Menyangkut pembayaran diyat ganti rugi atau tebusan. Bertalian dengan penyelesaian perceraian dengan baik.

105 Ayat-ayat periode Madinah yang pesannya menekankan kepada persoalan hukum dan kemasyarakatan menjadikan jangkauan dan objek pesan kedua ayat tersebut meluas hingga mencakup komunitas manusia, baik yang memiliki hubungan kekerabatan karena hubungan darah dan perkawanan karena aktivitas dan profesi maupun karena hubungan sesama keturunan Nabi Adam as. Pesan berbuat ihsannya meliputi juga hingga yang sederhana, ucapan yang baik yang menjadi representasi akhlak terpuji. 475 Hal ini bukan semata-mata sebagai keharusan yang hukumnya wajib dan menjadi rutinitas. Akan tetapi bertujuan membangun pola hubungan sosial yang harmoni 476 seperti telah terwujud dalam kehidupan Nabi saw dan para sahabatnya, mereka saling mencintai dan menyayangi. 477 Pola pergaulan kemasyarakatan tersebut merupakan peristiwa sejarah yang menjadi percontohan untuk dapat diwujudkan kembali pada masyarakat muslim masa kini sebagai model kehidupan sosial yang ideal masyarakat madani.

b. Menyangkut pembayaran diyat ganti rugi atau tebusan.

Pelaksanaan pembayaran diyat sebagai pengganti sanksi hukum qiṣāṣ akibat dari keluarga korban memaafkan pelaku tindak pidana pembunuhan ditetapkan Al-Qur`an dengan cara ihsan, guna melahirkan sikap timbal balik yang menjadi aset bagi relasi sosial yang saling menghormati sesama insan, terutama sesama muslim karena kebaikan yang dilakukannya hingga terlihat persaudaraan seiman. 478 Konsep diyat tersebut tersurah pada surah Al-Baqarah2 : 178. Sebagai kelompok Madaniyyah ayat ini menekankan pada segi hukum untuk menciptakan keadilan dan kedamaian kolektif dalam kehidupan sosial, sesungguhnya dalam qishash diimbangi dengan pemberian maaf tanpa imbalan atau pemberian maaf disertai pembayaran diyat hingga tidak memberatkan. 479

c. Bertalian dengan penyelesaian perceraian dengan baik.

Al-Qur`n mendudukkan perceraian sebagai salah satu alternatif yang dapat dipilih dalam meyelesaikan problem hubungan suami dan 475 Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, h. 72. 476 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 1, Juz 1, 583. 477 Al-Shaukāniy, Fatḥ al-Qadīr, Jilid 5, 69. 478 Al-Biqā’iy, Nazhm al-Durar, Jilid 1, 332. 479 Al-Shaukāniy, Fatḥ al-Qadīr, Jilid 1, 220. 106 isteri, tetapi pelaksanaannya berlangsung dengan ihsan. 480 Pilihan bercerai yang dilakukan dengan cara ihsan dimaksudkan agar tidak terjadi perbuatan aniaya antar keduanya dan tidak berdampak negatif setelah mereka berpisah QS. Al-Baqarah2 : 229. Al-Qur`an dengan ayat Madaniyyah yang berkenaan dengan masalah tersebut secara khusus mengorientasikan pesannya kepada penataan dan pemberlakuan syareat supaya tercipta keharmonian sosial.

