dalam melakukan relasi sosial perkataan menjadi barometer yang mendasar. Sifat rendah hati tawāḍu’ atau tinggi hati mukhtāl dan
fakhūr terukur dari ucapan. Apabila watak mukhtāl dan fakhūr lebih dominan pada diri
seseorang, berarti ia telah meletakan mereka tidak setara, bahkan cenderung merendahkan dan memperlakukan mereka dengan
diskriminasi. Mereka berada di derajat yang lebih rendah dari pada dirinya dan mereka dipandang sebagai orang yang lemah. Perlakuan
seperti ini merupakan bagian dari kezaliman dan ketidakadilan, mengingat sifat fakhr memuat watak takabbur atau congkak.
813
Mukhtālan merupakan watak yang meliputi kesombongan, membanggakan diri, dan memamerkan pemberian Allah swt sambil
menghinakan pihak lain, seperti merasa hina jika memiliki kerabat yang miskin dan meremehkan tetangganya yang lemah. Pemilik sifat ini tidak
mungkin berbuat ihsan kepada mereka, karena hawatir tertimpa kesalahan dan kecacatan yang sama. Sedangkan fakhūr menekankan pada
karakter yang berlebih-lebihan dalam memuji perangai diri. Penyebutan kedua watak tersebut pada surah Al-Nisā`4 : 36 menunjukkan
sempurnanya sifat yang menghambat perbuatan ihsan dalam lingkungan sosial.
814
Kata mukhtālan terambil dari akar kata yang sama dengan khayāl, oleh karena itu kata ini pada mulanya berarti orang yang tingkah lakunya
dikendalikan oleh khayalannya, bukan oleh kenyataan. Biasanya orang
810
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 1, 133.
811
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 1, 583.
812
Al-Shaukāniy menafsirkan perintah berkata baik kepada manusia dengan semua ucapan atau perkataan yang benar atau jujur, tidak terbatas pada perketaan
tertentu. Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 1, 135.
813
Selain itu Ibn ‘Aṭiyyah mengutip pendapat Abū Rajā` Al-Harawiy bahwa tidak dijumpai keburukan perangai seseorang kecuali pada sifat mukhtāl dan fakhūr. Ibn
‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 434.
814
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 2, 256.
185 semacam ini berjalan dengan angkuh, karena merasa memiliki kelebihan
dibandingkan dengan orang lain. Keangkuhannya tampak dengan nyata dalam prilaku keseharian. Kuda dinamai khail karena cara jalannya
mengesankan keangkuhan. Seorang yang mukhtāl membanggakan apa yang dimilikinya, bahkan tidak jarang membanggakan apa yang pada
hakekatnya tidak dimiliki, dan inilah yang ditunjuk dengan kata “fakhūra”, yakni sering kali membanggakan diri. Kedua kata “mukhtāl
dan fakhūr” mengandung makna kesombongan, tetapi yang pertama kesombongan terlihat dari tingkah laku, dan kedua kesombongan
terdengar dari perkataan.
815
Watak orang yang mukhtāl dan fakhūr terlihat merugikan dalam relasi sosial dan tercermin dari sifat-sifatnya yang negatif sebagai
berikut: pertama; Al-Bukhl atau kikir; Kedua; Memerintahkan orang lain berbuat kikir; Ketiga; Menyembunyikan anugerah Allah yang
diterimanya; Keempat; Menginfakkan harta disertai dengan riya atau keinginan dipuji dan diketahui serta dinilai oleh orang lain sebagai orang
yang dermawan, bukan semata-mata mengharapkan ridha-Nya, dan tidak dimotivasi oleh semangat tali kasih sayang terhadap sesama manusia.
Kelima; Tidak beriman kepada Allah swt dan hari akhirat.
816
Sifat- sifat di atas, pada dasarnya, menurut surah Al-Nisā`4 : 37-38 disebabkan
kekafiran yang melekat kuat dan persahabatannya dengan syaitan. Sedangkan kekafiran tidak menjanjikan sesuatu kecuali kesengsaraan dan
tidak ada sahabat karib yang paling buruk selain dari syaitan. Seorang muḥsin akan berupaya menjauhkan diri dari kekafiran
dan syaitan. Ia akan mendayagunakan kemampuannya untuk memperkokoh keimanan dan mengedepankan sikap kedermawanan yang
tulus dengan memberikan sebagian harta yang dimilikinya. Pemberian zakat yang wajib atau sedekah yang sunnah merupakan komitmennya
yang mendasar dalam memperlakukan kedelapan golongan di atas sebagai manifestasi dari perilaku ihsan yang berdimensi kesetiakawanan
dan solidaritas sosial. Artinya seorang muḥsin adalah orang yang meninggalkan kebahagiaan lahiriah dirinya atau menuntaskan kebutuhan
orang lain yang tergantung padanya atau beribadah tidak disertai
815
Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 2, 419.
816
Al-Shaukāniy menafsirkan surah Al-Nisā`4 : 37 sebagai badal dari man kāna mukhtālan fakhūran potongan ayat dari surah Al-Nisā`4 : 36 dan surah Al-Nisā`4
:38 sebagai aṭaf kepada surah Al-Nisā`4 : 37 . Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 1, 132.
186 kelalaian.
817
Pengkaitan term kikir atau al-bukhl dan riyā` dengan mukhtāl dan fakhūr pada ayat-ayat di atas mengisyaratkan sifat kikir dan keinginan
disanjung menjadi perwujudan watak sombong dan membanggakan diri. Watak semacam ini merupakan implikasi dari lemahnya iman hingga
dikelompokkan oleh Allah swt ke dalam orang-orang yang berkawan dengan syaitan.
Harta yang dimiliki seseorang dapat menjadikan kebanggaan tersendiri dan meningkatkan prestisenya, jika tidak disyukuri dan disikapi
dengan tawāḍu’ akan melahirkan sikap oragansi. Berkurangnya harta karena digunakan untuk kepentingan sosial, tetapi tidak menambah
kebanggaan diri dan kehormatannya dinilai oleh seorang yang arogan sebagai suatu yang sia-sia dan merupakan kerugian material. Riya atau
harapan mendapatkan sanjungan menjadi motivasi utama dalam berderma, karena akan menambah keagungan diri dan nama besarnya.
Tradisi merasa rugi dan ingin disanjung tersebut bersumber dari karakter dasarnya, yakni kikir.
818
Kondisi ini mempunyai korelasi langsung dengan cercaan dan penolakan Allah swt kepada mereka karena tidak
pandai memilih sesuatu yang bermanfaat dan suatu keyakinan yang salah.
819
Sepuluh golongan di atas seyogyanya diperlakukan dengan baik melalui pemberian infak yang tulus dan familier. Seorang muḥsin
berihsan kepada mereka dengan menginfakkan hartanya disebabkan sifat kedermawanan dan pandangan hidupnya bahwa harta adalah milik Allah
swt yang diberikan atau dititipkan kepadanya. Sebahagian harta sepatutnya diinfakkan kepada mereka. Sifat dan pandangan hidup
tersebut tidak memberatkan, melainkan menjadi bagian yang melekat dalam kehidupannya. Selain itu seorang muḥsin memiliki persepsi bahwa
secara langsung atau tidak penerima infak mempunyai kontribusi dalam
817
Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 1, 588-589.
818
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 2, 257.
819
Al-Alūsiy menafsirkan surah Al-Nisā`4 : 39 sebagai taubīkh menilai buruk terhadap mereka yang memiliki sifat yang digambarkan dalam surah Al-Nisā`4 :
37-38 karena kebodohan mereka kepada posisi yang bermanfaat dan kepada keyakinan tentang sesuatu yang berbeda dengan sesuatu yang selama ini diyakini mereka, dan
mengajak mereka mendayagunakan berfikir untuk mendapatkan jawaban yang mengantarkan mereka mengetahui sesuatu yang menjadi hadiah jika meninggalkan
kemaksiatan, serta memperingatkan mereka bahwa ajakan kepada urusan yang tidak mengandung bahaya merupakan langkah kehati-hatian. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid
3, 31.
187 proses kepemilikan atau penitipan harta tersebut. Oleh karena itu bagi
muḥsin tidak keberatan menginfakkan harta yang dicintainya sejalan dengan kriteria ideal yang ditetapkan Allah dalam surah Ali ‘Imrān3 :
92.
820
Ketentuan tersebut berorientasi untuk melahirkan kedermawanan yang dilandasi kasih sayang, ketulusan atau kebaikan niat, dan kesetaraan
yang sempurna hingga menyamakan orang lain dengan dirinya, bahkan rela berkorban bagi keperluan orang lain yang membutuhkan.
Karakteristik yang egalitarian dan ketulusan berkorban dapat menghilangkan sifat kikir dan rakus.
821
2. Relasi Muḥsin dengan Keluarga Korban
Muḥsin sebagai manusia biasa memiliki kemungkinan melakukan kekeliruan atau mengerjakan dosa, baik yang kecil maupun yang besar,
meski ia berkarakter ijtināb kabā`ir al-ithmi wa al-fawāhish illa al- lamam menjauhkan diri dari dosa-dosa besar dan perbuatan keji kecuali
yang dikerjakan di masa lalu atau kesalahan-kesalahan kecil. Kesalahan tersebut lebih bersifat kasuistik, yang mungkin dikerjakan seorang
muḥsin yang berat ujian dan cobaannya.
822
Hal ini berhubungan dengan sunnat Allah yang berlaku bagi setiap orang, semakin tinggi derajat
seseorang, semakin berat cobaan dan godaannya. Ibarat tanaman, semakin menjulang tinggi batangnya, semakin keras diterpa angin.
Muḥsin yang berada pada tingkat kepribadian tertinggi akan selalu berhadapan dengan ujian dan godaan berat yang datang silih berganti.
Seorang muḥsin memungkinkan bagi dirinya melakukan pembunuhan sebagai dosa besar. Namun dengan kepribadiannya yang
unggul akan menghadapi segala konsekwensi yang mesti ditanggung, baik hukum qisas sanksi atau hukuman yang setimpal dengan kesalahan
yang dikerjakan, yaitu dibunuh maupun ganti rugi atau diyat yang harus dibayarnya dengan cara ihsan sebagai alternatif pengganti akibat dari
keluarga korban memaafkannya.
823
Dengan demikian hubungannya adalah hubungan tanggungjawab dan apresiatif. Hal ini dikarenakan
820
Al-Alūsiy menafsirkan term birr yang termaktub pada ayat tersebut surah Ali ‘Imrān3 :92 dengan iḥsān wa kamāl al-khayr ihsan dan kesempurnaan suatu
kebaikan. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 2, 213.
821
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid2, Juz 4, 6.
822
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 7, 328.
823
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 140-142, dan Al-Jauziy,
Zād Al-Masīr, 103.
188 muḥsin adalah orang yang memenuhi hak-hak Allah swt dengan tanpa
melalaikannya dan memenuhi hak-hak orang lain tanpa menunda- nunda.
824
Diyat ganti rugi dijadikan Allah sebagai salah satu sanksi hukum sebagai pengganti qisas bagi pelaku tindak pidana pembunuhan
atau penganiayaan pisik anggota badan orang lain tanpa hak.
825
Surah Al-Baqarah2 : 178 yang menjadi rujukan qisas dan diyat turun berkenaan dengan kejadian dua kabilah Arab jahiliyah, mereka
saling menuntut penggantian, seorang hamba sahaya diganti dengan seorang majikan, dan wanita diganti dengan pria.
826
Turunnya ayat tersebut merespon sikap mereka yang tidak proporsional dengan
mempertimbangkan faktor keadilan. Balasan sebagai sanksi hukum dalam ayat tersebut dilaksanakan di atas prinsip sebanding dan sepadan.
Orang merdeka diganti dengan orang merdeka, wanita dengan wanita, dan budak belian dengan budak belian.
827
Maksud ayat tersebut, terutama, penggalannya yang berbunyi “faman ‘ufiya lahū min akhīhi shai`un fattibā’un bi al-ma’rūf wa adā`un
ilaihi bi iḥsān” ialah terpidana yang dimaafkan oleh keluarga korban wajib membayar diyat dengan cara yang baik.
828
Dengan memaafkan terpidana, keluarga korban menerima pembayaran diyat yang
pemungutannya oleh keluarga korban dilakukan dengan cara yang baik atau ma’rūf dan pemberiannya oleh terpidana dilaksanakan dengan cara
ihsan.
829
Pemungutan diyat tidak disertai dengan tuntutan beban
824
Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 3, 92-93.
825
QS. Al-Baqarah2 : 178.
826
Hal ini berhubungan dengan peristiwa peperangan antara dua suku Arab yang terjadi di masa jahiliyyah. Di antara mereka terdapat orang-orang yang terbunuh
dan terluka, mereka membunuh hamba sahaya dan wanita. Belum sempat mereka melakukan balas dendam, mereka telah masuk Islam. Masing-masing dari mereka
membanggakan diri dengan jumlah pasukan dan harta kekayaan yang dimiliki. Mereka saling bersumpah bahwa mereka tidak rela, jika hamba sahaya yang terbunuh tidak
diganti dengan orang yang merdeka majikannya dan kaum wanita tidak diganti dengan kaum pria, kemudian turunlah ayat tersebut. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 2, 108,
dan ‘Abd Al-Rahmān bin Muhammad bin Idrīs Al-Rāziy, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm
Musnadan ‘an Rasūl Allah saw wa Al-Ṣaḥābat wa Al-Tābi’īn Tafsīr Ibn Abī Ḥātim Makkah Al-Mukarramah, Maktabah Nazar Mushṭafā Al-Baz, 2003, Jilid 1, 293-294.
