77
BAB III KONSEP DASAR MUḤSIN DALAM AL-QUR`AN
Bagian ini memiliki kegunaan yang signifikan berkaitan dengan kajian tentang profil muḥsin. Bangunan suatu rumah akan dapat
dimasuki, diketahui, dan dinikmati isinya apabila memiliki pintu masuk. Metaforis ini memposisikan kajian konsep dasar muḥsin yang dipaparkan
pada bagian ini seperti pintu masuk untuk mengetahui lebih jauh sosok muḥsin.
Pada bagian ini akan diuraikan hal-hal sebagai berikut:
A. Makna dan Penggunaan Term Muḥsin dalam Al-Qur`an
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian terdahulu bahwa kata muḥsin berikut derivasinya dalam Al-Qur`an termaktub sebanyak 72 kali,
tersebar pada 67 ayat dan terdapat dalam 29 surah. Sebanyak 20 surah tergolong ke dalam kelompok Makkiyyah dan 9 surah termasuk golongan
Madaniyyah. Pemahaman lebih jauh tentang term ini memerlukan kajian
tentang makna dan penggunaannya, baik dalam kaitannya dengan perspektif kebahasaan maupun penggunaannya dalam ayat.
a. Makna Muḥsin
Pembahasan mengenai makna muḥsin akan ditinjau dari tiga segi, yaitu etimologis, terminologis, dan konteks kalimat dalam ayat. Ketiga
sudut pandang tersebut dilibatkan dalam rangka mendapatkan kejelasan hubungan antara makna kata muḥsin sebagai suatu istilah kebahasaan
yang biasa dipakai dalam komunikasi, dengan suatu sebutan yang dipakai dalam ayat-ayat Al-Qur`an.
1. Secara Etimologis
Muḥsin disebut sebagai ism fā’il partisipal ajektif dari fi’il thulāthiy mazīd kata kerja tiga huruf yang mendapatkan tambahan alif
ﻦﺴﺣأ -
ﻦﺴﳛ dengan maṣdar-nya kata jadian نﺎﺴﺣإ. Term ihsan memiliki
arti beragam.
360
Makna generiknya ialah berbuat baik, berasal dari fi’il
360
Ḥamzah Al-Nushratiy, Abd Al- Ḥafīẓ Furaghliy, dan Abd Al-Ḥamīd Muṣṭafā, Al-Mu’jam Al-Mauḍū’iy li Ma’ānī
Al-Āyāt Al-Qur`āniyyah Mesir, Maktabat Al-Nushratiy, t.t, Jilid 5, 116. Selanjutnya disebut Al-Nushratiy dkk, Al-Mu’jam Al-
Mauḍū’iy.
77
78 thulāthiy mujarrad kata kerja tiga huruf yang tidak mendapatkan
tambahan huruf ﻦﺴﺣ
– ﻦﺴﳛ
– ﺎﻨﺴﺣ
yang berarti baik atau bagus.
361
Kata ḥasan digunakan untuk makna luas mencakup manusia, seperti Rajulun ḥasanun pria yang baik wa imra`atun ḥasanatun
wanita yang baik. Ia meliputi sesuatu non manusia, semisal Shai`un ḥasanun atau ḥasīnun penggunaan kata ḥasīn pada contoh ini sama
dengan penggunaan ‘aẓīm yang berasal dari ‘aẓuma. Dan kata ḥasan melibatkan ‘amal. Bangsa Arab menggunakannya dalam ungkapan
aḥsantu bi fulān wa asa’tu bi fulān yang berarti aḥsantu ilaih wa asa`tu ilaih, sama dengan yuḥsinu al-shai`a yang cenderung kepada ya’maluh.
Di sini tampak identifikasi maknanya sebagai ‘amal melakukan sesuatu dengan baik. Selain itu, ia memuat al-Jannah surga atau tempat,
mengingat surga disebut al-Ḥusnā sebagaimana firman Allah swt wa ṣaddaqa bi al-Ḥusnā QS. Al-Lail92:6. Demikian pula firman-Nya li
al-ladhīna aḥsanū al-Ḥusnā wa Ziyādah QS. Yūnus10: 26. Al-Ḥusnā ditafsirkan dengan al-Jannah. Juga kata ḥasan berhubungan dengan al-
qaul ucapan semacam firman-Nya wa qūlū li Al-Nāsi ḥusnan, yang diintepretasikan dengan ucapan yang baik. Kata ḥasanah digunakan
dalam berbagai setruktur kalimat yang menunjukkan kepada sejumlah aktivitas dan dampaknya. Jadi ihsan merupakan term yang diaplikasikan
berkenaan dengan suatu amal berikut implikasinya.
362
Ihsan diartikan pula dengan ikhlas yang menjadi syarat bagi keabsahan Iman dan Islam seseorang. Pernyataan beriman dan
pengakuan Islam seseorang, kemudian ia beramal tidak ikhlas, maka ia tidak dapat disebut sebagai muḥsin, meskipun imannya baik. Dan ihsan
dimaksudkan juga sebagai term yang menunjukkan kepada al- Murāqabah takut kepada Allah swt dan taat kepada-Nya. Barang siapa
yang takut kepada Allah swt, maka ia akan memperindah amalnya.
363
Selain itu muḥsin yang jamaknya muḥsinūn dan muḥsināt berasal dari aḥsana –iḥsānan mempunyai arti atā bi al-fi’l al-ḥasan ‘ala wajh al-
361
Mahmud Yūnus, Kamus Bahasa Arab – Indonesia Jakarta, Penerbit
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir Al-Qur`an, 103. Selanjutnya disebut Yūnus, Kamus.
362
Salwa Muhammad Al-‘Awwal, Al-Wujūh wa al-Naẓā`ir fī al-Qur`ān Mesir, Dār al-Shurūq, 1998, 208-209. Selanjutnya disebut Salwa, Al-Wujūh.
363
Jamāl Al-Dīn Abī Al-Faḍal Muhammad bin Makram ibn Manẓûr Al- Anṣāriy Al-Afrīqiy Al-Miṣriy w. 711 H, Lisān al-‘Arab Beirut, Dār Al-Kutub Al-
‘Ilmiyyah, 2005, Jilid 7, 710. Selanjutnya disebut Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab.
79 itqān wa al-iḥkām wa ṣana’a al-jamīla
364
Melakukan pekerjaan yang baik dengan sebaik dan serapih mungkin, dan melakukan yang indah.
Aḥsana dapat berupa fi’il muta’addiy kata kerja transitif bi ghairih dengan unsur lain dan dapat berupa fi’il muta’addiy bi nafsih
dengan sendirinya. Unsur lain yang menyertainya ialah huruf jār ilā dan bi, semisal aḥsana ilā fulān wa aḥsana bih, berarti an’ama ‘alaih wa
akramahu wa ṣana’a bihi al-jamīl memberi nikmat kepada seseorang dan memuliakannya serta membuat yang indah, dan berarti iḥsān fī al-
fi’l, wa dhālika idhā ‘alima ‘ilman ḥasanan aw ‘amila ‘amalan ḥasanan
365
memperindah pekerjaan, itu terjadi manakala seseorang telah mengetahui ilmu yang baik dan telah melaksanakan amal yang baik.
Adapun aḥsana sebagai fi’il muta’addi bi nafsih seperti pada aḥsana al-fi’la bermakna atqanahu wa jawwadahu
366
memperindah dan mempercantiknya. Meskipun kata atqana dan jawwada dalam
terjemahan harfiahnya “memperindah” dan “mempercantik” terkesan memiliki makna yang sama, tetapi kata yang disebutkan pertama
menekankan pada mutu keindahan suatu aktivitas yang dilakukan, dan kata yang disebutkan terakhir lebih cenderung kepada segi asesorisnya.
Dari tinjauan kebahasaan tersebut, dapat dipahami bahwa muḥsin huwa man yaf’al al-iḥsān mukhliṣan
367
orang yang melakukan ihsan dengan ikhlas.
2. SecaraTerminologis
Pemahaman tentang muḥsin dari segi terminologi bermuara pada makna Iḥsân yang didefinisikan oleh Nabi saw “an ta’buda Allah
kaannaka tarāhu, fainlam takun tarāhu fainnahu yarāk” HR. Bukhari dan Muslim,
368
artinya kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihat kamu. Dengan demikian muḥsin bermakna “orang yang merasakan kehadiran Allah swt dalam setiap aktivitasnya dan melakukan
introspeksi diri dalam upaya untuk tidak melakukan kesalahan”. Potensi
364
Majma’ Al-Lughat, Mu’jam Alfāẓ Al-Qur`ān Al-Karīm Al-Qāhirah, Al- Maṭba’ah Al-Amīriyyah, 1953, Jilid 1, 86. Selanjutnya disebut Majma’ Al-Lughat,
Mu’jam.
365
Abū al-Qāsim Al-Husen bin Muhammad bin Al-Mufaḍḍal Al-Rāghib Al- Aṣfahāniy, Mu’jam Mufradāt al-Alfāẓ al-Qur`ān Beirut, Dār al-Fikr, t.t, 118.
Selanjutnya disebut Al-Aṣfahāniy, Mu’jam.
366
Majma’ Al-Lughat, Mu’jam, 1953, Jilid 1, 86.
367
Majma’ Al-Lughat, Mu’jam, 1989, Jilid 1, 294.
368
Lihat Disertasi ini, catatan kaki No. 47, 24.
80 sepiritual ini ada pada setiap manusia mengingat pada diri manusia
terdapat ḍamīr hati nurani yang selalu waspada dan berfungsi melindunginya dari perbuatan tercela.
369
Hati nurani adalah tempat bersemayamnya kesadaran alami manusia tentang kejahatan dan
kebaikan, sesuai dengan ilham Tuhan kepada masing-masing pribadi.
370
Paparan tersebut mendeskripsikan muḥsin sebagai “orang yang merasakan kehadiran dan kebersamaan dengan Allah”. Kekuatan
sepiritual ini melahirkan semangat melakukan perbuatan baik dan memperindahnya secara terus menerus serta membentengi diri dari
perbuatan buruk yang berpotensi merusak eksistensinya, baik dalam dimensi hubungan vertikal dengan-Nya maupun dalam dimensi
hubungan horizontal dengan sesama makhluk. Seorang muḥsin tidak berkeinginan melakukan perbuatan salah dan dosa, sebagaimana
dilambangkan dalam takbīrat al-iḥrām, mengucapkan Allahu Akbar di permulaan salat yang merepresentasikan dimensi hubungan vertikal, dan
mengucapkan salām sebagai wujud memohon keselamatan dan kedamaian kepada Allah di akhir salat yang menjadi simbol dimensi
hubungan horizontal. Ini menunjukkan keadaan khusus pada seorang muḥsin yang seolah-seolah bertentangan dengan logika umum yang
berlaku. Akan tetapi dengan kondisi seperti ini sebenarnya muḥsin mampu menangkap subtansi kehidupan yang sebenarnya, karena ia
berhasil menempatkan dirinya pada posisi yang tepat, tenggelam dalam ke-Mahaagung-an Allah hingga konsisten menerima dan memihak
kepada yang baik dan benar, serta menolak yang buruk dan salah. Kemampuan dan kesempatan untuk tenggelam dalam ke-
Mahaagung-an Allah memungkinkan terjadi pada diri setiap orang. Kaum sufi memanfaatkan potensi tersebut untuk mencapai posisi sebagai
al-Insān al-kāmil yang oleh Ibn ‘Arabiy
371
dipakainya untuk melabeli
369
Al-Nushratiy dkk, Al-Mu’jam Al-Mauḍū’iy, Jilid 5, 116.
370
Ini adalah pernyataan Nurcholis Majid yang merujuk kepada firman Allah surah Al-Shams91 : 8. Selanjutnya ia menyatakan “Justeru disebut nurani nūrāniy,
bersifat cahaya karena hati kecil merupakan modal primordial yang diperoleh dari Tuhan sejak sebelum lahir ke dunia, untuk menerangi jalan hidup karena kemampuan
alaminya untuk membedakan yang baik, yang dikenal olehnya al-ma’rūf dari yang buruk, yang ditolak olehnya al-munkar”. Madjid, Islam Doktrin, xviii.
371
Nama lengkapnya adalah Abī Bakar Muhyi Al-Dīn Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad Al-Ṭā`iy Al-Ḥātimiy Ibn ‘Arabiy yang terkenal dengan sebutan
Ibn ‘Arabiy. Ia lahir pada tahun 560 H di daerah Marsiyah, dan wafat pada tahun 638 H di Damaskus. Karya tulisnya menembus angka 150 kitab, di antaranya yang masyhur
dan Monumental ialah Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, Fuṣūṣ al-Hikam, Tafsīr al-Qur`an al-
81 konsep manusia ideal yang menjadi lokus penampakan diri Tuhan al-
tajallī,
372
dan al-Jīliy
373
menggunakannya sebagai predikat bagi konsepnya tentang manusia sempurna
374
yang dipahaminya sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai ke-Tuhan-an al-Ḥaqq, dalam arti ia
mempunyai sifat-sifat sebagaimana sifat-sifat Tuhan seperti al-Ḥayy Hidup, al-‘Alīm Mengetahui, al-Qadīr Kuasa, al-Murīd
Berkehendak, al-Samī’ Mendengar, al-Baṣīr Melihat, dan al- Mutakallim Berbicara.
375
Dengan kemampuangnnya memiliki nilai-nilai ke-Tuhan-an tersebut menurut al-Jīliy, al-Insān al-kāmil dapat menuju tiga barzakh
tingkatan, yaitu al-Bidāyah permulaan, al-Tawassuṭ pertengahan, dan al-Khitām puncak. Menurutnya pada tingkat permulaan seseorang
sudah memulai pada dirinya merealisasikan nama-nama al-asmā` dan sifat-sifat al-ṣifāt Tuhan, sedangkan pada tingkat pertengahan seseorang
sudah memiliki kemampuan mengaktualisasikan diri menjadi pusat kelembutan kemanusiaan sebagai perwujudan dari eksistensi kasih
sayang Tuhan yang telah terpatri dalam dirinya sejak tingkat pertama, dan pada tingkat puncak seorang hamba telah mampu mewujudkan citra
Tuhan secara utuh hingga layak disifati dengan al-Jalāl keagungan dan al-Ikrām kemuliaan mengingat tingkat ini merupakan puncak
pengalaman spiritual.
376
Kondisi sepiritual tersebut dapat dirasakannya dalam batas-batas kudrat manusia yang memiliki potensi positif dan negarif sekaligus,
sehingga Tuhan adalah Tuhan dan manusia ialah manusia. Kedua potensi
Karīm yang kondang disebut Tafsīr Ibn ‘Arabiy, Inshā` al-Dawā`ir, al-Tadbīrāt al- Ilāhiyyah fī Iṣlāḥ al-Mamlakah al-Insāniyyah, dan sebagainya. Muhammad Husein al-
Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn Beirut, Dār Al-Turāth Al-‘Arabiy, 1976, Jilid 2, 407-409. Selanjutnya disebut al- Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn.
372
Apabila diperhatikan secara seksama kelihatan bahwa subtansi konsep insan kamil, sebenarnya telah muncul dalam Islam sebelum Ibn ‘Arabiy, hanya konsep-
konsep yang telah ada tidak menggunakan istilah insan kamil. Lebih jauh penjelasannya dapat dibaca pada Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan
Kâmil Ibn ‘Arabiy oleh al-Jīlī, Jakarta, Paramadina, 1997, 6-15. Selanjutnya disebut Ali, Manusia Citra.
373
Ia memiliki nama lengkap Abd al-Karīm ibn Ibrāhīm al-Jīliy 767 – 805 H sebagaimana tercantum pada halaman depan cover kitab al-Insān al-Kāmil fī Ma’rifat
al-Awākhir wa al-Awā`il karya al-Jīliy Mesir, Maktabah Zahrān, 1999. Selanjutnya disebut Al-Jīliy, Al-Insān al-Kāmil.
374
Ali, Manusia Citra, 14.
375
Al-Jīliy, Al-Insān al-Kāmil, Juz 2, 96.
376
Al-Jīliy, Al-Insān al-Kāmil, Juz 2, 98.
82 yang saling bertentangan tersebut menggambarkan manusia sebagai
makhluk yang paradoksal. Dalam dirinya terdapat dua karakter yang saling bertolak belakang, yakni karakter insāniy yang bermuara pada
unsur ruhani immaterial dan karakter bashariy yang bermuara pada unsur fisikal dan material. Kedua unsur tersebut dituntut untuk dipadukan
secara integral dan seimbang.
377
Sebutan lainnya adalah manusia terdiri dari dua elemen, yaitu jasad fisik dan materi dan ruh immateri, artinya
manusia merupakan makhluk jasadiah dan ruhaniah sekaligus. Akan tetapi hakekat disebut sebagai manusia karena perubahan ruhaniahnya,
bukan jasadnya.
378
Seorang muḥsin mampu memadukan keduanya sebagai akibat dari keberhasilannya memanfaatkan secara maksimal empat fitrah yang
dianugerahkan Tuhan kepadanya, yaitu fiṭrah rūḥāniyyah
379
dan fiṭrah majbūlah fitrah yang sudah ada secara alami yang bersifat cenderung
kepada agama, kedua-duanya sebagai faktor internal, serta fiṭrah munazzalah berupa shir’ah ajaran yang benar yang tertuang dalam
wahyu Al-Qur`an yang diturunkan Tuhan kepada rasul-Nya dan fiṭrah mukammilah penyempurna, yaitu para rasul yang diutus Tuhan dengan
tugas mengingatkan manusia akan pentingnya fitrah, mengokohkan, membantu untuk memgembangkan dan menyempurnakannya, serta
melindunginya dari segala hal yang akan merubahnya,
380
kedua-duanya merupakan faktor eksternal. Dengan kata lain pemaduan keempat fitrah
secara integral merupakan kebutuhan yang fitri dalam rangka mencapai peringkat tertinggi sebagai insan yang teraktualisasikan dirinya atau
muḥsin. b. Makna Muḥsin dalam Teks Ayat
Apabila sebutan muḥsin dilacak dalam Al-Qur`an, maka terdapat beberapa makna sesuai dengan rangkaian ayat. Akan tetapi makna
tersebut lebih menunjukkan kepada segi karakteristik atau sifat yang
377
Abbas Mahmud al-‘Aqad, Al-Insān fī Al-Qur`an, dalam Al-A’māl al- Kāmilah Beirut, Dār al-Kutub al-Lubnāniy, 1974, 381.
378
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, Penerjemah Hamid Fahmy, M. Arifin Ismail, dan Iskandar Amel Bandung, Mizan Media Utama MMU, 2003, 94. Selanjutnya disebut Daud,
Filsafat.
379
QS. Al-Hijr15 : 29
380
Ibn Taimiyyah, Al-Tafsīr al-Kāmil, Juz 5, 214, dan ṭ Majid, Islam Doktrin, xvi.
83 saling mnelengkapi antara satu dengan lainnya, yang menggambarkan
keunggulan kerpibadian muḥsin. Makna-makna tersebut, diantaranya, ialah:
1. Muḥsin bermakna orang yang menjauhkan diri dari dosa-dosa besar Muḥsin sebagai sosok pribadi yang mengutamakan mutu diri dan
menempati posisi puncak akan berupaya secara maksimal menghindar dan menjaga diri dari berbagai dosa seperti tercantum dalam surah Al-
Najm53 : 31 dan 32.
381
Sebutan al-ladhīna aḥsanū orang-orang yang berbuat ihsan yang termaktub pada ayat 31, artinya dijelaskan pada ayat 32. Mereka
adalah al-ladhīna yajtanibūna kabāir al-ithm wa al-fawāḥish illā al- lamama atau orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar seperti syirik
serta perbuatan keji semisal zina dan hal-hal yang apabila dilanggar dikenakan ḥadd
382
sangsi hukum selain dosa yang telah dilakukan di masa lalu sebelum menjadi muslim atau selain dosa kecil al-
Lamam.
383
Sifat tersebut dilekatkan kepada muḥsin didasarkan kepada
381
Abī Al-Fidā Ismā’īl Ibn Kathīr Al-Quraishiy Al-Dimashqiy. Tafsīr Al- Qur’ān Al-Aẓīm Tafsīr ibn Kathīr Makkah Al-Mukarramah, Al-Maktabah Al-
Tijāriyyah, 1987, Jilid 4, 256. Selanjutnya disebut Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al- ‘Aẓīm.
382
Ḥadd dalam tinjauan bahasa berarti batas antara dua hal, sehingga tidak tercampur. Sedangkan menurut istilah, ḥadd ialah batas ketentuan Allah mengenai
hukuman atau sanksi hukum bagi pelanggarnya supaya tidak mengulangi. Muhammad bin Ismail Al-Kahlāniy Al-Ṣan’āniy 1059-1182 H, Subul Al-Salām, Bandung,
Penerbit Dahlan, t.t, Jilid 4, 3. Selanjutnya disebut Al-Ṣan’āniy, Subul Al-Salām.
383
Abī Ja’far Muhammad bin Jarīr Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān fī Ta`wīl Al- Qur’ān Tafsīr Al-Ṭabariy Beirut, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999, Jilid 11, 525.
Selanjutnya disebut Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān. Dalam bahasa Arab al-Lamam digunakan untuk hal-hal yang berdekatan dengan sesuatu. Dalam redaksi ayat para
pakar berbeda pendapat tentang arti al-Lamam hingga terbagi ke dalam enam pendapat. Pertama; Zaid bin Thābit menggolongkannya ke dalam perbuatan dosa dan keji yang
dilakukan manusia pada masa jahiliah, yang dapat dihapus dengan masuik Islam. Kedua; Ibn Abbas, Hasan, dan Sadiy mengartikannya dengan perbuatan dosa yang
dilakukan sekali, kemudian dihapus dengan bertaubat dan tidak diulangi. Ketiga; Ibn Mas’ud, Abū Huraerah, Al-Sha’biy, dan Masru’ menafsirkannya dengan dosa kecil,
seperti menggunakan pandangan mata untuk maksiat atau mencium, selama tidak berzina. Keempat; Muhammad bin Hanafiyyah mengartikannya dengan apa yang
menyusahkan manusia. Kelima; Sa’id bin Musayyab menetapkannya sebagai keburukan yang tergetar dalam hati. Keenam; Al-Ḥusen bin Al-Faḍal menyebutnya dengan
pandangan mata yang bernuansa kemaksiatan dengan tidak disengaja. Pendapat pertama dan kedua didasarkan kepada pemahaman bahwa Istithnā` pengecualian yang
termaktub pada ayat tersebut adalah Istithnā` al-Jins pengecualian dari perbuatan dosa
84 penafsiran yang mendudukkan kosa kata al-ladhīna yang tertulis pada
permulaan ayat 32 menjadi na’at sifat, badal pengganti, atau bayān penjelas bagi al-ladhīna aḥsanū yang tercantum pada akhir ayat 31.
384
Berdasarkan sabab nuzūl-nya, ayat tersebut turun berkenaan dengan orang-orang musyrik yang mengungkit-ungkit kisah kehidupan
masa lalu para sahabat Nabi. Mereka menyatakan bahwa orang-orang Islam dahulu sebelum menjadi muslim banyak berbuat dosa bersama
kami. Ayat tersebut menjadi jawaban, bahwa dosa-dosa mereka yang lalu telah diampuni Allah swt.
385
Pesan ayat di atas menginformasikan bahwa manusia dekat sekali dengan dosa, sehingga berpeluang besar melakukannya, dan bagi yang
berbuat dosa dituntut secepatnya bertaubat dan tidak mengulanginya. Berkenaan dengan hal tersebut Abū Hurairah w. 57 H
386
, Mujāhid 21- 102 H,
387
dan al-Ḥasan mengartikan al-lamam lebih pada perbuatan
dan keji yang termasuk dalam katagori Kabā`ir al-Ithm dan al-Fawāḥisy. Sedangkan keempat pendapat berikutnya dibangun di atas teori bahwa Istithnā` tersebut bukan
Istithnā` al-Jins, yang berarti bahwa kata Al-Lamam di luar cakupan term Kabā`ir al- Ithm dan Al-Fawāḥisy. Abī Al-Faraj Jamāl Al-Dīn Abd Al-Rahmān bin Ali bin
Muhammad Al-Jauziy 508-597 H, Zād al-Masīr fī ‘Ilm al-Tafsīr, Beirut, Maktabah Dār Ibn Hazm, 2002, 1365. Selanjutnya disebut Al-Jauziy, Zād Al-Masīr.
384
Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr – Al- Jāmi’ Bayna Fannay Al-Riwāyat wa Al-Dirāyat min ‘Ilm Mafātih, Beirut, Dār Al-
Kutub Al-‘Ilmiyyat, t.t, Jilid 5, 139. Selanjutnya disebut Al-Shaukāniy, Fatḥ Al-Qadīr, dan Shihāb Al-Dīn Abī Al-‘Abbās bin Yūsuf bin Muhammad bin Ibrāhīm Al-Samīn Al-
Halabiy w. 756 H, Tahqîq wa Ta’līq al-Shaikh Ali Muhammad Mu’awwadh, Al- Shaikh ‘Ᾱdil Ahmad Abd Al-Maujūd, Jād Makhlūf Jād, dan Zakariyyā Abd Al-Majīd
Al-Nūtiy, Al-Durr Al-Maṣūn fī ‘ Ulūm Al-Kitāb Al-Maknūn Beirut, Dār Al-Kutub Al- ‘Ilmiyyah, 1994, Jilid 6, 211. Selanjutnya disebut Al-Samīn, Al-Durr Al-Maṣūn.
385
Versi ini menurut Zaed bin Thābit dan Zaed bin Aslam Abī Muhammad Al- Ḥusen bin Mas’ud Al-Farrā` Al-Baghawiy Al-Shāfi`iy w. 516 H, Tafsīr Al-Baghawiy
– Ma’ālim Al-Tanzīl Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1993, Jilid 4, 230. Selanjutnya disebut Al-Baghawiy, Ma’ālim Al-Tanzīl.
386
‘Abd Al-Mun’im Ṣālih Al-‘Aliy Al-‘Arabiy, Difā’ ‘an Abī Hurairah Beirut, Dār Al-Qalam, t.t, 165. Selanjutnya disebut Ṣālih, Difā’.
387
Nama lengkapnya adalah Mujāhid bin Juber Al-Makkiy abū Al-Ḥijāj Al- Makhzūmiy. Ia terkenal mufassir dari kalangan tābi’īn yang adil dan terpercaya,
penafsirannya banyak dikutip oleh imam Bukhari. Para pakar menilainya sebagai sosok yang piawai dalam tafsir dan layak dijadikan sumber rujukan. Ia dilahirkan tahun 21 H
pada masa pemerintahan Umar Ibn Al-Khaṭṭāb, dan wafat pada tahun 104 H. Muhammad Ḥusen Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn, Beirut, Dār Al-Turāth
Al-‘Arabiy, 1976, Jilid 1, 104-105. Selanjutnya disebut Al-Dhahabiy, Al-Tafsīr wa Al- Mufassirūn.
85 dosa yang direhabilitasi dengan taubat dan tidak diulangi. Makna tersebut
sejalan dengan esensi makna al-lamam itu sendiri, yakni suatu dosa yang dikerjakan manusia, yang tidak diulangi dan tidak dilestarikan.
388
Seorang muḥsin bersikap menjauhi dosa, karena dosa dinilainya sebagai sesuatu yang membahayakan bagi kepribadian dan masa depan,
dosa selayaknya dihindari. Sikap tersebut berkaitan erat dengan upayanya membentengi diri dari segala hal yang akan mencoreng keindahan
perangai dan menurunkan martabat diri yang telah menempati derajat tertinggi. Termasuk dalam pesan ayat tersebut adalah ketinggian derajat
muḥsin dapat ditempuh dengan menggunakan petunjuk Allah swt untuk membersihkan diri dari berbagai noda kehidupan seperti syirik yang
menjadi makna dari kosakata asā`ū serta mengisinya dengan sifat mulia dan amal sempurna semacam bertauhid sejati yang merupakan arti kata
aḥsanū.
389
2. Muḥsin berarti orang yang melaksanakan ibadah maḥḍah dan meyakini akhirat
Pelaksanaan ibadah maḥḍah langsung mengabdi kepada Allah swt seperti salat yang dimensi ritualnya lebih dominan serta zakat yang
dimensi sosialnya lebih kental, dan keyakinan kepada akhirat dengan sepenuh hati merupakan karakteristik yang integral bagi seorang muḥsin.
Surah Luqmān31 : 4 yang menyebutkan orang-orang yang mendirikan salat, menunaikan zakat, dan meyakini hari akhir
menafsirkan secara langsung surah Luqmān31 : 3 yang mencatat sebutan muḥsinīn.
390
Kedua ayat ini mendeskripsikan peranan Al-Qur`an menjadi hudan petunjuk dan raḥmat kasih sayang Allah bagi orang-orang ahli
ihsan dan melukiskan profil mereka sebagai pelaksana salat, pelaku zakat, dan meyakini adanya akhirat.
391
Penentuan ketiga hal tersebut tidak berarti menegasikan ibadah maḥḍah lainnya, semacam puasa di bulan Ramadhan serta menunaikan
ibadah haji bagi yang mampu rukun islam, dan tidak menafikan
388
Al-Baghawiy, Ma’ālim Al-Tanzīl, Jilid 4, 230.
389
Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 676.
390
Ibn Kathīr. Tafsīr Al-Qur’ān Al-Aẓīm, Jilid 3, 442. Model penafsiran seperti ini termasuk pada tafsir ayat dengan ayat atau tafsir Al-Qur`ān bi Al-Qur`ān yang
menjadi salah satu cara dari tafsīr bi al-ma`thūr.
391
Nāṣir Al-Dīn Abī Sa’īd Abd Allah ibn Umar ibn Muhammad Al-Shaerāziy Al-Bayḍāwiy, Tafsīr Al-Bayḍāwiy Anwār Al-Tanzīl wa Asrār Al-Ta’wīl Beirut, Dār
Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1999, Jilid 2, 226. Selanjutnya disebut Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl.
86 kepercayaan kepada Allah swt, para malaikat, para rasul, kitab-kitabNya,
serta kepada qadha dan qadar rukun iman, tetapi ketiganya justeru mengisyaratkan kepada keutamaan untuk berlaku konsisten kepada
kesemuanya. Dengan dicantumkan ketiganya setelah sebutan muḥsinīn mengindikasikan sebagai kebaikan yang paling utama, kendati seorang
muḥsin tidak hanya melaksanakan ketiganya.
392
Dengan kata lain ketiganya merupakan representasi dari keseluruhan rukun islam dan
rukun iman. Pencantuman salat mewakili ibadah yang berdimensi vertikal, dan zakat mewakili ibadah yang berdimensi sosial. Salat
sebenarnya meliputi haji sehubungan orang yang menghormati Bait Allah atau rumah-Nya sebagai kiblat dalam salat adalah berkeinginan
melaksanakan haji. Pencantuman zakat sesungguhnya mencakup ibadah puasa Ramadan mengingat zakat fitrah diamalkan oleh mereka yang
memiliki semangat melaksanakan puasa. Demikian pula pemilihan term meyakini akhirat berarti melibatkan segenap rukun iman lainnya.
393
3. Muḥsin bermakna mu’min atau muwaḥḥid Makna ini, setidaknya, tergambar pada QS. Al-Ṣaffāt37 : 79-81.
Ayat 81; “Innahū min ‘Ibādinā al-Mu`minīn” sesungguhnya dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman menjadi dasar bagi Nabi
Nuh disebut Allah swt sebagai salah seorang dari al-Muḥsinīn orang- orang yang berbuat ihsan
394
yang tercantum pada ayat 80. Kualitas ibadah dan iman yang tinggi dan melekat dengan
sempurna dalam dirinya merupakan sesuatu yang realistis, terukir sepanjang sejarah hidupnya yang terpancar dari ketulusan ibadah dan
kesempurnaan imannya. Hal ini menjadi faktor penentu baginya mendapatkan predikat muḥsin, karena keberadaan surah Al-Ṣaffāt37 : 81
dilihat dari sudut pandang kebahasaan, berkedudukan sebagai ta’līl
392
Muhammad Al-Ṭāhir Ibn ‘Āshūr, Tafsīr Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr Tunis, Dār Suḥnūn, t.t, Jilid 8, Juz 21, 141. Selanjutnya disebut Ibnu ‘Āshūr, Al-Taḥrīr wa Al-
Tanwīr.
393
Burhān Al-Dīn Abī Al-Ḥasan Ibrāhīm bin Umar Al-Biqā’iy, Naẓm Al- Durar fī Tanāsub Al-Āyāt wa Al-Suwar Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2003,
Jilid 6, 5. Selanjutnya disebut Al-Biqā’iy, Naẓm Al-Durar.
394
Abī Al-Qāṣim Jār Allah Mahmud bin Umar Al-ZamakhshariyAl- Khawārizmiy 467 – 538 H, Al-Kashshāf ‘an Ḥaqā`iq Al-Tanzīl wa ‘Uyūn Al-Aqāwil fī
Wujūh Al-Ta`wīl Mesir, Maktabat Al-Muṣṭafā Al-Bāb Al-Ḥalabiy, 1972, 908. Selanjutnya disebut Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf.
87 unsur penyebab.
395
Dengan kata lain sebutan ‘Ibādinā al-Mu’minīn dalam konteks makna umum berhubungan dengan segenap manusia,
tidak terbatas pada Nabi Nuh meliputi pribadi-pribadi mukmin yang melakukan amal shaleh. Pemahaman ini berkaitan dengan muḥsin
diartikan dengan ungkapan al-ladhīna āmanū wa ‘amilū al-ṣālihāti orang-orang beriman dan melakukan amal shaleh yang termaktub pada
QS. Al-Kahfi18 : 30.
396
Penggalan ayat Innā lā nuḍī’u ajra man aḥsana ‘amalan yang tercantum pada ayat ini menjadi khabar predikat dari
penggalan ayat sebelumnya inna al-ladhīna āmanū wa ‘amilū al-ṣālihāti sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh yang
berkedudukan sebagai mubtada` subjek. Kedudukannya menjadi khabar berarti kosakata man yang terdapat pada man aḥsana ‘amalan
merujuk kepada al-ladhīna āmanū wa ‘amilū al-ṣālihāti,
397
dan pada redaksi ayat terdapat ḍamīr kata ganti yang tidak dicantumkan setelah
man aḥsana ‘amalan, sehubungan teks tersebut dinilai telah memadai untuk dimengerti, kendati tidak disertai ḍamīr.
398
Pemaknaan tersebut mengisyaratkan kepada “orang yang berihsan adalah orang yang beriman
dan beramal shaleh”. 4. Muḥsin berarti ‘Mun’im pemberi nikmat atau Mu’ṭī pemberi
sesuatu Mun’im atau Mu’ṭī sebagai arti dari muḥsin terlihat dari surah
Yūsuf12 : 23. Kisah tentang Nabi Yūsuf as diperlakukan dengan baik oleh Al-‘Azīz
399
yang mengangkatnya sebagai anak hingga kebaikan itu digambarkan dengan perkataan Nabi Yūsuf as pada penggalan ayat
tersebut “Innahu rabbī aḥsana mathwāya” yang ditafsirkan dengan “Sesungguhnya ia adalah tuanku yang telah memberi nikmat kepadaku
dengan memuliakanku”
400
395
Abī Al-Su’ūd Muhammad bin Muhammad bin muṣṭafā Al-‘Ammādiy Al- Ḥanafiy w. 982 H, Tafsīr Abī Al-Su’ūd, Irshād Al-‘Aql Al-Salīm ilā Mazāyā Al-Kitāb
Al-Karīm Beirut, Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1999, Juz 7, 196. Selanjutnya disebut Abī Al-Su’ūd, Irshād Al-‘Aql Al-Salīm.
396
Al-Rāziy, Mafātih Al-Ghayb, Jilid 11, Juz 21, 74.
397
Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 619.
398
Al-Bayḍāwiy, Anwār Al-Tanzīl, Juz 1, 495.
399
Julukan raja Mesir yang bernama Iṭfīr. Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 7, 180.
400
Abī Al-Ḥasan Ali bin Ahmad Al-Wāḥidiy w. 468 H, Al-Wajīz fī Tafsīr Al- Kitāb Al-‘Azīz, Taḥqīq Ṣafwān ‘Adnān Dāwūdiy Beirut, Dār Al-Qalam, 1995, Juz 1,
543. Selanjutnya disebut Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz.
88 5. Muḥsin bermakna Muṭī’ orang yang patuh
Term muḥsin berarti juga muṭī’ setidak-tidaknya terlihat pada surah Al-Shaffat37 : 105. Qad ṣadaqta al-ru`yā, Innā kadhālika najzī al-
muḥsinīn. Pada ayat ini Nabi Ibrāhīm as aebagai orang yang taat melaksanakan perintah Allah swt berkenaan dengan penyembelihan
puteranya Nabi Ismail as. Dengan mengamalkan perintah-Nya menyebabkan ia disebut muḥsin.
401
Selainitu surah Al-A’rāf7 : 56 yang tercantum di dalamnya term al-muḥsinīn, terutama penggalannya inna rahmat Allah qarīb min al-
muḥsinīn ditafsirkan sebagai orang yang patuh kepada Allah yang direalisasikan dengan melaksanakan segala perintah-Nya.
402
6. Muḥsin berarti Ṣābir orang yang sabar Muḥsin berarti ṣābir dalam konteks kalimat terdapat pada surah
Hūd11 : 115. Waṣbir fainna Allaha lā yuḍī’u ajr al-muḥsinīn. Perintah bersabar yang berkaitan dengan term al-muḥsinīn pada ayat ini
mengindikasikan kepada keberadaan muḥsin sebagai orang yang bersabar.
403
Surah Yūsuf12 : 90 yang termaktub di dalamnya term al- muḥsinīn, terutama pada penggalannya fainna Allaha lā yuḍī’u ajr al-
muḥsinīn bermakna al-ṣābirīn orang-orang yang bersabar.
404
7. Muḥsin bermakna Mutqin dan Muḥkim yang menguatkan, mempercantik, dan merapihkan
Surah Al-Sajdah32 : 7, Al-ladhī aḥsana kulla shay` khalaqahu, wabada`a khalqa al-insān min ṭīn, mencatat term aḥsana yang fa’il-nya
adalah kata ganti yang kembali kepada isim mauṣūl kata penghubung yang menunjuk kepada Allah swt. Kata aḥsana yang berhubungan
dengan ciptaan-Nya bearti atqana menguatkan dan aḥkama merapihkan dan memperindah. Oleh karena itu, Allah sebagai Muḥsin
bersifat Mutqin dan Muḥkim.
405
401
Al-Ṭabariy, Jāmi’ Al-Bayān, Jilid 10, 509.
402
Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 398.
403
Al-Zamakhshariy, Al-Kashshāf, 501, dan Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 1, 536, dan Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 676.
404
Abī Al-Laith Naṣr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrāhīm Al- Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm - Tafsīr Al-Samarqandiy Beirut, Dār Al-Kutub Al-
‘Ilmiyyah, 1993, Jilid 2, 175. Selanjutnya disebut Al-Samarqandiy, Baḥr Al-‘Ulūm.
405
Al-Wāḥidiy, Al-Wajīz, Jilid 2, 853, dan Al-Zamakhsyariy, Al-Kashshāf, 842, serta Al-Jauziy, Zād Al-Masīr, 1107.
89 Muḥsin yang berarti pihak yang memperindah dan mempercantik
tercatat juga pada konteks atau susunan kalimat surah Al-Mu’min40 : 64, terutama penggalannya Allah al-ladhī ja’ala lakum al-arḍa qarāran
wa al-samā`a binā`an wa ṣawwarakum faaḥsana ṣuwarakum wa razaqakum min al-ṭayyibāt…,
406
dan Al-Taghābun64 : 3 khalaqa al- samāwāti wa al-arḍa bi al-ḥaqqi wa ṣawwarakum faaḥsana ṣuwarakum,
wa ilaihi al-maṣīr.
407
Kedua ayat tersebut mencatat term aḥsana yang fā’il-nya subjek adalah dhamīr kata ganti yang menunjuk kepada Allah berkaitan
dengan rupa atau bentuk penciptaan manusia. Kata aḥsana yang bermakna memperindah dan mempercantik mengisyaratkan bahwa Allah
yang bersifat muḥsin telah memperindah dan mempercantik penciptaan bentuk manusia hingga seluruh makhluk-Nya tidak ada yang
menyamainya.
408
Secara umum, seluruh makhluk ciptaan-Nya adalah baik dan indah. Akan tetapi manusia sebagai yang terindah di tengah-tengah
makhluk-Nya yang indah.
409
c. Penggunaan term muḥsin