Penyembelihan Hewan Ternak Konsep manusia ideal dalam al-qur'an (studi profil al-Muhsin dalam perspektif tafsir ayat-ayat ihsan)

266 sebagian pakar tafsir disebutkan kandungannya tidak semata-mata berhubungan dengan harta fai harta rampasan yang didapat tidak dengan peperangan, tetapi bersifat umum, mencakup segenap hal yang dibawa oleh Nabi saw, baik berupa perintah atau larangannya, baik berupa perkataan atau perbuatan, baik yang wajib dan sunah maupun yang haram. Meski sebab turunnya ayat ini menunjukkan khusus, tetapi pengertiannya diambil dari keumuman teksnya. 1161 Secara fungsional ayat ini berperan menghapus tradisi jahiliyah yang membagikan harta rampasan perang kepada para pemimpin dan pembesar dari kalangan mereka, tanpa memperhatikan orang-orang yang lemah dan fakir. Para pemimpin dan pembesar terlebih dahulu mengambil seperempatnya, kemudian sisanya diambil sesuka mereka. 1162 Demikian pula ayat ini memiliki urgensi mendistribusiakannya tidak lagi kepada tentara perang semata, melainkan kepada beberapa golongan yang layak menerimanya seperti untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak- anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. 1163 Ini berarti esensi pesannya adalah harta milik publik, termasuk hasil zakat dan sedekah didistribusikan secara merata dan adil kepada mereka yang berhak menerimanya. Komitmen seorang muḥsin dengan keadilan dalam pendistribusian harta zakat dan sedekah merupakan manifestasi dari sifatnya yang berorientasi kepada mengerjakan ibadah dengan sebaik mungkin hingga seolah-seolah melihat Allah swt atau merasa diawasi, dan memberi sesuatu kepada pihak lain melebihi dari yang seharusnya diberikan, serta melihat dirinya pada posisi kebutuhan orang lain.

b. Penyembelihan Hewan Ternak

Ibadah yang berdimensi sosial selain zakat dan sedekah yang memiliki peranan penting bagi kesejahteraan bersama adalah penyembelihan hewan ternak 1164 yang dagingnya didistribusikan kepada 1161 Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 5, 246, dan Al-Qurṭūbiy, Al-Jāmi’, Jilid 17, 19, serta Al-Ṣābūniy, Ṣafwat Al-Tafāsīr, Jilid 3, 351. 1162 Al-Qurṭūbiy, Al-Jāmi’, jilid 18, 16, dan Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 2, 481. 1163 Ibn ‘Āshūr Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 11, Juz 28, 81. 1164 Hewan ternak yang dapat disembelih untuk keperluan ibadah ini ialah satu ekor kambing untuk satu orang serta satu ekor sapi dan unta mewakili tujuh orang. Al- Qurṭūbiy menafsirkan penggalan surat Al-Ḥajj22 : 28 “min bahīmat al-An’ām” dengan 267 pihak-pihak yang memerlukannya. Penyembelihan hewan ternak dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari pengamalan sebagian ajaran Islam. Keberadaannya ada yang menjadi suatu keharusan dalam rangka mengamalkan ajaran yang wajib dan ada pula yang sebatas menjadi anjuran atau melakukan ajaran yang disunahkan, tujuan keduanya untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi berdimensi solideritas sosial. Ajaran yang wajib, di antaranya ialah pembayaran Dam denda dengan menyembelih seekor kambing disaat melakukan haji Tamattu’, yang tercantum dalam surah Al-Baqarah2 : 196 Faidhā amintum faman tamatta’a bi al-‘umrati ilā al-ḥajji famā istaysara mina al-hadyi, melaksanakan haji Qirān, dan melanggar larangan ihram seperti membunuh hewan ternak atau bersetubuh antara suami isteri, atau meninggalkan wajib haji, semacam bermalam di Muzdalifah. Adapun penyembelihan yang disunahkan, di antaranya adalah Kurban, Aqīqah menyembelih kambing karena kelahiran anak, 1165 dan memproklamirkan pernikahan dengan walimah. 