Selanjutnya disebut Ibn Abī Ḥātim, Tafsīr Al-Qur’ān. Serta Al-Suyūṭiy, Asbāb Al- Nuzūl, 29-30.
827
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 136-137.
828
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 2, 112.
829
Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’, Jilid 2, 253.
189 tambahan oleh keluarga korban kepada terpidana, karena akan
memberatkan terpidana, dan tuntutan beban tambahan merupakan tradisi jahiliyyah. Penyampaian jumlahnya oleh terpidana kepada keluarga
korban tidak dikurangi atau ditunda-tunda,
830
karena menunda pembayaran atau mengurangi jumlahnya merupakan tindak
penganiayaan. Selain itu pembayaran ganti rugi tidak disertai kebencian, ungkapan yang tidak menyenangkan, atau tidak disertai tindakan
memutuskan hubungan kekeluargaan, baik dilakukan oleh pelaku pembunuhan, keluarga terbunuh, atau utusannya.
831
Dengan demikian pencantuman term ihsan di sini menekankan pada nilai keadilan sehubungan watak dari sebagian manusia cenderung
berbuat melampaui batas. Kata ihsan pada ayat ini menjadi rambu moralitas yang mendorong terpidana merespon keluarga terbunuh dengan
sikap yang apresiatif dan tidak merugikan orang yang rela menggugurkan hak qisas yang seharusnya dijalani terpidana.
832
Pembayaran diyat dengan cara yang ihsan, dapat dikatakan, sebagai respon yang setara atas pemberian maaf yang kedua-duanya
diletakkan oleh Allah sebagai dispensasi yang memiliki missi saling memberi dan menerima secara sebanding, yang dilakukan dengan
ketulusan hati, dengan perinsip tidak saling merugikan kedua belah pihak dan berorientasi kepada kepentingan nilai kemanusiaan serta berwatak
sepiritualis, mengingat yang ditekankan pada dua hal tersebut bukan semata aspek kuantitas pembayaran, melainkan melibatkan sepenuhnya
segi kualitas mental dan kepribadian. Kedua belah pihak saling menyadari sepenuh hati akan garis kehidupan seseorang berada pada
ketentuan Allah takdir dan menjunjung tinggi nilai serta harkat manusia.
833
Peristiwa terbunuh atau terlukanya anggota tubuh seseorang didudukkan secara proporsional. Di satu sisi terbunuh atau terluka
sebagai musibah yang tidak dikehendaki siapa-pun, kecuali telah menjadi takdir Allah. Di sisi lain nilai manusia tetap harus dihormati dan
dimuliakan. Jadi pemberian diyat dengan cara ihsan ditempatkan dalam konteks keimanan, kasih sayang, dan kemuliaan manusia.
3. Relasi Muḥsin dengan Sahabat Nabi saw
830
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 2, 114-115.
831
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 143.
832
Ali Al-Ṣābūniy, Ṣafwat Al-Tafāsīr, Jilid 1, 118.
833
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 140-141.
190 Sahabat Nabi saw baik dari kalangan muhajirin maupun anshar
adalah orang-orang yang mendapatkan apresiasi khusus dari Allah dan Nabi saw sebagaimana sifat-sifat terpujinya dilukiskan dalam beberapa
ayat yang telah dikutip di atas, seperti surah Ali ‘Imrān3 : 172. Mereka ialah orang-orang muḥsin yang senantiasa memenuhi panggilan Allah
dan Rasul-Nya dengan mengorbankan segenap yang dimiliki sebagai perwujudan dari kepatuhan total mereka.
834
Bagi muḥsin mereka dijadikan sebagai panutan sejati dan diikuti secara baik atau ihsan. Para tabi’in pengikut para sahabat telah
melakukannya dengan konsisten, meski menanggung resiko yang sangat berat.
835
Surah Al-Taubat9 : 100 mencatat term ihsan yang berkenaan dengan al-ladhīna ittaba’ūhum orang-orang yang mengikuti jejak
sahabat-sahabat nabi saw. Kata ganti Hum kata ganti jamak bagi pihak ketiga yang berarti mereka merujuk kepada al-Sābiqūn al-Awwalūn min
al-Muhājirīn wa al-Anṣār yang menjadi permulaan ayat. Mereka adalah sahabat-sahabat nabi saw yang lebih dahulu beriman baik mereka yang
berhijrah dari Mekah ke Madinah maupun penduduk Madinah yang menolong mereka dan Nabi saw ketika berhijrah, mereka melakukan
peperangan bersama nabi saw melawan orang-orang kafir, serta mereka berbaeat melakukan janji setia membela Nabi saw dan Islam.
836
Figur sahabat dijadikan pusat keteladanan setelah Nabi Muhammad saw sehubungan mereka adalah orang-orang yang konsisten
memenuhi panggilan Allah swt dan rasul-Nya yang terefleksikan dalam sifat-sifat mulia dan amal saleh yang ikhlas, dan mereka adalah muḥsinīn.
Mereka sebagai generasi yang dijuluki dengan golongan salaf yang
memiliki kewenangan atau otoritas.
837
Pencantuman term ihsan pada Al-
834
Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 2, 236.
835
Ibn ‘Aṭiyyah dalam menafsirkan surah Al-Taubat9 : 100 menyebutkan bahwa para tabi’in dan segenap umat mengikuti jejak para sahabat dengan ihsan sepen
uhnya. Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 878.
836
Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 602-603.
837
Kata salaf berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti “yang lampau”. Biasanya kata ini dihadapkan dengan kata khalaf yang makna harfiahnya ialah
“yang belakangan.” Kemudian, dalam perkembangan semantiknya kata salaf memperoleh makna sedemikian rupa sehingga mengandung konotasi masa lampau yang
berkewenangan atau memiliki otoritas, sesuai dengan kecenderungan banyak masyarakat untuk melihat masa lampau sebagai masa yang memiliki otoritas. Dalam
pandangan para sarjana Islam masa lampau itu otoratif karena dekat dengan masa hidup Nabi. Pada masa ini Nabi tidak saja menjadi sumber pemahaman ajaran agama Islam,
191 Taubat9 : 100 Ali ‘Imrān3 : 172 tersebut menunjukkan kepada mutu
peneladanan terhadap mereka, karena secara etimologis ba yang menjadikan ihsan sebagai kata transitif berfungsi sebagai al-
mulābasah
838
atau berintegrasi dalam peneladanan. Peneladanan terhadap para sahabat dimulai dari respek atas
kebaikan dan apresiatif kepada kepribadian mereka yang mengetahui dan memahami persis ajaran Islam yang didengarnya langsung dari Nabi dan
melaksanakannya berdasarkan hasil penglihatan dan peneladanan terhadap praktek-praktek Nabi,
839
sampai dengan mengikuti atau meneladani minhāj
840
cara hidup dan sifat-sifat mulia mereka, di antaranya ialah beriman kepada Allah swt dan rasul-Nya serta berhijrah
dari dār al-ḥarb wilayah peperangan yang sarat fitnah -pen- menuju dār al-Islām wilayah damai yang sarat kepatuhan atas aturan dengan
mengedepankan dan supremasi hukum menuju keadilan -pen
841
hingga berhijrah menuju perhatian penuh terhadap jiwa dengan menanamkan
ilmu hakekat dengan mengutamakan perbuatan ihsan dan kemurahan hati.
842
Peneladanan seperti ini menuntut upaya kesinambungan yang tergantung pada ihsan dalam ucapan dan perbuatan yang
diimplementasikan dalam amal saleh
843
hingga mencampai tingkat mushāhadah berhadapan dengan Allah swt
844
akibat dari keinginan mendapatkan keridhaan-Nya. Ketiadaan ihsan menjadikan usaha
peneladanan tidak utuh dan sempurna, bisa jadi, tidak terwujud sama sekali.
tetapi sekaligus menjadi teladan realisasi ajaran itu dalam kehidupan nyata. Mereka menyepakati masa ini dimulai pada masa Nabi sendiri. Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban “Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan” Jakarta, Paramadina, Jakarta, 2005, 374-375.
Selanjutnya disebut Masjid, Islam Doktrin.
838
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 5, Juz 11, 18.
839
Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 875, dan Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 602-603, serta Masjid, Islam Doktrin, 375.
840
Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 479.
841
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 11, 7-8.
842
Ibn ‘Arabiy, Tafsīr Al-Qur’ān, Juz 1, 292. Nurcholis Majid menyebutkan bahwa pada masyarakat zaman Nabi yang berada di bawah bimbingan beliau sangat
diwarnai oleh semangat etis yang kuat, yang membuat mereka lebih mendahulukan perbuatan baik dan kemurahan hati daripada mempertahankan hak hukumnya yang sah.
Sikap seperti ini cukup banyak di kalangan para sahabat Nabi sampai ke masa-masa sesudah Nabi sendiri setelah tidak lagi bersama mereka. Majid, Islam Doktrin, 385.
843
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr,Jilid 5, Juz 11, 18.
844
Ibn‘Arabiy, Tafsīr Al-Qur’ān, Juz 1, 292.
192 Dalam bacaan kesejarahan orang-orang yang mengikuti sahabat-
sahabat Nabi saw memiliki tingkatan mutu keimanan yang terbagi menjadi dua. Pertama; Mereka yang mempunyai mutu iman kuat yang
menjadi mayoritas penduduk kota Madinah. Kedua; Mereka yang disebuat mu`allafah qulūbuhum orang-orang yang imannya lemah dan
diliputi keraguan, terkadang iman mereka menurun dan terkadang meningkat sempurna. Kelompok mukmin yang kedua jika mengikuti
sahabat-sahabat nabi saw disertai dengan tingkat kepribadian yang terintegrasi dengan ihsan, maka layak bagi mereka mendapatkan
keridhaan Allah swt dan surga yang menjadi lambang tempat kebahagiaan hidup yang hakiki sebagaimana tersurah pada ayat
tersebut.
845
Tingkat mutu kepribadian seperti ini ditentukan oleh ihsan. Adapun maksud dari orang-orang yang mengikuti jejak dan pola
hidup sahabat-sahabat nabi saw dengan berihsan adalah generasi manapun sampai hari kiamat yang meneladani mereka.
846
Dengan kata lain, mereka yang mengikuti jejak para sahabat dan meneladani kebaikan
dan sepakterjang mereka adalah kalangan tabi’in dan orang-orang yang secara bergenerasi sampai hari kiamat mengikuti jalan hidup mereka,
sehingga tidak terbatas pada generasi priode tabi’in, melainkan generasi yang berkesinambungan dan tidak terikat dengan waktu dan tempat
selama memiliki kriteria mengikuti dengan ihsan terhadap prilaku hidup terpuji sahabat yang direalisasikan dalam sikap hidup yang selalu riḍā`
847
atas segala ketetapan Allah. Mereka akan mendapatkan keridhaan-Nya
845
Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 875, dan Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 5, Juz 11, 18.
846
Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 602.
847
Dalam kajian tasawuf, riḍā` merupakan salah satu maqām stasion yang mesti dilalui oleh seseorang yang hendak mencapai tujuan sufi, yaitu memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari dengan benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Riḍā` kerelaan berarti tidak berusaha. Tidak
menentang kada dan kadar Tuhan. Menerima kada dan kadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati, sehingga yang tinggal di dalamnya hanya
perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta
supaya dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnya kadha dan kadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya kadha dan kadar, malahan perasaan cinta
bergelora di waktu turunnya bencana atau cobaan. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam Jakarta, Bulan Bintang, 1990, 56 dan 69. Selanjutnya disebut
Nasution, Filsafat dan Mistisisme.
193 dan surga yang penuh nikmat sebagai kebahagiaan yang besar seperti
yang diterima al-sābiqūn al-awwalūn. Keridhaan Allah swt kepada al-sābiqūn al-awwalūn merupakan
bukti ihsan-Nya yang diwujudkan dalam berbagai hal, di antaranya ialah pertolongan dan perlindungan, serta pemberiaan kemuliaan kepada
mereka di segala bidang kehidupan. Pertolongan dan perlindung-Nya kepada mereka menghasilkan kemenangan di hampir seluruh peperangan
melawan orang-orang kafir, musyrik, dan munafiq. Kemenangan ini melahirkan kesuksesan membentuk masyarakat Madinah yang marhamah
di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Mereka yang gugur di medan perang dimuliakan Allah swt dengan diberi gelar shuhadā` yang
dinilai hidup di sisi-Nya dan mereka tidak patut disebut orang-orang yang telah mati.
