30 Dengan demikian kajian tentang “Konsep Manusia Ideal dalam
Al-Qur`an Studi tentang Profil al-Muḥsin dalam Perspektif Tafsir Ayat- ayat Ihsan” dengan metode mauḍūiy yang bercorak ‘ilmiy dengan pisau
analisis psikologi humanistik merupakan sesuatu yang signifikan untuk dikaji, dan tidak sebatas menguak kaitannya dengan berbagai aspek
kehidupan manusia, melainkan mengungkap sifat-sifat kepribadiannya yang dapat dianalisis dengan pisau analisis psikologi yang menggunakan
pendekatan fenomenologis, yakni psikologi humanistik. E. Metodelogi Penelitian
Bagian ini membahas hal-hal sebagai berikut:
a. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan teoritik mengingat masalahnya tergolong pada wilayah kajian tafsir Al-Qur`an
dengan metode Mauḍū’iy yang bercorak ‘ilmiy dan melibatkan pisau analisis psikologi humanistik, terutama berkenaan dengan sifat-sifat
kepribadian karakteristik muḥsin yang ideal dan normatif yang dicitrakan Al-Qur`an. Sehingga dengan pendekatan ini diupayakan secara
maksimal menggali dan mengungkap data teoritik dan tidak melibatkan data empirik.
Adapun psikologi humanistik yang disertakan sebagai pisau analisis dalam mengkaji karakteristik muḥsin dsebabkan psikologi ini
menggunakan pendekatan fenomenologis yang memiliki teori tersendiri sebagai akibat dari cara kerjanya yang memfokuskan diri pada
bagaimana seseorang mengamati dan menginterpretasikan kejadian pada fenomenologi seseorang. Sedangkan riwayat motivasional seseorang atau
usaha memprediksi perilakunya tidak disentuh sama sekali.
148
Studi tentang objektif semata tentang tingkah laku manusia belumlah cukup, untuk memperoleh pengertian yang menyeluruh, maka
segi-segi subjektifnya seperti perasaan, keinginan, harapan, aspirasi- aspirasi seseorang perlu dipertimbangkan supaya dapat dipahami tingkah
lakunya.
149
Aspek-aspek subjektif tersebut akan menjadi sesuatu yang dapat dipahami jika diketahui dengan jelas apa makna situasi itu bagi
seseorang.
150
Oleh karena itu menjadi sesuatu yang semata-mata
148
Rita, Introduction, Jilid 2, 399.
149
Goble, The Third Force, 19-20.
150
Sebagai contoh, dalam suatu turnamen tenis, salah seorang pemain tiba-tiba berteriak, memprotes bahwa lawannya mencoba membuyarkan konsentrasinya dengan
31 pragmatis, jika psikologi menjauhi bidang-bidang penting seperti
kenikmatan, kesenangan, permainan, keindahan, seni, kegembiraan, cinta, dan kebahagiaan. Dengan kata lain perkara-perkara moral dan
spiritual masuk dalam wilayah alam ramai dan dipandang sebagai bagian dari ilmu alam, bukan menjadi pihak oposisi. Dalam kedudukanya
sebagai suatu pranata kemasyarakatan dan suatu kegiatan manusia, ilmu pengetahuan alam tentu saja memiliki sasaran, etika, moral, dan tujuan.
Ringkas kata, memiliki nilai-nilai.
151
Dalam beberapa hal, pendekatan fenomenologis merupakan reaksi terhadap psikoanalisa Sigmund Freud 1856-1939 M yang
menyatakan bahwa manusia dimotivasi oleh impuls dorongan tak sadar. Para pakar fenomenologis lebih memfokuskan diri pada pandangan
subjektif individu tentang apa yang terjadi saat ini daripada melihat ukuran objektif situasi atau menyelidiki motiv masa kanak-kanak.
152
Sedangkan Maslow, di samping mengkritik Freud, bersamaan dengan itu ia juga mengkritik kaum behavioris. Ia menilai Freud dalam memandang
tingkah laku manusia terlalu terpukau pada determinan-determinan internal atau intrinsik tingkah laku manusia semata, sementara kaum
behavioris terpaku pada determinan-determinan ekstrinsik atau eksternal dan environmentalnya saja. Maslow sendiri berpendapat bahwa teori
yang menyeluruh tentang tingkah laku manusia sudah semestinya mencakup keduanya.