1166 Al-Qur`an melukiskan penyembelihan hewan kurban yang dilakukan oleh seorang muḥsin merupakan perwujudan dari kemuliaan akhlaknya, di antaranya adalah: Pertama; Tunduk, patuh, dan ikhlas 1167 Kisah Nabi Ibrāhīm as sebagai seorang ayah menyembelih putranya yang pertama, Ismail as, merupakan bentuk kepatuhan, keikhlasan, dan kesabaran selaku ahli ihsan dalam melaksanakan perintah Allah swt. Mimpi yang menjadi sumber perintah tersebut tidak diragukan oleh keduanya sebagai suatu kebenaran yang datang dari Allah serta patut di ditaati dan dilaksanakan. 1168 Setelah tampak jelas ketaatan, keikhlasan, dan kesabaran keduanya atas ujian dan cobaan yang Unta, Sapi, dan Kambing. Al-Qurṭūbiy, Al-Jāmi’, Jilid 12, 44, dan Taqiy Al-Dīn, Kifāyat Al-Akhyār, Juz 2, 236. 1165 Al-Ṣan’āniy, Subul Al-Salām, Juz 4, 97. Rujukannya ialah hadis Nabi saw; ﺎﺸﺒﻛ ﺎﺸﺒﻛ ﲔﺴﳊا و ﻦﺴﳊا ﻦﻋ ﻖﻋ ﻢﻠﺳ و ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟا نأ ﺎﻤﻬﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر سﺎﺒﻋ ﻦْﺑِإ ْ ﻦَﻋ دواد ﻮﺑأ ﻩاور . 1166 Al-Shan’āniy, Subul al-Salām, Juz 3, h. 116. Didasarkan kepada hadis Nabi saw; Proklamirkanlah pernikahan ini, laksanakan di masjid, pukul-lah rebana dan lakukan walimah oleh salah seorang di antara kamu walau hanya menyembelih seekor kambing …. HR. Ahmad 1167 Penafsiran yang menekankan makna tersebut dilakukan oleh Al-Bayḍāwiy terhadap surah Al-Ṣaffāt37 : 103-107. Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 2, 299-300. 1168 Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar, 1583. 268 dahsyat, 1169 bahkan tampak pada keduanya sikap bersyukur yang diekspresikan dalam kegembiraan atas terbebasnya dari ujian berat tersebut hingga terasa sebagai suatu nikmat 1170 kemudian Allah melarang Nabi Ibrāhīm as menyembelih Ismail as dan menggantinya dengan seekor sembelihan atau kambing sebagai amaliah kurban. 1171 Penggantian tersebut disebabkan karena keduanya berkepribadian muḥsin yang berhasil menghadapi ujian yang berat, tidak ada ujian yang seberat ini, sehingga terlihat dengan jelas keikhlasan, ketaatan, dan kesabaran keduanya. 1172 Ketiga sifat tersebut menjadi karakteristik muḥsin. Peristiwa tersebut menjadi dasar ditetapkannya kurban yang dilakukan umat Islam yang mampu pada hari raya haji dan tiga hari berikutnya. Pencantuman dalam surah Al-Ṣaffāt37 : 110 penggalan ayat kadhālika najzī al-muḥsinīn, yang mengulangi penggalan ayat 105 menjadi argumen yang melandasinya sehubungan pesannya yang mengisyaratkan kepada melestarikan peristiwa sejarah yang indah di tengah-tengah kehidupan umat. 1173 Ajaran kurban yang dibawa Nabi Ibrāhīm as dengan menyembelih seekor kambing memberikan jalan keluar yang memuaskan semua pihak. Beliau yang hidup pada abad 18 SM, suatu masa sedang terjadi persimpangan pemikiran kemanusiaan tentang kurban yang masih berupa manusia. Di satu pihak, terdapat pihak-pihak yang melestarikannya, dan di pihak lain ada yang beranggapan bahwa manusia terlalu tinggi dan mulia nilainya untuk dikurbankan kepada dzat yang disembah mereka. 