848
Potongan ayat raḍiya Allah ‘anhum wa raḍū ‘anhu adalah khabar dari al-Sābiquna al-Awwalūn. Raḍiya dan raḍū merupakan fi’il māḍin
lāzim kata kerja intransitif, menunjukkan masa lalu, َ ﻲ ِﺿَ ر
– ﻲَﺿْ ﺮَـﻳ
– ﻲ ًﺿِر
849
berarti rela, suka, atau senang. Keberadaannya menjadi lawan kata dari al-sukhṭ
850
bermakna kemarahan atau kemurkaan. Kata riḍā dapat menjadi fi’il muta’addi kata kerja transitif dengan disertai ‘an.
Penggalan ayat ini berarti Allah swt rela kepada mereka dan mereka rela kepada-Nya. Kerelaan Allah menjadi pahala atau imbalan bagi al-
Sābiquna al-Awwalūn dan al-ladhīna ittaba’ūhum bi iḥsān dan orang- orang yang mengikuti mereka, sahabat-sahabat Nabi saw
Keridhaan-Nya merupakan respon dan penerimaan-Nya atas kepatuhan dan pengamalan segala hal yang dipikulkan kepada mereka di
berbagai aspek kehidupan, baik menyangkut aqidah, syareat, maupun akhlak hingga kepatuhan menegasikan sifat-sifat tercela yang melekat
848
Ibn ‘Aṭiyyah menafsirkan surah Al-Baqarah2:154 dengan mendudukkannya sebagai penghibur begi shuhadā`` orang-orang yang mati syahid,
memuliakan kedudukan mereka, menggambarkan keberadaan mereka yang sebenarnya, dan menentukan mereka senantias merasa nimat yang tidak disentuh kesusahan sama
sekali. Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 145. Ketika ia menafsirkan surah Ali ‘Imrān3:169 mengutarakan maksud yang sama; syuhadā` terlihat secara lahiriahnya jasad terkubur
dalam tanah, tetapi ruhnya hidup sebagaimana orang-orang beriman yang masih hidup, mereka mendapatkan rizki sebagai keistimewaan dari Allah hingga mereka seolah-olah
hidup selamanya. Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 381.
849
Abī Al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā w. 395 H, Mu’jam Al- Maqāyīs fī Al-Lughah Beirut, Dār Al-Fikr, 1998, 406-407. Selanjutnya disebut Ibn
Fāris, Mu’jam.
850
Ibn Fāris, Mu’jam, 406.
194 pada manusia, kemudian menggantikannya dengan sifat-sifat ke-Tuhan-
an yang terpuji. Kepatuhan dan pengamalan tersebut merupakan bentuk kerelaan mereka kepada pemberian dan ketentuan-Nya. Keridhaan
mereka menerima nikmat keagamaan dan keduniaan serta ketentuan-Nya dengan tulus merupakan faktor penyebab mendapatkan keridhaan-Nya.
851
Pemandangan yang kontradiktif dalam realita kehidupan sebagian umat Islam ialah itbā’ mereka kepada leluhur, tokoh-tokoh idola dan
zu’amā’ pemimpin tanpa disertai pengetahuan yang mendalam atau memadai tentang mereka. Apabila salah pilih, ikut-ikutan semacam ini
menjerumuskan ke dalam fanatisme buta dan primordialisme sempit yang memprihatinkan bagi kebersamaan. Jika keteladanan mereka merujuk
kepada kepribadian para sahabat, maka menjadi cermin ideal yang relevan dijadikan acuan.
Oleh karena itu mengikuti akhlak dan sepak terjang para sahabat Nabi saw dengan cara ihsan merupakan ciri muḥsin dan menjadi
kebutuhan hidup yang diperlukan dalam menghadapi berbagai persoalan
yang menumpuk di tengah-tengah kehidupan umat. d. Hubungan Muḥsin dengan Lingkungan Alam
Seseorang dapat disebut sebagai muḥsin manakala aktivitas mewujudkan perilaku ihsan di berbagai aspek kehidupannya, di
antaranya tidak merusak lingkungan, karena salah satu ciri seorang muḥsin adalah berihsan kepada lingkungan. Perilaku seperti ini akan
mendekatkannya kepada rahmat Allah swt QS. Al-A’rāf 7 : 56.
852
Ayat tersebut melarang manusia melakukan kerusakan di permukaan bumi, baik daratan ataupun lautan
dengan melakukan tindakan yang merusak agama, badan, akal, keturunan, dan harta,
853
serta jiwa.
854
Ddemikian pula termasuk merusak bumi dengan berbuat syirik, mengalirkan darah, merusak hutan, menutup sumber air, menebang
tanaman dengan sembarangan, mengotori lautan dengan berbagai limbah, mengerjakan kemaksiatan, dan mengajak taat kepada selain Allah swt.
851
Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 3, 8.
852
Ini merupakan tafsir Al-Shaukāniy atas surah Al-A’rāf 7 : 56. Al- Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 2, 272.
853
Al-Biqā’iy dengan menyebutkan kelimanya sebagai kegiatan merusak di bumi, tetapi tidak termasuk ke dalamnya melakukan kerusakan terhadap jiwa. Al-
Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 3, 44.
854
Al-Rāziy menggolongkan enam hal ke dalam melakukan kerusakan di permukaan bumi, yakni merusak jiwa, anggota badan, harta, keturunan, agama, dan
akal. Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 7, Juz 14, 108.
195 Sedangkan bumi telah diperbaiki-Nya dengan mengutus rasul yang
menjelaskan syareat dan mengajak taat kepada-Nya.
855
Selain itu disebutkan pula bahwa larangan tersebut meliputi enam hal, yaitu:
Pertama; Janganlah membuat kerusakan di muka bumi dengan kekafiran, setelah diperbaiki dengan keimanan. Kedua; Janganlah melakukan
kerusakan di muka bumi dengan kedzaliman setelah diperbaiki dengan keadilan. Ketiga; Janganlah merusak bumi dengan kemaksiatan setelah
dibangun dengan ketaatan. Keempat; Janganlah melakukan perbuatan durhaka di muka bumi yang menyebabkan Allah swt menurunkan hujan
yang menghancurkan pertanian setelah disuburkan-Nya dengan hujan hingga tumbuh aneka ragam tanaman. Kelima; Janganlah membunuh
orang-orang beriman di muka bumi setelah mereka disebarluaskan di atasnya. Keenam; Janganlah mendustakan para rasul di muka bumi
setelah diturunkan wahyu.
856
Dengan kata lain kerusakan itu mencakup bentuk kerusakan fisik dan non fisik.
Selain itu, termasuk bentuk-bentuk fasād adalah kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan dan berkurangnya air hujan, banyak rasa
takut, musim peceklik yang menyebabkan kekurangan pangan dan buah- buahan, tersebarnya wabah penyakit yang sukar diobati seperti virus
HIV, Flu Burung, dan Flu Babi -pen-, serta tersebarnya tindak kekerasan yang melahirkan suasana kacau dan menyakitkan.
857
Paparan bentuk-bentuk
kerusakan tersebut
di atas
mendeskripsikan bahwa tindakan merusak bumi berbahaya bagi tatanan kehidupan alam dan manusia, meski dalam kondisi tertentu merusak
bumi secara fisik diperkenankan, jika tidak ada jalan lain kecuali dengan merusaknya hanya karena darurat. Akan tetapi, pada dasarnya, merusak
bumi meski sedikit membahayakan bagi keseluruhan bumi, upaya nemperbaikinya lebih berat dan rumit dibandingkan dengan merusak.
Pada surah Al-Qaṣaṣ28 : 77 larangan merusak bumi terletak setelah disebutkan terlebih dahulu perintah berbuat ihsan, ini merupakan
peringatan kepada manusia agar tidak mencampuradukkan antara kebaikan dengan keburukan. Sebab keburukan dan perusakan merupakan
lawan kebaikan. Penegasan ini diperlukan -walaupun sesungguhnya perintah berbuat baik berarti pula larangan berbuat keburukan-
855
Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 398, dan Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’. Juz 7, 219.
856
Al-Zāwiyaytiy, Tafsīr Al-Ḍaḥḥāk, Jilid 1, 370.
857
Muhammad ‘Itrīs, Mu’jam Al-Ta’bīrāt Al-Qur’āniyyah Kairo, Dār Al- Thaqāfiyyah li Al-Nasyr, 1998, 465. Sealnjutnya disebut ‘Itrīs, Mu’jam Al-Ta’bīrāt.
196 dikarenakan sumber-sumber kebaikan dan keburukan banyak, sehingga
terdapat orang yang lengah dan lupa bahwa berbuat kejahatan terhadap sesuatu sambil berbuat baik walau menguntungkan banyak pihak
merupakan hal yang bukan ihsan.
858
Perintah berihsan diiringi dengan larangan berbuat kerusakan di permukaan bumi menunjukkan keberadaan berihsan sungguh berat dan
sulit, sementara melakukan kerusakan terhadap lingkungan alam mudah sekali. Bukankah telah dimaklumi, kalau membuat produk suatu barang
tertentu berhajat kepada fasilitas yang memadai, sumber daya manusia yang mumpuni, bahan baku yang berkualitas, waktu yang mencukupi dan
lingkungan yang kondusif. Adapun merusaknya tidak sulit dilakukan. Kaidah umum menyebutkan: Membangun memerlukan waktu panjang,
menghancurkan dapat dilakukan sekejap.
859
Oleh karena itu perintah berihsan perlu dikukuhkan dengan larangan berbuat kerusakan.
Begitu pentingnya berihsan kepada lingkungan, Nabi saw berperanserta memerintahkan manusia supaya berihsan dalam membunuh
yang dibenarkan agama dengan cara hak
860
dan melakukan
858
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr,Jilid 8, Juz 20, 180.
859
Bukti terdekat yang dapat dijadikan parameter adalah musibah bobolnya situ Gintung dan meletusnya gunung Merapi yang menelan korban nyawa manusia dan harta
benda dalam sekejap.
860
QS. Al-An’ām 6 : 151. Apabila pembunuhan dilaksanakan dengan alasan yang hak, seperti karena mengerjakan perintah jihad di jalan Allah swt melawan musuh-
musuh-Nya dan mempertahankan diri serta membela agama-Nya, maka pembunuhan diperkenankan dan dibenarkan, wa qātilūhum ḥattā lā takūna fitnatun wa yakūna al-
dīnu kulluhū lillāh….surah Al-Anfal8 : 39. Pembunuhan dibenarkan oleh agama bila disebabkan oleh adanya bughāt para pembangkang. Upaya membunuh atau
memerangi mereka hingga kembali ke jalan Allah dibolehkan, selama perdamaian yang telah dilakukan di antara mereka mengalami kegagalan dikarenakan pembangkangan
tersebut, Fain baghat iḥdāhumā ‘alā al-ukhrā faqātilū al-latī tabghī ḥattā tafī`a ilā amr Allah….surah Al-Hujurāt49 : 9. Demikian pula disebut pembunuhan dengan hak
lantaran merealisasikan sangsi hukum dengan mengeksekusi terpidana mati melalui qisas, maka membunuh dilegitimasi oleh Al-Qur`an surah Al-Baqarah2 : 178
Yāayyuhā al-ladhīna āmanū kutiba ‘alaikum al-qiṣaṣ fī al-qatlā …. Namun pembunuhan dengan hak ini bukan semata-mata bertujuan untuk menghilangkan nyawa,
terlebih didorong rasa dendam dan penuh kebencian, betapapun tindak kejahatan yang dilakukannya melampaui batas. Akan tetapi, khususnya dalam pelaksanaan qisas, untuk
menegakkan perintah Allah dengan sebenar-benarnya, yakni mewujudkan keadilan dan menciptakan rasa aman serta kelestarian hidup bagi suatu komunitas manusia wa lakum
fī al-Qiṣāṣ ḥayātun yā ulī al-Albāb la’allakum tattaqūn, Q.S. Al-Baqarah2 : 179. Dalam kondisi semisal di atas pembunuhan dapat dilaksanakan dengan cara ihsan, yakni
dilaksanakan dengan tidak disertai rasa kebencian dan balas dendam serta penganiayaan
197 penyembelihan hewan.
861
Perilaku berihsan seperti ini merefleksikan hubungan kasih sayang seorang muḥsin terhadap binatang yang menjadi
salah satu bagian dari lingkungan hidupnya, shingga secara proporsional akan selektif dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sikap membabibuta
dan emosional mengekploitasi dengan semena-semena segala binatang yang hidup di permukaan bumi akan melahirkan kerugian kolektif.
Selain itu Nabi saw mensyareatkan penyembelihan qurban, dam
862
, aqīqah
863
dan walimah pernikahan berupa hewan yang berjenis kelamin laki-laki.
864
Penetapan Nabi saw mengenai hewan jenis kelamin laki-laki yang disembelih menandakan komitmen syareat Islam kepada
pelestarian lingkungan hidup dalam rangka merealisasikan ihsan kepada lingkungan alam. Jika jenis kelamin perempuan diperkenankan untuk
disembelih bagi kepentingan berbagai ibadah dan konsumsi keseharian umat manusia akan berdampak kepada punahnya sepesis hewan tersebut.
Dengan demikian hubungan muḥsin dengan lingkungan alam mengemban misi pelestarian alam dan kemakmurannya.
B. Martabat Muḥsin
Secara umum Allah swt memerintahkan suatu ketentuan kepada manusia selalu diiringi dengan penghargaan bagi yang melaksanakannya.
