Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai subjek kehidupan memiliki daya tarik tersendiri hingga mendorong lahirnya kajian-kajian mendalam tentang keberadaannya yang dilakukan para pakar yang menekuni berbagai bidang keilmuan dari berbagai disiplin ilmu, baik yang bersifat empiris- realistis dengan pendekatan objektif maupun bersifat normatif keagamaan sebagai tanggung jawab akademik dan intelektualnya, mengingat manusia sebagai makhluk memiliki berbagai persoalan yang komplek, berkaitan dengan diri dan lingkungannya. Pakar psikologi tampil mengkaji manusia, termasuk manusia ideal berkualitas, dengan pandangannya yang dinilai oleh sementara kalangan sebagai entitas dari representasi keilmuan yang bersifat empiris- realistis sehingga hanya mungkin didekati dengan pendekatan objektif. Sifatnya yang objektif tersebut menjauhkannya dari disiplin ilmu keagamaan. Bahkan, di kalangan sebagian psikolog terdapat anggapan bahwa spiritualitas agama sebagai penyebab mandegnya ilmu pengetahuan. Sebaliknya, ilmu pengetahuan dalam perspektif sebagian agamawan merupakan ancaman bagi dogma agama. 1 Kajian yang dilakukan oleh para pakar psikologi tentang manusia ideal mewujudkan berbagai sebutan yang berbeda-beda. Di antara mereka menyebutnya dengan ideal self diri ideal yang diterjemahkan oleh Rogers 1902-1987 M 2 sebagai diri yang seharusnya 3 atau jenis orang yang dicita-citakan 4 yang dikomentari oleh Horney 1885-1952 1 Robert H. Thouless, An Introduction to the Psychology Religion, Penerjemah Machnun Husein, Pengantar Psikologi Agama Jakarta, Raja Grafindo, 1992, 13. Selanjutnya disebut Thouless, Pengantar. 2 Rogers memiliki nama lengkap Carl Rogers, lahir di Oak Park, Illionis, pada 8 Januari 1902 dan meninggal pada tahun 1987. Syamsu Yūsuf dan Juntika Nurihsan, Teori Kepribadian Bandung, Remaja Rosdakarya, 2007, 142. Selanjutnya disebut Yūsuf, Teori Kepribadian. 3 C. George Boeree, Personality Theories, Penerjemah Inyiak Ridwan Muzir, Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia Jogjakarta, Prismasophie, 2009, 293. Selanjutnya disebut Boeree, Personality. 4 Rita L Atkinson, Richard C. Atkinson, Ernest R. Hilgard, Introduction To Psychology Sandiego, 8 th ed, Harcourt Brace Jovanovich Internasional Edition, 1983, Jilid 2, 400. Edisi dalam Bahasa Indonesia bertajuk Pengantar Psikologi, Edisi 2 M 5 sebagai diri yang bukan menjadi tujuan yang positif, karena mustahil dan tidak realistis. Hal ini disebabkan karena Horney lebih menekankan pada konsep real self atau self realization. 6 Maslow sebagai tokoh psikologi Humanistik 7 dan Transpersonal 8 memberi nama manusia ideal dengan self actualizers. 9 Namun pandangannya mengenai hal ini meletakkan faktor pengalaman diri self experience menjadi dasar bagi self actualizers orang-orang yang mengaktualisasikan diri dalam memandang hal yang benar dan salah, bukan wahyu agama, 10 meskipun menurutnya manusia memerlukan filsafat hidup, agama atau sistem nilai, 11 dan pengalaman puncak peak experience yang menjadi salah satu dari tiga teorinya ada pada inti kedelapan, Jilid 2, Alih Bahasa oleh Nurdjannah Taufiq, Editor Agus Dharma Jakarta, Penerbit Erlangga, t.t. Selanjutnya disebut Atkinson, Introduction. 5 Nama lengkapnya adalah Karen Horney, lahir pada 16 September 1885 dan meninggal dunia pada tahun 1952. Boeree, Personality, 160-162 6 Boeree, Personality, 168, dan Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi Jakarta, PT. Bulan Bintang, 2000, 171. Selanjutnya disebut Sarwono, Berkenalan. 7 Abraham Harold Maslow 1908-1970 M, Foreword, dalam Frank G. Goble, The Third Force, The Psychology of Abraham Maslow New York, N.Y, Washington Square Press, 1971, x. Edisi Bahasa Indonesia, Aliha Bahasa Drs. A. Supratiknya, berjudul Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1991. Selanjutnya disebut Goble, The Third Force. 8 Aliran psikologi Transpersonal lahir sebagai kelanjutan dari psikologi Humanistik. Abraham Harold Maslow dan Victor Frankl 1905-1997 M yang hadir dalam pertemuan di rumah Antony Sutich 1907-1976 M di California guna membahas secara informal topik-topik yang pada waktu itu tidak diperhatikan dalam psikologi Humanistik dan gerakan potensi manusia. mengusulkan istilah Transpersonal bagi gerakan psikologi yang tengah mereka rintis. E. Capriles, Beyond Mind; Steps to a Metatranspersonal Psychology Honolulu, HI, The International Journal of Transpersonal Studies, 2000, 163-164. 9 Atkinson, Introduction, Jilid 2, 401, dan Lynn Wilcox, Criticism of Islam Psychology, terjemahan Kumalahadi P, Personality Psychoterapy, Perbandingan dan Praktik Bimbingan dan Konseling Psikoterapi Kepribadian Barat dan Sufi Jogjakarta, IrciSoD, 2006, 298. Selanjutnya disebut Wilcox, Personality. 10 Subjek-subjek yang diteliti oleh Maslow kecuali seorang yang religius menurut pengertian ortodoks dan hanya seorang yang ateis, seluruhnya percaya akan semesta yang penuh arti serta akan kehidupan yang disebut spiritual. Hampir seluruhnya dari mereka memiliki pandangan yang jelas mengenai sesuatu yang benar dan yang salah, didasarkan pada pengalaman mereka sendiri, bukan didasarkan pada penerimaan buta atas wahyu agama. Goble, The Third Force, 31. 11 Goble, The Third Force, 31. 3 agama. 12 Lebih jauh ia menilai bahwa banyak agama cenderung menekankan aspek-aspek jahat manusia sebagai sesuatu yang melekat, tetapi gagal menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur pun bersifat intrinsik melekat pula. 13 Hal ini mendorong lahirnya pertanyaan; apakah pernyataan Maslow tersebut berlaku bagi agama Islam yang sumber utamanya adalah Al-Qur`an? Kendati demikian, pertanyaan ini tidak menegasikan pentingnya humanistik Maslow digunakan sebagai alat untuk menganalisis penafsiran ayat-ayat ihsan dalam mengkaji muḥsin sebagai manusia ideal. Kalangan sufi tidak ketinggalan ikut serta secara aktif mengkajinya, di antaranya ialah Ibn ‘Arabiy w. 638 H1240 M penggagas al-Insān al-kāmil yang dipakainya untuk melabeli konsep manusia ideal yang menjadi lokus penampakan diri Tuhan. 