153
Pendekatan fenomenologis terhadap kepribadian mencakup teori- teori yang disebut Humanistik karena teori-teori ini memfokuskan diri
pada kualitas yang membedakan manusia dengan hewan, yaitu pengarahan diri dan kebebasan memilih dan teori-teori self karena teori-
teori ini menyangkut pengalaman internal dan subjektifitas yang merupakan makna keberadaan seseorang. Sebagian besar teori
fenomenologis menekankan sifat dasar manusia yang positif dan
berkali-kali menunda permainan. Bagi orang lain atau penonton bisa jadi reaksi ini dinilai tidak tepat, malah justeru pemain lawan menunjukkan perilaku bertanding yang
pantas. Akan tetapi pemrotes pernah mengalami taktik penundaan permainan semacam itu pada masa lalu menyusahkannya, muncul gelagat bahwa taktik tersebut akan
terulang lagi menimpa dirinya yang dapat membangkitkan rasa marahnya. Dari sudut pandang pemain itu reaksinya benar dan tepat. Rita, Introduction, Jilid 2, 399.
151
Essey tersebut merupakan pendapat Abraham Maslow 1908-1970 M yang mengkritik psikoanalisa Sigmund Freud 1856-1939 M dan behaviuris seperti Burrhus
Frederick Skinner 1904-1990 M. Goble, The Third Force, 21-22.
152
Rita, Introduction, Jilid 2, 399.
153
Goble, The Third Force, 19.
32 dorongan ke arah pertumbuhan dan aktualisasi diri.
154
Aktualisasi diri berarti penggunaan atau pemanfaatan secara penuh bakat, kapasitas-kapasitas, potensi-potensi, dan sebagainya sampai
batas maksimum. Orang semacam itu memenuhi dirinya dan melakukan yang terbaik. Pribadi yang teraktualisasikan merupakan contoh tepat
spesies manusia, wakil kelompok yang kemudian disebut oleh Maslow the growing tip pucuk yang tumbuh mekar.
155
Memang Maslow adalah pakar yang memiliki konsep aktualisasi diri yang representatif.
Berkenaan dengan konsep aktualisasi diri, pemikirannya dijadikan rujukan penting dalam melakukan bacaan psikologi terhadap
karakteristik muḥsin. b. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk ke dalam macam penelitian kepustakaan sehubungan data primer dan sekunder yang diperlukan, dikumpulkan,
dianalisis, dan ditafsirkan berkaitan dengan topik yang dibahas berasal dari sumber-sumber informasi tertulis berupa ayat-ayat Al-Qur`an dan
kitab-kitab tafsir yang tergolong bi al-Ma`thūr seperti tafsir Al-Ṭabariy, bi al-Ra`yi semacam Al-Bayḍāwiy, dan bi al-Ishāriy semisal Al-
Qushayriy.
156
Sejalan dengan macam penelitian di atas dan tujuannya, serta tema yang dikaji tentang profil muḥsin sebagai manusia ideal yang erat
kaitannya dengan kepribadian sehubungan dimensi psikologisnya yang sedemikian kental, maka metode penelitian yang digunakan adalah
deskriptif. Metode Deskriptif tertuju pada masa sekarang dan masalah- masalah aktual. Pelaksanaannya tidak terbatas hanya sampai pada
pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data itu. Data yang terkumpul mula-mula
disusun, dijelaskan, dan kemudian dianalisis karena itu metode ini sering pula disebut metode analitik. Pada tahap yang terakhir, metode ini
harus sampai kepada kesimpulan-kesimpulan atas dasar penelitian data.
157
154
Rita, Introduction, Jilid 2, 399.
155
Goble, The Third Force, 24.
156
Lihat Disertasi ini, Sumber Data Primer dan Sekunder, 48-51.
157
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode dan
tehnik Bandung, Penerbit Tarsito, 1998, 139-140.
