Rumah tradisional Kudus: pengaruh budaya Islam dalam rumah tradisional Kudus (1500-1900)

(1)

RUMAH TRADISIONAL KUDUS :

PENGARUH BUDAYA ISLAM DALAM RUMAH TRADISIONAL KUDUS (1500-1900)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh

Mujib Hardiyan Syah NIM : 104022000809

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2009


(2)

RUMAH TRADISIONAL KUDUS :

PENGARUH BUDAYA ISLAM DALAM RUMAH TRADISIONAL KUDUS (1500-1900)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh

Mujib Hardiyan Syah NIM : 104022000809

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2009


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (satu) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 7 Agustus 2009


(4)

RUMAH TRADISIONAL KUDUS :

PENGARUH BUDAYA ISLAM DALAM RUMAH TRADISIONAL KUDUS (1500-1900)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh

Mujib Hardiyan Syah NIM : 104022000809

Pembimbing,

Drs. Imam Subchi, M.A. NIP : 19670810 200003 1 001

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2009


(5)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul RUMAH TRADISIONAL KUDUS : PENGARUH BUDAYA ISLAM DALAM RUMAH TRADISIONAL KUDUS (1500-1900) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 25 Agustus 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.

Jakarta, 25 Agustus 2009

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, M.A. Usep Abdul Matin, S.Ag, M.A., M.A. NIP : 19591222 199103 1 003 NIP : 150 288 304

Anggota,

Penguji, Pembimbing,

Dr. H. M. Muslih Idris, Lc., M.A. Drs. Imam Subchi, M.A. NIP : 19520603 198603 1 001 NIP : 19670810 200003 1 001


(6)

ABSTRAKSI

Mujib Hardiyan Syah

Rumah Tradisional Kudus : Pengaruh Budaya Islam dalam Rumah Tradisional Kudus (1500-1900)

Penelitian ini merupakan sebuah penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yang berusaha mendiskripsikan serta menganalisa perkembangan arsitektur rumah tradisional Kudus yang dipengaruhi oleh beragam kebudayaan, termasuk Islam. Penelitian ini di latar belakangi oleh banyaknya rumah-rumah maupun gedung-gedung pemerintahan yang meniru seni ukiran yang terdapat pada ornamen-ornamen di dinding rumah tradisional Kudus atau yang biasa disebut gebyok. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.

Permasalahan utama yang ingin dijawab dengan adanya penelitian ini adalah bagaimana gambaran umum rumah tradisional Kudus dari awal hingga perkembangan rumah tersebut saat kebudayaan Islam masuk di Kudus dan seberapa besar pengaruh kebudayaan Islam dalam rumah tradisional Kudus. Penulisan skripsi ini mengungkap bahwa rumah Kudus Kuno, ketika itu memiliki atap berbentuk kampung atau biasa disebut rumah tipe payon (kampung), dan rumah tersebut tidak memiliki hiasan ukir-ukiran. Berbeda dengan rumah Kudus setelah masuknya Islam, yaitu melalui peranan Sunan Kudus dan Kyai Telingsing, sehingga rumah tradisional Kudus dalam perkembangannya mengalami beberapa perubahan yang sangat signifikan dari bentuk fisik rumahnya dan interior yang didominasi ukiran-ukiran dari berbagai kebudayaan yang mendukung keindahan rumah pada perkembangan selanjutnya dalam rumah tradisional Kudus.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa budaya Islam yang terutopsi pada ornamen rumah tradisional Kudus tampil menyerap, mengakomodasi, atau mengadaptasi unsur-unsur kesenian yang telah ada sebelumnya, dan lebih mementingkan isi atau misi yang terkandung di dalamnya. Sehingga kebudayaan Asli, Hindu Jawa, Cina dan Islam, dimana kesemuanya dengan apik mengalami sinkretisasi yang ditampilkan dalam bentuk ornamen-ornamen.


(7)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum.Wr.Wb

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta karunia-Nya. Shalawat serta salam senantiasa penulis panjatkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW, yang telah membawa manusia melewati alam kegelapan menuju kemenangan. Semoga kita mendapatkan syafaat dari beliau pada hari akhir nanti. Amin.

Banyak sekali cobaan serta rintangan yang penulis hadapi dalam menyusun Tugas Akhir / Skripsi ini. Meski demikian berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya tanpa disadari penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir / Skripsi tersebut dengan baik. Suatu kebahagiaan dan penghargaan bagi diri penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir / Skripsi yang begitu berat untuk dijalankan dengan kemampuan yang terbatas dan tanpa bantuan Allah SWT penulis tidak akan dapat menyelesaikan Tugas Akhir / Skripsi ini.

Skripsi ini membahas mengenai ”Rumah Tradisional Kudus : Pengaruh Budaya Islam dalam Rumah Tradisional Kudus (1500-1900)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Humaniora, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penulisan skripsi ini banyak bantuan yang diterima penulis, dan kiranya penulis dapat mengucapkan terima kasih kepada :


(8)

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat sebagai Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, atas pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Desertasi) dalam buku Pedoman Akademik 2007-2008 yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. H. Abdul Chair, MA sebagai Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, atas persetujuan yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat diajukan dalam sidang munaqasyah.

3. Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA sebagai Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, atas persetujuan yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat diajukan dalam sidang munaqasyah.

4. Drs. Imam Subchi, MA sebagai Dosen Pembimbing Skripsi penulis. Terima kasih banyak bapak atas bimbingan skripsinya yang tiada henti memberikan saran-sarannya sehingga skripsi ini dapat diterima dan diajukan dalam sidang munaqasyah.

5. Dr. H. M. Muslih Idris, Lc, MA sebagai Dosen Penguji Skripsi penulis. Terima kasih atas beberapa saran-saran yang telah diberikan dalam perbaikan skripsi ini semoga nantinya skripsi ini dapat menjadi sumbangsih ilmu di kemudian hari.

6. Drs. Saidun Derani, MA sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis, atas bimbingan akademik yang telah bapak berikan kepada penulis selama ini.


(9)

7. Ayahanda Muhadzab, Ibunda Umroh, dan adikku Milcham Chairun Syah. Terima kasih atas doa-doanya yang tiada henti-hentinya selalu ditujukan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai, serta dukungan moral dan materi yang telah diberikan sehingga sangat membantu penulis dalam menyelesaikan studinya untuk memperoleh gelar Sarjana.

8. Saudara-saudaraku yang selalu mendukungku : Pakdhe, Budhe, Paklik, Bulik, Mba’ Mila, Mba’ Iyuz, Mas Rizal, dan Bayu, atas dukungan moral dan materi yang telah diberikan oleh kalian. Terima kasih.

9. Temanku semua angkatan ’04, yang bersama-sama selama 5 tahun ini : Adit, Inul, Anita, Pandu, Thya, Fatimah, Indah, Udin, Mantik, Maria, Kang. Hamdi, Revi, Qiqin, Murni, Endah, Aini, Nurhasanah, Sai’dah, Siti, Marni, UIN, Ujang, Ochol, dan Yulia.

10.Teman-temanku yang lebih dulu lulus : Juni, Joy, Fahmi, dan Sinyo. Sukses untuk kalian.

11.Anak-anak The LaFFy : Dedi (buded), Haikal (ical), dan Aziz (chobby). Terima kasih banyak atas semangatnya, and we will rock together.

12.Teman-teman dari Unicore. Terima kasih atas semangat dan kebersamaannya.

13.Temanku yang ada di Kudus sana : Fariz dan Nina. Terima kasih banyak atas semangatnya, dan beberapa bantuan yang telah kalian berikan, nanti aku datang lagi.


(10)

Akhirnya atas doa restu semuanya, skripsi ini dapat penulis selesaikan. Penulis sangat mengharap saran dan kritik untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.

