Al-Muslim Konsep manusia ideal dalam al-qur'an (studi profil al-Muhsin dalam perspektif tafsir ayat-ayat ihsan)

109

b. Al-Muslim

Term muslim berasal dari َ ﻢَﻠ ْ ﺳَأ - ُ ﻢِﻠ ْ ﺴُ ﻳ - ﺎ ًﻣَﻼ ْ ﺳِإ - ﺎ ً ﻤِﻠ ْ ﺴُﻣ berarti َدﺎَﻘْﻧِ إ dan َ ﺺَﻠ ْﺧَأ , 495 yang diterjemahkan dengan tunduk atau patuh dan tulus. Jadi muslim adalah orang yang tunduk atau orang yang patuh dan orang yang tulus. Berikut derivasinya kata muslim terulang dalam Al-Qur`n sebanyak 72 kali, pada 68 ayat dan 32 surah. Derivasinya yang berdampingan dengan term muḥsin terulang sebanyak tiga kali. Satu kali berupa ْ ﻢِﻠ ْ ﺴُﻳ tercantum pada surah Luqmān31 : 22 tergolong Makkiyyah dan dua kali berupa َ ﻢَﻠ ْ ﺳَأ tertera pada surah Al-Baqarah2 : 112 dan surah Al-Nisā`4 : 125, keduanya tergolong Madaniyyah. Pada ketiga ayat tersebut kata َ ﻢَﻠ ْ ﺳَأ dan ْ ﻢِﻠ ْ ﺴُ ﻳ berarti tunduk atau patuh pada perintah Allah swt dengan ikhlas melaksanakannya. 496 Sedangkan kata ﻦ ِﺴُْﳏ yang bersanding dengan ْ ﻢِﻠ ْ ﺴُﻳ tertulis pada surah Luqmān31 : 22 bermakna orang yang mentauhidkan Allah 497 dan patuh kepada-Nya dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. 498 Pemaknaan muḥsin pada ayat di atas dengan orang yang bertauhid atau orang yang patuh dikarenakan ayat tersebut tergolong Makkiyyah yang menempatkan ajaran pokok agama, aqidah, dan akhlak pada peringkat pertama dan utama, meski tidak meniadakan ajaran syareat yang termuat di dalamnya. Pemahaman ini menegaskan adanya korelasi yang jelas antara makna muḥsin dan muslim, yakni pemaduan keduanya dalam pesan utama berupa kepatuhan yang tulus dengan basis tauhid. Kondisi kepribadian seperti ini melahirkan semangat keagamaan yang dapat mendorong seseorang melakukan berbagai aktivitas untuk mendapatkan keridhaan Allah swt yang menjadi makna al-‘urwat al- wuthqā. 499 Dapat juga disebutkan bahwa kepribadian tersebut merupakan sikap hidup mandiri yang menghendaki tata kehidupan yang independen kecuali bergantung kepada-Nya. Ia telah sukses menghadapkan diri 495 Majma Al-Lughah, Mujam, Jilid 1, Juz 3, 161. 496 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 1, 540, dan Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-Aẓīm, Juz 3, 595. 497 Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 2, 849. 498 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 10, 219. 499 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 10, 219. 110 hanya kepada Allah dan memurnikan kehendaknya semata-mata kepada- Nya hingga sampai pada cita rasa yang paling utama. 500 Adapun keterkaitan muḥsin secara langsung dengan aslama pada surah Al-Baqarah2 : 112 dan Al-Nisā`4 : 125 mempunyai makna orang yang memperindah pelaksanaan amal sebagai bentuk kepatuhan kepada perintah Allah swt. 501 Dalam mempercantik amal seorang muḥsin akan mengorientasikannya kepada kualitas dengan mengikuti keteladanan Nabi saw, 502 menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. 503 Al-Qur`an menyandingkan muḥsin dengan aslama dan mengikuti millata Ibrāhīm atau tauhid bertujuan memproklamirkan bahwa yang patut disebut aḥsanu dīnan atau sebaik-baik agama ialah orang yang telah memadukan ketiga unsur tersebut secara konsisten dan berkesinambungan dalam perilaku kehidupannya. c. Al-Mu`min Kata mu`min yang berasal dari - ﺎًﻨ ِﻣْﺆ ُﻣ َ ﻦَﻣآ – ُ ﻦِﻣْﺆ ُ ـﻳ – ﺎًﻧﺎَْﳝِإ berarti َ ﻦَﻋْذَأ dan َقﱠﺪَﺻ 504 atau mengakui dan membenarkan. Apabila kata mu`min dikaitkan dengan fi’il thulāthiy mujarrad َ ﻦ ُﻣَأ – ُ ﻦ ُﻣْﺄ َ ﻳ - ًﺔَﻧﺎ َﻣَأ yang berarti percaya, maka ia bermakna orang yang percaya. Dan manakala dikaitkan dengan fi’il thulāthiy َ ﻦِﻣَأ – ُ ﻦ َﻣْﺄ َ ﻳ – ﺎًﻨ ْﻣَأ yang terjemahnya adalah aman atau tentram, maka ia menunjukkan kepada arti orang yang aman atau tentram. Ketiga makna tersebut mengisyaratkan kepada sikap batin, dan ketiganya memiliki keterkaitan satu sama lain. Oleh karenanya keimanan selalu ditautkan dengan نﺎَﻨْـﺌ ِﻤْﻃﻹا 505 yang berarti ketentraman. Seorang yang memiliki sikap batin mengaku, membenarkan, dan percaya disebut mu`min, dan kondisi batinnya merasa tentram atau aman. Term mu`min dengan derivasinya disebut dalam Al-Qur`an sebanyak 793 kali. Derivasinya yang beriringan dengan derivasi muḥsin terdapat pada lima surah dan lima ayat. Bermula dari surah Al-Zumar39 : 10 yang mendampingkan kata āmanū dengan aḥsanū dan surah Al-Kahfi18 : 30 menyandingkan kata āmanū dengan man aḥsana ‘amalan. 