33 Sedangkan teknik analisisnya berupa Content analysis
158
analisis isi dengan kaidah tafsir yang menggabungkan Muzdawajah antara al-
‘ibrah bi ‘umūm al-lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab dan al-‘ibrah bi khuṣūṣ al- sabab lā bi ‘umūm al-lafẓ, dan rumusannya al-‘ibrah bi ‘umūm al-lafẓ wa
bi khuṣūṣ al-sabab. Dengan analisis isi diharapkan dapat dihasilkan gambaran tentang profil manusia ideal yang dicitrakan Al-Qur`an yang di
representasikan kepada muḥsin dan relevansinya dengan sifat-sifat yang diunggulkan psikologi humanistik secara utuh melalui analisis data dan
informasi yang digali dari sumbernya, agar kandungan yang sebenarnya dapat mengemuka. Analisis ini diperlukan, karena objek kajiannya tidak
memungkinkan dipahami tanpa menganalisis teks-teks yang termaktub dalam Al-Qur`an serta pendapat para pakar tafsir. Dalam pelaksanaannya
penggunaan analisis ini disertai dengan pisau analisis psikologi humanistik. Dengan cara tersebut diharapkan tujuan penelitian dapat
dicapai. Sehubungan keterlibatan psikologi humanistik Maslow demikian
mendalam hingga memasuki wilayah penafsiran Al-Qur`an, maka dipandang perlu penggunaan paradigma yang relevan dalam
mempersepsikan Al-Qur`an itu sendiri agar tercipta kolaborasi yang serasi dan dapat memecahkan persoalan klasik yang mendihotomikan
antara teori keilmuan modern yang empirik objektif dan teks ayat yang samawi dogma agama. Sementara kalangan menilai bahwa psikologi
sebagai entitas dari representasi keilmuan yang bersifat empiris-realistis dan objektif. Sifatnya yang objektif tersebut menjauhkannya dari disiplin
ilmu keagamaan. Bahkan, di kalangan sebagian psikolog terdapat anggapan bahwa spiritualitas agama sebagai penyebab mandegnya ilmu
pengetahuan. Sebaliknya, ilmu pengetahuan dalam perspektif sebagian agamawan merupakan ancaman bagi dogma agama.
159
158
Pada mulanya analisis ini digunakan dalam kajian di bidang psikologi komunikasi guna memahami suatu tema dan elemen-elemen simbol termasuk di
dalamnya gagasan dan ide. William Morris, The Herritage Illustrated Dictionary of the English Language Boston: Houghton Mifflin Company of the Social Sciences, 1972,
Jilid 3, 371. Selanjutnya disebut Morris, The Herritage Illustrated. Analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi kesimpulan-kesimpulan
yang dapat diulang replicable dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Dan Klaus Krippendorff, Content Analysis; Introduction to Its Theory and Methodology,
terjemahan Farid Wajidi, Analisa Isi, Pengantar Teori dan Methodologi Jakarta, Rajawali Press, 1991, 15. Selanjutnya disebut Krippendorff, Analisa Isi.
159
Thouless, Pengantar, 13, dan lihat Disertasi ini, catatan kaki No. 1, 1.
34 Paradigma tersebut adalah “Theo-humanistik” yang digunakan
sebagai cara memandang keberadaan Al-Qur`an sebagai petunjuk hidup manusia sepanjang zaman yang berdimensi ke-Tuhan-an dan
kemanusiaan, serta berdimensi waktu masa lalu, masa kini, dan akan datang.
Dimensi ke-Tuhan-an berorientasi kepada tuntutan ideal Tuhan atas manusia yang tertuang dalam Al-Qur`an dan dimensi
kemanusiaannya adalah pengakuan Tuhan atas realitas manusia yang diciptakan-Nya di samping sebagai makhluk yang memiliki
keistimewaan juga memiliki kelemahan wa khuliq al-Insān ḍa’īfan. Sedangkan dimenasi masa lalu berkaitan dengan sejarah turunnya,
terutama sebab turunnya sabab al-nuzūl serta dimensi masa kini dan masa akan datang berhubungan dengan pemanfaatan fungsinya sebagai
petunjuk hidup secara maksimal dalam kehidupan individual dan komunal.