B. Term yang berhubungan dengan Muḥsin

Term-term yang berhubungan dengan muḥsin banyak tercantum dalam Al-Qur`an. Akan tetapi pembahasannya terbatas pada term ‘adl, muslim, mu`min, muttaqin, dan sālih, sehubungan term-term tersebut memiliki kaitan yang integral dalam konteks ayat, serta keberadaannya yang saling mengisi dengan pesan yang terkandung dalam term muḥsin. a. Al-‘Adl Term ‘adl berikut derivasinya terulang dalam Al-Qur`an sebanyak 28 kali pada 28 ayat dan 10 surah. Sedangkan kata `adl disebut enam kali pada enam ayat dan empat surah, dan disebut satu kali pada surah Al-Naḥl16 : 90 yang disandingkan dengan term ihsan yang menjadi derivasi muḥsin. Pada ayat di atas yang termasuk kelompok Makkiyyah ‘adl dan iḥsān menjadi materi perintah Allah yang patut dikerjakan manusia. ‘Adl adalah pengakuan terhadap Allah sebagai pemberi nikmat dengan mensyukuri anugerah-Nya dan melakukan pujian. Sedangkan iḥsān ialah bersabar dalam mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya, baik di waktu susah atau senang dan ketika dipaksa atau suka rela. 481 Apabila keduanya dikaitkan dengan perintah ītā` yang berarti ī’ṭā`` 482 memberi seperti yang tertulis pada ayat tersebut, maka memiliki relasi dengan mu’āmalah hubungan antar manusia dan sifat kedermawanan. Namun‘adl dan iḥsān memiliki makna yang penekanannya berbeda. Dalam konteks mu’āmalah, arti iḥsān lebih tinggi dibandingkan dengan ‘adl. ‘Adl ialah memberikan sesuatu kepada pihak lain sesuai dengan yang semestinya diberikan dan menerimanya sesuai dengan yang menjadi haknya. Sedangkan Ihsan memberikan sesuatu kepada pihak lain melebihi dengan yang seharusnya diberikan, dan 480 Quṭub, Fī Ẓilāl, jilid 1, 247. 481 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 7, 634. 482 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 7, 634. 107 menerimanya lebih sedikit dari yang menjadi miliknya. Makna ini memberikan kesan ihsan lebih unggul dari ‘adl. Dalam konsep umum, ihsan tidak sebatas melaksanakan kewajiban, melainkan menambahnya dengan yang sunnah. Sedangkan ‘adl menekankan kepada pengamalan kewajiban semata. 483 Dan ihsan menjadi puncak dari tingkat keagamaan seseorang, 484 karena ia telah mengetahui serta merasakan kerapuhan diri dan mengukuhkan ke-Agungan Tuhannya, memberikan hak seseorang, meninggalkan haknya yang terdapat pada orang lain hingga mushāhadat 485 melihat-Nya. Inilah yang menjadi salah satu sebab Allah memberikan penghargaan kepada muḥsin. atau ahl al- iḥsān dengan firman-Nya َْ ﲔِﻨ ِﺴ ْﺤ ُ ﻤْﻟا ﱡﺐِ ُﳛ َﷲأ ﱠنإ 486 Sesungguhnya Allah mencintai orang- orang yang berbuat ihsan. Kedua terma di atas, ‘adl dan ihsan, memiliki lawan kata berupa al-ẓulm yang secara subtansial menunjukkan kepada perbuatan negatif dan bersifat destruktif. Al-Ẓulm sebagai kata benda jadian maṣdar yang berasal dari ẓalama - yaẓlimu - ẓulman secara generiknya berarti berbuat aniaya atau menganiaya. Jika maṣdar berupa ẓalman, berasal dari ẓalima - yaẓlamu - ẓalman yang makna leksikal adalah gelap atau kelam malam itu. 487 Keduanya memiliki hubungan makna, yakni perbuatan aniaya dilakukan seseorang disebabkan oleh gelapnya hati yang tidak tersinari hidayah Tuhan cahaya ilahi. Kosakata ẓulm yang berarti menganiaya berikut derivasinya termakrub dalam Al-Qur`an sebanyak 274 kali, dan ẓalm beserta derivasinya yang berarti gelap tercantum di dalamnya sejumlah 26 kali. Selain itu, kata ẓulm bermakna tidak adil injustice dan kejam Tyranny. 488 Dalam konteks ayat, Al-Qur`an menggunakan terma ẓālim 483 Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 118. 484 Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 1, 447. 485 Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 3, 324-325. 486 Ahmad bin Yūsuf bin Al-Dā`im Al-Samīn Al-Halabiy, Tahqīq Muhammad Bāsil ‘Uyūn Al-Sūdiy, ‘Umdat Al-Huffāẓ fī Tafsīr Ashraf Al-Alfāẓ, Mu’jam Lughawiy li Alfāẓ Al-Qur`ān Al-Karīm Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1996, Juz 1, 476. Selanjutnya disebut Al-Samīn, ‘Umdat Al-Huffāẓ. 487 Yunus, Kamus Arab – Indonesia, 248. 488 Thashihiko Izutsu, Ethico Religius Concept in the Qur’an Montreal, McGill University Prees, 1966, 164. Edisi Bahasa Indonesia terjemahan Mansuruddin Djaely dengan tajuk Etika Beragama dalam al-Qur’an, Pustaka Firdaus, tahun 1995. Selanjutnya disebut Izutsu, Ethico. 108 yang berasal dari ẓulm dengan arti yang beragam sesuai dengan maksud pesan Allah swt yang tertuang di dalamnya. Ẓālim dengan asal kata ẓulm digunakan dalam Al-Qur`an untuk makna orang yang berbuat tidak adil injustice, yakni meletakkan sesuatu tidak pada tempat yang sebenarnya, baik dengan dikurangi atau ditambah, maupun menyimpang dari waktu atau tempat 489 sebagai lawan kata dari ‘ādil orang yang berbuat adil yang berarti meninggalkan kezaliman, melakukan yang sebanding, dan memberikan hak orang lain, 490 seperti yang termaktub pada QS. Qāf50 : 29. 491 Demikian pula yang tercantum pada QS. Hūd11 : 117. 492 Adapun terma ẓālim yang disandingkan dengan muḥsin terkesan lebih sepesifik, yaitu berupa ẓālim li nafsih mubīn menganiaya diri sendiri dengan jelas. Penyebutan terma tersebut mengisyaratkan bahwa perbuatan ẓulm atau aniaya dengan segala bentuk, waktu, tempat, dan objeknya, sesungguhnya menganiaya diri sendiri QS. Al-Baqarah2 : 231 493 dengan meletakkan diri pribadi bukan pada tempat yang disukai atau melampaui batas kebenaran sebagai akibat dari mengutamakan dorongan syahwat. 494 Hal ini sepadan dengan missi berbuat ihsan kepada siapapun di manapun berada dan kapanpun dilakukannya, pada hakekatnya adalah berbuat ihsan kepada diri sendiri. 489 Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 326. 490 Abī Ḥyyān, Al-Baḥr al-Muḥīṭ, Jilid 5, 513, dan Shihab menyebutkan pendapat pakar yang menyatakan bahwa adil adalah meletakkan sesuatu pada tempat yang mesetinya. Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Vol. 7, h. 324. 491 Ibn ‘Aṭiyyah menyatakan bahwa Allah menyiksa orang-orang musyrik merupakan perwujudan perbuatan adil-Nya sehubungan mereka telah diberi-Nya daya talar, petunjuk jalan, dua arah kehidupan, dan rasul yang bertugas membimbing mereka. Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar, 1755, dan Al-Bayḍāwiy menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan bahwa Saya Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak patut disiksa. Al-Bayḍāwiy, Anwār al-Tanzīl, Jilid 2, 423. 492 Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar, 976. 493 Al-Aṣfahāniy mennjelaskan bahwa ẓulm tindak penganiayaan terbagi menjadi tiga, yaitu: Pertama; Perbuatan aniaya manusia kepada Allah dengan berbuat syirik, kekafiran, dan kemunafikan, dan mendustakan Allah atau ayat-ayat-Nya QS. Luqmān31 : 13, QS. Al-Zumar39 : 32, QS. Al-An’ām6 : 157, QS. Al-A’rāf7 : 37, dan lain-lain, Kedua; Tindak penganiayaan kepada orang lain, dan Ketiga; Aktifitas kezaliman kepada diri sendiri yang merupakan esensi dari semua tindak aniaya yang dilakukan. Al-Aṣfahāniy, Mu’jam, 326. Selain QS. Al-Baqarah2 : 231 yang dijadikan landasannya adalah QS. Al-Al-Baqarah2 : 57 dan QS. Ali ‘Imrān3 : 117. 494 Al-Biqā’iy, Naẓm al-Durar, Jilid 6, 331. 109

b. Al-Muslim