Sebagai ahli ihsan, setiap muḥsin disetimulasi Al-Qur`an dengan penghargaan yang sepadan disesuaikan dengan jenis aktivitas yang
dilakukan, sehingga, pada prinsipnya, orang yang berihsan akan mendapatkan penghargaan berupa ihsan pula QS. Al-Raḥmān55 :
terhadap orang yang dibunuh, karena merasakan kehadiran dan pengawasan Allah dalam diri orang yang membunuh atau muḥsin.
861
HR. Muslim. Al-Nawawiy, Al-Minhāj, Juz 3, 1548.
862
Dam ialah denda yang harus dibayar dikala melaksanakan ibadah haji akibat memilih haji selain ifrad, meninggalkan wajib haji, atau melanggar larangan ihram.
863
Aqīqah adalah menyembelih hewan kambing karena adanya kelahiran bayi. Al-Ṣan’āniy, Subul Al-Salām, Juz 4, 97.
864
HR. Muslim. Teksnya adalah;
َلﺎَﻗ ُﻪْﻨَﻋ َ ﱃﺎ َﻌَـﺗ ُﷲا َ ﻲِﺿَ ر ٍﺲَﻧَأ ْ ﻦَﻋ َةَدَﺎﺘَﻗ ْ ﻦَﻋ َﺔَﻧا َ ﻮَﻋ ْ ﻮُـﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪ َﺣ ٍﺪْﻴِﻌ َﺳ ُ ﻦْﺑ ُﺔَﺒ ْﻴَـﺘُـﻗ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪ َﺣ
: ُﷲا ﻰﱠﻠ َﺻ ِﷲا ُل ْ ﻮ ُﺳَ ر ﻰﱠﺤَﺿ
ِﻪْﻴَﻠَﻋ َ ﻤِﻬ ِﺣﺎَﻔ ِﺻ ﻰَﻠَﻋ ُﻪَﻠ ْﺟِر َﻊَﺿَ و َ و َ ﺮﱠـﺒَﻛ َ و ﻰﱠَﲰ ِﻩ ِﺪَﻴِﺑ ﺎ َ ﻤ ُﻬََﲝَذ ِ ْ ﲔَـﻧ َ ﺮْـﻗَأ ِ ْ ﲔَﺤَﻠ ْﻣَأ
ِ ْ ﲔَﺸْﺒَﻜِﺑ َ ﻢﱠﻠ َﺳ َ و ﺎ
. ﻢﻠﺴﻣ ﻩاور
Artinya : Diceritakan oleh Anas ra bahwa: Rasul Allah saw telah berkurban dengan dua ekor kambing yang baik-baik dan bertanduk, beliau menyembelihnya
dengan tangannya sendiri, beliau membaca basmallah dan membaca takbīr serta meletakkan kakinya di samping leher keduanya. H.R. Muslim. Al-Nawawiy, Al-
Minhāj, Juz 3,1556.
198 60.
865
Hal ini sejalan dengan kebutuhan akan harga diri dan penghargaan dari pihak lain yang melekat pada self aktualizer,
866
terutama selama hidupnya di dunia, kendati tidak dijadikannya sebagai harapan dan
motivasi mutlak, dan sejalan dengan teori yang menyebutkan bahwa kebajikan mendatangkan penghargaan.
867
Penghargaan tersebut diberikan karena martabat seorang muḥsin berada pada level tertinggi dan karena keberadaan penghargaan itu
sendiri yang termasuk ke dalam janji Allah yang pasti ditepati, setiap muḥsin tidak patut meragukannya, kendati janji-Nya bersifat misteri atau
rahasia yang sulit ditaksir oleh penalaran logika. Al-Qur`an memberikan jaminan kepastian penghargaan tersebut QS. Hūd11 : 115.
868
Suatu hal yang mirip dengan keberadaan level tertinggi yang ditempati oleh
muḥsin, Maslow menyebutnya dengan “the growing tip” atau “pucuk yang tumbuh mekar” yang dilabelkan kepada orang-orang yang sehat dan
matang secara
luar biasa
sebagai pribadi-pribadi
yang terkatualisasikan.
869
Namun predikat ini terbatas pada tingkat kematangan psikologis yang manusiawi, tidak mencapai kepada
kematangan “psikologis plus” yang ditandai dengan mampu berkomunikasi dengan Tuhan seperti peristiwa Isra` dan Mi’raj, dan
berhubungan dengan malaikat seperti dialog tentang islam, iman, dan ihsan yang dialami oleh Nabi saw.
Surah Al-Qaṣaṣ28 : 77 menempatkan muḥsin pada martabat yang tertinggi. Surah ini memerintahkan manusia supaya berbuat ihsan kepada
sesamanya dengan meniru perbuatan ihsan Allah yang telah dan selalu dilakukan kepada manusia. Huruf kāf yang tercantum pada penggalan
ayat wa aḥsin kamā aḥsana Allah ilaika berfungsi sebagai adāt al- tashbīh
870
huruf yang digunakan pada ayat tersebut sebagai alat untuk
865
Al-Samarqandiy membahasnya lebih jauh ketika menafsirkan surah. Al- Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm,
Jilid 3, 311.
866
Goble, The Third Force, 42.
867
Teori ini merupakan cetusan Plato dan Sokrates. Goble, The Third, 35.
868
Al-Alūsiy menjelaskan hal tersebut berhubungan dengan penafsirannya terhadap ayat di atas. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid
6, 361.
869
Goble, The Third Force, 19 dan 24.
870
Kāf adalah salah satu alat yang digunakan untuk menyatakan penyerupaan yang menjadikan terjadi kaitan antara mushabbah sesuatu yang hendak diserupakan
dengan mushabbah bih sesuatu yang serupai. Al-Sayyid Ahmad Al-Hāshimiy, Jawāhir Al-Balāghah fī Al-Ma’ānī wa Al-Bayān wa Al-Badī’ Indonesia, Maktabah Dār Al-
Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1960, 248. Selanjutnya disebut Al-Hāshimiy, Jawāhir Al- Balāghah.
199 menyerupakan ihsan manusia dengan ihsan Allah dalam sebagian
sifatnya dan sebagai huruf ta’līl yang berarti sebab. Dengan huruf kāf didudukan pada fungsi yang pertama menjadikan ihsan mutlak untuk
diaplikasikan oleh manusia dengan menyerupai ihsan Tuhan. Sedangkan huruf kāf diposisikan sebagai fungsi yang kedua menjadikan ihsan Allah
sebagai sebab dan teladan bagi keharusan manusia berbuat ihsan kepada sesamanya.
871
Hal ini berarti manusia dituntut agar menjadikan ihsan Allah sebagai uswah sekaligus rujukan dalam melakukan ihsan kepada
semua pihak. Pengulangan iman dan takwa pada surah Al-Mā`idah5 : 93
hingga kemudian iman diganti dengan ihsan pada tahap ke tiga menandakan terdapatnya tiga martabat. Iman dan takwa yang pertama
pada tahap mabda` permulaan, yang kedua pada martabat wasaṭ pertengahan, dan yang terakhir pada tingkat tertinggi atau muntahā
puncak. Akhir ayat yang menekankan bahwa Allah menyukai al- muḥsinīn orang-orang berbuat ihsan mengindikasikan kepada orang
yang memiliki sifat-sifat tersebut dan melampauinya dengan baik disebut muḥsin yang dicintai Allah dan ia merupakan tingkat tertinggi.
872
Jika seseorang tidak dapat mencapai martabat ihsan, maka ia dinilai cukup
sampai pada takwa dan iman. Pencapaian martabat tertinggi tersebut salah satunya berhajat kepada perilaku wara’ menjauhkan dari hal-hal
yang mendatangkan dosa dalam makan dan minum.
873
Semakin jelas lagi penggunaan kata thumma yang berarti kemudian pada ayat tersebut mengandung makna jarak serta menyangkut
tingkat dan martabat yang menunjukkan kepada penjenjangan makna iman dan takwa. Demikian pula penyertaan kosakata aḥsanū bersama
term iman dan takwa bermakna ketinggian martabat yang dapat
871
Essey di atas merupakan penafsiran Abī Ḥayyān terhadap ayat tersebut. Muhammad ibn Yūsuf Abū Ḥayyān Al-Andalusiy, Tafsīr Al-Baḥr Al-Muḥīṭ Beirut, Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001, Jilid 7, 128. Selanjutnya disebut Abū Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ.
872
Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Juz 1, 282. Ayat di atas memuji pribadi muḥsin yang tidak sebatas konsisten dengan iman, takwa, dan peningkatan amal saleh
serta menjaga diri dari perbuatan tercela maksiat melainkan ia konsisten pula dalam memperindah amal dan berbuat ihsan kepada sesama manusia, serta memujinya . Abī
Al-Qāṣim Jār Allah Mahmud bin Umar Al-Zamakhshariy Al-Khawārizmiy 467 – 538 H, Al-Kashshāf ‘an Ḥaqā`iq Al-Tanzīl wa ‘Uyūn Al-Aqāwil fī Wujūh Al-Ta`wīl Mesir,
Maktabat Al-Muṣṭafā Al-Bāb Al-Ḥalabiy, 1972, 308. Selanjutnya disebut Al- Zamakhshariy, Al-Kashshāf.
873
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 2, 539.
200 membawa dan mendatangkan ridha Allah.
874
Dengan kata lain ahli ihsan berada pada rengking tertinggi karena memiliki iman dan takwa yang
berkualitas tertinggi. Penyebutan secara khusus term muḥsinīn pada QS. Luqmān31 : 3
adalah liannahum hum al-ladhīna intafa’ū bihi wa naẓarūhu bi ‘ain al- haqīqat karena mereka memiliki kemampuan memanfaatkan Al-Qur`an
dan melihatnya dengan mata hakiki.
875
Hal ini mengisyaratkan bahwa sosok muḥsin adalah pribadi yang konsisten dalam mengamalkan Al-
Qur`an dan memiliki ketajaman penglihatan yang dapat menembus sekat- sekat antara dirinya dengan makna Al-Qur`an hingga mampu memahami
makna tersurat dan tersirat yang terdapat didalamnya. Pengulangan isim iṣārat “Ulā`ika” pada surah Luqmān31 : 5
“Ulā`ika ‘alā hudan min Rabbihim wa ulā`ika hum al-mufliḥūn” merupakan “tanbīhan ‘alā ‘iẓāmi qadrihim” menekankan bahwa muḥsin
berada pada puncak kemuliaan.
876
Penempatannya pada martabat seperti ini merupakan sesuatu yang esensial mengingat pengamalan ibadah
maḥḍah yang tercantum pada ayat 3 lebih berorientasi pada kualitas dengan melibatkan aspek rūḥāni sampai tingkat mushāhadah Al-Ḥaqq
atau paling tidak level khashyat Allah. Hal ini berdampak kepada pelaksanaan salat, zakat, dan iman kepada akhirat seorang muḥsin berada
pada derajat muntahā` puncak
877
yang menunjukkan a’lā marātib martabat tertinggi.
Adapun ungkapan mengenai penghargaan tersebut dituangkan dalam Al-Qur`an ke dalam beberapa istilah, yaitu ziyādah tambahan,
yuḥibbu mencintai, jazā’ balasan, Ajr pahala, al-tamlīk dengan menggunakan huruf jar “li” atau li al-milk kepunyaan yang tidak
digandengkan dengan term ajr, tabshīr bashshir -fi’il amar- yang berarti gembirakanlah, muṣāhabah dengan memakai ma’a yang berarti
bersama, riḍā raḍiya atau memperkenankan, i’dād a’adda yang bermakna menyediakan terabadikan, dan thawāb ganjaran.
Pada dasarnya dari kesembilan term itu teridentifikasi ke dalam
874
Muhammad Ṭāhir Ibn ‘Āshūr, Tafsīr Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr Tunis, Dār Suhnūn li al-Nashr wa al-Tauzī’, t.t, Jilid 3, Juz 7, 36. Selanjutnya disebut Ibn ‘Āshūr,
Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, dan M. Quraish Shihab , Tafsir Al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`an Jakarta, Lentera Hati, 2000, Vol. 3, 184. Selanjutnya disebut
Shihab , Tafsir Al-Mishbāh.
875
Abī Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 7, 179.
876
Abī Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 7, 179.
877
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 6, 5.
201 dua macam penghargaan yang menggambarkan martabatnya yang mulia,
yaitu martabat muḥsin di dunia dan martabatnya di akhirat. a. Martabat Muḥsin di Dunia
Setiap muḥsin telah dijanjikan Allah swt akan merasakan martabat yang mulia dalam kehidupannya di dunia.
878
Sebutan “ḥasanah” yang tercantum pada surah Al-Naḥl16 : 30 dapat diinterpretasikan
dengan ḥayāh ḥasanah atau kehidupan yang baik, mut’ah ḥasanah atau kesenangan yang baik, dan makānah ḥasanah atau martabat yang baik.
879
Hal ini dikarenakan kepribadiannya yang tertinggi. Muḥsin sebagai pemilik kepribadian
880
tertinggi ditandai oleh orientasi aktivitasnya yang lebih mengedepankan kualitas dan kuantitas
amal saleh serta keindahan perangai, akibat dari kemauan kuat meninggalkan kebahagiaan lahiriah dengan mengutamakan kebutuhan
orang lain yang tergantung kepadanya, atau beribadah tidak disertai kelalaian bersama Tuhan.