Respon Tuhan terhadap peristiwa yang terjadi di masa turunnya Al-Qur`an yang dijadikan sebagai sebab turunnya ayat atau surah sabab
nuzūl merupakan bukti pengakuan Tuhan terhadap keberadaan manusia, disamping tuntutan ideal-Nya yang merupakan basis utama “Theo-
humanistik”. Demikian pula pemanfaatan fungsinya sebagai hidayah di masa kini dan akan datang tidak dapat dilepaskan dari “Theo-
humanistik” mengingat di dalamnya terkandung tuntutan ideal Tuhan dan pengakuan-Nya akan realitas kemampuan manusia dalam berusaha
mencapai tuntutan ideal tersebut. Tuntutan ideal Tuhan semacam agar manusia menjadi sosok
muḥsin merupakan sesuatu yang logis mengingat manusia sebagai makhluk yang unik, bukan saja sebagai ḥayawān nāṭiq hewan yang
dapat berbicara dan berfikir, tetapi memiliki dimensi ke-Tuhan-an dan kemanusiaan, serta mempunyai potensi internal determinan intrinsik
dan eksternal determinan ekstrinsik yang menjadi keistimewaannya. Potensi internalnya adalah fiṭrah rūhāniyyah
160
di mana ruh manusia berasal dari ruh Tuhan, dan fiṭrah majbūlah
161
sebagai
160
QS. Al-Ḥijr15 : 29
;
maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah ditiupkan ke dalamnya ruh
ciptaan-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujudpenghormatan. Ayat lain yang dijadikan rujukan adalah QS. Al-Sajdah32 : 9, QS. Al-Anbiyā`21 : 91, dan
QS. Al-Taḥrīm66 : 12
161
Majid, Islam Doktrin, xvi.
35 pemberian Tuhan yang tidak akan mengalami perubahan dan menjadikan
manusia cenderung kepada agama
162
berupa ajaran tauhid yang berwujud dalam ma’rifat Allah wa mahabbatuh mengenal dan mencintai
Allah.
163
Sedangkan potensi eksternalnya adalah fiṭrah munazzalah berupa ajaran agama syir’ah yang tertuang dalam Al-Qur`an yang
diturunkan Tuhan untuk menguatkan fiṭrah majbūlah, dan potensi eksternal lainnya ialah fiṭrah mukammilah penyempurna berupa rasul
yang diutus Tuhan bertugas mengingatkan manusia akan pentingnya fitrah, mengokohkan, dan membantu untuk mengembangkan dan
menyempurnakannya, serta melindunginya dari segala hal yang akan merubahnya.
164
Kedua faktor tersebut internal dan eksternal yang berasal dari Tuhan menjadi penyebab manusia mempunyai konsekwensi
untuk memenuhi tuntutan ideal Tuhan. Adapun pengakuan Tuhan akan realitas kelemahan manusia, baik
sisi lahiriah, batiniah, maupun akliah menjadi faktor penyebab Ia memberikan batas-batas toleransi kepada manusia karena
keterbatasannya dalam memenuhi tuntutan ideal Tuhan, sehingga bisa jadi dalam batas-batas tertentu terdapat jurang pemisah antara realitas
dan nilai ideal. Dengan demikian Tututan dan pengakuan-Nya tersebut
menjadikan manusia, secara kualitatif terbelah menjadi dua kategori, yaitu mereka yang dapat mencapai tuntutan ideal Tuhan dan mereka yang
tidak dapat mencapai tuntutan tersebut. Golongan yang termsuk kategori kedua terbagi kepada predikat positif dam negatif. Termasuk ke dalam
predikat positif bila seseorang tetap menjadi muslim meskipun tidak mencapai derajat muḥsin, dan tergolong predikat negatif jika seseorang
menjadi pihak yang menganiaya diri sendiri ẓālim li nafsih dengan
162
QS. Al-Rūm30 : 30.
163
Dalam Islam, fitrah manusia senantiasa diidentikkan dengan konsep tauhid, karena fitrah tersebut cenderung kepada agama tauhid. Pemaknaan ini terlihat pada
penafsiran Ibn Taimiyyah atas Q.S. Al-Rūm30 : 30, ”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Ibn Taimiyyah mengkaitkannya
dengan hadis Nabi saw tentang kelahiran anak هﺬھ ﻲﻠﻋ ﺪﻟﻮﯾ دﻮﻟﻮﻣ ﻞﻛ
ﺔﻠﻤﻟا yang berarti
setiap anak yang dilahirkan cenderung kepada agama atau memiliki naluri beragama, dan dikaitkan dengan hadis lainnya yang menggunakan redaksi
مﻼﺳﻹا ﺔﻠﻣ ﻲﻠﻋ yang
maknanya setiap anak yang dilahirkan cenderung kepada Islam agama tauhid. Ibn Taimiyyah, Al-Tafsīr al-Kāmil, Juz 5, 212.