1174 Koreksi total terhadap tradisi yang tidak berpri-kemanusiaan, tidak sebatas pada penggantian dari kurban manusia menjadi kurban hewan, melainkan mencakup pula peruntukannya, yang semula kurban diperuntukkan bagi persembahan kepada Tuhan yang diyakini sesuai dengan versi masing- masing, kemudian dialihkan untuk kesejahteraan manusia. 1169 Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar, 1583-1584. 1170 Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 2, 299 1171 Al-Jauziy, Zāīd Al-Masīr, 1193. 1172 Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 2, 299, dan Abī Su’ūd, Tafsīr Abī Su’ūd, Jilid 5, 335. 1173 Abī Su’ūd, Tafsīr Abī Su’ūd, Jilid 5, 336. 1174 Lebih jauh kajian tentang kurban berupa manusia terdapat pada M. Quraish Shihab, Haji Bersama M. Quraish Shihab, Panduan Praktis Menuju Haji Mabrur Bandung, Mizan, 1999, 130-131. Selanjutnya disebut Shihab, Haji. 269 Kedua; Ketakwaan kepada Allah swt. 1175 Adalah suatu hal yang logis dan etis manakala hakekat ajaran kurban tidak semata-mata menyembelih binatang dengan mengalirkan darah dan membagikan dagingnya, tetapi memerlukan penyertaan ketakwaan hati yang dapat mengantarkan pelakunya kepada memuliakan ke-Mahaagung-an Allah swt, mendekatkan diri, dan mengikhlaskan kepada-Nya hingga diterima. 1176 Hal ini tidak berarti daging dan darah hewan kurban tidak berguna untuk mendekatkan diri kepada-Nya, melainkan dibutuhkan pemaduan antara aspek material atau lahiriah dengan segi spiritual atau batiniah, keterpaduan tersebut hanya dapat direalisasikan oleh seorang muḥsin, karena ia merupakan sosok pribadi yang melakukan yang baik dan konsisten dengannya dalam berbagai amal hingga layak baginya mendapatkan apresiasi pahala. 1177 Daging kurban dibagikan kepada mereka yang lemah ekonomi untuk meringankan beban dan membelanya serta mengangkat derajat kemanusiaan. Sedangkan ketakwaan menjadi bekal penghubung kepada Allah swt. Ini sejalan dengan sebagian dari tujuan penyembelihan Nabi Ismail as oleh Nabi Ibrāhīm as yang kemudian diganti dengan seekor kambing kibas untuk menyelamatkan manusia serta mendapatkan kasih sayang dan perkenan-Nya. 1178 Lebih jauh dapat disebutkan bahwa penyembelihan kurban berarti menyembelih sifat kebinatangan yang terdapat pada pelakunya, semacam rakus, ambisi yang berlebihan, menindas, menyerang, serta tidak mengenal hukum dan norma-norma kehidupan. Sifat-sifat tercela tersebut patut ditiadakan atau disembelih 1175 Al-Zamakhshariy dalam menafsirkan surah Al-Ḥajj22 : 37 mengungkapkan bahwa orang yang menyembelih hewan kurban dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah tidak akan memperoleh perkenan atau ridha-Nya kecuali dengan menjaga kemurnian niat, keikhlasan, dan mengawal segenap perilaku ketakwaan dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya. Apabila tidak dapat merealisasikan hal-hal tersebut, maka penyembelihan kurban kendati banyak jumlahnya tidak bermakna sama sekali. Menurutnya terdapat pendapat yang menyebutkan bahwa ayat ini turun disebabkan oleh umat Islam ketika menunaikan ibadah haji akan mengikuti dan melestarikan tradisi orang-orang jahiliah yang menyiramkan darah hewan kurban di sekitar Ka’bah dan melumurinya. Turunnya ayat ini merefisi tradisi tersebut dan umat Islam tidak patut mengikutinya. Al-Zamakhshariy, Al-Kasysyāf, 696. 1176 Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 2, 90. 1177 Al-Rāziy, Mafātih Al-Ghayb, Jilid 12, Juz 23, 33. 1178 Uraian lebih jelas dan detail terdapat pada Ibn ‘Āshūr Al-Taḥrīr wa Al- Tanwīr, Jilid 7, Juz 17, 267-270. 