14 Al-Jīliy 767-826 H1365-1422 M menggunakan term al-Insān al-kāmil sebagai predikat bagi konsepnya tentang manusia sempurna 15 yang dipahaminya sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai ke-Tuhan-an al-Ḥaqq, dalam arti ia mempunyai sifat-sifat sebagaimana sifat-sifat Tuhan seperti al- Ḥayy Hidup, al-‘Alīm Mengetahui, al-Qadīr Kuasa, al-Murīd Berkehendak, al-Samī’ Mendengar, al-Baṣīr Melihat, dan al- Mutakallim Berbicara. 16 12 Robert W Crapps, An Introduction to Psychology of Religion, Terjemahan AM. Harjana, Dialog Psikologi dan Agam Yogyakarta, Kanisius, 1993, 165. Selanjutnya disebut Crapps, Dialog. Dua teori lainnya adalah tentang motivasi dan aktualisasi diri self actualization. Abraham Harold Maslow, Motivation and Personality New York, Revised by Robert Froger, James Fadiman, Cynthia McReynolds, Ruth Cox, Third Edition, Longman, 1987, 125 dan 137. Edisi Bahasa Indonesia berjudul Motivasi Dan Kepribadian Bandung, Remaja Rosdakarya, 1993. Selanjutnya disebut, Maslow, Motivation. 13 Goble, The Third Force, 94. 14 Apabila diperhatikan secara seksama kelihatan bahwa subtansi konsep insan kamil, sebenarnya telah muncul dalam Islam sebelum Ibn ‘Arabiy, hanya konsep- konsep yang telah ada tidak menggunakan istilah insan kamil. Lihat lebih jauh, Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kâmil Ibn ‘Arabiy oleh al-Jīlī, Jakarta, Paramadina, 1997, 6-15. Selanjutnya disebut Ali, Manusia Citra. 15 Ali, Manusia Citra, 14. 16 ‘Abd al-Karīm ibn Ibrāhīm al-Jīliy, Al-Insān al-Kāmil fī Ma‘rifat al- Awākhir wa al-Awā`il, Mesir, Maktabah Zahrān, 1999, Juz II, 96. Selanjutnya disebut Al-Jīliy, Al-Insān al-Kāmil. Dalam pandangannya dengan memiliki nilai-nilai ke- Tuhan-an tersebut al-Insān al-kāmil memiliki tiga barzakh tingkatan, yaitu al-Bidāyah permulaan al-Tawassuṭ pertengahan, dan al-Khitām puncak. Menurutnya pada tingkat permulaan seseorang sudah memulai pada dirinya merealisasikan nama-nama 4 Pakar tafsir berusaha mernafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an yang berbicara tentang manusia, baik mufassir klasik seperti al-Ṭabariy yang mengartikan manusia sebagai khalifah yang tercantum pada surah Al- Baqarah2 : 30, 17 hingga menjelaskan dan menafsirkan term muḥsin yang menjadi predikat bagi manusia baik atau berkualitas, yang tercantum dalam Al-Qur`an, di antaranya termaktub pada surah Al-Nisā`4:125 sebagai salah satu perilaku penentu bagi seorang yang memiliki jalan hidup beragama paling benar dan penuh hidayah, 18 maupun mufassir mutakhir seperti Ibn ‘Āshūr yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan muḥsin pada ayat tersebut adalah sifat yang menjadi penentu bagi pemeluk Islam terbaik. 19 Adapun Al-Qur`an sesuai dengan fungsinya yang diyakini umat Islam sebagai petunjuk kehidupan, selain menggunakan sebutan muḥsin untuk menunjuk manusia yang baik dan berkualitas, juga menggunakan beberapa sebutan lain, di antaranya adalah muslim, mukmin, muttakin, mukhlis, dan saleh kesemuanya ini digunakan dalam rangka menggambarkan sosok pribadi yang berkualitas. 20 Istilah-istilah tersebut al-asmā` dan sifat-sifat al-ṣifāt Tuhan, sedangkan pada tingkat pertengahan seseorang sudah memiliki kemampuan mengaktualisasikan diri menjadi pusat kelembutan kemanusiaan sebagai perwujudan dari eksistensi kasih sayang Tuhan yang telah terpatri pada dirinya sejak tingkat pertama, dan pada tingkat puncak seorang hamba telah mampu mewujudkan citra Tuhan secara utuh hingga layak disifati dengan al-Jalāl keagungan wa al-Ikrām kemuliaan mengingat tingkat ini merupakan puncak pengalaman spiritual. Al-Jīliy, Al-Insān al-Kāmil, 98. 17 Dengan mengakomodir berbagai pendapat, di antaranya, Al-Ṭabariy menafsirkannya sebagai pengganti Allah yang bertugas melaksanakan ketentuan-Nya dalam mengatur kehidupan makhlauk-Nya. Pengganti itu diidentifikasinya dengan Nabi Adam dan turunannya yang patuh kepada-Nya serta melaksanakan ketentuan-Nya di tengah-tengah kehidupan mereka dengan adil. Abī Ja’far Muhammad bin Jarīr Al- Ṭabariy w. 310 H, Jāmi’ Al-Bayān fī Ta`wīl Al-Qur’ān Tafsīr Al-Ṭabariy Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1999, Jilid 1, 237. Selanjutnya disebut Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān. 18 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 4, 296. 19 Ibn ‘Āshūr mendudukkan ayat tersebut sama dengan rukun agama Islam, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Muhammad Al-Ṭāhir Ibn ‘Āshūr 1296-1399 H1879- 1973 M, Tafsīr Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr Tunis, Dār Suḥnūn, t.t, Jilid 2, Juz 5, 211. Selanjutnya disebut Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr. 20 Term-term tersebut bermakna positif dan bertalian dengan pribadi yang bermutu, semacam mukmin mewakili kepribadian yang berakidah, muslim mewakili figur yang beribadah kepada Allah dan melaksanakan hukum-hukum-Nya, dan muhsin mewakili pribadi yang berakhlak karimah. Aishah Abdurrahman Bint Al-Shāthi, Al- 5 dijadikan sebagai predikat bagi pribadi berkualitas yang terkait erat dengan perilaku keagamaannya. 21 Penggunaan term muḥsin dalam Al-Qur`an menunjukkan keberadaan posisinya yang signifikan mengingat sescara umum, setiap kosakata yang dipilih Allah swt sebagai firman-Nya memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Secara khusus term muḥsin dijadikan sebagai predikat yang merepresentasikan tingginya mutu pribadi seseorang di hadapan-Nya, yakni sebagai sosok insan yang islam, beriman, berakhlak mulia, dan merasakan kehadiran Allah dalam kehidupannya. Hal ini bermakna bahwa muḥsin merupakan figur yang mengamalkan secara konsisten tiga unsur agama Islam 22 dengan akhlak karimah yang menjadi aktualisasi kesadaran jiwa dalam bentuk perilaku kehidupan yang positif, mengingat akhlak merupakan cerminan jati diri seseorang yang berpangkal dalam lubuk hati. 23 Al-Qur`an memerintahkan manusia agar berbuat ihsan hingga mencapai derajat sebagai seorang muḥsin, figur yang berada pada puncak pengalaman spiritual dan amal 24 akibat dari kemampuan beribadah hingga merasakan mushāhadah yang mendatangkan kecintaan Allah, Maqāl fī al-Islām Mesir, Dirāsah Qur`āniyyah, Dār Al-Ma’ārif, 1966, 11. Selanjutnya disebut Bint Al-Shāṭi, Al-Maqāl. 