Jakarta, 11 September 2009


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI...vi

DAFTAR LAMPIRAN... ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah….…...……... 4

C. Lingkup Permasalahan... 4

D. Tujuan Penelitian... 8

E. Tinjauan Penelitian Terdahulu... 9

F. Landasan Teori... 10

G. Metode Penelitian... 16

H. Sistematika Penulisan... 17

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA KUDUS... 19

A. Letak Geografis Kota Kudus... 19

B. Keadaan Sosial dan Budaya Masyarakat Kudus... 24


(12)

BAB III RUMAH TRADISIONAL KUDUS SEBELUM MASUKNYA

ISLAM DI KUDUS... 40

A. Tinjauan Sejarah... 40

B. Bentuk Rumah Tipe Kampung... 46

1. Kampung Pacul Gowang... 47

2. Kampung Srotong... 47

3. Kampung Dara Gepak…... 47

4. Kampung Klabang Nyander... 48

5. Kampung Lambang Teplok... 48

6. Kampung Lambang Teplok Semar Tinandhu... 48

7. Kampung Gajah Njerum... 49

8. Kampung Cere Gencet…... 49

9. Kampung Semar Pinondhong... 49

10.Kampung Gotong Mayit... 50

11.Kampung Apitan……... 50

12.Kampung Gajah Ngombe... 50

13.Kampung Trajumas……... 50

C. Susunan Ruangan Rumah Tipe Kampung... 51


(13)

BAB IV RUMAH TRADISIONAL KUDUS SETELAH

BERKEMBANGNYA ISLAM DI KUDUS... 59

A. Tinjauan Sejarah... 59

B. Bentuk Fisik Bangunan Induk... 63

1. Jagasatru... 65

2. Senthong... 67

3. Pawon...…... 70

C. Komponen Pendukung Bangunan Pada Setiap Bagian Rumah... 72

1. Lantai…... 72

2. Langit-Langit / Ceiling... 73

3. Dinding...…... 73

4. Pintu... 73

5. Jendela... 74

6. Tiang... 74

D. Ragam Hias... 78

E. Tinjauan Unsur-Unsur Budaya Islam... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 89

A. Kesimpulan ... 89

B. Saran-saran...91

DAFTAR PUSTAKA...93


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lokasi Kota Kudus dalam Peta Jawa Tengah... 99

2. Peta Kota Kudus... 100

3. Denah Rumah Bentuk Kampung... 101

4. Bentuk Dasar Rumah Kudus... 103

5. Struktur Konstruksi Bangunan Rumah Kudus... 104

6. Denah Rumah Kudus Tampak Atas... 105

7. Denah Rumah Kudus Tampak Muka dan Tampak Samping Kanan... 106

8. Rumah Kudus Milik Warga di sekitar Masjid Menara Kudus (1)... 107

9. Rumah Kudus Milik Warga di sekitar Masjid Menara Kudus (2)... 107

10.Jalan Berupa Lorong-Lorong Sempit di antara Rumah-Rumah Warga...108

11.Ornamen Ukiran pada Pintu Sorong Kere... 108

12.Ruang Jogosatru... 109

13.Ornamen Ukiran pada Ruang Jogosatru... 109

14.Ornamen Ukiran Nanas pada Dodo Peksi dalam Ruang Jogosatru... 110

15.Ornamen Ukiran pada Konsol... 110

16.Foto Soko Geder, Simbol Keesaan Allah... 111

17.Motif Masjid dengan Hias Sulur-Suluran Berpangkal pada Jambangan... 111

18.Ornamen Ukiran pada Pintu Sentong... 112


(15)

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rumah adalah tempat dimana manusia tinggal untuk berteduh dari hujan, terpaan sinar matahari, dan berlindung dari marabahaya. Keberadaan rumah terus berkembang seiring dengan perubahan zaman baik dari segi bentuk, fungsi, maupun maknanya. Rumah akan terlihat biasa saja apabila tidak memiliki unsur kebudayaan di dalamnya, maka dibutuhkanlah arsitektur rumah untuk memperindah rumah tersebut. Kehadiran arsitektur rumah senantiasa bersifat “cultural-spesific”. Hal tersebut memberikan arti bahwa kebudayaan merupakan variabel yang berpengaruh didalamnya.1

Warga masyarakat Kudus, adalah sekelompok orang-orang Jawa yang bermukim di daerah pesisir pantai Utara pulau Jawa. Sebagai masyarakat pesisiran, secara historis mereka dikenal sebagai masyarakat yang bersifat religius, artinya di setiap sendi-sendi kehidupan sebagian besar warga masyarakat yang bersangkutan sangat dipengaruhi oleh sistem kepercayaan dan sistem nilai sebagaimana yang diajarkan oleh agama yang mereka peluk, yaitu agama Islam.2

Rumah tradisional Kudus, yang berdasarkan kajian historis-arkeologis, telah berhasil diketemukan pada abad ke-16 M, yang dibangun dengan bahan baku 95 % berupa kayu jati (Tectona Grandis) berkualitas tinggi dengan

1

Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992), h. 8.

2


(17)

teknologi pemasangan system “knock-down” (bongkar pasang tanpa paku). Rumah adat Kudus merupakan salah satu rumah tradisional yang terjadi akibat endapan suatu evolusi kebudayaan manusia, dan terbentuk karena perkembangan daya cipta masyarakat pendukungnya.3

Rumah tradisional Kudus yang sebagian besar dibangun sebelum tahun 1810 M, pernah mengalami masa kejayaannya dan menjadi simbol kemewahan bagi pemiliknya pada waktu itu. Lingkungan wilayah Kudus Kulon terbentuk dengan ciri keberadaan rumah adat tradisional Kudus tersebut.

Pada kenyataannya, sejarah perkembangan Kudus banyak dipengaruhi oleh kebudayaan asing seperti Hindu, Cina, Persia, dan Eropa yang masuk ke kawasan Kudus dalam waktu yang cukup lama. Kebudayaan-kebudayaan asing tersebut juga memengaruhi bidang arsitektur pembuatan rumah adat di daerah Kudus. Seni ukir Kudus banyak didominasi oleh bunga teratai untuk memaknai agama Hindu. Sunan Kudus memperkenalkan seni ukir yang didominasi oleh bunga melati yang satu sama lain saling berhubungan.4

Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, secara fisik ternyata wilayah Kudus Kulon yang mayoritas penduduknya merupakan para pengusaha dan pedagang tampak lebih maju jika dibandingkan dengan Kudus Wetan. Dengan peningkatan dalam segi finansial, mereka membangun

3

Kab. Kudus, “Rumah Adat Kudus”, artikel diakses pada 20 April 2008 dari http://www.indonesia.go.id/id

4

J. Pamudji Suptandar, “Seni ukir dan Ornamen dalam Rumah Adat Kudus”, artikel diakses pada 20 April 2008 dari http://www.gebyokcenter.com


(18)

rumah tinggal yang penuh dengan ukiran-ukiran yang membedakannya dengan rumah-rumah adat sebelumnya.

Model ukiran rumah adat Kudus agak berbeda dari model tempat para pengukir terkenal yang lain di Jawa yaitu Jepara. Menurut sejarah, di Kudus dahulunya merupakan pusat pengrajin seni ukir, sebelum dikembangkan di Jepara. Seni ukir diperkenalkan oleh imigrasi asal Yunan, The Ling Sing, sekitar abad ke-15.5

Oleh masyarakat Islam setempat, Kyai Telingsing ini tidak hanya dikeramatkan kuburannya tetapi juga dilestarikan ajarannya. Salah satu ajaran Mbah Sing (sebutan Kyai Telingsing) yang masih hidup dalam tradisi masyarakat setempat yaitu “solat sacolo saloho dongo sampurno”, yang berarti solat sebagai doa yang sempurna. Dan “lenggahing panggenan tersetihing ngaji”, yang berarti menempatkan diri pada sesuatu yang benar, suci dan terpuji.

Mengingat keunikan rumah adat tradisional Kudus yang menggunakan karya seni ukir-ukiran oleh masyarakat yang menjadikannya berbeda dengan rumah adat lainnya, khususnya rumah Joglo di daerah Jawa, maka penulis tertarik untuk meneliti rumah tinggal tradisional masyarakat Kudus dengan judul “RUMAH TRADISIONAL KUDUS : PENGARUH BUDAYA ISLAM DALAM RUMAH TRADISIONAL KUDUS (1500-1900)”.

5

Dia datang untuk menyebarkan agama Islam, kemudian disebut sebagai Kiai Telingsing. Selain itu, juga membagikan ilmunya untuk mengukir kayu dengan gaya Sun Ging atau biasa disebut Sungging sebagai sebuah mahakarya ukiran kayu karena kehalusan dan keindahannya.


(19)

B. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah dan efektifnya penulisan ini, maka berdasarkan penjelasan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, penulis hanya membatasi permasalahan yang akan dibahas, yakni tentang pengaruh budaya Islam dalam pembuatan rumah tinggal tradisional di daerah Kudus.