881
Pandangan hidupnya dilatarbelakangi oleh sikap berbaik sangka secara total kepada-Nya atas pahala dan dampak
positif yang akan diterima.
882
Dalam pandangan Maslow kondisi psikologis seperti ini karena dimotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan yang
lebih mulia dan lebih tinggi yang disebutnya meta-motivasi atau B-velues Being-velues hingga berkenan mengorbankan kehendak-kehendak yang
rendah untuk meraih hasrat-hasrat luhur.
883
Pandangan dan sikap hidupnya tersebut direalisasikan pada kebiasaan berinfak dengan tulus serta upaya meredam sifat kikir yang
membelit dirinya, dan menyadari dampak positif yang akan diterimanya sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah2 : 195.
884
Ayat ini, jika dilihat dari konteksnya, yang tercantum setelah perintah i’tidā` ‘alā al-
878
Bertepatan dengan penafsirannya terhadap surah Al-Naḥl16 : 30 Al- Zamakhshariy mengemukakan bahwa karena ihsannya orang yang berbuat ihsan
mendapatkan kebaikan di dunia, sedangkan di akhiratnya akan mendapatkan yang lebih baik. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 571.
879
Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān, Jilid 4, 2169.
880
Kepribadian sebagai pola perilaku dan cara berfikir yang khas, yang menentukan penyesuaian diri seseorang dengan lingkungan. Sedangkan perilaku
merupakan hasil interaksi antara karakteristik kepribadian dan kondisi sosial serta kondisi fisik lingkungan. Rita, Introduction, Jilid 2, 383.
881
Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 1, 148.
882
Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 155
883 884
Penafsiran lebih jauh terhadap pesan ayat tersebut dapat dilihat dalam Al- Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 1, 368.
202 Mu’tadi melawan orang yang melakukan penyerangan sebagaimana
termaktub pada penggalan QS. Al-Baqarah2 : 194 ِﻪ ْﻴَﻠَﻋ ا ْ وُﺪَﺘْﻋﺎَﻓ ْ ﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ يَﺪَﺘﻋا ِﻦ َ ﻤَﻓ ْ ﻢُﻜْﻴَﻠ َﻋ يَﺪَﺘْﻋا ﺎ َﻣ ِﻞْﺜِِﲟ
yang mengindikasikan dibolehkannya membalas secara sepadan kepada orang yang telah menyerangnya, tetapi dibolehkan pula
memaafkannya dengan tidak melawan atau membalas sebagaimana redaksi penggalan ayat tersebut yang diakhiri dengan perintah bertakwa
dan pernyataan bahwa Allah senantiasa menyertai orang-orang yang bertakwa - َﲔِﻘﱠﺘ ُ ﻤْﻟا َ ﻊ َﻣ َﻪﱠﻠﻟا ﱠنَأ اﻮ ُ ﻤَﻠْﻋا َ و َﻪﱠﻠﻟا اﻮُﻘﱠـﺗا َ و
-
885
Penempatan tersebut mengindikasikan kepada infāq fī sabīl Allah berderma di jalan Allah, dan larangan ‘an al-ilqā` bi al-yaddi ilā al-
tahlukat menghancurkan diri sendiri ke dalam kebinasaan serta i’tidā` ‘alā al-Mu’tadī berhajat kepada penyertaan ihsan mengingat ihsan
dibutuhkan dalam segala hal.
886
Berinfak disertai dengan upaya memperindahnya berihsan
887
menjadi bukti adanya motivasi berbuat
885
Al-Biqā’iy menyatakan hal ini berkaitan dengan penafsirannya terhadap ayat tersebut. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 1, 366.
886
Ibn ‘Āshūr menyatakan hal tersebut dengan merujuk kepada sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut:
َﻼِﻗ ِﰉَأ ْ ﻦَﻋ ِءاﱠﺬَْﳊا ِﺪِﻟﺎ َﺧ ْ ﻦَﻋ َﺔْﻴَﻠُﻋ ُ ﻦْﺑ ُ ﻞْﻴِﻋﺎَْﲰِإ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪ َﺣ َﺔَﺒْﻴَﺷ ِﰉَأ ُ ﻦْﺑ ِﺮْﻜ َﺑ ْ ﻮُـﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪ َﺣ
َﻋ ِﺚَْﴰَﻷْا ِﰉَأ ْ ﻦَﻋ َﺔَﺑ ِﻦْﺑ ِداﱠﺪَﺷ ْ ﻦ
َلﺎَﻗ ٍس ْ وَأ :
َلﺎَﻗ َ ﻢﱠﻠ َﺳ َ و ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠ َﺻ ِﷲا ِلْ ﻮ ُﺳَ ر ْ ﻦَﻋ ﺎ َ ﻤ ُﻬُـﺘْﻈِﻔ َﺣ ِنﺎَﺘْﻨِﺛ :
ْ ﻢُﺘْﻠَـﺘَـﻗ اَذِﺈَﻓ ٍﺊْﻴَﺷ ﱢﻞُﻛ ﻰَﻠَﻋ َنﺎ َ ﺴْﺣِﻹْا َ ﺐَﺘَﻛ َﷲا ﱠنِإ َ ﺢْﺑﱠﺬﻟا ا ْ ﻮُـﻨ ِﺴْﺣَﺄَﻓ ْ ﻢُﺘَْﲝَذ اَذِإ َ و َﺔَﻠْـﺘ ِﻘْﻟا ا ْ ﻮُـﻨ ِﺴْﺣَﺄَﻓ
ُﻪَﺘ َﺤْﻴِﺑَذ ْ حِ ُ ﲑْﻠَـﻓ ،ُﻪَﺗ َ ﺮْﻔَﺷ ﻢُﻛُﺪ َﺣَأ ﱠﺪ ِﺤُﻴْﻟ َ و .
ﻢﻠﺴﻣ ﻩاور
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 216. Adapun Al-Biqā’iy menyebutkan bahwa hal tersebut menunjukkan kepada
infāq fī sabīl Allah berderma di jalan Allah, dan larangan ‘an al-ilqā bi al-yadd ilā al- tahlukat menghancurkan diri sendiri ke dalam kebinasan memerlukan kepada
penyertaan ihsan agar dalam pendayagunaan harta dijiwai ihsan, serta i’tidā` ‘ala al- Mu’tadī membutuhkan ketakwaan supaya dalam berperang tidak didominasi oleh
keinginan membalas dendam. Penafsirannya merujuk kepada Al-Ḥarāliy yang menyatakan bahwa kedua ayat tersebut berpesan supaya tidak terjadi balas dendam
dalam peperangan dan agar ihsan selalu menyertai pengelolaan harta. Hal ini pada mulanya dimaksudkan agar orang-orang Anshar gemar berinfak mengikuti jejak orang-
orang Muhajirin yang rela meninggalkan harta mereka. Mereka membulatkan tekad melakukan hijrah, orang-orang Anshar dituntut untuk tidak terjebak dengan kelezatan
dunia, dan mereka telah meninggalkan tumpah darah mereka, orang-orang Anshar sepatutnya meninggalkan watak mereka yang cnderung mempertahankan harta. Alhasil
orang-orang Anshar sepatutnya bercermin kepada sifat-sifat Muhajirin yang tulus meninggalkan harta mereka. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 1, 294.
887
Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 113.
203 baik kepada sesama manusia yang melahirkan ketulusan dan menghindar
dari dorongan pamrih sejalan dengan perintah ihsan.
888
Berihsan dalam menghindarkan diri dari tindakan yang dapat menghancurkan diri sendiri seperti putus asa menghadapi kehidupan
adalah dengan berbaik sangka kepada Allah.
889
Sedangkan pelaksanaan sanksi hukum bagi penyerang dilandaskan pada ketulusan, tanpa disertai
sikap emosional. Balasan kepada penyerang agar berjalan di atas prinsip kesepadanan dan berorientasi kepada perbaikan pribadi orang yang
dibalas. Demikian pula berjihad di jalan Allah supaya menyayangi orang yang ditahan, menjaga harta, melindungi rumah dari kehancuran, dan
waspada terhadap hal-hal yang dapat menghancurkan diri sendiri. Pemilik perilaku ini disebut muḥsin yang patut mendapatkan kecintaan
Allah. Kecintaan-Nya merupakan faktor utama untuk mendapatkan perbaikan dan kebaikan kehidupan di dunia dan akhirat.
890
Dalam kaitannya dengan pengertian tersebut, maka infāq fī sabīl Allah dapat berarti menggunakan harta untuk berjihad di jalan Allah swt
dalam rangka memuliakan Islam dan umat Islam, dengan tidak menganiaya siapa-pun dan merusak apa-pun, sehingga selamat dari al-
ilqā` bi al-yaddi ilā al-tahlukat. Perilaku ini menunjukkan ketinggian perangai yang hanya dimiliki oleh muḥsin sebagai sosok pribadi yang
mampu berderma, mengekang sifat emosional dan egoisnya, serta mengutamakan tumbuhnya sikap pemaaf dan toleran.
891
Sifat-sifat mulia tersebut mencerminkan sosok pribadi yang mengaktualisasikan dirinya
sebagai manusia super yang di antara cirinya ialah kepedulian kepada
888
Bagi Samarqandiy perintah ihsan yang termaktub pada ayat tersebut ditafsirkannya dengan berihsan dalam berinfak yang bermakna ikhlas dalam niat
melaksanakan nafakah. Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 1, 163.
889
Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 113.
890
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 216.
891
Setitmen di atas merupakan kandungan dari penafsiran Al-Alūsiy atas surah Ali ‘Imrān3 : 134. Menurutnya al yang tercantum pada kata al-muḥsinīn memiliki dua
maksud yaitu li al-jins yang melahirkan makna al-muḥsinīn adalah mencakup seluruh sifat mulia yang telah disebutkan, dan li al-‘ahd yang mengakibatkan al-muḥsinīn
berarti sifat-sifat mulia tersebut termasuk dalam kategori ihsan. Al-Alūsiy, Rūḥ Al- Ma’ānī, Jilid 2, Juz 4, 273-274. Sedangkan Ibn ‘Āshūr dalam menafsirkan ayat tersebut
menyebutkan bahwa adanya keutuhan sifat-sifat mulia tersebut pada diri seseorang menunjukkan melekatnya ihsan yang mengantarkannya menjadi muḥsin yang dicintai
oleh Allah. Pernyataannya ini berkaitan dengan penafsirannya terhadap QS. Ali ‘Imrān3 : 134 yang diakhiri dengan wa Allah yuḥibb al-shābirīn. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr
wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 3, 217.
204 semua manusia dan berusaha untuk meningkatkan kehidupan,
892
keterikatannya dengan kemanusiaan, ia memperhatikan kesejahteraan, dan memiliki minat sosial yang direfleksikannya ke dalam sifat simpati,
empati, dan altruis, serta demokratis yang ditunjukkan dalam sikap toleran, tidak rasialis, dan terbuka,
893
serta kasih sayang yang mendalam sehingga ikhlas untuk membantu mereka, seolah-olah mereka semuanya
adalah anggota dari satu keluarga.
894
Akan tetapi keunggulan seorang muḥsin adalah mengkaitkan sifat-sifat positif tersebut kepada Tuhannya.
Pribadi muḥsin yang termaktub dalam surah Ali ‘Imrān3 : 134 tidak sebatas rela menginfakan hartanya di jalan Allah di kala lapang dan
sempit, mengekang amarah, dan pemaaf. Akan tetapi dia tidak menganggap pihak lain berbuat salah dan mempunyai kesalahan pada
dirinya, bahkan dia senantiasa berbuat baik kepada siapa-pun termasuk kepada mereka yang berbuat salah kepada dirinya.
895
Sikap ini menunjukkan keluhuran budi pekerti seorang muḥsin yang memiliki
mutu sepiritual ideal yang tidak terbatas pada terjadinya harmoni antara dirinya dengan lingkungan, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu menikmati
pengalaman puncak yang bersifat surgawi dan suci, dan dirasakan dalam pertemanan, keluarga, dan pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari. Poin
ini merupakan ciri penting yang menunjukkan keunggulan pribadi muḥsin dibandingkan dengan pribadi aktual yang pengalaman puncaknya
tidak sepenuhnya bersifat surgawi dan suci.
896
Surah Al-Nisā`4 : 128 mengisyaratkan ketinggian martabat seorang muḥsin yang direalisasikannya dengan mempercantik perangai
dalam tata kehidupan berkeluarga. Komunikasinya diperindah dalam memenuhi hak-hak isterinya, dengan bersabar meski perangai isterinya
tidak disukai. Pernyataan Al-Qur`an pada penggalan ayat ا ْ ﻮُـﻨ ِﺴُْﲢ ْنِإ َ و jika
kamu berbuat baik kepada isteri mengisyaratkan alternatif yang relevan untuk dipilih seorang suami, jika berkehendak mencapai derajat muḥsin
892
Howard S. Friedman dan Miriam W. Schustack, Personality, Classic Theories and Modern Research, terjemahan Fransiska Dian Ikarini, S.Psi, Maria Hany,
dan Andreas Provita Prima, Kepribadian, Teori Klasik dan Penelitian Modern Jakarta, Penerbit Erlangga, 2008, Jilid 1, 352. Selanjutnya disebut Friedman, Kepribadian.
