Pelaksanaan Zakat dan Sedekah

260 terwujud kesejahteraan sosial. 1140 Orang yang mengaktualisasikan diri memandang citra manusia dalam dirinya dan dalam diri orang lain. Ia memiliki sikap mementingkan diri sekaligus tidak mementingkan diri. Kedua sikap itu lebur menjadi satu hingga menemukan kebahagiaan dalam membantu orang lain. Maka baginya sikap tidak mementingkan dirinya itu mengandung sifat mementingkan diri juga. Ia peroleh nikmat yang mementingkan diri dari kenikmatan orang lain, suatu cara untuk menyatakan tidak mementingkan diri. Sikap mementingkan diri dilakukan dengan cara yang sehat, cara yang bermanfaat baginya dan bagi masyarakat umum. 1141

a. Pelaksanaan Zakat dan Sedekah

Sebagaimana di atas telah dijelaskan sebagian dari karakteristik muḥsin tertuang dalam surah Luqmān31 : 3-4, yaitu menegakkan salat, menunaikan zakat. dan yakin akan adanya negeri akhirat. 1142 Sehubungan yang menunaikan zakat 1143 adalah muḥsin, maka 1140 Rita, Introduction, Jilid 2, 402. 1141 Maslow, Motivation, 149, dan Goble, The Third Force, 27 dan 29-30. 1142 Surah Luqmān31 : 4 menafsirkan surah Luqmān31 : 3. Isi ayat 4 merupakan penjelasan Allah swt tentang sifat-sifat muḥsinīn orang-orang yang berbuat ihsan yang tertera pada akhir ayat 3. Al-Samarqandi, Baḥr Al-‘ulūm, Jilid 3, 18. Kendati redaksinya berbeda Quṭub dalam menafsirkan ayat 4 memiliki pesan yang sama, yakni menetapkan keberadaan dan sifat muḥsinīn yang tertuang pada ayat 3 adalah melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan meyakini akhirat. Quṭub, Fī Ẓilāl Al-Qur’ān, Jilid 5, 2783. Dengan maksud yang sama Ibn ‘Āshūr menyatakan bahwa muḥsinīn adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, yang menjadi kebaikan tertinggi dan paling istimewa yakni beriman, menegakkan salat, dan menunaikan zakat, meski muḥsinīn melakukan yang lainnya. Ibn ‘Āshūr Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 8, Juz 21, 141. 1143 Zakat telah menjadi term yang baku tersebut dalam al-Qur’an sebanyak 32 kali. Abd al-Bāqiy, Al-Mu’jam, 420. Secara lughawi zakat berarti al-taṭhīr atau pembersihan atau pensucian QS. Al-Shams91 : 9, al-Numuw atau peningkatan atau penambahan QS. Al-Kahfi18 : 19, al-Madh atau sanjungan dan pujian QS. Al- Najm53 : 32, al-Barakah atau berkat, bahagia dan untung, dan Kathrat al-Khaer atau banyak kebaikannya. Abī Bakar, I’ānat Al-Ṭālibīn, Juz 2, 147, dan Taqiy Al-Dīn, Kifāyat Al-Akhyār, Juz 1, 172. Makna lughawi tersebut mengisyarat bahwa zakat terdiri dari harta yang halal agar melahirkan berkah keuntungan atau kebahagiaan serta bertambah kuantitas dan kualitas harta, serta mutu kepribadian sebagai akibat dari hartanya dibersihkan dari milik orang lain dan dirinya disucikan dari sifat kikir dan dosa, yang dapat melahirkan pujian atau sanjungan. Makna ini menekankan kepada arti zakat yang positif dan dikehendaki oleh Islam. Akan tetapi terdapat makna zakat yang memiliki konotasi negatif, yakni ketika kata zakat diletakkan sebagai legitimasi diri 261 ikhlas yang menjadi manifestasi ihsannya secara fungsional memiliki urgensi yang signifikan dalam pelaksanaan zakat. 1144 Keikhlasan menjadi faktor subtansial bagi profil muzakki yang memiliki kedermawanan yang terbebas dari kekikiran yang menjadi penyebab seseorang menggunakan harta tidak di jalan Allah dan menjerumuskannya kepada kehancuran diri. 1145 Di samping melakukan zakat yang bersetatus hukum wajib seorang muḥsin melaksanakan sedekah yang setatusnya sunah. 