21 Nurcholish Majid menyebutkan kata iman īmān, Islam islām, ihsan ihsān, takwa taqwā, tawakal tawakkul, dan ikhlas ikhlāṣ dikenal dalam perbendaharaan kata sehari-hari dan digunakan secara meluas. Semuanya menunjukkan berbagai kualitas pribadi seseorang yang beriman kepada Allah. Kualitas-kualitas itu membentuk simpul-simpul keagamaan pribadi. Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan Jakarta, Paramadina, 2005, 41. Selanjutnya disebut Majid, Islam Doktrin. 22 Tiga unsur agama Islam ialah Akidah, Syareat, dan Akhlak, identik dengan iman, islam, dan ihsan yang termaktub dalam hadis Jibril yang diriwayatkan Bukhari. Ahmad ibn Ali ibn Ḥajar Al-‘Asqalāniy 773-852H, Fatḥ Al-Bāriy Sharḥ Shaḥīḥ Al- Bukhāriy Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1997, Juz 1, 153. Selanjutnya disebut Al-‘Asqalāniy, Fatḥ Al-Bāriy. 23 Majid, Islam Doktrin, 41. 24 Pernyataan ini merupakan pendapat al-Harali. Burhān Al-Dīn Abī Al-Ḥasan Ibrāhīm bin Umar Al-Biqā’iy 885 H, Naẓm Al-Durar fī Tanāsub Al-Āyāt wa Al-Suwar Beirut, Dār Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2003, Jilid 1, 142. Selanjutnya disebut Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, dan M .Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`an Jakarta, Lentera Hati, 2000, Vol. 1, 199. Selanjutnya disebut Shihab, Tafsir Al-Mishbāh. 6 sperti termaktub pada surah Al-Baqarah2 : 195. 25 Ini menunjukkan bahwa posisi muḥsin penting sekali dalam kehidupan. Upaya maksimal untuk selalu berbuat ihsan agar menjadi seorang muḥsin sudah menjadi keharusan bagi setiap orang, terutama pemeluk agama Islam. Demikian setrategisnya eksistensi muḥsin hingga Allah dalam ayat tersebut menggunakan nama diri-Nya yang Maha Agung Al-Ism Al- A’ẓam lafẓ Al-jalālah 26 yang disertai dengan “inna” sebagai instrumen ta’kīd pengukuh. 27 Penggunaan pola kalimat tersebut dalam rangka Allah memberikan penghargaan kepada muḥsin dengan mencintainya. Penghargaan itu diletakan setelah ungkapan perintah-Nya agar manusia berbuat ihsan dengan sebenar-benarnya dan konsisten, yang menjadi faktor inti untuk meraih dan menempati posisi muḥsin, demikian itulah yang dilakukan Allah terhadap makhluk-makhluk-Nya. 28 Pola kalimat seperti ini menunjukkan adanya penekanan pada signifikansi pesan- pesan-Nya yang terhimpun dalam ayat. Segala hal yang diperintahkan Allah, sedangkan manusia dituntut untuk melaksanakannya dengan maksimal dan tulus diyakini membuahkan kebahagiaan, dan jika ditinggalkan mendatangkan 25 ‘Abd Al-Karīm bin Ḥawāzin bin ‘Abd Al-Mālik bin Ṭalḥah bin Muhammad Abū Al-Qāsim Al-Naisābūriy Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Tahqīq Saīd Qaṭīfat Mesir, Al-Maktabah Al-Taufīqiyyah, 1999, 148. Selanjutnya disebut Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt. 26 Disebut sebagai Al-Ism Al-A’ẓam dikarenakan Allah memiliki sifat-sifat sempurna dan nama-nama terbaik Al-Asmā` Al-Ḥusnā yang melekat pada-Nya. Abī Al-Fidā Ismā’īl Ibn Kathīr Al-Quraishiy Al-Dimashqiy w. 774, Tafsīr Al-Qur’ān Al- Aẓīm Tafsīr ibn Kathīr Makkah Al-Mukarramah, Al-Maktabah Al-Tijāriyyah, 1987, Jilid 1, 20. Selanjutnya disebut Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-Aẓīm. Sebagian ulama menyatakan bahwa sebutan Al-Ism Al-A’ẓam merupakan nama yang tidak dapat dijadikan nama bagi selain-Nya, hingga Al-Qurṭubiy menyebutkan bahwa Allah merupakan nama Terbesar yang mencakup keseluruhan nama-Nya. Dia menjadi nama bagi Wujud yang Ḥaqq, yang meliputi seluruh sifat-sifat ketuhanan. Abī Abd Allah Muhammad Al-Anṣāriy Al-Qurṭubiy w. 671 H, Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an Tafsīr Al-Qurṭubiy Kairo, Maktabah Al-Riyāḍ Al-Hadīthah, t.t, Jilid 1, 102. Selanjutnya disebut Al-Qurṭubiy, Al-Jāmi’. 27 Penggunaan inna pada kalimat berita kalām al-khabar ditujukan kepada mukhāṭab orang yang menjadi objek berita atau audience yang ragu terhadap isi berita, tetapi berkeinginan mengetahuinya, agar dia dikuasai kemudian menerimanya. Kalimat berita semacam ini disebut kalimat berita ṭalabiy, karena di dalamnya mengandung tuntutan terhadap mukhāṭab untuk membenarkan isinya. Ahmad Al-Hāsyimiy, Jawāhir Al-Balāghah fī Al-Ma’ānī wa Al-Bayān wa Al-Badī’ Indonesia, Dār Ihyā` Al-Kutub Al- ‘Arabiyyah, 1960, 59. Selanjutnya disebut Al-Hāshimiy, Jawāhir Al-Balāghah. 28 Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol. 1, 399. 7 penderitaan. Terlebih perintah menjadi muḥsin dengan melaksanakan ihsan paling tidak merasa diawasi Allah di segala segi kehidupan secara sempurna akan mendatangkan tata kehidupan yang harmoni dan berkualitas, walaupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang beragam, karena kesadaran akan pengawasan-Nya menjadikan seseorang selalu ingin berbuat sebaik mungkin. 29 Perintah dan tuntutan menjadi muḥsin bagi setiap individu merupakan sesuatu yang selayaknya diwujudkan secara kolektif sebagai manifestasi dari rasa syukur dan balas budi kepada Allah. Dengan sifat muḥsin-Nya, Dia berbuat baik kepada manusia secara berkesinambungan. Perbuatan baik-Nya kepada manusia yang tercatat dalam surah Al- Qaṣaṣ28 : 77 dijadikan sebagai pertimbangan supaya mereka berbuat ihsan sampai meraih predikat muḥsin. 30 Hal ini berarti manusia dituntut untuk meneladani-Nya dalam berbuat ihsan. 29 Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, Vol. 1, 399. 30 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 8, Juz 20, 179-180. Sedangkan Al- Ṭabariy menafsirkan ayat ini dengan menyatakan bahwa berbuat baiklah kamu di dunia dengan menginfakan harta yang telah didapatkan dari berbagai penjuru sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kamu hingga kekayaanmu diluaskan dan dimudahkan oleh-Nya. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 10, 106. Demikian pula Qurṭubiy berkenaan dengan ayat ini menafsirkan bahwa Allah memerintahkan Karun agar patuh dan berbakti kepada Allah seperti Dia telah memberikan nikmat kepadanya. Al- Qurṭubiy, Al-Jāmi’, Jilid 13, 314. Al-Bayḍāwiy w. 791 H menafsirkan ayat ini dengan mengemukakan bahwa Karun diperintah Allah untuk berbuat baik kepada sesama hamba-Nya sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadanya dengan memberikan nikmat yang tidak terhingga. Nāṣir Al-Dīn Abī Sa’īd Abd Allah ibn Umar ibn Muhammad Al-Shaerāziy Al-Bayḍāwiy, Tafsīr Al-Bayḍāwiy Anwār Al-Tanzīl wa Asrār Al-Ta’wīl Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1999, Jilid 2, 200. Selanjutnya disebut Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl. Abī Ḥayyān 654 - 745 H menyatakan bahwa penggunaan huruf kāf yang tercantum pada penggalan ayat wa ahsin kamā ahsana Allah ilaika berfungsi sebagai adāt al-tashbīh huruf yang digunakan sebagai alat untuk menyerupakan ihsan manusia dengan ihsan Allah dalam sebagian sifatnya dan sebagai huruf ta’līl yang berarti sebab. Dengan huruf kāf didudukan pada fungsi yang pertama menjadikan ihsan mutlak untuk diaplikasikan oleh manusia dengan menyerupai ihsan Tuhan. Sedangkan huruf kāf diposisikan sebagai fungsi yang kedua menjadikan ihsan Allah sebagai sebab dan teladan bagi keharusan manusia berbuat ihsan kepada sesamanya. Muhammad ibn Yūsuf Abū Ḥayyān Al-Andalusiy, Tafsīr Al-Baḥr Al-Muḥīṭ Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2001, Jilid 7, 128. Selanjutnya disebut Abī Ḥayyān, Al-Baḥr Al-Muḥīṭ. Dan Abī Al-Faḍal Shihāb Al-Dīn Al-Sayyid Mahmud Al- Baghdadiy Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Aẓīm wa Al-Sab’ Al- Mathāniy Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1994, Jilid 10, 318. Selanjutnya disebut Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī. 8 Tidak dicantumkan maf’ūl bih objek bagi fi’il amar kata kerja perintah berbuat ihsan 31 yang tercantum pada ayat tersebut menunjukkan kepada keluasan sasaran dan cakupan wilayah ihsan, yakni berbuat ihsan kepada diri sendiri dan kepada keseluruhan makhluk yang diwujudkan baik dalam tutur kata, perbuatan, ilmu, maupun harta. 32 Keluasan cakupannya menyebabkan ihsan dibutuhkan di berbagai sendi kehidupan. Ayat-ayat Al-Qur`an yang memuat term muḥsin dan derivasinya berjumlah 67 ayat yang tersebar pada 29 surah. Secara implisit keberadaan ayat-ayat tersebut memiliki kegunaan yang signifikan untuk dikaji dan dijadikan rujukan dalam menyingkap secara proporsional potret muḥsin dengan menggunakan metode tafsir Mauḍū’iy 33 dan melibatkan pendapat para pakar tafsir dengan pisau analisis psikologi humanistik yang anthropo-sentris, 34 terutama Maslow. Kolaborasi antara 31 Tidak dicantumkan maf’ūl bih objek pada kata kerja transitif atau fi’il muta’addiy kata kerja yang memerlukan maf’ūl bih yang biasa disebut dengan kaidah hadhf al-maf’ūl membuang objek dalam kalimat menjadikan kata kerja tersebut memuat pengertian yang umum dan mutlak. Apabila dicantumkan maf’ūl bih-nya, maka pengertian kata kerja tersebut menjadi terbatas hanya berkaitan dengan kata yang menjadi objeknya. Jalāl Al-Dīn ‘Abd Al-Rahmān Al-Suyūṭiy 849-911 H, Al-Itqān fī ‘Ulūm Al-Qur`ān Beirut, Dār Ibn Kathīr, 1996, Juz 2, 821. Selanjutnya disebut Al- Suyūṭiy, Al-Itqān. Ibn ‘Āshūr menyebutnya dengan hadhf muta’alliq al-ihsān menunjukan keumuman cakupan makna ihsan. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 8, Juz 20, 179, serta Al-Alūsiy, Rūḥ Al-Ma’ānī, Jilid 10, 318. Kaidah hadhf al- Muta’alliq dalam tinjauan ilmu Ma’ānī termasuk katagori al- Ījāz mengumpulkan makna yang banyak dalam kata yang sedikit, tetapi jelas yang dapat menberikan kesan di hati. Al-Hāsyimiy, Jawāhir Al-Balāghah, 222 – 226. Dengan demikian perintah berbuat ihsan tersebut meliputi kepada siapa dan apa saja. 32 Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 8, Juz 20, 179 – 180. 33 Upaya menafsirkan Al-Qur`an dengan cara mengumpulkan berbagai ayat yang tersebar di dalam surah-surah yang berkaitan langsung dengan satu judul yang telah ditetapkan maupun yang hanya memiliki kedekatan istilah atau kosakata dengannya. Ṣalāh ‘Abd Al-Fattāh Al-Khālidiy, Al-Tafsīr Al-Mauḍū’iy bayna Al- Naẓriyyah wa Al-Taṭbīq Yordan, Dār Al-Nafā`is li Al-Naṣr wa Al-Tauzī’, 1997, 30. Selanjutnya disebut Al-Khālidiy, Al-Tafsīr Al-Mauḍū’iy. 34 Psikologi humanistik yang antropo-sentris di satu pihak menggambarkan manusia sebagai makhluk yang benar-benar berdaulat. Sekurang-kurangnya berdaulat atas dirinya sendiri, di pihak lain mudah sekali memberi peluang pada manusia untuk menganggap dirinya sebagai “sang penentu tunggal yang paling berdaulat” dan “mahakuasa omnipotence” yang mampu melakukan play-God, sekalipun dalam pringkat manusiawi. Hanna Djumhana Bastaman, Dari Anthropo-sentris ke Anthropo- Religius-Sentris -Telaah Kritis Atas Psikologi Humanistik- dalam Membangun Paradigma Psikologi Islami Yogyakarta, Sipress, 1994, 85. Selanjutnya disebut Bastaman, Dari Anthropo-sentris. 9 pemaknaan teks Al-Qur`an yang dilakukan oleh para pakar tafsir yang bersifat normatif religius 35 dengan psikologi humanistik yang empiris dan anthropo-sentris 36 penting dilakukan untuk didudukkan secara proporsional, yakni bacaan psikologi tersebut dijadikan media yang dapat melengkapi tafsir, terlebih Al-Qur`an bersifat terbuka untuk ditafsirkan. Pakar tafsir bi al-Ma`thūr 37 dengan metode tafsir Taḥlīliy 38 seperti Al-Ṭabariy 224-310 H 39 dan Ibn Kathīr 700-774 H, 40 dan pakar tafsir 35 Seperti tafsir bi al-Ma`tsūr, bi al-Ra`yi, dan bi al-Ishārah. Pembagian ini didasarkan kepada sumber rujukannya. 36 Merujuk pada kata anthropos manusia dan sentris pusat, maka anthropo- sentris adalah pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala pengalaman dan relasi-relasinya, penentu semua peristiwa yang menyangkut masalah manusia dan kemanusiaan. Bastaman, Dari Anthropo-sentris, 83. 