893
Wilcox, Personality, 297, Rita, Introduction, Jilid 2, 402, dan Syamsu, Teori, 163.
894
Maslow, Motivation, 138.
895
Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Volume 2, 208.
896
Howard, Kepribadian, Jilid 1, 352.
205 atau ahl al-iḥsān yang menjadi lambang pemilik perangai dan mutu
sepiritual tertinggi yang diaktualkan dengan sifat sabar.
897
Apabila ditilik dari sudut pandang klasifikasi mutu kepribadian, maka pelaku ihsan digolongkan ke dalam dua subjek yang mengandung
makna berjenjang, yakni golongan awam dan kelompok khusus. Golongan yang disebut pertama menunjukan kepada kualitas perangai
yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang disebut terakhir. Bagi kaum awam bertakwa dan berihsan adalah takut kepada larangan
dan berbuat baik kepada semua ciptaan Allah swt. Sedangkan bertakwa dan berihsan dalam kehidupan golongan khusus ialah berhati-hati
menghadapi dan menyelami realita kehidupan makhluk, dikarenakan semata-mata menginginkan mushāhadah atau menyaksikan Allah, dan
melaksanakan ibadah seolah-olah melihat-Nya, kemudian mereka memandang kecintaan Allah akan diberikan kepada orang yang berihsan
dalam perbuatan, sifat, dan pemikiran.
898
Pandangan ini meletakkan muḥsin pada tingkat tinggi.
897
Kajian lebih jauh tentang hal tersebut dilihat dalam Al-Alūsiy, Rūḥ Al- Ma’ānī, Jilid 3, Juz 5, 155-157, dan Ibn ‘Aṭiyyah menyatakan ayat ini menganjurkan
suami agar berbuat ihsan dalam memperindah relasi dan pergaulan dengan istrinya serta bersabar atas keburukan perangai istrinya yang tidak disukai sebagai implementasi dari
keluhuran akhlaknya. Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar, h. 487.
898
Ini adalah penafsiran Al-Qushairiy atas QS. Al-Mā`idah5 : 93. Penggalan ayat “thumma ittaqaw wa āmanū tsumma ittaqaw wa aḥsanū” ditafsirkannya bahwa
mereka takut kepada segala larangan Allah dan berbuat ihsan kepada segenap makhluk, perilaku ini berlaku bagi kaum awam. Adapun waspada atau berhati-hati akan
kehadiran makhluk dengan prinsip sebaik-baiknya yang hadir adalah al-Ḥaqq Allah dan beribadah seolah-olah melihat-Nya merupakan karakteristik bagi kelompok atau
kaum khusus. Allah mencintai mereka yang berbuat ihsan dalam perbuatan, pemikiran dan sifat. Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Jilid 2, 134. Sedangkan Ibnu ‘Aṭiyyah
dengan subtansi penafsirannya yang sama dengan Al-Qushairiy menyatakan bahwa pengulangan kata ittaqaw pada ayat tersebut mengindikasikan adanya nilai tambah yang
lebih tinggi pada setiap penyebutan dari yang disebutkan sebelumnya hingga mencapai pada puncak tertinggi. Dengan mengutip pendapat para pakar tafsir ia menyatakan di
antara mereka terdapat pakar yang berpendapat bahwa pengulangan tersebut menunjukkan tiga tingkat ketakwaan. Tīngkat pertama ialah menjaga diri dari syirik dan
dosa-dosa besar seraya beriman dengan sempurna serta beramal saleh. Tīngkat kedua adalah konsisten dengan perilaku pada tingkat pertama. Tīngkat ketīga ialah puncak
tingkatan takwa dengan melaksanakan yang dianjurkan di samping mengamalkan yang difardukan, baik dalam ibadah yang berdimensi vertikal seperti salat maupun yang
berdimensi horizontal seperti sedekah dan lainnya, tingkat ini disebut perilaku ihsan. Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar, 576.
206 Penempatan muḥsin pada posisi yang tertinggi sejalan dengan
eksistensi agama. Agama memiliki tiga unsur yang termuat di dalamnya maksud yang bertingkat. Ketiga unsur itu adalah Islam, iman, dan ihsan.
Seseorang memulainya dengan Islam, berkembang menuju iman, dan puncaknya berakhir pada ihsan.
899
Orang yang menerima warisan Kitab Suci yakni, mempercayai dengan berpegang pada ajaran-ajaran-Nya namun masih juga berbuat
aniaya adalah orang yang baru memiliki kepasrahan atau menjadi seorang muslim, yakni suatu tingkat permulaan dalam pelibatan diri
melakukan kebenaran. Ia bisa berkembang menjadi seorang yang beriman atau menjadi seorang mukmin, suatu tingkat lebih tinggi yang
telah dicapainya dari jenjang muslim, yaitu tingkat yang disebut dengan muqtaṣid menengah. Ia sebagai orang yang telah membebaskan diri dari
melakukan perbuatan aniaya, tetapi dalam berbuat kebaikan ia masih berada pada martabat atau kualitas sedang. Pada tingkat yang lebih tinggi
lagi, seseorang dalam melaksanakan kitab suci tidak hanya terbatas pada berbuat baik dan melepaskan diri dari belenggu perbuatan jahat atau
aniaya, melainkan ia berupaya di depan dan menjadi pelomba yang unggul atau sābiq pemenang lomba yang selalu berada di muka dalam
meraih dan melaksanakan berbagai kebaikan. Potret orang semacam ini tergolong orang yang telah berihsan, yakni figur yang telah mencapai
tingkat menjadi seorang muḥsin atau ahli al-iḥsān. Orang yang telah berada pada tingkat muqtaṣid dengan imannya
dan tingkat sābiq dengan ihsannya akan masuk surga dengan tidak sama sekali merasakan ‘adhāb atau siksaan api neraka. Sedangkan orang yang
melaksanakan kitab suci sebatas mencapai tingkat sebagai ẓālim li nafsih atau muslim yang masih sempat berbuat aniaya, ia akan masuk surga
setelah terlebih dulu merasakan siksaan neraka untuk membersihkan dosa-dosa yang diperbuatnya. Manakala ia tidak bertobat, maka dosanya
tidak akan diampuni oleh Allah swt.
900
Selain itu, penempatan Muḥsin pada martabat tertinggi, dikarenakan kemampuannya melestarikan perilaku ihsan yang menjadi
tingkat tertinggi dari kebaikan amal. Apabila perbuatan ihsan itu
899
Ibn Taimiyyah 661-728 H mengkaitkan ketiga unsur tersebut dengan QS. Fāṭir35 : 32. Taqy Al-Dīn Abī Al-Abas Ahmad bin Abd Al-Halīm bin Abd Al-Salām
Al-Ḥarrāniy Al-Damshiqiy ibn Taimiyyah, Al-Tafsīr Al-Kāmil Beirut, Dār Al-Fikr, 2002, Jilid 5, 312. Selanjutnya disebut Ibn Taimiyyah, Al-Kāmil.
900
Ibn Taimiyah, Al-Kāmil, Jilid 5, 312, dan Ibn Taimiyah, Al- Īmān, Tahqīq wa Takhrīj, ‘Ishām Al-Dīn Al-Shabābiṭiy Kairo, Dār Al-Hadīth, 1994, 11.
207 direalisasikan terhadap sesama makhluk, maka seorang muḥsin akan
melihat dirinya pada diri pihak lain, sehingga ia memberikan kepadanya sesuatu yang semestinya untuk dirinya sendiri. Dalam kondisi seperti ini
ia tidak lagi melihat dirinya, melainkan hanya melihat pihak lain. Apabila diaplikasikannya dalam beribadah kepada Allah swt, maka seorang
muḥsin akan meleburkan dirinya sampai semata-mata melihat Allah swt dan tidak melihat dirinya lagi.
901
Dengan demikian muḥsin memiliki kemampuan melihat dan menemukan sesuatu yang hakiki. Kemampuan ini merupakan kondisi
sepiritual yang sukar dipahami dan dicapai kaum awam. Sesuatu yang hakiki dalam dimensinya yang utuh terlihat sebagai tanda kebesaran
Allah yang mengandung hikmah, baik yang terdapat di dalam maupun di luar dirinya termasuk di dalamnya sesuatu yang seolah-olah mengandung
pertentangan yang menjadi sunnatullah sebagai bagian dari ciptaan-Nya yang berpasang-pasangan.
902
Seseorang dapat belajar menangkap hakekat sesuatu, jika terlatih melihat hikmah dan berusaha menangkap
hakikat di balik yang tampak pada tataran lahiriah dengan menyisihkan, kalau tidak dapat menghapuskan, tabir yang menghalanginya.
903
Keberhasilan seseorang melakukannya akan mendatangkan penghargaan Allah swt yang menilainya sebagai pribadi unggulan, dan Dia tidak akan
menyia-nyiakan kedudukannya sebagai muḥsin. Keberadaan muḥsin pada martabat tertinggi, baik dalam
perspektif Al-Qur`an dengan beberapa ayatnya, maupun menurut pandangan beberapa pakar menjadikan muḥsin merupakan profil ideal
yang merepresentasikan pribadi yang memuat keutuhan komunikasi dengan Allah swt dan sesama makhluk secara integral dan sempurna.
904
Keadaan pribadi seperti ini tentunya memilkiki manfaat yang signifikan
901
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 1, 142.
902
Al-Biqā’iy dalam menafsirkan QS. Al-Dhāriyāt51 : 18 menyatakan bahwa sesungguhnya permohonan ampunan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat
ihsan muḥsinīn kepada Allah adalah dengan menggunakan mata hati, karena mereka mempunyai kemampuan melihat tanda-tanda kebesaran Allah dan hikmahnya yang
tidak terhingga yang terdapat pada segala milik-Nya, baik berupa alam semesta atau diri manusia sendiri. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 8, 198.
903
Al-Biqā’iy ketika menafsirkan QS. Al-Dhāriyāt51 : 16 menyebutnya mereka orang-orang yang berbuat ihsan muḥsinīn beribadah kepada Allah seolah-olah
melihat-Nya. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 8, 198.
904
Al-Biqā’iy ketika menafsirkan QS. Al-Dhāriyāt51 : 16 mengungkapkan pula bahwa muḥsinīn adalah orang-orang yang berbuat ihsan dalam berkomunikasi
dengan Allah swt dan sesama makhluk. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 8, 198.
208 dalam kehidupan kolektif.
Martabat seperti ini layak diterimanya sehubungan muḥsin adalah orang yang beriman dan taat selama hayat di kandung badan serta dengan
tanggung jawab sosialnya mengajak orang lain untuk beriman dan mengamalkan segala sesuatu yang diperintahkan-Nya.
905
Iman dan kepatuhan serta watak solider yang diimplementasikan dalam dedikasi
yang tinggi menjadi faktor yang signifikan untuk mendapatkan martabat kehidupan yang baik sebagai penghargaan Allah.
Sebagai contoh Nabi Yūsuf as yang dalam sejarah kehidupannya, disamping mengalami kepedihan yang dihadapinya dengan tabah,
merasakan pula kehidupan yang ḥasanah dengan martabat yang mulia dan dimuliakan. Hal ini dikarenakan bagi orang yang berbuat ihsan
memperoleh martabat tinggi di dunia merupakan keniscayaan, dan Allah dengan konsekwen menghendaki ihsan menjadi bagian hidup setiap
orang. Nabi Yūsuf as menikmati martabat tersebut berupa jabatan tinggi sebagai anugerah Allah.
906
Jabatan tinggi yang dipegang Nabi Yūsuf as disebut dengan “makīnun amīn”
907
yang melambangkan keluhuran martabat di dunia karena dipercaya mutlak oleh raja di negeri Mesir.
908
Jabatannya sebagai bendahara negara atau khazā’in al-arḍ
909
atau lembaga pengelola kekayaan negara,
910
yang memiliki kekuasaan penuh sesuai dengan permintaannya,
911
menjadikannya leluasa mengelilingi seluruh penjuru
905
Al-Marāghiy, Tafsīr Al-Marāghiy, Juz 14, 74.
906
Penafsiran Zamakhsyariy terhadap surah Yūsuf12 : 56 menggambarkan martabat Nabi Yūsuf as yang merupakan anugerah Allah dapat dimanfaatkannya
semaksimal mungkin hingga mendapatkan sukses yang menakjubkan .
Al- Zamakhshariy, Tafsīr al-Kashshāf, 521.
907
QS. Yūsuf12 : 54.
908
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 13, 7.
909
QS. Yūsuf12 : 55.
910
Termasuk dalam terminologi khazā’in al-arḍ, kebutuhan pokok, pertanian, perpajakan, dan seluruh kekayaan bumi Mesir. Al-Fayrūzabādiy, Tafsīr Ibn ‘Abbās,
242, Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān Jilid 7, 241, Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 2, 166, Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 1002, Al-Baghawiy, Ma’ālim Al-Tanzīl, Juz 2, 363,
Abī Ḥayyān, Tafsīr al-Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 5, 318, dan Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al- Tanwīr, Jilid 6, Juz 13, 8.