164
Ibn Taimiyyah, Al-Tafsīr al-Kāmil, Juz 5, 214.
36 julukan kafir, munafiq, musyrik, dan sebagainya. Dengan kata lain tidak
seluruh manusia dapat mencapai tuntutan ideal Tuhan. Secara esensial dapat disebutkan bahwa “Theo-humanistik” merupakan ide Tuhan yang
teraktualisasikan dalam Al-Qur`an. Beberapa ayat yang dijadikan sample sekaligus sebagai argumen
yang menunjukkan bahwa Al-Qur`an itu “Theo-humanistik” ialah ayat- ayat yang memuat ajaran ibadah serta memohon pertolongan dan jalan
yang lurus kepada Tuhan QS. Al-Fātiḥah1 : 5-7, ajaran taubat yang mana manusia berbuat dosa dan Allah siap mengampuninya QS. Al-
Taḥrīm66 : 8 dan QS. Al-Mā`idah5 : 93, sharī’ah rukhṣah dispensasi seperti orang sakit, orang yang bepergian, dan orang yang lemah tidak
mampu berpuasa dapat diganti dengan berpuasa di selain bulan Ramadan atau membayar fidyah QS. Al-Baqarah2 : 184, dan seperti diyat
menggantikan penerapan qiṣāṣ karena keluarga korban memaafkan terdakwa QS. Al-Baqarah2 : 178, orang-orang-orang yang lemah,
sakit, atau tidak memiliki persediaan nafkah bagi keluarga diperkenankan tidak ikut berjihad QS. Al-Taubah9 : 91. Alhasil, anggapan dasar yang
mengukuhkan Al-Qur`an adalah “Theo-humanistik” bermuara pada
firman-Nya “lā yukallif Allah nafsan illā wus’ahā lahā mā kasabat wa ‘alayhā mā iktasabat” Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapatkan pahala dari kebajikan yang dilakukannya, dan ia mendapatkan siksa dari kejahatan yang
dikerjakannya QS. Al-Baqarah2 : 286. Penafsiran ayat-ayat tentang manusia dengan memusatkan
sepenuhnya kepada tuntutan ideal Tuhan dengan tidak memperhatikan keberadaan kondisi manusiawi terkesan Theo-sentris, penafsirannya yang
berorientasi secara ekstrim kepada diri manusia, baik dengan kajian objektif seperti aliran psiko-analisis Freudianisme dan behaviurisme,
maupun dengan kajian gabungan antara keduanya seperti gagasan psikologi humanisme atau transpersonalnya Maslow dengan
menegasikan tuntutan ideal Tuhan cenderung Anthropo-sentris. Kolaborasi keduanya melahirkan “Theo-humanistik” yang secara implisit
meletakkan penafsiran ayat-ayat Al-Qur`an, khususnya tentang sosok manusia berhajat kepada kajian yang terpadu antara Anthropo-sentris dan
Theo-sentris sekaligus. Artinya paradigma “Theo-humanistik” membuka lebar ruang peranserta hasil kajian yang menggunakan pendekatan
anthropo-sentris. Lebih jauh paradigma ini dapat menarik lebih dekat produk
anthropo-sentris yang terkesan sekuler kepada sentuhan nilai-nilai
37 religius yang samawi wahyu, dan memanfaatkan teori-teori anthropo-
sentris sebagai pisau analisis untuk melihat dan memaknai wahyu hingga terkesan membumi atau menyentuh realitas kehidupan al-wāqi’iyyah,
dan dalam batas-batas tertentu wahyu dan kaedah-kaedah universal yang dihasilkan oleh anthropo-sentris dapat dikolaborasikan mengingat wahyu
agama dan teori-teori universal memiliki titik temu, tidak selamanya saling bersebrangan secara ekstrim, sehingga keduanya dapat
disandingkan agar terjadi dialog yang sehat, kemudian bisa menghasilkan pemilihan dan pemilahan antara yang memiliki relevansi dan tidak.