37 Tafsīr bi al-Ma`tsūr ialah penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat dengan hadis Nabi Saw, penafsiran ayat dengan pendapat shahabat dan penafsiran ayat dengan pendapat Tabi’in. Muhammad Husein Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn Beirut, Dār Al-Turāth Al-‘Arabiy, 1976, juz 1, 152. Selanjutnya disebut Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn. 38 Upaya mufasir menafsirkan ayat demi ayat yang terdapat dalam setiap surah sesuai dengan urutan yang tercantum dalam mushhaf Usmaniy dengan analisis yang luas dan terinci dari berbagai segi dan sudut pandang seperti masalah akidah, bahasa, balagah, riwayat, qiraat, fiqih, perbedaan pendapat, munasabah, sabab turun ayat, dan lain-lain. Al-Khālidiy, Al-Tafsīr Al-Mauḍū’iy, 27. 39 Nama lengkapnya Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Ṭabariy, dilahirkan di Ṭabrastān Iran Utara pada tahun 224 H dan wafat di Baghdad pada tahun 310 H. Sebagai tokoh yang diakui kepakarannya al-Thabariy hafal Al-Qur`an, tajam penglihatannya terhadap isi Al-Qur`an, mengetahui makna-maknanya dengan sempurna, memahami dengan akurat hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, menguasai hadis Nabi saw dan transmisi berikut keshahihan dan kelemahannya, mumpuni dalam keahliannya di bidang pendapat-pendapat para sahabat dan tabi’in serta para pakar hukum yang berbeda pendapat yang hidup setelah mereka. Abī Al-‘Abbās Ahmad bin Muhammad bin Ibrāhīm bin Abī Bakr bin Khallikān w. 681 H, Wafiyyāt Al-A’yān wa Abnā` Al-Zamān Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1998, Jilid 4, 43-45. Selanjutnya disebut Ibn Khallikān, Wafiyyāt Al-A’yān. Dan Tāj Al-Dīn Abī Naṣr ‘Abd Al-Wahhāb bin Ali bin ‘Abd Al-Kāfiy Al-Subukiy 771 H, Ṭabaqāt Al-Shāfi’iyyah Al-Kubrā Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1999, Juz 2, 92-93. Selanjutnya disebut Al- Subukiy, Ṭabaqāt Al-Shāfi’iyyah. Dan Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn, Juz 1, 205, serta Ṣalāh ‘Abd Al-Fattāh Al-Khālidiy, Ta’rīf Al-Dārisīn bi Manāhij Al- Mufassirīn Damaskus, Dār Al-Qalam, 2006, 342-343. Selanjutnya disebut Al- Khālidiy, Ta’rīf Al-Dārisīn. Dan Ahmad bin Muhammad Al-Adnarawiy, Ṭabaqāt Al- Mufassirīn Madinah Munawwarah, Maktabah Al-‘Ulūm wa Al-Hikam, 1997, 48-51. Selanjutnya disebut Al-Adnarawiy, Ṭabaqāt Al-Mufassirīn. 40 Nama lengkapnya ‘Imād Al-Dīn Abū Al-Fidā’ Ismail bin Al-Khaṭīb abi Hafsh ‘Umar bin Kathīr Al-Qurashiy Al-Dimashqiy Al-Shāfi’iy, dilahirkan di daerah 10 bi al-Ra`yi 41 semacam al-Bayḍāwiy w. 691 H, 42 Ṭanṭāwi al-Jauhariy 1287-1358 H, 43 dan al-Shaukāniy 1173-1250 H 44 dijadikan rujukan Bushrā yang terletak di negeri Syam pada tahun 700 H dan wafat di Damaskus pada tahun 774 H, kuburannya berdekatan dengan kuburan gurunya, Al-Mizziy dan Ibn Taimiyyah. Di usia tiga tahun ayahnya meninggal dunia, dan ia diasuh oleh kakaknya bernama ‘Abd Al-Wahhāb bin Abū Hafsh Umar, yang kemudian menetap bersama di Damaskus untuk menuntut ilmu kepada ulama besar yang terkemuka, di antaranya Abū Al-Ḥajjāj al-Mizziy, Ibn ‘Asākir, dan Ibn Taimiyyah. Tokoh yang disebut pertama penyusun kitab Tahdhīb Al-Kamāl fī Asmā` al-Rijāl mengagumi kepandaian dan kesalehan Ibn Kastīr, kemudian menikahkannya dengan seorang putrinya bernama Zaenab. Dia secara khusus menekuni kajian bidang tafsir, hadis, dan tarikh. Al- Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn, Jilid 1, 242, dan Al-Khālidiy, Ta’rīf Al-Dārisīn, 381-382, serta Al-Adnarawiy, Ṭabaqāt Al-Mufassirīn, 260-261. 41 Tafsir bi al-Ra’yi ialah penafsiran ayat Al-Qur`an dengan ijtihad setelah seorang mufasir benar-benar menguasai seluk beluk bahasa Arab, asbāb al-nuzūl, nasikh mansukh, dan hal-hal lain yang dihajatkan seorang mufassir. Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn, juz 1, 255. 42 Nama lengkapnya Nāṣir Al-Dīn Abī Sa’īd Abd Allah ibn Umar ibn Muhammad Al-Shaerāziy Al-Bayḍāwiy. Tahun kelahiran Al-Bayḍāwiy tidak diketahui oleh para pakar, tetapi ia dilahirkan di Baedhā`, Persi, dan wafat di daerah Tibrīz, Persi, pada tahun 685 menurut mayoritas ulama, dan pada tahun 691 menurut sebagian ulama. Sebagai seorang ilmuwan Al-Bayḍāwiy memiliki konsentrasi kajian, yakni di bidang Ushūl Al-Dīn dengan karyanya bernama Ṭawāli’ Al-Anwār, Uṣūl Al-Fiqh yang dituangkan dalam karangannya bernama Minhāj Al-Wuṣūl ilā ‘Ilm Al-Uṣūl, dan tafsir dengan hasil pikirannya yang tertulis dalam Anwār al-Tanzīl wa Asrār Al-Ta’wīl. Al- Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn, Jilid 1, 297, dan Al-Khālidiy, Ta’rīf Al-Dārisīn, 426. 43 Dia bernama Ṭanṭāwiy bin Jauhariy Al-Miṣriy, lahir di daerah ‘Iwadh Allah Hijāziy pada tahun 1287 H atau 1870 M, dan wafat 1358 H atau 1940 M. Di masa hidupnya ia disibukkan dengan kajiannyas di bidang tafsir dan ilmu hadis hingga melahirkan karya tulis monumentalnya Al-Jawāhir fī Tafsīr Al-Qur`an Al-Karīm. Karyanya ini dilatarbelakangi oleh gagasan besarnya tentang adanya ketakjuban terhadap alam dan keindahan makhluk. Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn Juz 2, 505-506, dan Faḍl Hasan Abas, Al-Mufassirūn, Madārisuhum wa Manāhijuhum Yordan, Dār al-Nafā`is li Al-Naṣr wa Al-Tauzī’, 2007, 301-302. Selanjutnya disebut Abas, Al-Mufassirūn. 44 Nama lengkapnya Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Shaukāniy, lahir di daerah Shaukān yang letaknya berdekatan dengan kota Shan’ā` di Yaman pada tahun 1173 H dan wafat di Ṣan’ā` pada tahun 1250 H. Sebagai pakar Islam yang mumpuni Al- Shaukāniy memiliki keahlian di bidang tafsir, hadis, fiqih, tauhid, lughah, tasawwuf, dan mantiq yang tercermin dalam karya tulisnya yang banyak, di antaranya; Fatḥ Al- Qadīr – Al-Jāmi’ Bayna Fannay Al-Riwāyat wa Al-Dirāyat min ‘Ilm Al-Tafsīr, Nail Al- Awṭār, Al-Wasyy Al-Marqūm fī Tahrīm Al-Tahalliy bi Al-Dhahab li Al-Rijāl ‘alā Al- ‘Umūm, Al-Durr Al-Naḍīd fī Ikhlāṣ Kalimat Al-Tauhīd, Nuzhat Al-Ahdāq fī ‘Ilm Al- Ishtiqāq, Qaṭr Al-Waliy fī Ma’rifat al-Waliy, dan Umniyyat Al-Matshūq ilā Ma’rifat 11 penting. Selain itu pakar tafsir bi al-Ishārah 45 tidak ketinggalan dilibatkan untuk memperkaya maknanya, semisal al-Qushaeriy 376-465 H 46 dalam menafsirkan ayat-ayat yang menampung term muḥsin mengkaitkannya dengan hadis Nabi tentang tiga unsur agama, yakni islam, iman, dan ihsan. Hadis tersebut berbentuk dialog antara Nabi dengan malaikat Jibril as. Pertanyaan malaikat Jibril tentang ihsan dijawabnya dengan mengemukakan bahwa; Ihsan ialah beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan apabila kamu tidak melihat- Nya, maka sesungguhnya Dia melihat kamu. 47 Sudah menjadi kenyataan di kala Al-Qur`an menawarkan muḥsin sebagai konsep insan ideal, para pakar tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat ihsan, di samping memiliki persamaan, terdapat pula perberbedaan interpretasi di antara mereka. Hal ini wajar dikarenakan term muḥsin Hukm ‘Ilm Manṭiq. Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr – Al-Jāmi’ Bayna Fannay Al-Riwāyat wa Al-Dirāyat min ‘Ilm Al-Tafsīr, Beirut, Dār Al- Kutub Al-‘Ilmiyyat, t.t, Juz 1, 3-8. Selanjutnya disebut Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr. Dan Al-Khālidiy, Ta’rīf Al-Dārisīn, 337-338. 45 Tafsir bi al-ishārah ishāriy menakwilkan ayat-ayat Al-Qur`an berbeda dengan arti lahirnya berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang tampak jelas bagi para pemimpin suluk, tetapi dapat ditemukan dengan maksud makna lahirnya. Al- Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn Juz 2, 352. 46 Al-Qushairiy memiliki nama lengkap ‘Abd Al-Karīm bin Ḥawāzin bin ‘Abd Al-Mālik bin Ṭalḥah bin Muhammad Al-Naisābūriy Abū Al-Qāsim Al-Qushairiy lahir pada tahun 376 H di desa Istuwa wilayah Naisabur Khurasan Iran dan wafat pada tahun 465 H di Naisabur. Pemikirannya dipengaruhi oleh guru-gurunya yang menjadi ulama besar, di antaranya Ibn Faurak dan Abū Ishāq al-Isfirāyīniy. Pergumulan keilmuannya berakhir di pangkuan gurunya yang sufi Abī Ali Al-Daqqāq hingga ia menjadi sufi. Karya tulisnya yang terkenal, menggambarkan kesufiannya, di antaranya Al-Risālah Al- Qushairiyyah, Shikāyat Ahl Al-Sunnah, Kitāb Al-Taisīr fī ‘Ilm Al-Tafsīr, dan Laṭā`if Al-Ishārāt. Ibn Khallikān, Wafiyyāt Al-A’yān, Jilid 3, 176-178, dan Al-Subukiy, Ṭabaqāt Al-Shāfi’iyyah, Juz 3, 150-155, serta Al-Adnarawiy, Ṭabaqāt Al-Mufassirīn, 125-127, juga Muqaddimah yang ditulis oleh Manī’ ‘Abd al-Halīm, guru besar Tafsir dan Ilmu Hadis di fakultas Ushuluddin Universitas Azhar, dalam Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Juz 1, Ba. 47 Hadis riwayat Muslim memiliki redaksi yang berbeda dengan hadis yang diriwayatkan Bukhari, terutama dalam meletakkan urutan unsur-unsur agama Islam. Muslim meletakan islam lebih dulu dari iman. Sedangkan Bukhari menempatkan iman lebih dulu dari islam, dan ihsan oleh keduanya diletakkan pada urutan ketiga. Muḥyi Al- Dīn Yahya bin Sharaf Abī Zakariyā Al-Nawawiy Al-Damshiqiy Al-Shāfi’iy, Ṣaḥīḥ Muslim bi Sharḥ Al-Nawawiy Al-Minhāj Beirut, Dār Al-Iḥyā` Al-Turāth Al-‘Arabiy, 2000, Jilid 2, 5-17. Selanjutnya disebut Al-Nawawiy, Al-Minhāj. 12 yang berasal dari ihsan termasuk pada al-wujūh 48 yang oleh al-Zarkashiy diartikan sebagai kosakata yang mempunyai makna ganda al-lafaẓ al- mushtarak yang digunakan untuk makna beragam. 49 Perbedaan penafsiran di antara mereka apakah memiliki porsi yang memadai untuk menggambarkan profil muḥsin sebagai konsep pribadi ideal yang memiliki nilai lebih jika dibandingkan dengan konsep Self Actualizer yang ditawarkan Maslow, mengingat perbedaan pendapat tersebut memasukan eksistensi muḥsin ke dalam ruang lingkup makna yang membutuhkan penjelasan yang teliti, sekaligus perbedaan tersebut menggambarkan perbedaan paradigma dan wawasan mereka. Meski, di satu sisi, perbedaan tersebut dapat dipahami sebagai hazanah intelektual muslim yang bermuatan rahmat dan sebagai keniscayaan yang alami. Akan tetapi, di sisi lain, manakala tidak tepat meletakkannya berakibat negatif bagi umat Islam. Abdullah bin Abbas ra w. 68 H, 50 misalnya, mengartikan muḥsin dengan orang yang memperindah tutur kata dan perbuatan. 51 Ini berarti muḥsin adalah pelaku ihsan yang memiliki perangai mulia, yang konsisten berupaya menciptakan suasana komunikasi yang kondusif dengan berbagai pihak, baik dalam dimensi vertikal, horisontal maupun dengan lingkungan alam sehingga terhindar dari segala hal yang mendorong dan merangsangnya melakukan aktivitas yang tidak etis. 48 Salwa Muhammad Al-‘Awwal, Al-Wujūh wa al-Naẓā`ir fī al-Qur`ān Mesir, Dār al-Shurūq, 1998, 208-209. Selanjutnya disebut Salwa, Al-Wujūh. 49 Badr al-Dīn Muhammad bin ‘Abd Allah Al-Zarkashiy w. 794 H, Al- Burhān fī ‘Ulūm Al-Qur`an Beirut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001, Jilid 1, 134. Selanjutnya disebut Al-Zarkashiy, Al-Burhān. 50 Nama lengkapnya Abdullah bin Abbas bin Abdul Muṭallib bin Hashim bin Abd Manaf Al-Qurashiy Al-Hashimiy, saudara sepupu Nabi saw. Lahir di Mekkah tiga tahun sebelum Hijrah dan wafat di Ṭaif pada tahun 68 H. Julukan al-Baḥr dilekatkan kepadanya karena`banyak ilmu yang dimiliki, predikat Ḥabr al-Ummat wa Turjumān Al-Qur`an pemimpin ummat dan penterjemah Al-Qur`an diterimanya sehubungan keistimewaan dan kemahiranya menafsirkan dan mena`wil Al-Qur`an, dan titel orang yang paling paham makna Al-Qur`an diberikan kepadanya oleh Umar bin khaṭab. Keberadaannya seperti ini menjadikannya menempati posisi yang agung dalam berijtihad dan mengetahui arti Al-Qur`an. Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn Juz 1, 65, dan Al-Khālidiy, Ta’rīf Al-Dārisīn, 236-237. 51 Tafsirnya tersebut berkaitan dengan surah Al-Baqarah2 : 112. Majd Al-Dīn Muhammad bin Yaqub Al-Fayrūzābādi Al-Shāfi’iy 729–817 H, Tanwīr Al-Miqyās fī Tafsīr Ibn Abbas Beirut, Dār Iḥyā` Al-Turāth Al-‘Arabiy, 2002, 17. Selanjutnya disebut Al-Fayrūzābādi, Tanwīr Al-Miqyās. 13 Samarqandiy w. 375 52 cenderung menginterpretasikan muḥsin dengan pelaku monotaisme yang loyalis, 53 tetapi dalam kesempatan lain ia menafsirkannya dengan orang yang mempercantik amal, 54 dan al- Suyūṭiy 849-911 H 55 menafsirkannya sejalan dengan Samarqandiy, mengidentikkan muḥsin dengan orang-orang beriman atau bertauhid. 