911
Permintaan dan pilihan tugas dan jabatan Nabi Yūsuf as sebagai bendaharawan negara adalah sesuai dengan keahliannya yang memungkin dirinya dapat
melaksanakan pekerjaan dan pengabdian dengan maksimal dan adil dalam rangka menegakkan kebenaran, keadilan, mencegah kezaliman serta memperbaiki dan
meningkatkan kehidupan masyarakat, baik lahir maupun batin, dan aspek material atau
209 negeri dan mudah menginstruksikan dan mensosialisasikan setiap
kebijakannya. Hal ini disebabkan memperoleh rahmat dan pertolongan Allah swt sebagai penghargaan yang diterima karena keberadaannya
sebagai muḥsin.
912
Martabat yang diterima Nabi Yūsuf as sebagai penghargaan Allah akan diterima pula oleh setiap muḥsin mengingat
kosakata muḥsinīn sebagai jamak plural yang tercantum pada surah Yūsuf12 : 56 bersifat umum yang meliputi keseluruhan ahli ihsan.
913
Surah Al-Zumar39 : 10 secara tekstual melukiskan pula penghargaan bagi muḥsinīn berupa kebaikan dunia sebagai karunia Allah
dalam rangka memuliakan dan melindunginya.
914
Kebaikan atau ḥasanah di dunia bagi muḥsin yang tertera pada surah Al-Naḥl16 : 30 dan surah Al-Zumar39 : 10 masih bersifat umum
yang dapat dirinci ke dalam beberapa hal sebagai berikut: 1. Anugerah dan Hidayah dari Allah swt
Anugerah yang termuat dalam sebutan wahabnā
915
yang termaktub pada surah Al-An’ām6 : 84 dijadikan Allah swt sebagai
sepiritual, tanpa terselip sedikitpun dalam hati kepentingan pribadi sebagaimana layaknya dilakukan para nabi. Seseorang yang berkehendak memperoleh kedudukan
atau jabatan dapat ditolelir selama keselamatan kedudukan dan jabatan tersebut terjamin di tangannya dan tidak ada orang lain lagi yang dapat mengembannya. Al-Samarqandiy,
Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 2, 166, Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 1002, Al-Bayḍāwiy, Anwār Al- Tanzīl, Jilid 1, 488, Abī Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 5, 318, dan Ibn ‘Āshūr, Al-
Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 13, 8-9.
912
Termasuk dalam terminologi rahmat adalah seluruh nikmat, di antaranya kenabian, ketundukan sepenuhnya kepada Allah, kekuasaan, dan keselamatan dari
berbagai bencana. Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 2, 166, Al-Baghawiy, Ma’ālim Al-Tanzīl, Juz 2, 364, Al-Qāshimiy, Tafsīr al-Qāshimiy, Juz 9, 244-245, dan Ibn ‘Āshūr,
Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 13, 11.
913
Al-Ṭabariy menyatakan bahwa Allah tidak akan menggugurkan pahala bagi orang yang berbuat ihsan yang diwujudkan dalam kepatuhan serta melaksanakan
perintah dan meninggalkan larangan-Nya sebgagaimana Allah tidak menggugurkan pahala bagi Nabi Yūsuf as. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 7, 242.
914
Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān, Jilid 5. h. 3034. Ḥasanah pada surah Al- Zumar39 : 10 ditafsirkan oleh sebagian pakar tafsir dengan kesehatan badan yang
prima dan sempurna. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 10 : 622.
915
Kata wahabnā ditafsirkan oleh Shaukāniy dengan jazā` imbalan atau pemberian Allah kepada Nabi Ibrāhīm yang membela dan mencurahkan kemampuan
dirinya untuk agama. Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 2, 173. Sedangkan Ibn ‘Āshūr
menyatakan bahwa Wahabnā berasal dari wahaba, yahibu, hibah berarti pemberian cuma-cuma dalam rangka mengistimewakan dan memberi kemudahan. Ibn ‘Āshūr, Al-
Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 3, Juz 7, 337.
210 penghargaan yang diberikan kepada setiap muḥsin, berupa anak-cucu
yang saleh, bahkan menjadi rasul dan nabi dikarenakan hidayah-Nya, seperti yang dialami Nabi Ibrāhīm dan Nabi Nuh. Nabi Ibrāhīm
mendapatkan putera yang menjadi utusan Allah bernama Nabi Ishak as dan cucu bernama Nabi Ya’qub as, putera Nabi Ishak. Nabi Nuh as
dianugerahi keturunan menjadi rasul, di antaranya Nabi Dawud as, Nabi Sulaiman, Nabi Ayyub, Nabi Yūsuf, Nabi Musa, dan Nabi Harun as.
916
Anugerah ini merupakan penghargaan Allah kepada Nabi Ibrāhīm dan Nabi Nuh as. Keturunan mereka yang ahli ihsan atau muḥsinīn
sebagai buah dari hidayah yang diterima dan diamalkan serta kesungguhan dan kesabaran mentaati berbagai ketentuan dan
mengemban pesan-pesan-Nya. Selain itu, secara bersama-sama, mereka mendapatkan anugerah kenabian dan kitab dari Allah.
917
Penyebutan al- muḥsinīn pada ayat tersebut memuat makna setiap individu dapat
menjadi ahli ihsan
918
yang patut memperoleh anugerah dan hidayah-Nya.
2. Rahmat Allah
Kedekatan para muḥsin dengan rahmat Allah swt merupakan kehormatan-Nya yang layak diterima mengingat sikap hidup mereka
yang berorientasi kepada kemaslahatan diri dan lingkungan hidupnya.
919
Penggalan ayat yang termaktub dalam surah Al-A’rāf7 : 56 “inna rahmata Allah qarībun min al-muḥsinīn” dapat diinterpretasikan bahwa
rahmat Allah dekat kepada orang-orang yang berbuat ihsan, karena penghargaan-Nya akan diberikan kepada seseorang, sesuai dengan
kapasitas amal yang dilakukannya. Seorang ahli ihsan dalam ibadah akan menerima penghargaan sebaik-baiknya, dan seorang ahli ihsan dalam
berdo’a patut mendapatkan sesuatu yang lebih baik atau setara dengan
916
Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 1, 499.
917
Al-Alūsiy menafsirkan surah Al-Ḥadīd57 : 26 dengan menyebutkan bahwa Allah telah memberikan wahyu berupa kitab dan menganugerahkan predikat kenabian
kepada Nabi Nuh dan Ibrāhīm. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 14, 189.
918
Al-Ṭabriy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 5, 257. Ibn ‘Āshūr mendudukkan penggalan ayat wa kadhālika najzī al-muḥsinīn sebagai jumlah i’tirāḍ di antara kalimat
yang disambungkan dengan kata sambung, dan wāw-nya sebagai hāl. Artinya anugerah yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrāhīm as dan hidayah-Nya yang dikaruniakan
kepada keturunannya menjadi penghargaan-Nya bagi muḥsinīn. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 3, Juz 7, 340.
919
Ketika menafsirkan surah Al-A’rāf 7 : 56 Al-Rāziy mengutarakan bahwa Rahmat Allah akan deberikan kepada orang-orang yang berbuat ihsan, sementara orang-
orang kafir tidak akan mendapatkannya. Al-Rāziy, Mafātiḥ Al-Ghayb, Jilid 9, Juz 14,
111.
211 yang diinginkannya.
920
Adapun rahmat Allah dapat berupa al-‘afw penghapusan, al- ghufrān pengampunan, dan ihsan-Nya perbuatan baik Allah atau al-
maṭar pemberian hujan yang dapat menyuburkan tanah untuk kesejahteraan hidup.
921
Makna tersebut memperlihatkan bahwa hakekat rahmat meliputi aspek material seperti hujan dan immaterial seperti
ampunan yang dirasakan muḥsinīn. 3. Hikmah dan Ilmu
Pemberian hikmah dan ilmu kepada muḥsin merupakan kehormatan Allah swt yang patut diterimanya. Nabi Yūsuf,
922
Musa,
923
Lut,
924
Dawud, dan Sulaeman as
925
adalah figur-figur yang dijadikan contoh dalam Al-Qur`an sebagai penerima kehormatan tersebut. Sebutan
ḥukman pada surah Yūsuf12 : 22, Al-Anbiyā`21, 74 dan 79, serta Al- Qaṣaṣ28 : 14 identik dengan ḥikmah yang ditafsirkan dengan
kenabian,
926
dan diinterpretasikan dengan ilmu tentang kebenaran yang diamalkan dan berupaya menghindari dari sesuatu yang tidak
diketahui.
927
Ḥukman diartikan pula dengan potensi yang dapat membentengi seseorang dari kejahatan hawa nafsu.
928
Selain itu ḥukman bermakna kekuasaan dan menetapkan keputusan hukum dengan benar.
929
920
Al-Marāghiy, Tafsīr Al-Marāghiy, Juz 8, 179-180.
921
Rahmat ditafsirkan dengan al-‘afw penghapusan dan al-ghufrān pengampunan oleh al-Zujāj yang dipilih sebagai rujukan oleh al-Nuḥās. Rahmat
diartikan pula dengan al-iḥsān kebaikan Allah yang dapat diartikan pula perbuatan Allah sesempurna mungkin bagi muḥsin, dan rahmat diinterpretasikan oleh al-Akhfasy
dengan al-maṭar hujan. Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’, Juz 7, 227.
922
QS. Yūsuf12 : 22.
923
QS. Al-Qaṣaṣ28 : 14.
924
QS. Al-Anbiyā`21 : 74.
925
QS. Al-Anbiyā`21 : 79.
926
Al-Baghawiy, Ma’ālim Al-Tanzīl, Juz 2, 351, dan Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 5, Juz 12, 248. Ibn ‘Āshūr merujuk penafsirannya tentang ḥukman
dengan kenabian kepada firman Allah yang termaktub pada surah Al-Anbiyā`21 : 79 yang melekatkan ḥukman dan ‘ilman kepada Nabi Dawud dan Sulaiman as.
927
Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 509. Al-Bayḍāwiy menafsirkannya dengan ilmu yang diperkuat dengan amal. Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 480. Adapun
Ibn ‘Āshūr menginterpretasikannya dengan ilmu tentang hakekat sesuatu yang dikerjakan dengan cara yang benar dan menjauhi hal-hal yang berlawanan. Ibn ‘Āshūr,
Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 5, Juz 12, 248.
928
Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 4, 248.
929
Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 986. Al-Bayḍāwiy, Tafsīr al-Baeḍāwiy, Jilid 1, 480.
212 Sedangkan ilman berarti memahami agama.
930
Di antara beberapa pakar tafsir, terdapat mufassir yang mengatakan bahwa ḥukman ialah tepat
sasaran jika berbicara,
931
dan ilman yang berkenaan dengan Nabi Yūsuf as adalah kemampuan menakwilkan mimpi,
932
dan terdapat pendapat yang membedakan antara al-ḥakīm yang diartikan dengan orang yang
melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan ilmu, dengan al-‘ālim yang didefinisikan dengan orang yang mengetahui berbagai hal.
933
Hikmah dan ilmu dianugerahkan kepada Nabi Yūsuf dan Musa as, khususnya, sebagai penghargaan-Nya atas perbuatan ihsan mereka
yang konsisten, yang direalisasikan dalam pengabdian mereka yang maksimal kepada umat meski berhadapan dengan kezaliman.
934
Penghargaan tersebut layak diterima setiap ahli ihsan mengingat ihsannya berpengeruh besar kepada kesucian akal, kejernihan dalam pemahaman,
dan penguasaan berbagai hakekat persoalan.
935
Kesemua makna hikmah dan ilmu yang ditawarkan para pakar tafsir tersebut telah menyatu pada diri mereka dan dijadikan sebagai
bekal dalam merealisasikan dan mengemban misi ketuhanan dan kemanusiaan yang melekat pada tugas kenabian.
936
4. Karunia Allah Manna Allah
Karunia Allah atau al-Minnah menjadi penghargaan yang patut diterima setiap muḥsin, sebagaimana telah dirasakan Nabi Yūsuf as dan
keluarganya.
937
Karunia Allah diberikan kepada Nabi Yūsuf as berupa kesuksesan dalam menghadapi cobaan dan ujian yang berat dan bertubi-
tubi, bertemu dan berkumpul kembali bersama keluarganya setelah lama berpisah, mendapatkan kemuliaan setelah terhinakan, dan merasakan
kegembiraan sesudah kesedihan. Hal ini dikarenakan keberadaannya sebagai muḥsin dengan mengedepankan takwa dan sabar dalam
930
Al-Baghawiy, Ma’ālim Al-Tanzīl, Juz 2, 351, dan Abī Ḥayyān, Al-Baḥr Al- Muḥīṭ, Jilid 5, 293.
931
Al-Baghawiy, Ma’ālim Al-Tanzīl, Juz 2, 352.
932
Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 986, dan Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 480, serta Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 5, Juz 12, 248.
933
Al-Baghawiy, Ma’ālim Al-Tanzīl, Juz 2, 351-352.
934
Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 2, 156, Al-Zamakhshariy, Tafsīr al- Kashshāf, 509, dan Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 480, serta Abī Ḥayyān, Al-
Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 5, 293.
935
Al-Marāghiy, Tafsīr Al-Marāghiy, Juz 12, 127.