500 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 5, 125. 501 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 1, 540. 502 Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm, Juz 1, 155. 503 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 4, 296. 504 Majma’ Al-Lughah, Mu’jam, Juz 1, 56. 505 Majma’ Al-Lughah, Mu’jam, Juz 1, 55. 111 Sebagai kelompok Makkiyyah, kedua ayat di atas mengkaitkan keimanan dengan aḥsana atau memperindah amal yang menjadi semangat dakwah Nabi saw yang mengedepankan aspek aqidah dan akhlak. Hal ini dikarenakan makna al-ladhīna aḥsanū dan man aḥsana ‘amalan adalah orang yang memperindah amal dengan keikhlasan hingga terlihat keutamaannya, dan tidak menengok kembali kebaikan yang diperbuatnya serta tidak mengharapkan bagian yang seharusnya diperoleh. 506 sebagai bukti kepatuhan kepada Allah swt 507 dengan basis tauhid. Menurut ayat di atas profil insan seperti ini patut mendapatkan apresiasi atau balasan dari Allah swt di dunia dan akhirat. Kemudian surah Al-Baqarah2 : 178 mengkaitkan derivasi muḥsin berupa term ihsan dengan āmanū, keduanya berhubungan dengan hukum qiṣāṣ. Al-ladhīna āmanū orang-orang yang beriman dijadikan oleh Al- Qur`an pada ayat tersebut sebagai pelaku khiṭāb pembicaraan, dan ihsan digunakannya sebagai cara melaksanakan sangksi alternatif diyat ganti rugi dari hukum qiṣāṣ. 508 Pertalian kedua term tersebut pada ayat di atas mengisyaratkan adanya hubungan timbal balik yang integral. Keimanan menjadi potensi batin yang membangkitkan semangat melaksanakan ketentuan hukum dalam Al-Qur`an syareat, khususnya kishash dalam rangka menata dan mewujudkan ketenteraman hidup bermasyarakat, 509 dan ihsan merupakan sikap etis dalam melaksanakan balas budi yang direalisasikan pada waktu membayar diyat sebagai perwujudan dari iman sehubungan dalam pembayaran diyat dengan ihsan terkandung pesan untuk tidak melambatkannya dan keharusan menyampaikannya dengan tulus, tidak disertai emosi, perkataan yang berbau kebencian, dan ketegangan komunikasi. 510 Demikian pula surah Al-Ṭalāq65 : 11 yang menyandingkan āmanū dan yu`min dengan aḥsana dalam konteks pelaksanaan perceraian. Pengkaitan keduanya menekankan prinsip sebab akibat, yakni mereka orang beriman yang melaksanakan hukum-Nya berhak mendapatkan ihsan Allah berupa rizki atau pahala-Nya. 511 506 Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm, Juz 4, 63, dan Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 4, 64. 507 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 10, 622 dan Al-Qushairiy, Laṭā`if Al- Ishārāt, Juz 5, 277. 508 Al-Rāziy, Mafātih Al-Ghayb, Jilid 3, juz 5, 45. 509 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 134. 510 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 2, 142-143. 511 Al-Rāziy, Mafātih Al-Ghayb, Jilid 15, juz 30, 36. 112 Dan surah Al-Mā`idah5 : 93 yang meletakkan āmanū bersandingan dengan aḥsanū dan al-muḥsinīn berkenaan dengan hukum makanan dan minuman haram yang telah dimakan oleh orang-orang yang beriman dan melaksanakan amal shaleh di masa sebelum mereka beriman. Penempatan aḥsanū dan āmanū dalam satu rangkaian ayat tersebut mengisyaratkan kepada keduanya menjadi unsur penentu dan integral bagi seseorang untuk mencapai ranah muḥsinīn yang dicintai oleh Allah swt, meski orang yang beriman belum tentu mencapai derajat muḥsin. 512

d. Al-Muttaqī