Dengan keadaan manusia yang memiliki faktor internal dan eksternal yang mempunyai posisi setara, sehingga tingkah laku manusia
ditentukan oleh peranan, pengaruh, dan tarik menarik antara keduanya.
165
Oleh karena itu, kehadiran konsep tentang Hierarchy of needs hierarki kebutuhan yang di dalamnya kebutuhan psikologis -aktualisasi diri-
terletak pada rengking tertinggi memiliki kontribusi yang berharga untuk melihat hubungan antara determinan intrinsik, terutama motif tertinggi -
aktualisasi diri- dengan peluang yang disediakan lingkungan determinan ekstrinsik.
166
Selanjutnya, materi kajian disertasi ini menyangkut tafsir tematik, oleh karenanya metode Mauḍū’iy tematik digunakan sepenuhnya dalam
menafsirkan ayat-ayat tentang muḥsin dan ayat-ayat pendukungnya dengan mengkaji pendapat-pendapat mufassir.
167
Adapun metode Mauḍū’iy itu sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu: Pertama, pembahasan mengenai satu surah secara menyeluruh dan
utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus dan menerangkan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya,
sehingga surah itu tampak dalam bentuknya yang benar-benar utuh dan cermat. Kedua, menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surah yang
sama-sama membicarakan satu masalah tertentu. Ayat-ayat tersebut
165
Pada pendapat Maslow terdapat teori yang menyeluruh tentang tingkah laku manusia yang mencakup determinan-determinan internal atau intrinsik tingkah laku dan
determinan-determinan eksternal atau ekstrinsik berikut environmentalnya. Goble, The Third Force, h. 19.
166
Hierarki kebutuhan cetusan Maslow merupakan cara yang menarik untuk melihat hubungan antara motif manusia dan kesempatan yang disediakan oleh
lingkungan. Atkinson, Introdaction, Jilid 2, h. 318.
167
Al-Khālidiy, Al-Tafsīr Al-Mauḍū’iy, 70, dan Abas, Muhāḍarāt, 20, serta M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur`an al-Karīm, Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu Bandung, Pustaka Hidayah, 1997, vi. Selanjutnya disebut Shihab, Tafsir atas Surat-surat Pendek.
38 disusun sedemikian rupa diletakkan di bawah satu tema bahasan dan
selanjutnya ditafsirkan secara Mauḍū’iy.
168
Masalah yang diteliti oleh penulis tergolong ke dalam metode Mauḍū’iy macam kedua karena berada dalam koridor dan karakteristik
metode tersebut yaitu menghimpun ayat-ayat tentang muḥsin dan ayat- ayat lainnya yang terkait yang tersebar dalam berbagai surah, kemudian
diletakan di bawah naungan sebuah tajuk “Manusia Ideal dalam Al- Qur`an Studi Profil al-muḥsin dalam perspektif Tafsir Ayat-ayat Ihsan”
yang akan dikaji secara tematis dengan pisau analisis psikologi humanistik untuk ditemukan korelasi antara keduanya, khususnya
tentang berhubungan antara sifat-sifat unggulan yang melekat pada kepribadian muḥsin dan sifat-sifat unggulan yang ditawarkan psikologi
humanistik. Dalam aplikasinya metode Mauḍū’iy tidak berarti sama sekali
terasing dari metode yang lainnya. Penerapan tafsir Mauḍū’iy tidak berarti menjadikan seorang penafsir mengabaikan macam dan metode
tafsir lainnya, melainkan memerlukan upaya kolaborasi dengan metode lain, terutama taḥlīliy. Rincian dan uraian-uraian yang tersaji dalam tafsir
taḥlīliy diperlukan dalam studi yang bersifat Mauḍū’iy.
169
Begitu juga rumusan-rumusan munāsabah dan asbāb al-nuzūl yang berlaku dalam
metode taḥlīliy berlaku pula dalam penerapan metode Mauḍū’iy karena rumusan-rumusan tersebut bersifat umum.
c. Langkah-langkah Penelitian