936
Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 5, Juz 12, 248.
937
QS. Yūsuf12 : 90.
213 menerima ujian.
938
Penyebutan term muḥsinīn pada akhir surah Yūsuf12 : 90 merupakan kehormatan Allah kepada ahli ihsan yang dalam perilaku
kehidupannya selalu bertakwa dan bersabar, meski menghadapi cobaan berat yang memancing rasa prustasi dan sifat dendam. Takwa dan sabar
menjadi bagian melekat dari karakteristik muḥsin.
939
5. Salām Keselamatan, Kedamaian, dan Kesejahteraan
Salām sebagai penghargaan bagi ahli ihsan adalah maṣdar berasal dari kosakata
َ ﻢِﻠ َﺳ –
ُ ﻢَﻠ ْ ﺴَﻳ –
ًﺔ َﻣَﻼَﺳ -
ﺎ ًﻣَﻼ َﺳ yang berarti keselamatan dan
terhindar dari kebinasaan lahir dan batin, serta berarti kedamaian dan kesejahteraan.
940
Nabi Nuh as merupakan salah satu figur muḥsin yang telah mendapatkan dan merasakan penghargaan tersebut.
941
Nabi Nuh as mendapatkan karunia Allah keselamatan, kedamaian, kesejahteraan, dan keharuman nama baik yang abadi
sepanjang hayat di dunia dan akhirat,
942
hingga tidak ada seorangpun yang menilai buruk kepadanya, meski dari penganut agama Majusi.
943
Penghargaan yang sama dinikmati pula Nabi Ibrāhīm as lantaran dirinya sebagai ahli ihsan, dengan kepatuhan yang tulus dan menepati
janji dalam melaksanakan perintah Allah serta bersabar, tidak kenal putus
938
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 7, 290. Kemudian lihat Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 2, 174, Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 3, 208, Al-Bayḍāwiy,
Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 495, Abī Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 5, 337, dan Al- Qāshimiy, Tafsīr al-Qāshimiy, Juz 9, 272.
939
Ibn ‘Āshūr menyebutkan bahwa pencantuman kata muḥsinīn tersebut merupakan indikasi kuat bahwa takwa dan sabar menjadi bagian yang melakat dari
ihsan, sehingga eksistensi kata tersebut yang bersifat umum mencakup setiap ahli ihsan termasuk Nabi Yūsuf as dan saudara-saudaranya. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr,
Jilid 6, Juz 13, 49.
940
Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 245-246.
941
Keberhasilan Nabi Nuh mendapatkan salam dari Allah swt karena dinilai oleh-Nya sebagai sosok muḥsin yang bersabar dalam menghadapi cercaan dan hinaan
orang-orang kafir yang membangkang ajakannya. Pernyataan ini merupakan tafsir Ibn ‘Aṭiyyah atas surah Al-Ṣaffāt37 : 79-80 dengan mengutip pendapat Abū Muhammad.
Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 1580.
942
Ibn ‘Aṭiyyah , Al-Muḥarrar, 1580, dan Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān, Jilid 5, 2991.
943
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 10, 498 dan Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’, Jilid 15, 90.
214 asa dalam menghadapi ujian dan godaan yang berat.
944
Anugerah salām berupa nama besar sebagai bapak para nabi dan agama samawi yang
dikenang setiap generasi dan ducantumkan dalam kitab yang abadi.
945
Potret pribadi muḥsin lainnya yang memperoleh balasan serupa adalah Nabi Musa dan Nabi Harun as yang memiliki komitmen kuat
disertai keikhlasan dan kesabaran yang tinggi dalam melaksanakan risalah ketuhanan yang sarat dengan tindak penganiayaan yang dilakukan
Firaun dan para pengikutnya.
946
Kesejahteraan yang diterima merka, di antaranya adalah diselamatkan dari penganiayaan dan bencana tenggalam
dalam lautan.
947
Selain itu Nabi Ilyas as termasuk pula profil insan saleh yang memperoleh karunia kesejahteraan serupa dari Allah swt.
948
Pengulangan kehormatan-Nya berupa kesejahteraan sebagaimana yang tertuang pada ayat-ayat tersebut merupakan penetapan Al-Qur`an
mengenai jenis penghargaan yang layak diterima para muḥsin.
949
6. Berkah dari Allah
Orang yang berihsan akan mendapatkan berkah tetapnya kebaikan
950
dari Allah swt sebagai balasannya
951
Muḥsin yang merealisasikan ihsannya dalam kepatuhan diri dengan tulus akan menuai
kebaikan dan keberkahan, baik berkenaan dengan agama, dunia maupun keturunan.
952
Kosakata muḥsin yang termaktub pada surah Al-Ṣaffāt37 : 113
944
Berkaitan dengan penafsirannya atas surah Al-Ṣaffāt37 : 109-110 yang
dihubungkan dengan ayat-ayat sebelumnya Ibn kathīr menjastifikasi Nabi Ibrāhīm sebagai figur yang patuh, sabar, dan ikhlas yang patut mendapatkan kesejahteraan dari
Allah. Ibn Kathīr, Tafsir Al-Qur’ān Al-Aẓīm, Jilid 4, 17.
945
Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān, Jilid 5, 2997.
946
Kajian lebih mendalam mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam penafsiran Al-Biqā’iy terhadap surah Al-Ṣaffāt37 : 120-121 yang dikaitkanya dengan ayat-ayat
sebelumnya. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 5, 335-336.
947
Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān, Jilid 5, 2997, dan Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al- Tanwīr, Jilid 9, Juz 23, 165.
948
QS. Al-Shaffat37 : 130-131.
949
Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān, Jilid 5, 2997.
950
Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 41.
951
Barakah berarti pula ziyādat al-khayr bertambahnya kebaikan sebagai anugerah yang diterima muḥsin. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 9, Juz
23,162.
952
Allah telah memberikan berkah kepada Nabi Ibrāhīm as dengan menjadikan anak-anaknya sebagai nabi dan kepada Nabi Ishaq as dengan melahirkan keturunan
yang diangkat sebagai nabi, seperti Ayyub dan Syu’aib ‘alaihimā al-salām, serta memberikan berkah keagamaan dan dunia. Abī Su’ūd, Tafsīr Abī Su’ūd, Juz 5, 336.
215 menunjukkan keturunan yang berkualitas sebagai berkah Allah swt yang
dianugerahkan kepada Nabi Ibrāhīm dan Ishaq as serta sebagai penghargaan yang layak diterima karena perilaku ihsan keduanya.
Sementara di antara mereka terdapat juga generasi penerus yang didiskualifikasi dengan mendapatkan julukan ẓālim li nafsih menganiaya
diri sendiri.
953
Dua sebutan yang kontradiktif mengindikasikan bahwa tersesat atau tidaknya seseorang dalam hidup tidak terkait langsung dengan
kesalehan atau kezaliman suatu keturunan. Orang tua yang saleh tidak menjamin akan melahirkan anak-anak yang saleh. Orang tua yang zalim
tidak secara otomatis melahirkan keturunan yang zalim. Demikian pula sebaliknya anak yang saleh atau zalim tidak dipastikan sebagai akibat
dari orang tua yang saleh atau zalim.
954
Keduanya berdiri masing-masing mengingat kaitannya dengan hidayah Tuhan yang berarti kecenderungan
hati kepada kebenaran dan berpaling dari kebatilan, sementara hidayah menjadi hak prerogative-Nya,
955
bukan persoalan genetika atau nasab keturunan.
7. Dicintai Allah swt
Al-Qur`an menjelaskan kecintaan Allah atau al-ḥubb dijadikan balasan bagi ahli ihsan atau muḥsinīn.
956
Tafsir penggalan surah Al- Mā`idah5 : 13; inna Allah yuḥibb al-muḥsinīn yang berarti
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berihsan” adalah
953
Ibn ‘Āshūr menjelaskan bahwa dengan disebutnya dua golongan keturunan
Nabi Ibrāhīm dan Ishak mengisyaratkan kepada adanya keanekaragaman keturunan mereka berdua. Turunan Nabi Ibrāhīm terdapat generasi yang muḥsin yang menjadi
nabi, orang-orang beriman, dan orang-orang saleh, dan terdapat pula generasi yang ẓālim li nafsih yang menjadi penentang ajarannya, seperti orang-orang musyrik Arab,
demikian pula turunan Nabi Ishak terdapat generasi yang baik, menjadi nabi, dan terdapat keturunannya yang zalim, seperti orang-orang Yahudi yang mengingkari Nabi
isa dan Muhammad saw. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr,
Jilid 12, Juz 13, 150.
954
Penyebutan keturunan Nabi Ibrāhīm dan Ishaq alaihimā al-salām yang terdiri dari muḥsin yang terealisir dalam keimanan, kepatuhan, dan amal yang baik serta
ẓālim li nafsih yang terwujud dalam kekafiran dan perilaku maksiat menjadi bukti bahwa keturunan tidak memiliki pengaruh kepada mendapatkan hidayah atau
ketersesatan bagi seseorang. Keturunan yang tersesat tidak berakibat kepada cacatnya orang tua. Abī Su’ūd, Tafsīr Abī Su’ūd, Juz 5, 336.
955
Al-Qushairiy menyatakan hal tersebut berkenaan dengan penafsirannya atas surah Al-Qaṣaṣ28 : 56. Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 5, 76.
956
Balasan tersebut tercantum dalam lima ayat dan terekam dalam tiga surah, yakni Al-Baqarah2 : 195, Ali ‘Imrān3 : 134 dan 148 serta Al-Mā`idah5 : 13 dan 93.
216 kecintaan Allah akan diberikan kepada ahli ihsan akibat dari sifat selalu
memaafkan atau al-‘afw dan tidak mencerca atau al-Shafḥ
957
kepada orang-orang yang bertindak buruk dan jahat kepadanya. Kecintaan
tersebut sebagai
penghormatan-Nya kepada
muḥsin yang
mengorientasikan ihsannya kepada keutamaan diri hingga merasakan kebersamaan dengan-Nya.
958
Tafsir surah Al-Mā`idah5 : 93 adalah; Allah mencintai ahli ihsan sebagai orang yang berupaya dengan maksimal berdekatan dengan-
Nya melalui aktivitas yang memiliki nilai tambah dan diridhai-Nya.
959
Hal ini dikarenakan di dalam hatinya tidak terdapat pengaruh kejahatan yang diakibatkan keinginan berbuat durhaka seperti meminum khamer
dan berjudi yang menjerumuskan mereka ke dalam watak permusuhan dan berpaling dari mengingat Allah.
960
Secara normatif balasan berupa kebaikan hidup di dunia akan diperoleh setiap orang yang berihsan selama hidupnya, dan tidak
terkontaminasi berbagai kemaksiatan dan keburukan yang menyelimuti lingkungannya, meski figur yang dikedepankan oleh Allah swt pada
beberapa ayat di atas adalah para nabi dan rasul yang secara kualitatif mereka merupakan potret pribadi unggulan dan pilihan-Nya yang tidak
disangsikan lagi layak menerima penghargaan tersebut. Namun pada beberapa ayat tersebut Allah selalu mengutarakan term “muḥsinīn” yang
menunjukkan jamak plural yang secara induktif balasan tersebut berpeluang untuk diraih setiap muḥsin, kendati bukan dari golongan nabi
atau rasul. 8. Riḍā` Allah
Al-Qur`an menetapkan keridhaan Allah, di antaranya, akan diterima oleh orang-orang yang mengikuti jejak generasi yang terdahulu
masuk Islam di masa Nabi saw sahabat-sahabatnya dan segenap umat dengan cara ihsan, baik dalam ucapan atau perbuatan.
961
Ridha Allah dapat diartikan sebagai penerimaan-Nya atas ketaatan, keimanan, dan keislaman mereka, atau sebagai perkenan-Nya
957
Al-ṣafḥ lebih unggul dari al-‘Afw. Al-Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 290.
958
Al-Marāghiy, Tafsīr Al-Marāghiy, Juz 6, 76.
959
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 5, 37.
960
Al-Marāghiy, Tafsīr Al-Marāghiy, Juz 7, 26.
961
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 6, 454 dan Al-Qushairiy, Laṭā`if Al- Ishārāt, Juz 3, 58. serta Abī Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 5, 96. Subtansi
pemahaman ini merupakan penafsiran ketiga pakar tersebut terhadap surah Al-Taubat9 : 100.
217 atas kesalehan aktivitas mereka dan terhindar dari kebencian-Nya.
962
Selain itu mereka diselamatkan dari prilaku syirik dan diberi hidayah terus menerus hingga imun dari kesesatan, serta dimuliakan-Nya setelah
terhinakan dan dianugerahi kekayaan setelah hidup serba kekurangan.
963
Pada kepribadian seperti ini terdapat keindahan dan kewibawaan Islam yang menyebabkan pihak luar Islam mengagumi dan menghormatinya.
Ridha Allah menjadi sasaran hidup yang diusahakan untuk diperoleh manusia dengan berbuat sebaik-baiknya, di antaranya melalui
peneladanan kepada jejak para sahabat dengan cara ihsan, mengikuti perangai mereka yang dalam konteks umum dikesankan positif.
964
b. Martabat Muḥsin di Akhirat