56 Ibn Kathīr 700-774 H menafsirkan muḥsin sebagai orang yang mengikuti keteladanan Nabi saw representasi pengamalan ajaran agama, yang menjadi salah satu syarat dari dua syarat diterimanya amal seseorang, 57 tetapi dalam bagian lain penafsirannya tentang muḥsin sebagai orang yang telah mencapai tingkat ketaatan tertinggi, karena 52 Samarqandiy mempunyai nama lengkap Abī Laith Nashr bin Muhammad bin Ibrāhīm al-Samarqandiy. Tahun kelahirannya diperkirakan antara 301-310 H, dan tahun wafatnya diperselisihkan oleh para pakar tafsir antara tahun 373, 375, 376, 383, 393, dan 396 H. Julukan Al-Fāqih dianugerahkan para ulama kepadanya sehubungan keahliannya di bidang fiqih yang mumpuni. Di antara kitab fiqih yang terkenal sebagai karyanya adalah al-Nawāzil dan Khazānat al-Fiqh. Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al- Mufassirūn, Juz 1, 224-225, dan lihat Ali Muhammad Mu’awwadh, Adil Ahmad Abdul Maujud, dan Zakariya Abdul Majid al-Nautiy dalam Abī Laits Nashr bin Muhammad bin Ibrāhīm Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Tafsir Al-Samarqandiy, Al-Mabḥath Al- Awwal Ḥayāt Abī Laith Al-Samarqandiy Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1993, Juz 1, 6-7. Selanjutnya disebut Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm. 53 Seperti penafsirannya terhadap surat Al-Māidah5 : 85. Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 1, 454. 54 Sebagaimana penafsirannya terhadap surah al-Baqarah2 : 112. Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm, Juz 1, 150. 55 Nama lengkapnya Jalāl Al-Dīn ‘Abd Al-Rahmān bin Abī Bakr bin Muhammad Al-Suyūṭiy Al-Shāfi’iy, lahir pada bulan Rajab 849 H dan wafat pada malam Jum’at 19 Jumādī al-Ûlā 911 H. Sebagai pecinta Ilmu Al-Suyūṭiy belajar kepada para ulama besar hingga menjadi pakar di bidang ilmu tafsir, hadis, fiqh, nahwu, ma’ani, bayan, dan badi’. Karyanya yang monumental adalah al-Durr al-Manthūr fī Al- Tafsīr Al-Ma`thūr dan al-Itqān fī ‘Ulūm Al-Qur`an. Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al- Mufassirūn Juz 1, h. 251-252, dan Jalāl Al-Dīn ‘Abd Al-Rahmān bin Abī Bakr bin Muhammad Al-Suyūṭiy, Al-Durr Al-Manthūr fī Al-Tafsīr Al-Ma`thūr Beirut Dār Al- Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2000, Jilid 3, 172. Selanjutnya disebut Al-Suyūṭiy, Al-Durr Al- Manthūr. 56 Ia menyatakan bahwa muḥsinīn adalah mu’minīn, dan barang siapa tidak beriman, maka ia termasuk mufsidīn orang-orang yang merusak bumi. Al-Sayūthiy, Al-Durr Al-Manthūr, Jilid 1, 4-6. 57 Tafsirnya ini berkenaan dengan surah al-Baqarah2 : 112. Menurutnya amal seseorang akan diterima Allah swt, jika memenuhi dua syarat, yakni dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan yang dimalkan Nabi saw syareat. Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm, Jilid 1, 155. 14 ihsan dijadikannya sebagai faktor penentu yang mengantarkan suatu amal mencapai puncak kualitas. 58 Al-Bayḍāwiy w. 691 H menginterpretasikan muḥsin adalah pribadi yang mempercantik amal dan akhlak. 59 Penafsirannya mendeskripsikan muḥsin sebagai sosok insan yang berorientasi kepada keunggulan kepribadian serta kualitas amal dan perilaku, ini berarti berupaya dengan sungguh-sungguh dan berkesinambungan mewujudkan sifat-sifat mulia dalam dirinya. Bagi Ṭanṭāwi al-Jauhariy 1287-1358 H 60 ihsan dinilainya mencakup segenap aspek kehidupan, seperti ihsan di bidang karya dan aktivitas beramal serta di bidang ketaatan dengan menambah kegiatan yang disunatkan dan menyempurnakannya dengan cara menghadirkan hati dan ikhlas. 61 Penafsirannya tentang ihsan yang inklusif meletakkan posisi muḥsin sebagai sosok yang kaya amal berkualitas yang menjadi implikasi dari kepatuhan yang ilegan kepada Allah. Al-Harāliy menyebutkan muḥsin bentuk ajektif partisipal berasal dari kosakata ihsan, dan meletakkannya pada tempat tertinggi yang menjadi puncak kebajikan amal perbuatan seseorang. 62 Pendapatnya yang apresiatif mengesankan muḥsin menjadi figur yang telah mencapai puncak tertinggi dalam kebaikan beramal. Al-Qushayriy 376-465 H menyatakan bahwa muḥsin ialah orang yang mengetahui sesuatu yang dikerjakan dan digunakannya, sehingga berbuat ihsan dengan konsisten dalam rangka membekali diri untuk 58 Makna ini berkaitan dengan penafsirannya terhadap surah al-Baqarah2 : 195. Baginya penggandengan perintah berinfak dengan perintah berihsan suatu hal yang signifikan, karena ihsan merupakan tingkatan taat yang tertinggi. Ibn Kathīr, Tafsīr Al- Qur’ān Al-‘Aẓīm, Jilid 1, 230. 59 Potret muḥsin tersebut berhubungan dengan penafsirannya terhadap surah al- Baqarah2 : 195. Al-Bayḍāwiy, Anwār al-Tanzīl, Jilid 1, 109. 60 Ia menilai pentingnya penafsiran dengan corak keilmuan, karena menurutnya ayat-ayat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan tidak kurang dari 750 ayat, sedangkan ayat-ayat yang sharīh jelas berhubungan dengan fiqih hanya mencapai 150 ayat. Ṭanṭāwiy Jauhariy, Al-Jawāhir fī Tafsīr Al-Qur`an Al-Karīm Al-Mushtamil ‘alā ‘Ajā`ib badā`i’ Al-Mukawwanāt wa Gharā`ib Al-Āyāt Al-Bāhirāt Beirut, Dār Ihyā` Al- Turāth Al-‘Ārabiyyah, 1991, Juz 1, 3. Selanjutnya disebut Jauhariy, Al-Jawāhir. 61 Pendapatnya ialah ammā al-iḥsān fahuwa ‘alā manāh shattā ka al-iḥsān fī al-ṣinā’āt wa al-a’māl wa al-iḥsān fī al-ṭā’at wa hādhā qismayn: al-awwal; al-ziyādah fīhā bi al-Nawāfil wa yadkhulu fīhi al-iḥsān li al-nās wa al-thāniy; itmāmuhā kaḥuḍūr al-qalb fī al-ṣalāt wa al-Ikhlāṣ fī al-ṣadaqāt. Jauhariy, Al-Jawāhir, Juz 8, 186. 62 Ia menyatakan ihsan merupakan al-bulūgh ilā al-ghāyat fī ḥusn al-‘amal. Al- Biqā’iy, Nazhm Al-Durar, Jilid 1, 142. 15 menghadapi hari akhirat sebagaimana tunduk kepada Allah dengan loyalitas tinggi dalam segala hal ihwalnya sehingga kehidupan dunia tidak melalaikannya dari mushāhadah dan kehidupan akhirat tidak menyibukkannya untuk melihat Allah. 