270 untuk mencapai derajat dekat dengan-Nya, 1179 karena jika tidak dipunahkan dapat melahirkan bencana kemanusiaan. Terjadinya eksploitasi antar sesama manusia dikarenakan sifat-sifat tersebut. Jadi pesan ideal ajaran kurban adalah agar pelakunya berke-Tuhana-an dan berkemanusiaan. Hikmah ini akan dapat diamalkan dan dirasakan setiap muḥsin yang menenggelamkan kepentingan dirinya ke dalam kepentingan Tuhan dan kepentingan sesama manusia. Ketiga; Etika atau perangai berbasis ihsan. Etika berbasis ihsan ini di antaranya dengan menyebut nama Allah swt, seperti bertakbir atau mengucapkan Allah Akbar sebagaimana yang tercantum pada surah Al-Ḥajj22 : 37, terutama penggalannya litukabbirū Allah ‘alā mā hadākum supaya kamu mengagungkan Allah atas hidayah-Nya yang diberikan kepadamu. 1180 Etika seperti ini merupakan sikap keruhanian yang tertanam dalam lubuk hati seorang muḥsin yang melahirkan niat untuk berbuat baik dengan tulus kepada semua pihak agar terwujud kesejahteraan kolektif. Sampai di sini semakin jelas bahwa pemaduan daging hasil sembelihan dengan ketakwaan melahirkan semangat tanggung jawab pada diri seorang muḥsin untuk mendistribusikan dagingnya secara adil kepada mereka yang berhak menerimanya agar mendapatkan perkenan Allah sebagai sesuatu yang menggembirakan dan mensyukuri nikmat pemberian-Nya. 1181 Sikap keruhanian ini tumbuh kuat pada seorang muḥsin berbarengan dengan bersemayamnya perasaan akan kehadiran dan pengawasan-Nya. 2. Muḥsin Pengemban Misi Penyebaran Agama Al-Qur`an menggambarkan misi keagamaan yang diemban dan selayaknya dilaksanakan seorang muḥsin, yakni melakukan ajakan yang berbasis akhlak mulia kepada segenap manusia supaya berada di jalan Allah. Perintah mengajak yang tertera pada permulaan surah Al-Naḥl26 : 125 ud’ū ilā sabīli rabbika berkaitan erat dengan muḥsinīn atau orang- orang ahli ihsan yang dihargai Allah swt sebagai orang-orang bersama 1179 Shihab, Haji, 132. 1180 Abdullah bin Umar ra ketika menyembelih kurban mengucapkan bī ism Allah wa Allah Akbar dengan meyebut nama Allah, dan Allah Maha Besar. Perbuatannya ini meneladani Nabi saw. Menurut Ibn ‘Abās ra Nabi saw menyembelih dua ekor domba yang bagus dan bertanduk dengan meletakkan kedua kaki beliau di atas kaki keduanya sambil menyebut nama Allah swt dan bertakbir. Al-Qurṭubiy Al-Jāmi’, Jilid 12, 66. 1181 Ibn ‘Āshūr Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 7, Juz 17, 268-269. 271 dengan-Nya yang menjadi penutup surah Al-Naḥl26 :128. 1182 Kaitan yang integral antara keduanya terletak pada kesabaran para pengajak yang muḥsin dalam menghadapi keraguan, penolakan, pembangkangan, teror, penghinaan, pengusiran, dan penganiayaan pisik dari orang-orang yang diajaknya. 1183 Mukhāṭab atau objek ajakan tidak semuanya terdiri dari orang-orang yang berpelung menerima informasi, melainkan terdapat pula mutaraddid orang yang meragukan iformasi dan munkir orang yang mengingkari informasi. 1184 Peristiwa-peristiwa menyakitkan yang dialami Nabi saw, para sahabatnya, dan orang-orang saleh terdahulu seperti dijuluki orang gila, dianiaya, dan dibunuh menjadi realita sejarah yang menunjukkan hal tersebut. 1185 Akan tetapi mereka 1182 Penjelasan Al-Biqā’iy dalam menafsrkan surah Al-Naḥl26 : 125-128 mendudukkan seorang muḥsīn sedemikian urgen dalam melakukan upaya penyebaran agama dakwah mengingat ihsan telah melekat dalam dirinya sehingga senantiasa berada di sisi Tuhannya. Nabi saw adalah pribadi bertakwa yang muhsin, dan Tuhan selalu menyertainya. Setiap orang yang berdekatan dengan Tuhan, maka komunikasinya menguntungkan, tingkahlakunya saleh, urusannya diorientasikan kepada tujuan yang mulia, kontrofersi dengan keburukan, berhati-hati dan tenang dalam betindak, berhias dengan akhlak orang yang jauh dari sifat sembrono. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 4, 326. 1183 Surah Al-Naḥl26 : 126 terutama penggalannya wa lain shabartum lahuwa khayr li al-shābirīn yang meletakkan kesabaran seseorang dalam menghadapi respon negatif dari pihak yang menjadi objek dakwahnya merupakan pilihan yang lebih baik dibandingkan dengan mengambil langkah membalasnya, meski motivasinya berbeda- beda. Di antaranya karena kemuliaan pribadinya yang lebih cenderung menghindar dari bahaya dan mengedepankan tindakan memaafkan, dan di antaranya disebabkan oleh harapan mendapatkan pahala yang besar dan banyak di sisi Allah swt, selain itu terdapat pula motivasi karena pandangannya yang menilai bahwa perbuatan setiap orang ada akibatnya sendiri yang menimpanya, sedangkan tugas kita adalah berbuat baik kepada semua, sehingga kesalahan seseorang akibat melanggar ketentuan Allah perlu didoakan agar diamaafkan oleh-Nya. Al-Qushairiy, Laṭā`if Al-Ishārāt, Jilid 3, 338. Dengan kata lain penggalan ayat tersebut berpesan untuk meningkatkan diri kepada perilaku ihsan, sedangkan potongan sebelumnya dari ayat yang sama wa īn ‘āqabtum fa’āqibū bimītsl mā ‘ūqibtum bih memperkenankan membalas orang yang berbuat zhalim sebagai sikap adil. Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 5, 325. 1184 Ahmad Al-Hāshimiy, Jawāhir Al-Balaghah fī Al-Ma’ānī wa Al-Bayān waAal-Badī’ Indonesia, Maktabah Dār Ihyā` Al-Kutub Al-‘Arabiyyah, 1960, 58-59. Selanjutnya disebut Al-Hāshimiy, Jawāhir. 1185 Al-Ṭabariy menjadikan surah Al-Takwīr81 : 22-25 bantahan terhadap klaim kafir Quraish khususnya dan manusia umumnya bahwa Nabi Muhammad gila. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 12, 472. Demikian pula Quthub memposisikannya sebagai respon atas tuduhan orang-orang kafir bahwa Nabi saw gila. Quṭub, Fī Ẓilāl Al- Qur’āan, Jilid 6, 3843. 272 menghadapinya dengan sabar dan tulus. Kesabaran dalam mengemban misi keagamaan merupakan atau memerangi hawa nafsu dalam meredam atau meniadakan keinginan membalas kepada mereka yang berbuat zalim, meski peluang untuk menyalurkan dendamnya dibenarkan Allah swt. Kebolehan membalas tersebut tertera pada penggalan surah Al-Naḥl26 : 126 “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu” sebagai perwujudan dari berbuat adil selama balasan itu dilakukan sebanding dengan kezalimannya. 1186 Kesabaran itu-pun menjadi perjuangan batin dalam menghapus rasa sedih yang mendalam dan berkepanjangan yang dilarang Allah pada penggalan surah Al-Naḥl26 : 127 “dan janganlah kamu bersedih hati terhadap kekafiran mereka.” Selain itu kesabaran merupakan upaya internal diri untuk mengekang dan membebaskan rasa kesal dan sikap emosional yang tidak diperkenankan Allah swt pada potongan surah Al-Naḥl26 : 127 “dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan,” karena bersempit dada dapat berakibat tumbuhnya rasa putus asa. Seterusnnya kesabaran dapat melahirkan sikap mengembalikan segala urusan, termasuk kesuksesan dalam mengemban misi agama kepada Allah, karena menyadari bahwa pertolongan, kehendak, dan kekuasaan-Nya merupakan perioritas yang menjadi faktor penentu keberhasilan dalam melakukan misi ajakan tersebut. 1187 Lebih jauh, urgensi kesabaran dan tidak berkeinginan untuk membalas yang dipesankan kedua ayat tersebut menjadi manifestasi dari pribadi muḥsin, sementara memberikan balasan yang setimpal merupakan perwujudan dari orang yang bertakwa, seperti yang tercantum pada ayat 128 di atas. 1188 Oleh karena itu, dengan membaca pesan ayat-ayat 1186 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 7, 663, dan Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 5, 325. 1187 Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar, 1123. 1188 Samarqandiy menyatakan bahwa Al-ladhīna ittaqaw berkenaan dengan pertolongan Allah diberikan kepada mereka yang membalas dengan setimpal, dan wa al-ladhīna hum muḥsīnūn berkaitan dengan perlindungan-Nya diperuntukkan bagi orang yang berbuat baik meski kepada orang yang berbuat jahat kepada dirinya. Al- Samarqandi, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 2, h. 256. Sedangkan Al-Shaukāniy dengan maksud dan subtansi yang sama menjelaskan adanya pakar yang menjelaskan bahwa penggalan ayat tersebut Al-ladhīna īttaqaw adalah orang yang takut membalas berlebihan kepada mereka yang menimpakan siksaan, sehingga keberadaannya memiliki keterkaitan dengan penggalan ayat 126 fain ‘āqabtum fa ‘āqibū bimithli mā ‘ūqibtum bih. Sedangkan wa al-ladhīna hum muḥsinūn ialah orang yang cenderung tidak berhasrat 273 tersebut muḥsin adalah sosok insan yang mengedepankan setabilitas komunikasi kolektif dengan meredam kepentingan internal diri yang sering dibelenggu hawa nafsu dan bisikan syetan. Perangai mulia semacam ini mengindikasikan ketinggian pribadi muḥsin yang lebih mencerminkan kepada keutamaan diri yang konsisten dengan ihsannya 1189 akibat dari merasa bersama dengan Allah. Para sahabat Nabi saw memilih bersabar dengan mengutarakan ْ ﻞَ ﺑ ُ ِﱪْﺼَﻧ tetapi kami bersabar. Pernyataan tersebut disampaikan setelah turun ayat 126 ketika selesai perang Uhud yang secara militer, pihak kaum muslim mengalami kekalahan, karena banyak sahabat-sahabat yang terbunuh, termasuk paman Nabi saw “Hamzah ra” yang menjadi panglima perang. Sedangkan secara politis tidak menderita kekalahan, karena tujuan utama perang Uhud bagi orang-orang kafir adalah terbunuhnya Nabi saw. 1190 Urgensi lainnya ialah kesabaran akan melahirkan perilaku profesional dan proporsional dalam menempatkan misi agama di tengah- tengah kewajiban kifā`iy atau kewajiban kolektif, yakni meletakkan tugas dakwah hanya sebagai kewajiban mengajak orang lain ke jalan Allah secara maksimal dengan melaksanakan ketiga metode dakwah yang tersurat pada ayat 125 bi al-ḥikmah wa al-mau’iẓat al-ḥasanah wa jādilhum bi al-latī hiya aḥsan dan disertai sifat sabar yang tercantum pada penggalan ayat 126 “Akan tetapi jika kamu sekalian bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang bersabar” dan potongan ayat 127 “Bersabarlah, dan tiada kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah”, sementara keberhasilannya tergantung pada hidayah agama yang menjadi hak prerogatif Allah. 1191 Keberhasilan dakwah Nabi saw ditentukan oleh pertolongan dan hidayah Allah swt, kendati beliau menerapkan ketiga metode tersebut yang didukung kesabaran yang optimal. Al-Qur`an mengisahkan kasus yang berhubungan dengan upaya beliau mengislamkan pamannya Abu Thalib di akhir hayatnya. Beliau tidak dapat memberikan hidayah Islam kepadanya, tetapi sebatas menyampaikan ajakan, sementara hidayah membalas, dan justru memiliki semangat menyayangi sesama hamba Allah, sehingga keberadaannya mengisyaratkan kepada penggalan ayat 126 wa lain shabartum lahuwa khayr li al-shābirīn. Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 3, 252. 1189 Ibn ‘Āshūr Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 14, 338. 1190 Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Juz 7, 666. 1191 Ibn ‘Āshūr Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 14, 337. 274 terletak di tangan-Nya. 1192 Seorang muḥsin dalam melaksanakan misi penyebaran agama berpanduan kepada keteladanan Nabi saw yang di antaranya mencakup hal-hal berikut: a. Metode Misi Penyebaran Ayat 125 di atas menjelaskan tiga metode dalam menyampaikan agama, yakni ḥikmah, mau’iẓah ḥasanah, dan mujādalah yang terbaik. Allah memberi sifat kepada metode mau’iẓah dengan ḥasanah dan mujādalah dengan aḥsan, sedangkan metode hikmah tidak disifati. Hal ini dapat dipahami bahwa: Hikmah adalah Al-Qur`an atau wahyu Allah swt yang diberikan kepada Nabi saw atau Kitab Allah yang diturunkan kepadanya, 1193 dijelaskan pula bahwa hikmah sebagai sesuatu kebenaran yang termuat dalam kitab dan sunnah. 1194 Makna lainnya, hikmah adalah ungkapan bijak berupa kebenaran yang jelas, menyentuh hati, dan dapat menghilangkan keraguan, serta terbebas dari kekeliruan. 1195 Disebutkan pula bahwa hikmah merupakan ilmu tentang kebenaran yang diamalkan dan berupaya menghindarkan jauh-jauh dari sesuatu yang tidak diketahui, 1196 dapat berupa argumentasi yang benar, meyakinkan, dan berguna untuk menghilangkan keraguan objek ajakan 1197 yang terdiri dari kalangan elit, para pencari kebenaran, 1198 dimensi lain yang termuat dalam term ḥikmah adalah unsur yang dapat mencegah segala sesuatu yang dapat mendatangkan kerusakan. 1199 Artinya hikmah memuat kepastian atas kebenaran, sehingga seorang pengemban misi menyebarkan agama yang menggunakan metode ini sarat dengan kepastian bahwa yang disampaikannya adalah kebenaran yang datang dari Allah dan Nabi yang telah diamalkan. 1192 Demikian penafsiran Samarqandiy terhadap surah Al-Qaṣaṣ28 : 56. Al- Samarqandi, Baḥr Al-‘Ulūm, Jilid 2, 522. 1193 Al-Fayrūzabādiy, Tafsīr Ibn ‘Abbās, 281, dan Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 7, 663. 1194 Ibn Kathir, Tafsīr Al-Qur`an, Juz 2, 592. 1195 Ibn ‘Aṭiyyah, Al-Muḥarrar, 1123. Lebih jauh Ibn’Āshūr menyebutkan bahwa Hikmah merupakan term yang mencakup ujaran dan ilmu yang dapat mengawal upaya reformasi perilaku dan keyakinan manusia secara berkesinambungan dan konsisten. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 14, 327. 1196 Ini merupakan interpretasi al-Zamakhshariy ketika menafsirkan sirah Al- Baqarah2 : 269. Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 151. 1197 Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 3, 251. 1198 Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 561 1199 Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar, Jilid 4, 324 275 Mau’iẓah disebutkan Al-Qur`an dengan sifat ḥasanah, ini berarti sebagai metode dituntut memenuhi syarat ḥasanah agar terbebas dari langkah-langkah sayyi`ah buruk yang dapat merubah suatu mau’iẓah menjadi sayyi`ah. Mau’iẓah yang bersifat ḥasanah adalah berupa nasihat yang memuat kebaikan dan menyentuh hati hingga tertanam kebaikan pada orang yang dinasihatinya. 