1146 Keduanya merupakan ibadah maḥḍah ibadah yang murni, langsung kepada Allah yang berdimensi kemanusiaan yang apresiatif dan membutuhkan keikhlasan pelakunya 1147 agar tidak terjadi arogansi kaum aghniyā di tengah-tengah komunitas golongan ḍu’afā` lemah ekonomi. 1148 Ikhlas yang menjadi ruh bagi pelaksanaan zakat dan sebagai orang yang terpuji karena kesucian dirinya. QS. Al-Najm53 : 32 Sedangkan secara istilahi, zakat merupakan kadar harta yang dikeluarkan diberikan oleh muzakki kepada orang-orang tertentu dengan syarat tertentu. Abī Bakar, I’ānat, Juz 2, 147, dan Taqiy Al-Dīn, Kifāyat Al-Akhyār, Juz 1, 172. Istilah lain yang digunakan Al-Qur`an untuk menunjuk kata zakat adalah ṣadaqah yang dengan jamak dan isim fā’il-nya tercantum di dalam Al-Qur`an sebanyak 15 kali. Abd Al-Bāqiy, Al-Mu’jam, 515-516. 1144 Al-Bayḍāwiy menafsirkan kosakata al-muḥsinīn pada surah Al-Ḥajj22 : 37 yang berkenaan dengan urgensi ketakwaan hati dalam mensedekahkan daging kurban, karena ketakwaan tersebut dapat mengantarkan seseorang kepada mengagungkan ketentuan Allah, mendekatkan diri kepada-Nya, dan ikhlas karena-Nya dengan al- mukhliṣīn fī mā ya`tūnahu wa yadharūnah orang yang ikhlas terhadap apa yang harus dilakukan dan ditinggalkannya. Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 2, 90. 1145 Kajian yang lebih mendalam telah dilakukan oleh Al-Jauziy ketika menafsirkan surah Al-Baqarah2 : 195, di antaranya dengan mengutip pendapat pendapat ulama. Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar, 172. 1146 Abū Ḥayyān menafsirkan perintah berinfak yang tertuang dalam surah Al- Baqarah2 : 195 dengan mengklasifikasikannya ke dalam beberapa bentuk pendayagunaan harta di antaranya adalah setatus hukum wajib berupa zakat yang telah ditentukan batasan dan ukuran hartanya dan sunnah berupa sedekah yang tidak terbatas. Abū Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 1, Juz , 78. 1147 Manakala seseorang muslim mengeluarkan zakat karena berniat supaya dipuji oleh sesama manusia, seperti agar dinilainya sebagai orang yang dermawan, saleh, atau selalu berbuat baik kepada sesama, maka secara eksistensial sesungguhnya ia telah merusak pahala amal zakatnya, karena keinginan disanjung oleh sesama merupakan perbuatan riya yang tidak mengharapkan perkenan dan pahala Allah swt tidak ikhlas. Hal ini merupakan tafsir yang dilakukan oleh Al-Ṭabariy terhadap surah Al-Baqarah2 : 264. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 3, 65. 1148 Sifat arogansi menjadi salah satu dari al-mannī menyebut-nyebut amal zakat yang dilakukannya wa al-adhā menyakiti perasaan orang yang diberi serta tidak beriman kepada Allah dan hari akhir seperti yang termaktub dalam surah Al-Baqarah2 : 264. Al-Qushairiy menyebutkan bahwa sesungguhnya karunia yang indah datangnya 262 sedekah dapat berimplikasi kepada harta yang dizakatkan dan disedekahkan, tujuan, dan pendistribusiannya. Sejalan dengan karakteristiknya yang mengutamakan kualitas amal, seorang muḥsin dalam melaksanakan zakat dan sedekah mengeluarkan harta yang thayyib baik 1149 dan yang disukai atau dicintai. 