Bertitik tolak dari persoalan-persoalan di muka, maka penulis merasa perlu merumuskan permasalahan utama yang akan membawa pada dampak dan pengaruh rumah tradisional di masyarakat. Diantaranya yaitu :

1. Bagaimana gambaran umum rumah tradisional Kudus sebelum masuknya Islam di Kudus ?

2. Bagaimana gambaran umum rumah tradisional Kudus setelah berkembangnya Islam di Kudus ?

3. Bagian-bagian mana saja yang terdapat unsur-unsur budaya Islamnya ?

C. Lingkup Permasalahan

Awal mula kemunculan rumah tinggal tradisional Kudus dengan kekayaan ragam hias ukirannya dilatarbelakangi oleh meningkatnya taraf hidup masyarakat. Dalam laporan penelitian yang berjudul “Mencari Korelasi Antara Masjid Dengan Rumah Tinggal Tradisional Kudus, Jawa Tengah : Dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”, Ashadi menyimpulkan bahwa terdapat benang merah antara tingkat taraf hidup masyarakat dengan banyak dan sedikitnya atau kaya dan miskinnya ragam hias ukiran pada rumah tinggal tradisional. Sehingga ada dua faktor utama yang berkaitan erat dengan


(20)

keberadaan rumah tinggal tradisional Kudus, yaitu peningkatan pendapatan masyarakat dan ragam hias ukiran. Dengan demikian untuk mengetahui sejarah rumah tinggal tradisional Kudus, mau tidak mau, harus mengetahui sejarah perkembangan masyarakat Kudus dan ragam hias ukiran itu sendiri.

Nama kota Kudus yang pada awalnya Tajug yang oleh Sunan Kudus dibuat “resmi” sebagai kota suci yang kemudian berkembang sebagai pusat keagamaan di daerah pesisir. Sunan Kudus hidup pada masa pemerintahan Raden Patah di Demak yaitu pada tahun 1462-1518 M, dan diduga Sunan Kudus wafat antara tahun 1518 atau 1550. Kemungkinan sebelum tahun-tahun tersebut Sunan Kudus telah menempati wilayah Kudus. Pada tahun 1543 M, dia menerima dan sekaligus mengislamkan seorang Cina yang kapalnya terdampar di daerah Jepara, yang kemudian menetap di Kalinyamat di Jepara bagian Selatan bersama istrinya, salah seorang putri Trenggana, dan tentu saja orang Cina tersebut tidak sendirian. Tetapi orang asing terutama orang-orang Cina sudah berada di kota-kota pesisir pantai utara pulau Jawa beberapa tahun sebelum itu. Menurut Ashadi, kemungkinan, kota Kudus itu mulai mengalami kemunduran secara drastis pada tahun 1588 M, saat kekuasaan Islam berpindah ke Mataram. Walaupun pada tahun 1605 M, Kudus masih dianggap sebagai kota “santri” oleh raja Mataram, namun sudah tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Masyarakat pertama yang bersama-sama Sunan Kudus membangun kota Kudus, hidup dengan bertani dan berladang, dan sesekali menjual hasilnya. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di pulau Jawa. Dikaruniai tanah yang subur, berupa endapan


(21)

lumpur, menjadikan Kudus dan daerah-daerah di bagian utara Jawa Tengah lainnya pernah mengalami surplus padi, yaitu pada zaman kerajaan Mataram Islam yang berpusat di pedalaman (abad ke-17 M). Namun daerah-daerah ini juga pernah mengalami masa-masa paceklik, kekurangan makanan, dan timbul banyak penyakit. Oleh Hartingh, pada abad ke-18 M, Kudus disebutnya sebagai “kota mati”. Sebagaimana kondisi sosial masyarakat Jawa lainnya pada waktu itu yang kebanyakan bertani, dalam membangun rumah kemungkinan besar tidak berbeda, yaitu berbentuk rumah yang paling sederhana; bentuk kampung. Tipe rumah inilah yang mula-mula menempati wilayah yang dinamakan Kauman, disekitar masjid Menara Kudus; sebab pusat kota Kudus Kuno diyakini terletak diantara kompleks bangunan masjid kuno dengan sebuah menara bergaya candi sekarang berada. Prinsip hidup masyarakat Jawa pada umumnya yang “sekedar bisa hidup” atau “sekedar untuk hidup”, merupakan salah satu kendala dalam usaha meningkatkan taraf hidupnya.

Pada akhir abad ke-19 M, bertepatan dengan dibangunnya kota Kudus modern (Kudus Wetan), masyarakat Kudus Kulon mulai menapak naik taraf kehidupannya. Walaupun pada saat itu kota Kudus mulai berkembang menjadi kota industri yang menyedot pekerja-pekerja buruh (kebanyakan perempuan) dari Kudus dan daerah sekitarnya, dan di Kudus juga terdapat industri percetakan dan pertenunan batik maupun kain songket adalah sebagai indikasi bahwa kota Kudus sudah hidup kembali dan mulai menggeliat untuk berusaha berdiri tegak. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa tercapainya kemakmuran masyarakat Kudus Kulon justru bermula dari rokok kretek.


(22)

Di Kudus Kulon secara menyebar, rapat dan padat, di daerah sekitar masjid kuno Menara Kudus, terdapat rumah-rumah tradisional yang “spektakuler” karena hampir di seluruh bagian rumah kayu dipenuhi dengan ukiran. Dengan latar belakang yang berbeda dengan rumah tradisional Jawa lainnya, rumah tinggal tradisional Kudus telah tampil dengan sosoknya yang unik dan khas. Di dunia ini, hal-hal yang spektakuler biasanya tidak berumur panjang, sebab apa yang pernah diciptakan akan sulit untuk diulang kembali. Begitu pula dengan rumah tradisional Kudus, yang semakin lama semakin berkurang jumlahnya.6 Rupanya masyarakat Kudus tidak berhasil mengulang atau setidak-tidaknya mempertahankan dan melanjutkan sukses yang telah dirintis pendahulunya. Pelimpahan warisan arsitektur rumah tradisional yang terjadi pada masyarakat Kudus Kulon adalah sekedar pemberian atau hibah nyata sosok bangunan yang sudah ada oleh orang tua sebagai kreator kepada anak keturunannya. Jadi, generasi penerus tidak menghasilkan karya arsitektur baru. Dengan kata lain bahwa rumah tradisional Kudus di bangun oleh dua atau tiga generasi dan tidak diikuti oleh generasi berikutnya.

Kelengkapan ukiran dan bentuk rumah tinggal tradisional Kudus tergantung kepada tingkatan kemampuan ekonomi pemiliknya, strata sosial ekonomi menengah ke atas atau menengah ke bawah. Berdasarkan kelengkapan ukirannya, rumah tinggal tradisional Kudus digolongkan ke dalam

6

Menurut data yang dikeluarkan oleh Pemda setempat pada tahun 1983, jumlah rumah tradisional Kudus adalah 203 buah terdiri dari 62 rumah kaya ukiran dan 141 rumah miskin ukiran. Pada tahun 1984 jumlahnya menyusut menjadi 169 buah terdiri dari 54 rumah kaya ukiran dan 115 rumah miskin ukiran (Ria Rosalia Wikantari, “Safeguarding A Living Heritage, A Model for the Architecture Conservation of an Historic Islamic Distric of Kudus, Indonesia”, (Tesis S2, University of Tasmania, 1994), h. 85), dikarenakan masalah-masalah hak waris telah menyebabkan rumah tradisional Kudus terpaksa harus dijual kepada pihak lain.


(23)

rumah tinggal tradisional kaya ukiran dan miskin ukiran. Sedangkan bentuk rumah tradisional Kudus dapat dibedakan menjadi empat golongan atau tipe, yaitu tipe payon atau kampung, limasan, dara gepak (kombinasi antara tipe kampung dan limasan), dan joglo. Berdasarkan pola tapaknya, rumah tinggal tradisional Kudus dapat dibedakan menjadi tiga golongan atau tipe, yaitu tipe tunggal tertutup, tunggal terbuka, dan berderet.7

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari pada penulisan ini sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa rumah adat mempunyai peranan kehidupan sosial dan agama di masyarakat adalah sebagai berikut :

1. Untuk dapat mengetahui gambaran umum rumah tradisional Kudus sebelum masuknya Islam di Kudus seutuhnya.

2. Untuk dapat mengetahui gambaran umum rumah tradisional Kudus setelah berkembangnya Islam di Kudus seutuhnya.

3. Untuk dapat mengetahui bagian-bagian mana saja yang terdapat unsur-unsur budaya Islamnya.

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah :

1. Untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Humaniora, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7

Ashadi, “Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal Tradisional di Kudus, Jawa Tengah : dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”, (Laporan Penelitian Fakultas Tekhnik, Universitas Pancasila, 2000), h. 97.


(24)

2. Untuk memberikan informasi mengenai kegunaan rumah selain sebagai karya seni dan lambang martabat namun juga sebagai sarana berdakwah baik dari segi sosial, maupun agama.

3. Untuk menambah khazanah hasil karya ilmiah di bidang sejarah Islam khususnya kebudayaan di Indonesia. Dengan demikian penulisan ini diharapkan dapat melengkapi dan bisa digunakan untuk memahami fungsi rumah adat tradisional sebagaimana mestinya.

E. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Permasalah rumah adat pernah dikaji oleh Ashadi dalam tulisannya yaitu, “Mencari Korelasi Antara Masjid Dengan Rumah Tinggal Tradisional Kudus, Jawa Tengah : Dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif : Laporan Penelitian”, yang dititikberatkan oleh Ashadi adalah hubungan arsitektur masjid dengan rumah tinggal masyarakat Kudus, sehingga terdapat dua persoalan pokok yang dijelaskan, dari hal tersebut dapat diketahui bahwa rumah Kudus juga dipengaruhi oleh budaya Islam seperti halnya masjid.

Maka penulis tertarik untuk mengkhususkan pada pengaruh Islam dalam pembuatan rumah adat baik dari maknanya, jenis kebudayaan Islam terutama seni ukiran, maupun fungsinya, yang berada di daerah Kudus. Nantinya penulis tetap merujuk kepada penulis tersebut untuk mendapatkan sumber pendukung penelitian.


(25)

F. Landasan Teori

Dalam setiap penulisan dibutuhkan landasan teori sebagai landasan berpikir agar penulis mampu memaksimalkan segala daya upaya dalam penelitiannya dengan sebuah teori. Serta mempermudah penulis dalam melakukan upaya pengkajian terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau.8

Khusus dalam penulisan ini, penulis menggunakan beberapa teori. Menurut Ashadi untuk membahas mengenai rumah tinggal tradisional Kudus harus mengetahui beberapa hal, yaitu arsitektur tradisional, arsitektur tradisional Jawa Tengah, beberapa ragam hias tradisional, dan ornamentasi dalam seni Islam.

1. Arsitektur Tradisional

Arsitektur tradisional adalah kebudayaan yang telah dan pernah melembaga dengan mantap dalam lingkungan budaya tersebut. Arsitektur tradisional juga mengandung pengetahuan yang sangat mendalam dan luas tentang tata ruang dan waktu bagi kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.

Ada beberapa landasan dasar arsitektur tradisional,9 yaitu :

a. Kawruh, merupakan ilmu yang memiliki berbagai dasar-dasar filsafat, ekologi, teknologi, estetik, tata laksana, tata ritual, sosiologi, dan sebagainya secara lengkap dan menyeluruh serta terperinci. Merupakan sarana untuk membentuk dan mengembangkan individu dan masyarakat dalam “kawruh hidup”.

8

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos, 1999), h. 25.

9

Eko Budiharjo, Arsitektur Sebagai Warisan Budaya (Jakarta : Djambatan, 1997), h. 171-172.


(26)

b. Dharma (Mission), menciptakan wadah hidup bagi kehidupan manusia yang bulat utuh, selamat sejahtera di dunia dan di akhirat. Memapankan diri manusia dalam dirinya, keluarga, masyarakat, lingkungan, alam, dan Tuhan.

c. Tertib Laksana, mengukuhkan manusia sebagai subyek. Pengukuhan terhadap dirinya, keluarga, masyarakat, alam semesta, dan Tuhan, yang disertai dengan tanggung jawab di dunia dan di akhirat. Menggugah dan melatih kemandirian; membangkitkan dan meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan.

2. Arsitektur Tradisional Jawa Tengah

Rumah tradisional Kudus, yang berada di wilayah Jawa Tengah, sehingga pada dasarnya kebudayaan arsitektur rumah tradisional Kudus mengikuti rumah tradisional Jawa umumnya. Pada prinsipnya arsitektur rumah tinggal tradisional Jawa dapat dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu : Panggang-Pe, Kampung, Tajug atau Masjid, Limasan, dan Joglo.10 Rumah tipe Panggang-Pe sebenarnya tidak ada di dalam naskah-naskah lama kesusastraan Jawa pra-abad ke-XX M, namun demikian tipe ini bisa ditemukan dalam relief percandian Jawa Tengah yang hadir sebelum abad ke-X M.11

10

R. Ismunandar K, Joglo, Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, 3th ed. (Semarang : Dahara Prize, 1990), h. 91-160, dan Soegeng Reksodiharjo. Dkk, “Arsitektur Tradisional daerah Jawa Tengah”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jawa Tengah (T.tp. : T.pn., 1982), h. 43-88, dan Hamzuri, “Rumah Tradisional Jawa”, Proyek Pengembangan Permuseuman DKI Jakarta (T.tp. : Departemen pendidikan dan Kebudayaan RI, t.t.), h. 14-60.

11

Josef Prijotomo, Petungan : Sistem Ukiran Dalam Arsitektur Jawa (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1995), h. 9-10.


(27)

a. Rumah tipe Panggang-Pe

Rumah dengan tipe Panggang-Pe adalah bentuk yang paling sederhana; biasanya memiliki denah persegi panjang dengan 4, 6, atau 8 tiang, beratap satu bidang. Panggang-Pe berarti dijemur di bawah terik matahari. Dahulu bangunan tipe ini sebagai tempat menjemur barang-barang seperti teh, pati, ketela pohon dan lain-lain.

b. Rumah tipe Kampung

Rumah bentuk kampung paling banyak dijumpai di lingkungan masyarakat desa; pada dasarnya mempunyai denah empat persegi panjang, bertiang empat yang mendukung dua buah atap yang keduanya berbentuk empat persegi panjang, di bagian samping atas ditempatkan tutup keong (siput).

c. Rumah tipe Tajug

Rumah bentuk Tajug biasanya banyak dijumpai pada bangunan-bangunan suci, misalnya masjid dan makam. Rumah tipe ini memiliki denah bujur sangkar, bertiang empat dan memiliki empat bidang atap yang bertemu di satu titik puncak.

d. Rumah tipe Limasan

Jika rumah tipe Panggang-Pe dan Kampung adalah rumah tempat tinggal bagi masyarakat miskin, kurang mampu, maka bentuk atau tipe Limasan pada umumnya untuk kalangan atau golongan menengah. Rumah bentuk Limasan pada dasarnya memiliki denah segi empat, dengan empat, enam, delapan buah tiang atau lebih; atapnya


(28)

terdiri atas empat sisi, sehingga memiliki kerangka dudur sebanyak empat buah yang membentuk wuwungan (bubungan) molo dan dudur. e. Rumah tipe Joglo

Pada dasarnya rumah bentuk Joglo mempunyai denah bujur sangkar; pada mulanya memiliki empat tiang yang dinamakan soko guru. Pada perkembangan selanjutnya ada penambahan di bagian-bagian sampingnya, sehingga bentuk denah dan jumlah tiang pun disesuaikan dengan kebutuhan.

3. Ragam Hias Tradisional

Ragam hias tradisional adalah semua bentuk dekorasi atau ornamen yang difungsikan untuk memperindah suatu bangunan, baik bangunan tempat ibadah, tempat berkumpul (bermusyawarah) maupun tempat tinggal, baik dalam bentuk seni pahat (bentuk tiga dimensi), seni ukir (bentuk dua dimensi), seni lukis maupun seni anyaman, yang diwariskan secara turun temurun.

Adanya unsur ragam hias pada bangunan-bangunan tempat ibadah dan tempat tinggal selain memberikan nilai artistik juga nilai religi. Nilai artistik diperlihatkan pada wujudnya atau motifnya, sedangkan nilai religi lebih diketahui dari filosofi yang terkandung dalam motif-motifnya. Untuk memahami filosofi dari satu macam motif diperlukan keahlian tersendiri, tidak sembarang orang bisa melakukannya, bahkan kadang-kadang seorang seniman dalam mengekspresikan satu jenis motif ragam hias pada karyanya tidak mengetahui makna atau filosofinya.


(29)

Untuk bisa mengungkap dan memahami sebuah ragam hias, kita tidak bisa lari dari masa lalu, masa dimana jenis motif ragam hias tersebut dibuat, dengan juga menyelami alam pikiran, dan adat istiadat masyarakat pada masa itu yang mungkin tercermin pada ekspresi bentuk atau motif ragam hiasnya.

Motif ragam hias tradisional ada banyak jenisnya, namun bisa dikelompokkan ke dalam enam macam yaitu, motif Geometri, Fauna, Flora, Manusia, Alam, dan Agama atau Kepercayaan. Khususnya motif Fauna, Flora, dan Manusia, setelah agama Islam masuk mempengaruhi kepercayaan masyarakat Jawa, motif-motifnya diciptakan sedemikian rupa sehingga larangan menggambarkan sesuatu makhluk hidup bisa diakomodir. Motif flora masih memungkinkan mewujudkan dalam bentuk naturalis, sedangkan motif fauna dan manusia dilakukan dengan proses stilasi.

4. Ornamen dalam Seni Islam

Kesenian adalah salah satu aspek kebudayaan, dan kebudayaan adalah hasil karya manusia dengan mengoptimalkan akal budinya. Sedangkan komponen dasar Islam adalah agama dan kebudayaan; dua hal yang sangat berlainan pemahamannya. Seni Islam adalah bagian dari kebudayaan Islam; bukan bagian dari agama Islam. Meskipun kesenian tidak berhubungan dengan agama, namun karena kebudayaan Islam itu takluk dan dikendalikan dikendalikan oleh agama, maka kesenian Islam


(30)

juga takluk dan dikendalikan oleh agama.12 Roh Tauhid (Ke Esaan Tuhan) adalah merupakan tenaga penggerak dalam mencipta segala macam ornamen, sehingga dalam perbedaan bentuk seni Islam di seluruh dunia Islam akan nyata terlihat norma-norma persamaan yang mengikatnya. Seni Islam memiliki tujuan dan sasaran yang tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di dalam Al-Qur’an yaitu mengajarkan dan menguatkan ke dalam diri umat manusia persepsi akan sifat-sifat Ketuhanan yang tidak terjangkau (divine transcendence).

Ada 6 karakteristik ekspresi estetika Tauhid, yaitu :13

a. Abstraction, pola-pola tak berakhir atau tak terbatas yang mula-mula adalah dalam bentuk abstrak. Apabila terpaksa harus menghadirkan figur-figur alam, maka mereka harus ditundukkan ke dalam teknik denaturalization and stylization.

b. Modular Structure, karya seni Islam tersusun atas bagian-bagian atau modul-modul yang dikombinasikan untuk menghasikan desain yang lebih besar.

c. Successive Combinations, pola-pola tak terbatas dari pendengaran, penglihatan, dan gerakan memberi bukti adanya kombinasi yang berturutan dari modul dasar atau pengulangan mereka.

12

Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian, Relevansi Islam dengan Seni Budaya Karya Manusia (Jakarta : Alhusna, 1988), h. 104-106.

13

Ismail R. Al Faruqi dan Lois Lamya Al Faruqi, The Cultural Atlas of Islam (New York : Macmillan Publishing Company, 1986), h. 165-168.


(31)

d. Repetition, kombinasi tambahan dalam seni Islam menggunakan pengulangan motif dari modul struktur dan dari kombinasi berturutan mereka.

e. Dynamism, disain Islam adalah dinamis, yaitu sebuah desain yang pasti berpengalaman melewati zaman. Karya seni Islam dipahami secara berturut-turut dan komulatif.

f. Intricacy, keruwetan mempertinggi kecakapan dan kemampuan berbagai pola untuk menangkap perhatian pengamat dan memperkuat konsentrasi pada structural entities yang dipresentasikan.

G. Metode Penelitian

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian14 sejarah dalam menguraikan penulisan ini yang dilihat dari segi sosial dan agama. Penulisan ini berlangsung melalui beberapa tahapan-tahapan.

Penulis berusaha mencari dan mengumpulkan bahan-bahan atau data berjenis data primer dan sekunder yang berbentuk teks dan buku-buku yang berasal dari Perpustakaan Pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, Perpustakaan Pusat UI, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UI, dan Perpustakaan Nasional Jakarta, maupun hasil observasi langsung dengan menampilkan beberapa gambar obyek rumah adat, yang berkaitan dengan judul, atau proses mencari untuk menemukan sumber-sumber sejarah yang relevan.

14

Louis Gottschalk. Penerjemah : Nugroho Notosusanto, Mengerti sejarah : Pengantar Metode Sejarah (Jakarta : Yayasan Penerbit UI, 1975).


(32)

Setelah semua sumber terkumpul, lalu penulis menguji sumber-sumber yang telah diperoleh untuk menelusuri kevalidan dan informasi dari sekian sumber tertulis yang ada. Kemudian menginterpretasikan sumber-sumber yang telah diuji ke dalam keseluruhan ungkapan yang logis.15 Dan yang terakhir adalah penulisan sejarah dengan memperhatikan aspek kronologis. Teknik penulisan pada skripsi ini merujuk pada buku : pedoman penulisan skripsi, tesis dan desertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Cetakan kedua terbitan tahun 2002, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Desertasi) dalam buku Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007-2008, dan buku-buku lain yang berhubungan dengan metodologi penelitian.

Adapun metode penulisan ini bersifat deskriptif analitis, dengan menggunakan pendekatan historis-arkeologis, di mana sumber dan faktor yang tercerai-berai dianalisa, berhubung yang dikaji adalah sebuah rumah adat tradisional maka bentuk umum rumah akan dijelaskan secara deskriptif.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran dan memudahkan pembahasan terhadap penulisan ini, penulis membagi ke dalam lima bab, dengan sistematika sebagai berikut.

Bab I, Pendahuluan, yaitu membahas secara global pembahasan yang tercakup dalam penulisan ini yang meliputi : alasan pemilihan judul,

15


(33)

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian serta diakhiri dengan sistematika penyusunan.

Bab II, Membahas tentang gambaran umum kota Kudus, baik dari segi letak geografisnya, keadaan sosial dan budaya masyarakat di sana, maupun kehidupan religi masyarakat Kudus.

Bab III, Membahas tentang lingkup rumah tradisional yang meliputi : tinjauan sejarah rumah adat Kudus pada saat sebelum masuknya Islam, bentuk rumah tipe kampung, susunan ruangan rumah tipe kampung, dan fungsi tiap-tiap ruangan rumah tipe kampung.

Bab IV, Merupakan bab yang paling esensi dari semua bab yang dijelaskan dalam penulisan ini, yang membahas tentang tinjauan sejarah rumah adat Kudus pada saat setelah masuknya Islam, bentuk fisik bangunan rumah Kudus, komponen pendukung bangunan, tinjauan ragam hias, dan tinjauan unsur-unsur budaya Islam.

Bab V, Sebagai penutup, penulis memberikan kesimpulan maupun saran-saran dari skripsi ini.


(34)

19 BAB II

GAMBARAN UMUM KOTA KUDUS

A. Letak Geografis Kota Kudus

Kudus merupakan sebuah kota di Propinsi Jawa Tengah yang terletak diantara daerah-daerah Jepara, Demak, Pati, dan Purwodadi. Menurut cerita, nama Kudus berasal dari kata Al-Quds, yang berarti kesucian.16 Adalah lidah Jawa yang memuntir istilah Arab Al-Quds yang berarti Baitul Makdis menjadi Kudus. Kota tersebut sebelumnya memang bukan Kudus, melainkan Tajug.17 Ketika masih bernama Tajug, tempat tersebut di dalam buku De Graaf dan Pigeaud disebut-sebut “digarap” oleh seorang Tionghoa Muslim bernama The Ling Sing, yang kemudian disebut Mbah Telingsing. Ada pula nama lain dari kota Kudus bahwa awalnya bernama Loaram. Menurut Solichin Salam, Loaram, berasal dari nama sebuah pohon Lo’ (sejenis biji kluwing). Yang nantinya menjadi nama desa di sekitar tiga kilometer tenggara kota Kudus yang sekarang menjadi sebuah nama desa yaitu desa Loram atau Ngloram.18

Kudus adalah nama suatu kota yang terletak di pantai utara timur Jawa Tengah, yaitu di antara (Semarang-Surabaya). Kabupaten Kudus, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Kota Kudus,

16

De Graaf, H.J, Th.G.Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1986), h. 114.

17

Tajug itu berarti “rumah-rumahan (di atas makam ) dengan atap meruncing”, gaya bangunan ini sejak lama sudah digunakan untuk tujuan-tujuan keramat. Jadi, Kudus yang berasal dari Tajug ini boleh diandaikan tempatnya, telah lama dimaknai dengan kekeramatan tertentu. Secara harafiah tajug berarti bangunan diatas makam yang beratap perisai dengan satu puncak. Nama Tajug, terdapat dalam ‘Serat Kandha’, Graaf, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, h.115.

18

Ahmad Syafawi, Sarekat Islam dan Perubahan Sosial : Peranan Sarekat Islam pada Industri Kretek KudusTahun 1911-1940 (T.tp. : T.pn., 2005), h. 9.


(35)

berada 51 km sebelah timur Kota Semarang. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Pati di timur yang berjarak 25 km, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak di selatan berjarak 25 km, sekitar 18 km ke arah utara kota Kudus terdapat Gunung Muria, serta Kabupaten Jepara di barat dengan jarak 36 km.19 Kudus dikenal sebagai kota penghasil rokok kretek terbesar di Jawa Tengah. Selain itu Kudus juga di kenal sebagai kota santri, kota ini juga menjadi pusat perkembangan agama Islam pada abad pertengahan hal itu dapat dilihat dari terdapatnya 2 makam wali/ sunan, yaitu Sunan Kudus dan Sunan Muria.

Riwayat kota Kudus tidak terlepas dari nama Sunan Kudus sebagai pendirinya yang merupakan salah satu dari Wali Sanga penyebar agama Islam di tanah Jawa pada waktu itu. Sebagai peninggalannya, Kudus memiliki sebuah artefak yang terkenal yaitu Menara Kudus yang berbentuk seperti candi serta Masjid Menara Kudus yang dibangun oleh Sunan Kudus sekitar tahun 1685 M.

Secara geografis letak Kudus yang ada di persimpangan antara jalur Semarang – Pati – Surabaya, maupun Jepara – Pati – Rembang dan sebagainya, menjadikan kota ini sangat strategis, sebagai kota transit atau persinggahan. Di samping fungsinya sebagai kota penghubung, kota Kudus termasuk kota yang ramai, karena sebagaimana diketahui, Kudus terhitung kota industri. Di sana banyak didapati industri rokok kretek, gula, pertenunan, percetakan dan lain

19

Solichin Salam, Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam (Kudus : Menara Kudus, 1977), h. 1.


(36)

sebagainya.20 Kabupaten Daerah Tingkat II Kudus terletak di antara 110 36’ dan 110 50’ BT (Bujur Timur) serta 6 51’ dan 7 16’ LS (Lintang Selatan). Ketinggian dari permukaan air laut rata-rata 55 M. Dari segi iklim termasuk iklim tropik dengan temperatur sedang. Sedang curah hujan relatif rendah, rata-rata di bawah 3000 mm/tahun dan waktu hujan rata-rata-rata-rata 150 hari/tahun. Suhu udara maksimum ada pada bulan September 29,4’ Celsius dengan suhu terendah pada bulan Juli 17,6’ Celsius.21

Kabupaten Kudus tidak terlalu besar, yaitu dengan wilayah berkisar 22,50 Km dari Barat ke Timur dan 39,00 Km dari Utara ke Selatan dengan luas wilayah 425,15 Km2 yang secara keseluruhan memiliki luas berkisar 42.515,644 Km2. Wilayah ini termasuk terkecil di antara daerah Tingkat II lainnya di Jawa Tengah.22

Wilayah Kabupaten Kudus terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : sebelah utara merupakan daerah pegunungan Muria yang terkenal dengan objek-objek wisata alamnya, bagian tengah merupakan daerah dataran yang terkenal sebagai daerah industri rokok kretek dan daerah wisata budaya, sebelah selatan merupakan daerah dataran rendah dan rawa-rawa. Sebagian besar wilayah Kabupaten Kudus adalah dataran rendah. Sebagian wilayah utara terdapat pegunungan (Pegunungan Muria), dengan puncaknya Gunung Sutorenggo (1.602 meter), Gunung Rahtawu (1.522 meter), dan Gunung Argojembangan

20

Solichin Salam, Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam (Kudus : Menara Kudus, 1977), h. 1.

21

Kabupaten Kudus, “Keadaan Geografis”, artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://www.kuduskab.go.id/

22

Wikipedia, “Peta Lokasi kabupaten Kudus”, artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kudus


(37)

(1.410 meter). Sungai terbesar adalah Kali Serang yang mengalir di sebelah barat, membatasi Kabupaten Kudus dengan Kabupaten Demak. Kali Gelis yang mengalir ditengah Kota Kudus membagi wilayah menjadi dua bagian yaitu Kudus Kulon ( Barat ) dan Kudus Wetan ( timur ). Pada masa lampau, wilayah Kudus Kulon didiami oleh para pengusaha, pedagang, petani dan ulama, sedangkan Kudus Wetan dihuni oleh para priyayi, cendikiawan, guru-guru, bangsawan dan kerabat ningrat. Dan faktanya, bahwa masyarakat Kudus Kulon memang didominasi oleh kaum santri, dan masyarakat Kudus Wetan oleh kaum abangan.23 Dalam segi kehidupan politik tahun 1965, juga berbeda masyarakat Kudus, jika masyarakat Kudus Kulon mendukung Masyumi, maka masyarakat Kudus Wetan mendukung Komunis.24 Dalam perkembangannya ternyata Kudus Kulon lebih maju.

Secara administratif, Kabupaten Kudus terdiri atas 9 kecamatan, yang dibagi lagi atas 124 desa dan 7 kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Kota Kudus. Kudus merupakan kabupaten dengan wilayah terkecil dan memiliki jumlah kecamatan paling sedikit di Jawa Tengah.25

23

Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, 2nd ed. (Jakarta : Pustaka Jaya, 1983), h. 6-7.

24

Lance Castles, Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa : Industri Rokok Kudus (Jakarta : Sinar Harapan, 1982), h. 78.

25

Kabupaten Kudus, “Wilayah Administrasi”, artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://www.kuduskab.go.id/


(38)

Wilayah Administrasi

No Kecamatan Desa Kelurahan Jumlah

1 Kaliwungu 15 0 15

2 Kota 18 7 25

3 Jati 14 0 14

4 Undaan 15 0 15

5 Mejobo 11 0 11

6 Jekulo 12 0 12

7 Gebog 11 0 11

8 Dawe 18 0 18

9 Bae 10 0 10

Jumlah 124 7 131

Khusus untuk Kecamatan Kota, yang menjadi daerah penelitian ini, secara tradisional terbagi atas dua wilayah, yaitu : wilayah Kudus Kulon dan wilayah Kudus Wetan. Orang-orang Kota Kudus sangat menyadari bahwa kota mereka sendiri terdiri dua bagian, yaitu Kudus Kulon dan Kudus Wetan. Wilayah Kudus Kulon terletak di sebelah Barat Kali Gelis yang mengalir membelah kota. Dalam sejarah, Kudus Kulon dikenal sebagai kota lama dengan diwarnai oleh kehidupan keagamaan dan adat istiadatnya yang kuat dan khas serta merupakan tempat berdirinya Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus, serta merupakan pusat tempat berdirinya rumah-rumah adat pencu.26 Sementara Kudus Wetan terletak di sebelah Timur Kali Gelis, dan merupakan daerah pusat pemerintahan, pusat transportasi, dan daerah pusat perdagangan.27

Sesuai dengan catatan statistik yang telah ada, jikalau pada tahun 1905, daerah Kabupaten Kudus mempunyai penduduk sebanyak 90.000 jiwa, dan

26

Rumah pencu merupakan rumah yang memiliki atap yang menjulang keatas (semacam joglo, tapi atap tengahnya tinggi).

27

Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992), h. 35.


(39)

pada tahun 1953 jumlah penduduknya telah meningkat menjadi 309.273 jiwa,28 lalu pada tahun 1991, menjadi 609.604 jiwa,29 dan kemudian pada tahun 2003 jumlah penduduk Kabupaten Daerah Tingkat II Kudus tercatat sebanyak 813.000 jiwa. Jika dihitung dengan luas wilayahnya, yaitu sekitar 42.515,644 Km2, maka kepadatan penduduknya adalah 1.912 jiwa/km²;30 suatu angka yang yang menunjukkan betapa padatnya penduduk wilayah ini. Secara etnis, sebagian besar penduduk Kecamatan Kota Kudus adalah berasal dari suku Jawa. Karenanya, dari titik pandang kesukuan penduduk Kota Kudus tidak terlihat heterogen. Meski demikian, sebagian kecil dari penduduknya ada yang berasal dari etnis keturunan Cina dan etnis asing lainnya.

B. Keadaan Sosial dan Budaya Masyarakat Kudus

Orang-orang Kudus Kulon, dalam kesehariannya bermukim di daerah sekitar Masjid Menara Kudus, yaitu di Desa Kauman, Langgar Dalem, Damaran, Kerjasan, dan Desa Kajeksan dalam sebagian besar rumah-rumah pencu. Perkampungan di Kudus Kulon, merupakan daerah yang unik dan tertutup. Rumah-rumah yang dihuni oleh warga masyarakat setempat sebagian besar berada di balik pagar-pagar tembok yang cukup tinggi, sehingga dari luar, penampilan bentuk rumah yang tampak hanyalah atapnya yang menjulang tinggi, karena perbatasan tembok dinding atau pagar antar rumah itulah

28

Solichin Salam, Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam (Kudus : Menara Kudus, 1977), h. 3.

29

Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992), h. 43.

30

Wikipedia, “Peta Lokasi kabupaten Kudus”, artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kudus


(40)

menciptakan lorong-lorong sempit di sela-sela pemukiman penduduk, dan apabila seseorang mencoba menelusuri jalan-jalan kampung yang lebih pantas disebut sebagai lorong-lorong sempit yang memiliki lebar sekitar satu meter.31

Ciri-ciri lain yang menandai pola pemukiman orang-orang Kudus Kulon ini, adalah selain orientasi arah rumah yang senantiasa menghadap ke selatan bukan ke arah utara yang menghadap ke gunung Muria, juga hadirnya bangunan masjid ataupun langgar (mushala) yang cukup banyak, yang bukan saja berfungsi sebagai tempat sembahyang tetapi juga berfungsi sebagai tempat berkumpul warga masyarakat setempat dalam membicarakan persoalan kemasyarakatan ataupun sebagai tempat untuk menjalin hubungan sosial sehari-hari. Masjid atau langgar seakan menjadi pusat pemukiman yang dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk.

Melihat pola pemukimannya, tampak bahwa kehidupan warga masyarakat Kudus Kulon ini seakan ingin menutup diri dari orang luar. Berkenaan dengan hal ini, masyarakat Kudus Kulon memang eksklusif.32 Hal ini tampaknya disebabkan oleh perjalanan sejarahnya yang panjang. Keadaan psikologis serta rasa sensitif sebagai golongan minoritas pada waktu dulu, yaitu sebagai kelompok santri yang terjepit di antara kelompok abangan dan priyayi, serta pengaruh yang mendalam semangat juang Sunan Kudus dalam jiwa masyarakat Kudus Kulon inilah agaknya yang menjadi salah satu variabel yang

31

Fatah Syukur, “Tradisi Masyarakat dan Pendidikan Islam di kudus Jawa Tengah”, artikel diakses pada 21 Agustus 2008 dari http://citraedukasi.blogspot.com/2008/02/tradisi-masyarakat-kudus.html

32

Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992), h. 58.


(41)

membuat mereka berjuang keras untuk dapat bertahan dalam hidup dan berakibat mereka seakan ingin memisahkan diri dari kelompok luar.

Hingga kini, kehidupan masyarakat Kudus Kulon masih terkesan eksklusif. Mereka pada umumnya memiliki semangat dagang dan etos kerja yang tinggi. Rumah yang megah, usaha industri rumah tangga dan perdagangan tembakau yang ditekuni dalam kehidupan sehari-hari, adalah bukti hasil semangat dagang dan etos kerjanya yang tinggi itu.

Dengan kombinasi antara masyarakat industri dan masyarakat santri ini, maka ada kekhasan tersendiri yang dimiliki oleh masyarakat kota Kudus. Sebagaimana penelitian yang pernah dilakukan oleh Radjasa Mu’tasim, yang kemudian dibukukan bersama Abdul Munir Mulkhan, menuliskan kondisi masyarakat Damaran di Kudus hampir semua penduduk di Damaran bekerja 8 jam pada siang hari di rumah mereka sendiri. Selain anggota keluarga, terdapat pula pekerja dari luar. Sesekali tampak penduduk atau pekerja itu keluar pergi ke pasar atau warung. Suasana tersebut akan segera berubah total ketika malam tiba, terutama antara waktu Maghrib dan Isya’. Pada saat seperti inilah semua warga Damaran mengaji. Mereka yang tidak mengaji, tidak membuat gaduh. Jika pada saat demikian ada orang yang keluar rumah, apalagi duduk bersantai, akan segera diperingatkan oleh orang tua mereka. Orang menganggap bahwa duduk santai atau keluar rumah tanpa tujuan yang jelas pada jam-jam pengajian itu tabu atau ‘saru’.33 Gambaran masyarakat Damaran tersebut dapat mewakili

33

Radjasa Mu’tasim dan Abdul Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), h. 57.


(42)

kondisi umum sosial religius dan ekonomi masyarakat Kudus Kulon dan sebagian besar masyarakat Kudus.

Apa yang digambarkan secara umum mengenai pola kehidupan sehari-hari masyarakat Kudus Kulon tersebut, tampak berbeda bila dibandingkan dengan kehidupan masyarakat Kudus Wetan.

Orang-orang Kudus Wetan, pada umumnya bermukim di lingkungan rumah-rumah yang relatif terbuka. Kendati di wilayah ini juga dijumpai cukup banyak rumah pencu, namun jalan-jalan kampung lebih lebar dan agak leluasa. Pagar-pagar halaman rumah, pada umumnya relatif lebih transparan sehingga dari luar dapat terlihat bentuk keseluruhan rumah. Bentuk rumah mereka cukup bervariasi, dan umumnya berbentuk tembok, setengah tembok, dan kayu dengan atap kampung, limasan, dan sebagian lagi menggunakan gaya bangunan modern. Orientasi rumah kendati masih ada yang cenderung menghadap ke selatan (terutama rumah pencu), namun banyak juga yang menghadap ke arah jalan.

Suasana kehidupan sehari-hari di wilayah Kudus Wetan tampak lebih longgar dari ikatan-ikatan tradisi, meskipun di wilayah ini dihuni juga oleh orang-orang santri. Hal ini karena selain warga masyarakatnya banyak yang merupakan pendatang, termasuk juga warga keturunan Cina, juga bervariasi dalam hal agama yang dipeluknya. Wilayah ini lebih merupakan wilayahnya golongan priyayi dan abangan. Pola kehidupan sehari-hari masyarakat Kudus Wetan ini, memperlihatkan corak kehidupan yang lebih modern. Hal ini


(43)

didukung oleh kondisi wilayah tersebut yang lebih banyak berfungsi sebagai daerah pusat pemerintahan, transportasi, dan perdagangan.

Sistem kekeluargaan dalam lingkungan masyarakat Kudus, seperti halnya keluarga Jawa pada umumnya, berbentuk keluarga inti atau “batih” yang terdiri atas suami, istri dan anak-anaknya. Sekalipun demikian, acapkali keberadaan bentuk keluarga tersebut bertambah anggotanya, yaitu terdapatnya beberapa orang anggota yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga itu, antara lain ayah, ibu, kakak, adik, atau keponakan dari kedua atau salah satu pasangan suami istri tersebut.

Pada umumnya, orang-orang tua di Kudus dalam memilihkan jodoh untuk anak-anaknya baik lelaki ataupun perempuan, masih memandang kepada ‘nasab’ atau darah keturunan kedua belah pihak. Bahkan ada pula yang masih suka mempergunakan hitungan atau dalam bahasa Jawa ‘petungan’ dalam mengawinkan anak-anaknya.34

Di kalangan penduduk yang berharta, umumnya mereka mengawinkan anaknya dengan keluarga terdekat mereka sendiri yang sama-sama sederajat atau kaya dengan maksud agar supaya harta bendanya tidak jatuh ke tangan orang lain. Padahal cara yang demikian itu, adalah bertentangan dengan norma-norma etik dalam Islam. Agama yang menjadi anutan dan dipeluk oleh sebagian besar penduduk di daerah tersebut.

Masyarakat Kudus dikenal memiliki adat-istiadat atau tradisinya yang kuat untuk merayakan hari-hari besar agama seperti halnya masyarakat Jawa

34

Solichin Salam, Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam (Kudus : Menara Kudus, 1977), h. 7.


(44)

yang beragama Islam lainnya, juga memiliki tradisi untuk merayakan hari-hari tertentu yang dianggap memiliki nilai-nilai historis atau istimewa di dalam lingkungan kehidupan keagamaan mereka. Tradisi perayaan hari besar yang umum berlaku di kalangan umat Islam di Jawa atau bahkan di Indonesia yang dilakukan oleh masyarakat Kudus adalah tradisi perayaan Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha, Muludan (Maulid Nabi), Buka Luwur, dan Dandangan.

Pertama, tradisi perayaan Hari Raya Idul Fitri, seperti diketahui merupakan rangkaian dari pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Kekhasan tradisi ini di lingkungan masyarakat Kudus, lebih khusus lagi masyarakat Kudus Kulon tampak pada terciptanya suasana meriah bertemunya semua anggota kerabat. Pada hari itu, selain diadakan secara bersama ziarah ke kubur para leluhurnya, juga diperkenalkannya jalinan pertalian keluarga besar mereka, terutama diantara anak-anak.

Suasana meriah dimulai sejak malam hari raya, Shubuh tiba dengan bunyi takbir yang bergema di dalam rumah atau lewat masjid-masjid di seluruh kampung dan pada waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri di Masjid-Masjid atau di lapangan. Usai shalat Id, acara kunjungan kerabat yang lebih muda kepada kerabat yang lebih tua dan juga tetangga dekat dimulai. Di saat mereka berkunjung, di atas meja ruang tamu senantiasa penuh dengan jenis makanan atau kue-kue berbagai macam. Cara penyajian kue-kue dan minuman dalam menyuguh para tamu di hari raya tersebut di lingkungan masyarakat Kudus Kulon memiliki keunikan tersendiri. Kue-kue tersebut biasanya diletakkan di dalam wadah atau toples yang mulutnya atau lubangnya sempit yang secara


(45)

teknis, menyulitkan tamu untuk mengambil banyak dan gelas atau cangkir yang berukuran kecil-kecil atau di bawah ukuran standar dengan minuman yang sedikit. Cara penyajian yang demikian ini memunculkan stereotip masyarakat Kudus Kulon sebagai masyarakat yang medit (kikir).35

Cara penyajian suguhan minuman dan kue-kue di hari raya tersebut, dapat dilihat sebagai manifestasi gaya hidup yang mengutamakan makna hemat atau efisiensi dari warga masyarakat yang bersangkutan. Bahwa pada saat-saat seperti itu, orang yang bertamu diasumsikan telah banyak menerima suguhan sebelumnya, sehingga jika diberi suguhan dalam jumlah yang banyak biasanya tidak akan dihabiskan yang berarti sama saja dengan pemborosan atau mubazir. Kedua, perayaan hari raya Islam yang menjadi tradisi masyarakat Kudus adalah Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Qurban. Inti perayaan hari raya ini adalah mengucapkan takbir, tahlil, dan tahmid malam hari sebelumnya, shalat Id di masjid atau di lapangan, dan penyembelihan binatang untuk Qurban yang dibagikan kepada para fakir miskin.

Muludan (Maulid Nabi), yaitu perayaan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada tanggal 12 Robiul Awal, menjadi salah satu tradisi masyarakat Kudus. Inti perayaan adalah kegiatan ceramah-ceramah agama di masjid-masjid setempat dengan pembicara tokoh-tokoh ulama setempat. Selain itu, dalam rangka menyambut tibanya hari tersebut secara tradisional, di dalam

35

Fatah Syukur, “Tradisi Masyarakat dan Pendidikan Islam di kudus Jawa Tengah”, artikel diakses pada 21 Agustus 2008 dari http://citraedukasi.blogspot.com/2008/02/tradisi-masyarakat-kudus.html dan Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992), h. 94.


(46)

masjid sehabis shalat Isya’ para remaja mengadakan acara yang populer dengan berjanjen.36

Dandangan, adalah suatu upacara tradisional dan merupakan adat orang-orang Islam di Kudus yang berpusat di Desa Kauman dan Desa Langgar Dalem. Upacara ini pada dasarnya adalah perayaan untuk menyambut kedatangan Bulan Ramadhan atau bulan puasa. Menurut cerita, istilah Dandangan sesungguhnya berasal dari bunyi Bedug Masjid Menara yang ditabuh oleh petugas masjid sebagai tanda dimulainya bulan puasa. Karena

bunyi Bedug yang ditabuh tersebut terdengar suara :

ndang...ndang...ndang...ndang...ndang, maka bunyi tersebut disebut Dandangan.37 Upacara ini, biasanya dimulai sekitar lima hari menjelang hari datangnya bulan puasa. Para pedagang kecil selama hari-hari tersebut berjubel mrema atau menggelar barang dagangannya, apakah itu berupa barang-barang kerajinan atau makanan lainnya terutama di sekitar kompleks Masjid Menara. Puncak upacara ini adalah sehari sebelum dimulainya bulan puasa, yaitu ketika sore menjelang, Bedug di Masjid Menara ditabuh bertalu-talu dan pada malam harinya oleh pemuka agama setempat diumumkan dimulainya bulan puasa pada esok harinya. Selesai pengumuman ini, malam hari itu juga di masjid shalat tarawih.

Buka Luwur, diadakan setiap tahun bertepatan dengan tanggal 10 Muharram (Assyura). Buka Luwur adalah upacara tradisional penggantian kain

36

Berjanjen, yaitu pembacaan syair-syair yang menyangkut pribadi Nabi Muhammad yang dilagukan secara bersama dan adakalanya diiringi dengan musik terbangan (rebana).

37

Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992), h. 97.


(47)

kelambu yang dijadikan penutup makam Sunan Kudus. Upacara ini cukup meriah kendatipun tidak semeriah acara Dandangan. Karena upacara tradisional ini ditekankan pada acara-acara ritual; antara lain, Tahtiman Al-Qur’an, Tahlil umum, pengajian, pencucian pusaka-pusaka Sunan Kudus dan penggantian kain kelambu makam. Biasanya dalam upacara ini dilengkapi dengan selamatan yang disertai dengan pembacaan tahlil dan do’a, menurut kepercayaan barang siapa memperoleh kain kelambu dan nasi selametan yang dibagikan akan mendapat berkah. Banyak masyarakat dari Kudus dan sekitarnya, bahkan yang berasal dari luar kota yang datang dengan maksud mendapatkan nasi tersebut. Benar tidaknya kepercayaan masyarakat tentang nasi luwur yang membawa berkah, dan bahkan bisa menyembuhkan berbagai penyakit ini, hal tersebut diserahkan kepada keyakinan masing-masing masyarakat itu sendiri.

Mengawali prosesi pemasangan luwur baru ditandai dengan alunan Qalam Ilahi (Al-Quran), dilanjutkan pembacaan Tahlil, dan doa yang dipimpin oleh seorang ulama. Hampir semua tokoh masyarakat dan ulama sepuh38 menghadiri acara tersebut, Sekjen GAPPRI, dan Ketua MUI Kudus. Prosesi dilanjutkan dengan pemasangan luwur baru yang sudah disiapkan di Pendapa Tajug. Luwur kemudian dibawa ke Makam Sunan Kudus Ja’far Sodiq oleh seorang ulama didampingi oleh petugas luwur kemudian dengan hati-hati dipasang sampai sempurna. Setelah itu pembacaan Tahlil dipimpin oleh seorang ulama dan diikuti para hadirin. Karena sempitnya "cungkup" Makam

38

Sepuh, berarti dituakan, seseorang yang dtuakan karena telah memiliki karismatik dan pengalaman yang cukup banyak.


(48)

Sunan Kudus, hanya beberapa ulama sepuh yang bisa masuk dan dekat dengan batu nisan. Sementara undangan lain duduk bersimpuh mengelilingi di luar cungkup.

Tradisi serupa Buka Luwur juga terjadi di makam-makam para wali yang lain, misalnya di tempat Sunan Muria, Mbah Mutammaqin Kajen-Pati dan tempat-tempat para sunan yang lain di sekitar daerah ini. Bahkan di desa-desa yang terdapat makam tua yang dianggap sebagai sesepuh desa-desa, pendiri sebuah desa, maka peringatan buka luwur inipun diadakan. Sehingga ada pula tradisi Buka Luwur yang diadakan di tingkat regional dan di tingkat lokal. Peringatan buka luwur ini biasa juga disebut Khaul Mbah Sunan. Akan tetapi tidak jelas, kenapa peringatan Khaul itu mesti diletakkan pada bulan Sura / Muharram. Apakah upacara ini ada kaitannya dengan imitasi acara penggantian kain Kiswah (kain sebagai penutup Ka’bah) di Makkah, atau ada kaitannya dengan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada bulan Suro, misalnya meninggalnya Husain, cucu Nabi, di Karbala.

C. Kehidupan Religi Masyarakat Kudus

Masyarakat Kudus, sebagaimana telah dikemukakan, adalah suatu masyarakat yang sebagian besar di antara warganya beragama Islam puritan. Bagi mereka, nilai-nilai ajaran agama Islam bukan hanya sekedar untuk diamalkan dengan sebaik-baiknya melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai tuntunan atau pedoman hidup. Keyakinan orang Jawa yang beragama ‘Agami Jawi’ terhadap Tuhan sangat mendalam dan hal tersebut dituangkan ke dalam


(49)

suatu istilah sebutan Gusti Allah Ingkang Maha Kuwaos, yaitu Tuhan adalah Sang Pencipta, penyebab dari segala kehidupan di dunia dan seluruh alam semesta, serta hanya ada satu Tuhan.39

Secara lebih khusus, sistem kepercayaan sebagian besar warga masyarakat Kudus terungkap dalam apa yang mereka sebut dengan istilah Rukun Iman. Istilah ini dalam terminologi Islam, berarti pokok-pokok kepercayaan atau suatu sistem keyakinan yang menjadi dasar tingkah laku bagi setiap muslim.40 Sesungguhnya, bagi masyarakat Kudus, pokok-pokok kepercayaan mereka itu, baik disadari atau tidak tercermin atau terungkap dalam berbagai hal. Berbagai pandangan, ucapan, sikap, dan tingkah laku perbuatan mereka dalam kehidupan sehari-hari memperlihatkan bukti-bukti mengenai hal ini.

Dilihat dari segi agama, penduduk Kabupaten Kudus sebagian besar memeluk agama Islam. Hal tersebut dapat dimaklumi manakala dikaitkan dengan latar belakang sejarah kota yang bersangkutan. Sekalipun demikian, selain Islam, terdapat sejumlah agama lain non-Islam yang dipeluk oleh sebagian kecil penduduknya, yaitu agama Katolik, Kristen Protestan, Kong Hu Tju, Buddha, dan Hindu, serta penganut kepercayaan Samin (kebatinan) maupun Vrijdenker. Menurut data sensus penduduk menurut agama pada tahun 2000, disebutkan bahwa pemeluk agama Islam 688.086 orang, