B. Rumusan Masalah
Untuk mempermudah dan efektifnya penulisan ini, maka berdasarkan penjelasan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, penulis hanya
membatasi permasalahan yang akan dibahas, yakni tentang pengaruh budaya Islam dalam pembuatan rumah tinggal tradisional di daerah Kudus.
Bertitik tolak dari persoalan-persoalan di muka, maka penulis merasa perlu merumuskan permasalahan utama yang akan membawa pada dampak dan
pengaruh rumah tradisional di masyarakat. Diantaranya yaitu : 1.
Bagaimana gambaran umum rumah tradisional Kudus sebelum masuknya Islam di Kudus ?
2. Bagaimana gambaran umum rumah tradisional Kudus setelah
berkembangnya Islam di Kudus ? 3.
Bagian-bagian mana saja yang terdapat unsur-unsur budaya Islamnya ?
C. Lingkup Permasalahan
Awal mula kemunculan rumah tinggal tradisional Kudus dengan kekayaan ragam hias ukirannya dilatarbelakangi oleh meningkatnya taraf hidup
masyarakat. Dalam laporan penelitian yang berjudul “Mencari Korelasi Antara Masjid Dengan Rumah Tinggal Tradisional Kudus, Jawa Tengah : Dengan
Pendekatan Historis dan Deskriptif”, Ashadi menyimpulkan bahwa terdapat benang merah antara tingkat taraf hidup masyarakat dengan banyak dan
sedikitnya atau kaya dan miskinnya ragam hias ukiran pada rumah tinggal tradisional. Sehingga ada dua faktor utama yang berkaitan erat dengan
keberadaan rumah tinggal tradisional Kudus, yaitu peningkatan pendapatan masyarakat dan ragam hias ukiran. Dengan demikian untuk mengetahui sejarah
rumah tinggal tradisional Kudus, mau tidak mau, harus mengetahui sejarah perkembangan masyarakat Kudus dan ragam hias ukiran itu sendiri.
Nama kota Kudus yang pada awalnya Tajug yang oleh Sunan Kudus dibuat “resmi” sebagai kota suci yang kemudian berkembang sebagai pusat
keagamaan di daerah pesisir. Sunan Kudus hidup pada masa pemerintahan Raden Patah di Demak yaitu pada tahun 1462-1518 M, dan diduga Sunan
Kudus wafat antara tahun 1518 atau 1550. Kemungkinan sebelum tahun-tahun tersebut Sunan Kudus telah menempati wilayah Kudus. Pada tahun 1543 M,
dia menerima dan sekaligus mengislamkan seorang Cina yang kapalnya terdampar di daerah Jepara, yang kemudian menetap di Kalinyamat di Jepara
bagian Selatan bersama istrinya, salah seorang putri Trenggana, dan tentu saja orang Cina tersebut tidak sendirian. Tetapi orang-orang asing terutama orang-
orang Cina sudah berada di kota-kota pesisir pantai utara pulau Jawa beberapa tahun sebelum itu. Menurut Ashadi, kemungkinan, kota Kudus itu mulai
mengalami kemunduran secara drastis pada tahun 1588 M, saat kekuasaan Islam berpindah ke Mataram. Walaupun pada tahun 1605 M, Kudus masih
dianggap sebagai kota “santri” oleh raja Mataram, namun sudah tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Masyarakat pertama yang bersama-sama
Sunan Kudus membangun kota Kudus, hidup dengan bertani dan berladang, dan sesekali menjual hasilnya. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan daerah-
daerah lain di pulau Jawa. Dikaruniai tanah yang subur, berupa endapan
lumpur, menjadikan Kudus dan daerah-daerah di bagian utara Jawa Tengah lainnya pernah mengalami surplus padi, yaitu pada zaman kerajaan Mataram
Islam yang berpusat di pedalaman abad ke-17 M. Namun daerah-daerah ini juga pernah mengalami masa-masa paceklik, kekurangan makanan, dan timbul
banyak penyakit. Oleh Hartingh, pada abad ke-18 M, Kudus disebutnya sebagai “kota mati”. Sebagaimana kondisi sosial masyarakat Jawa lainnya pada
waktu itu yang kebanyakan bertani, dalam membangun rumah kemungkinan besar tidak berbeda, yaitu berbentuk rumah yang paling sederhana; bentuk
kampung . Tipe rumah inilah yang mula-mula menempati wilayah yang
dinamakan Kauman, disekitar masjid Menara Kudus; sebab pusat kota Kudus Kuno diyakini terletak diantara kompleks bangunan masjid kuno dengan
sebuah menara bergaya candi sekarang berada. Prinsip hidup masyarakat Jawa pada umumnya yang “sekedar bisa hidup” atau “sekedar untuk hidup”,
merupakan salah satu kendala dalam usaha meningkatkan taraf hidupnya. Pada akhir abad ke-19 M, bertepatan dengan dibangunnya kota Kudus
modern Kudus Wetan, masyarakat Kudus Kulon mulai menapak naik taraf kehidupannya. Walaupun pada saat itu kota Kudus mulai berkembang menjadi
kota industri yang menyedot pekerja-pekerja buruh kebanyakan perempuan dari Kudus dan daerah sekitarnya, dan di Kudus juga terdapat industri
percetakan dan pertenunan batik maupun kain songket adalah sebagai indikasi bahwa kota Kudus sudah hidup kembali dan mulai menggeliat untuk berusaha
berdiri tegak. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa tercapainya kemakmuran masyarakat Kudus Kulon justru bermula dari rokok kretek.
Di Kudus Kulon secara menyebar, rapat dan padat, di daerah sekitar masjid kuno Menara Kudus, terdapat rumah-rumah tradisional yang
“spektakuler” karena hampir di seluruh bagian rumah kayu dipenuhi dengan ukiran. Dengan latar belakang yang berbeda dengan rumah tradisional Jawa
lainnya, rumah tinggal tradisional Kudus telah tampil dengan sosoknya yang unik dan khas. Di dunia ini, hal-hal yang spektakuler biasanya tidak berumur
panjang, sebab apa yang pernah diciptakan akan sulit untuk diulang kembali. Begitu pula dengan rumah tradisional Kudus, yang semakin lama semakin
berkurang jumlahnya.
6
Rupanya masyarakat Kudus tidak berhasil mengulang atau setidak-tidaknya mempertahankan dan melanjutkan sukses yang telah
dirintis pendahulunya. Pelimpahan warisan arsitektur rumah tradisional yang terjadi pada masyarakat Kudus Kulon adalah sekedar pemberian atau hibah
nyata sosok bangunan yang sudah ada oleh orang tua sebagai kreator kepada anak keturunannya. Jadi, generasi penerus tidak menghasilkan karya arsitektur
baru. Dengan kata lain bahwa rumah tradisional Kudus di bangun oleh dua atau tiga generasi dan tidak diikuti oleh generasi berikutnya.
Kelengkapan ukiran dan bentuk rumah tinggal tradisional Kudus tergantung kepada tingkatan kemampuan ekonomi pemiliknya, strata sosial
ekonomi menengah ke atas atau menengah ke bawah. Berdasarkan kelengkapan ukirannya, rumah tinggal tradisional Kudus digolongkan ke dalam
6
Menurut data yang dikeluarkan oleh Pemda setempat pada tahun 1983, jumlah rumah tradisional Kudus adalah 203 buah terdiri dari 62 rumah kaya ukiran dan 141 rumah miskin ukiran.
Pada tahun 1984 jumlahnya menyusut menjadi 169 buah terdiri dari 54 rumah kaya ukiran dan 115 rumah miskin ukiran Ria Rosalia Wikantari, “Safeguarding A Living Heritage, A Model for the
Architecture Conservation of an Historic Islamic Distric of Kudus, Indonesia”, Tesis S2, University of Tasmania, 1994, h. 85, dikarenakan masalah-masalah hak waris telah
menyebabkan rumah tradisional Kudus terpaksa harus dijual kepada pihak lain.
rumah tinggal tradisional kaya ukiran dan miskin ukiran. Sedangkan bentuk rumah tradisional Kudus dapat dibedakan menjadi empat golongan atau tipe,
yaitu tipe payon atau kampung, limasan, dara gepak kombinasi antara tipe kampung dan limasan, dan joglo. Berdasarkan pola tapaknya, rumah tinggal
tradisional Kudus dapat dibedakan menjadi tiga golongan atau tipe, yaitu tipe tunggal tertutup
, tunggal terbuka, dan berderet.
7
D. Tujuan Penelitian