1150 Artinya harta yang dikelurkan berupa kekayaan yang benar- benar bermutu baik dan halal agar bermanfaat bagi pihak yang menerimanya. Harta yang dikeluarkan dipastikan baik, indah, dan berharga, tidak berupa harta yang buruk, cacat, dan tidak bernilai, mengingat Allah itu Maha Baik, tidak menerima zakat dan sedekah seseorang kecuali dari hartanya yang baik, 1151 agar amalnya memiliki nilai aksiologis bagi kehidupan kolektif yang meliputi kepentingan umum secara menyeluruh, tidak dibatasi ruang meliputi semua orang di semua tempat dan waktu mencakup generasi sekarang dan akan datang. Sedangkan maksud katagori harta yang halal ialah harta yang dari Allah, sedangkan manusia pada hakekatnya tidak memberikan anugerah apapun kepada sesamanya, karena yang dinilai sebagai anugerah dari manusia, sesungguhnya merupakan petaka atau ujian yang paling besar. Sambil mengutip pendapat pakar ia mengungkapkan bahwa mengagungkan diri bukan dengan melakukan tindakan yang hina mengingat tindakan yang hina memperjelas kekerdilan pembongsaian diri, dan ia mengutarakan pula bahwa orang yang paling fakir adalah ia yang mengira dirinya kaya, dan orang yang paling kerdil adalah dia yang menyangka bahwa dirinya memiliki segalanya, padahal semuanya itu datangnya dari Allah. Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Jilid 1, 190. 1149 Sebutan infak yang termaktub pada surah Al-Baqarah2 : 267 mengandung maksud zakat dan shadaqah. Sedangkan yang dimaksud dengan penggalan ayat mā kasabtum pada ayat tersebut ialah al-tijārah al-halāl atau perdagangan yang halal. Adapun makna term al-ṭayyibāt-nya adalah al-jiyād wa al-ḥalāl dūna al-radī` yang berarti baik sekali, tanpa kerusakan, dan halal, atau bukan yang buruk. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 3, 80. Ibn ‘Aṭiyyah menambahkan makna al-ṭayyibāt dengan harta pilihan yang berkualitas baik. Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar, 245. Sedangkan potongan ayat wa lā tayammamū al-khabītha mīnhu tunfīqūna yang memuat larangan Allah swt menginfakkan atau menzakatkan harta yang buruk pada dasarnya ialah Dia melarang mengalihkan harta yang halal menjadi haram, kemudian digunakannya untuk zakat atau sedekah. Hal ini dikarenakan al-khabīth berarti harta yang mengejutkan perasaan jiwa, kemudian berkeinginan untuk meninggalkannya. Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur`an, Juz 1, 321. 1150 Al-Alūsiy menafsirkan kosakata al-bīrr yang termaktub pada surah Ali ‘Imrān3 : 92 dengan al-īhsān wa kamāl al-khayr ihsan dan kebaikan yang sempurna. Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 1, 213. 1151 Ini pendapatnya Ibn ‘Abbās. Al-Fairūzabādiy, Tafsīr Ibn ‘Abbās, 45, dan Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur`an, Juz 1, 321. 263 jenisnya halal halāl jinsiy dan diperoleh melalui usaha yang halal halāl lā li al-jinsiy sebagai lawan dari harām jinsiy jenisnya haram seperti bangkai dan harām lā li al-jinsiy bukan jenisnya semisal milik orang lain yang dimakan tanpa izin pemiliknya. 1152 Seorang muḥsin dalam melaksanakan zakat dan sedekah komitmen dengan harta yang berkualitas tinggi, bermanfaat, dan terjamin kehalalannya sejalan dengan misi turunnya surah Al-Baqarah2 : 267 sebagai teguran kepada orang yang mengeluarkan zakat atau sedekah dari hartanya yang tidak bermutu baik atau ṣāḥib al-Ḥashaf. 1153 Dengan mengeluarkan harta yang bermutu dan halal berarti seorang muḥsin telah menjauhkan sifat kikir dan keserakahan serta menumbuhkan sifat kedermawanan, menghargai harkat kemanusiaan, dan memiliki orientasi hidup kebersamaan. Karakteristik ini merupakan perwujudan dari kebutuhan kesetiakawanan yang menjadi bagian dari kebutuhan akan rasa memiliki dan cinta belongness and love needs yang melekat pada setiap orang untuk sampai pada tingkat aktualisasi diri self actualization needs. 1154 Hal ini memiliki urgensi yang relevan 1152 Abū Ḥayyān ketika menafsirkan term ḥalāl yang tertera pada surah Al- Baqarah2 : 168 menyebutkan bahwa setatus sesuatu halal parameternya adalah syareat, sehingga adakalanya ḥalāl jinsiy dan adakalanya ḥalāl lā li al-jinsiy sebagai lawan dari ḥrām jinsiy seperti bangkai dan ḥarām lā li al-jinsiy semisal milik orang lain yang dimakan tanpa izin. Abī Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ, Jilid 1, 653. 1153 Al-Fairūzabādiy, Tafsīr Ibn ‘Abbās, 45. Sabab nuzul surah Al-Baqarah2 : 267 berkenaan dengan kaum Anshar yang mempunyai kebun kurma, di antara mereka terdapat sahabat yang mengeluarkan zakat atau sedekah sepadan dengan penghasilannya, banyak atau sedikit, akan tetapi ada pula di antara mereka yang tidak suka berbuat baik, mereka menyerahkan zakat atau sedekah berupa kurma yang bermutu rendah, busuk, dan tidak berharga. HR. Al-Hākim, Al-Turmudhiy, Ibn Mājah dan lain- lain, dari Al-Barrā`. Al-Suyūṭiy, Asbāb Al-Nuzūl, 50. 1154 Rasa memiliki dan cinta merupakan jenis kebutuhan tingkat ke tiga dari hierarki kebutuhan menurut Maslow yang dalam versi kedua terdapat lima peringkat, dan aktualisasi diri self actualization needs berada pada peringkat kelima tertinggi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan inti kodrat manusia, hanya saja, terkadang, mudah diselewengkan dan dikuasai oleh proses belajar, kebiasaan atau tradisi yang keliru. Kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan aspek-aspek intrinsik kodrat manusia yang tidak dimatikan oleh kebudayaan, hanya ditindas. Kebutuhan-kebutuhan itu dengan mudah diabaikan atau ditekan. Adapun hierarki kebutuhan tersebut yaitu; Tingkat pertama ialah kebutuhan fisiologis physiological needs berupa rasa lapar hunger, rasa haus thirst, sex sexuality dan sebagainya; Tingkat kedua adalah kebutuhan akan rasa aman safety needs berupa merasa aman for security dan terlindung protection, jauh dari bahaya out of danger; Tingkat ketiga ialah kebutuhan akan rasa memiliki dan rasa cinta belongingnees and love needs berupa 264 dengan tujuan zakat. Adapun tujuan zakat dan sedekah mencakup ketiga komponennya sekaligus, pemberi, penerima, serta harta yang dizakatkan atau disedekahkan. 1155 Bagi pemberi, terjadi peningkatan kualitas diri, terutama sifat kedermawanan, solideritas sosial, ketulusan, dan kebaikan terhadap orang lain serta terbebas dari kekikiran, keserakahan, sehingga terlahir sosok pribadi yang muḥsin dalam mendayagunakan harta. Zakat dan sedekah disyareatkan Tuhan untuk membersihkan pelakunya dari dosa-dosa yang pernah dilakukannya, menambah kebaikan, dan meningkatkan kedudukannya dari tempat yang sarat dengan perangai orang munafik menuju perilaku orang yang ikhlas. 1156 Zakat dan sedekah dapat mengikis sifat kikir atau al-bukhl, rakus atau al-ṭama’, sikap keras dan arogan terhadap orang fakir, serta menambah kebaikan dan keutamaan hingga memperoleh derajat yang tinggi, menempati kedudukan orang-orang yang berbuat kebaikan atau al-abrār dan mendapatkan kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. 1157 Dari Sisi harta, zakat bertujuan meningkatkan dan mengembangkan harta itu sendiri. 1158 Harta yang semula tercampur dengan milik pihak lain meningkat menjadi suci, murni milik sendiri, dan terbebas dari milik berafiliasi dengan orang lain to affiliate with others, diterima be accepted, dan memiliki belong; Tingkat keempat adalah kebutuhan akan penghargaan esteem needs berupa berprestasi to echieve, berkompentensi competent, dan mendapatkan dukungan gain approval dan pengakuan recognition; Tingkat kelima ialah kebutuhan aktualisasi diri self actualization needs berupa mendapatkan kepuasan diri to find self fulfillment dan menyadari potensi dan kapasitasnya realize one’s potentīaland capacities. Maslow, Motivation, 20 dan Goble, The Third Force, 40. Paul R. Pintrich dan Dale H. Schunk, Motivation in Education, Theory, Research, and Application New Jersey, Prentice-Hall Inc, Englewood Cliffs, 1996, 205. Selanjutnya disebut Pintrich, Motivation in Educatīon. Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi Jakarta, Bulan Bintang, 2000, 170. Selanjutnya disebut Sarlito, Berkenalan. 1155 Kajian yang lebih mendalam dan luas tentang tujuan zakat ini dapat dilihat pada pandangan Ibn ‘Āshūr ketika menafsirkan surah Al-Taubah9 : 103 terutama penafsirannya terhadap penggalan ayat tuthahhiruhum pembersihan diri dari keburukan, seperti dosa, sehingga zakat dapat menghapus dosa wa tuzakkīhim meningkatkan dan menambah kebaikan dan keutamaan, sehingga zakat dapat mendatangkan pahala yang besar. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 5, Juz 11, 23. 1156 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 6, 463, dan Al-Bayḍāwiy, Anwār Al- Tanzīl, Jilid 2, 420. 1157 Al-Marāghiy, Tafsīr Al-Marāghīy, Juz 11, 15-16. 1158 Al-Baghawiy, Ma’ālim Al-Tanzīl, Juz 2, 273. 265 orang lain, harta yang dipegangnya menjadi miliknya mutlak mengingat pada harta seseorang terutama seorang muḥsin terdapat milik al-Sā`il peminta-minta dan al-Maḥrūm orang yang tidak mempunyai apa-apa, tetapi enggan meminta karena menjaga harga diri. 1159 Jadi berzakat dan sedekah merupakan ketetapan syareat yang rasional dan manusiawi. Adapun bagi penerima akan tertunjang sebagian kebutuhan hidupnya, dan satu ketika, manakala secara produktif dan efektif serta efisien ia dapat mengelola harta yang diterimanya, maka dapat meningkatkan posisinya menjadi pemberi, atau setidaknya berubah setatusnya tidak sebagai penerima atau mandiri, tidak ketergantungan kepada pemberi. Zakat dan sedekah yang didistribusikan oleh seorang muḥsin kepada para penerimanya sebagaimana yang tertera pada surah al- Taubah9 : 60 dilakukan dengan cara yang adil tanpa dipengaruhi fanatisme kelompok yang berbasis primordialisme sempit, 1160 mengingat zakat dan sedekah mewujudkan kesejahteraan kehidupan umat Islam, menjadi penguat, dan benteng keimanan kaum ḍu’afā` atau orang-orang yang lemah ekonomi, serta menyebarkan kekayaan ke berbagai lapisan agar tidak hanya berputar di tengah-tengah kaum aghniyā` atau orang- orang kaya semacam termaktub dalam surah Al-Hashr59 : 7 yang oleh 1159 Ini penafsiran al-Thabari terhadap surah Al-Dhāriyāt51 : 19 dan Al- Ma’ārij70 : 24-25. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 22, 413 dan Jilid 23, 613. 1160 Menurut Ibn Kathīr mengungkapkan bahwa surah Al-Taubah9 : 60 merupakan penjelasan Allah swt atas penghinaan orang-orang munafik kepada Nabi saw berkenaan dengan pembagian zakat, dimana Nabi saw justeru dipercaya oleh Allah swt untuk membagikannya kepada mereka yang berhak menerimanya, menetapkan hukumnya, dan mengelola sepenuhnya agar tidak diberikan kepada seorang pun yang tidak layak menerimanya. Selain itu Ibn Kathīr mengutarakan perbedaan pendapat para ulama tentang distribusi zakat kepada delapan golongan yang berhak menerimanya. Imam Shafi’i beserta sekelompok ulama lainnya termasuk pakar yang berpendapat bahwa zakat dibagikan secara merata kepada delapan golongan tersebut. Sedangkan imam Malik dan sekelompok ulama salaf generasi terdahulu dan khalaf generasi belakang, seperti Umar, Khudzaifah, Ibn Abas, Abu al-Aliyyah, Said bin Jubaer, dan maimun bin Mahran berijtihad bahwa zakat dibagikann dapat diberikan kepada salah satu dari kedelapan golongan tersebut. Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur`an, Jilid 2, 365. Al- Ṭabariy memiliki kecenderungan yang nyata kepada pendapat ulama yang disebutkan kedua, karena pendapat tersebut merupakan pandangan mayoritas ulama ahli ilmu dan penentuan delapan golongan dalam ayat tersebut sebatas penetapan yang patut menerima agar tidak dibagikan kepada selain mereka, tidak berarti keharusan mendapatkan bagian keseluruhan mereka secara serentak. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 6, 398. 266 sebagian pakar tafsir disebutkan kandungannya tidak semata-mata berhubungan dengan harta fai harta rampasan yang didapat tidak dengan peperangan, tetapi bersifat umum, mencakup segenap hal yang dibawa oleh Nabi saw, baik berupa perintah atau larangannya, baik berupa perkataan atau perbuatan, baik yang wajib dan sunah maupun yang haram. Meski sebab turunnya ayat ini menunjukkan khusus, tetapi pengertiannya diambil dari keumuman teksnya. 1161 Secara fungsional ayat ini berperan menghapus tradisi jahiliyah yang membagikan harta rampasan perang kepada para pemimpin dan pembesar dari kalangan mereka, tanpa memperhatikan orang-orang yang lemah dan fakir. Para pemimpin dan pembesar terlebih dahulu mengambil seperempatnya, kemudian sisanya diambil sesuka mereka. 1162 Demikian pula ayat ini memiliki urgensi mendistribusiakannya tidak lagi kepada tentara perang semata, melainkan kepada beberapa golongan yang layak menerimanya seperti untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak- anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. 1163 Ini berarti esensi pesannya adalah harta milik publik, termasuk hasil zakat dan sedekah didistribusikan secara merata dan adil kepada mereka yang berhak menerimanya. Komitmen seorang muḥsin dengan keadilan dalam pendistribusian harta zakat dan sedekah merupakan manifestasi dari sifatnya yang berorientasi kepada mengerjakan ibadah dengan sebaik mungkin hingga seolah-seolah melihat Allah swt atau merasa diawasi, dan memberi sesuatu kepada pihak lain melebihi dari yang seharusnya diberikan, serta melihat dirinya pada posisi kebutuhan orang lain.

b. Penyembelihan Hewan Ternak