1200 Mau’iẓah ḥasanah dapat berupa peringatan-peringatan dan gambaran peristiwa-peristiwa yang menimpa manusia agar waspada terhadap siksaan Allah yang akan ditimpakan manakala melanggarnya. 1201 Dapat pula, mau’iẓah ḥasanah berwujud perkataan yang mudah diterima dan bermanfaat. 1202 Konsep tersebut mengesankan bahwa Mau’iẓah ḥasanah adalah ujaran yang berpijak kepada ilmu yang benar, yang tidak disertai dengan celaan dan kekerasan, bahkan diiringi dengan pengamalan dan keteladanan. Adapun mujādalah perdebatan sebagai metode ajakan yang disifati Al-Qur`an dengan aḥsan menunjukkan bahwa yang diterapkan adalah mujādalah yang terbaik, tidak hanya sebatas ḥasanah baik mengingat objek ajakan bervariasi, di antaranya terdapat orang yang menolak ajakan dengan sikap santun seperti Walîd bin Mughîrah, 1203 dan terdapat orang yang menolaknya dengan kasar semisal ‘Abd Allah bin Ubay. 1204 Berpegang pada metode ini pengemban misi penyebaran agama dituntut konsisten dengan kebenaran dan memiliki tujuan yang mulia, terbebas dari niat buruk. Apabila mujādalah disertai sikap emosional dan saling bermusuhan dengan meninggalkan tujuan serta landasan dan pijakan berfikir yang baik, maka termasuk mujādalah yang tidak baik 1200 Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, Jilid 3, 251, dan Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 14, 329, serta Shihab, Tafsīr Al-Mishbāh, Volume 7, 387. 1201 Ibn Kathir, Tafsīr Al-Qur`an, Juz 2, 592. 1202 Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Jilid 1, 561. 1203 Ketika Nabi saw membacakan al-Qurān di hadapannya seraya beliau bertanya kepadanya; Apakah kamu tahu tentang ucapanku ba`san, dengan santun dan halus Walīd bin Mughīrah menjawab; tidak. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 14, 328. 1204 ‘Abd Allah bin Ubay memberikan jawaban dengan kasar, ketika Nabi saw membacakan al-Qur`ān di hadapan majlis pengikut Ubay. Ia berkata; Hai laki-laki Jika kamu akan menyampaikan kebenaran, berdiamlan di rumahmu. Manakala seseorang datang kepadamu, sampaikanlah kepadanya. Apabila tidak ada seorangpun yang datang, janganlah kecewa dan tidak perlu mendatanginya dengan membawa berita yang tidak disukai. Ibn ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, Jilid 6, Juz 14, 328. 276 atau buruk sayyi`ah. 1205 Mujādalah dengan argumentasi yang dapat mematahkan dalih mitra berdebat ditopang dengan performen yang simpatik, familier, lemah lembut, dan penyampaian yang sebaik atau sesempurna mungkin, maka disebut mujādalah tingkat terbaik atau aḥsan. 1206 Metode seperti ini merupakan perdebatan tingkat tinggi yang berkesan kepada mitra diskusi, karena disampaikan dengan baik, dan dengan argumen yang benar, lagi membungkam lawan, 1207 tentu ini sejalan dengan keberadaan term aḥsan sebagai isim tafḍīl superlatif. Ketiga metode ini akan membuahkan hasil jika diaplikasikan oleh pengajak yang muḥsin, yang bersabar dalam menghadapi berbagai kemungkinan negatif yang sedang dan akan dialaminya serta bersabar dalam memegang ketiganya dengan berpanduan kepada pesan Allah swt yang telah disampaikan kepada Nabi saw mengingat beliau adalah orang yang telah mendapat julukan muhsin sejati. 1208

b. Media Ajakan