63 Konsep tersebut mencerminkan penekanannya pada upaya mengasah aspek fisik dan sepiritualnya hingga mencapai tingkat tertinggi, yaitu ketundukan yang terlihat dari lahiriyahnya dan berusaha melihat Allah dengan ketajaman sepiritualnya, dengan kata lain lahiriyahnya sarat dengan semangat mengabdi dan sujud, sedangkan sepiritualnya tajam membuka tabir dan eksis. Hal ini sejalan dengan makna ihsan. 64 Toshihiko Izutsu menyamakan kata muḥsin dengan muttaqin orang yang bertakwa. Sedangkan artinya yang konkrit, secara eksplisit, menurut Izutsu dapat digambarkan dalam sosok pribadi yang berorientasi kepada segala bentuk aktivitas kepatuhan, 65 yang dijadikan contohnya berkenaan dengan makna tersebut ialah surah Al-Dhāriyāt51 : 15-19. 66 Dengan mengutip surah Luqmān31 : 3-5, surah Al-Kahfi18 : 30, dan surah Al-Ṣaffāt37 : 105-106, Izutsu mendudukkan muḥsin hampir sama dengan orang yang melaksanakan amal saleh. 67 Pemaknaan tersebut terinspirasi oleh pandangannya yang menyebutkan bahwa secara umum aḥsana yang ajektif partisipalnya adalah muḥsin, bermakna berbuat baik, tetapi dengan aktual Al-Qur`an memakainya untuk dua klasifikasi 63 Penafsirannya tersebut berhubungan dengan usahanya menyingkap makna yang termuat dalam surah al-Baqarah2 : 112. Al-Qushairiy, Lathā`if al-Isyārāt, Jilid 1, 99. 64 Al-Qushayriy, Lathā`if al-Ishārāt, Jilid 1, 99. 65 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur`ān Montreel, McGill Univercity Press, 1966, 224. Selanjutnya disebut Izutsu, Ethico. 66 Sebagai perbandingan pakar tafsir seperti Ibn ‘Aṭiyyah menyatakan bahwa Muḥsin adalah pribadi yang mengisi hidupnya dengan kepatuhan dan amal shaleh. Ini berarti pada surah Al-Dhāriyāt51 : 16 Allah swt mendudukkan term muḥsinīn sebagai predikat yang sepatutnya ditempuh oleh seseorang selama hidup di dunia untuk mencapai pribadi bertakwa yang menempati surga. Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar, 1762. Lebih jauh al-Rāziy menafsirkan muḥsinīn yang termaktub pada ayat tersebut berkaitan dengan harga surga yang layak dibayar dengan ihsan yang melekat pada diri muḥsin. Dengan kata lain para ahli ihsan mendapatkan dan memiliki surga karena ihsannya. Interpretasinya tersebut merujuk kepada surah Yūnus10 : 26. Fakhr Al-Dīn Muhammad bin Umar bin Al-Ḥusain bin Al-Hasan ibn Ali Al-Tamīmiy Al-Bakriy Al-Rāziy Al- Shāfi’iy 544-604 H, Al-Tafsīr al-Kabīr, Mafātiḥ Al-Ghayb Beirut, Dār Al-Kutub Al- ‘Ilmiyyah, 1990, Jilid 14, Juz 28, 173. Selanjutnya disebut Al-Rāziy, Al-Tafsīr Al- Kabīr. 67 Izutsu, Ethico, 224-225. 16 kebaikan, yakni kepatuhan mendalam kepada Tuhan dan segenap perbuatan manusia yang bersumber darinya, serta segala kegiatan yang didorong oleh semangat ḥilm. 68 Pendapat-pendapat di atas mewakili dua versi arus pemikiran tentang muḥsin, yaitu versi yang memahami muḥsin dengan wawasan luas dan mengintegrasikannya dengan segi-segi kehidupan manusia yang kompleks komprehensif serta versi yang memandang muḥsin dengan paradigma yang sempit dan parsial. Meskipun demikian kedua versi arus pemikiran tersebut memiliki titik temu pada kesamaan penekanan muḥsin sebagai pribadi yang mempunyai sifat-sifat mulia dan mengedepankan kualitas amal dalam kerangka merasakan kebersamaannya dengan Tuhan, dan keduanya meletakkan muḥsin sebagai pribadi yang merepresentasikan profil insan berkepribadian unggul atau manusia ideal. Sedangkan perbedaan antara kedua pendapat tersebut terletak pada luas atau sempitnya cakupan. Dalam konteks inilah dipandang penting melakukan telaah mengenai muḥsin sebagai manusia ideal dalam perspektif Al-Qur`an, terutama ayat-ayat ihsan dengan metode tafsir Mauḍū’iy bercorak ‘ilmiy. 69 Terlebih jika telaah tersebut disertai pisau analisis psikologi humanistik, khususnya mengenai kajian yang bertalian dengan karakteristik muḥsin yang mengandung dimensi psikis. Hal ini dilakukan dalam rangka menjelaskan keberadaan dan karakteristik muḥsin yang kental nuansa agamisnya, bahkan sarat metafisis. 70 Sedangkan Maslow dengan konsep self actualizer-nya melibatkan dimensi spiritual, hanya terkesan mencerca para agamawan, terutama para pemimpin agama yang memajukan lembaga keagamaan mereka. 71 Konsepnya ini berjalan di atas 68 Izutsu, Ethico, 224. 69 Al-Qur`an mencantumkan ayat-ayat yang menunjukkan berbagai kenyataan ilmiah dalam berbagai bidang, kendati tidak disebutnya nama ilmu pengetahuan itu atau diuraikannya secara rinci. Berbagai jenis ilmu pengetahuan membantu penafsiran sebagian makna al-Qur`an, dan besar manfaatnya untuk mengungkapkan kenyataan- kenyataan yang terdapat dalam kandungan ayat-ayatnya. Pengungkapan berbagai kenyataan ilmiah itu perlu keberanian untuk menggali dan menyelami maknanya yang signifikan jumlahnya. Ahmad al-Shirbāṣiy, Qiṣṣat al-Tafsīr Mesir, Dār Al-Qalam, 1962, 123. Selanjutnya disebut al-Shirbāṣiy, Qiṣṣat. 70 Hal ini berkenaan langsung dengan konsep dasar ihsan yang memberi peluang bagi seseorang dapat melihat Tuhan atau merasakan penyertaan-Nya. 71 Robert W. Crapps, An Introduction to Psychology of Religion, Terjemahan A.M. Hardjana, Dialog Psikologi dan Agama Sejak William Jimes hingga Gordon W. 17 teori psikologi yang menggunakan pendekatan fenomenologis 72 yang memiliki peluang yang memadai untuk disandingkan dalam membaca karakteristik muḥsin lebih jauh mengingat pendekatan ini menekankan pada pengalaman subjektif. Bagi Maslow psikologi dinilainya dapat menjangkau urusan moral dan spiritual, meskipun dalam kesimpulannya kedua hal tersebut masuk dalam wilayah alam ramai dan sebagai bagian dari ilmu alam. 73 Berangkat dari pemikiran di atas masalah pokok yang akan dikaji dalam disertasi ini adalah bagaimana pencitraan Al-Qur`an, terutama ayat-ayat ihsan secara hakiki terhadap muḥsin sebagai manusia ideal yang bisa jadi melebihi term-term lainnya seperti muslim, mukmin, muttakin, mukhlis, atau salih yang kesemuanya menunjukkan pada kualitas pribadi 74 agar didapatkan potretnya yang komprehensif, yang memungkinkan karakteristiknya melibihi konsep self actualizer-nya Maslow. B. Perumusan Masalah Pada bagian ini dipaparkan dua hal, yaitu:

a. Identifikasi dan Pembatasan Masalah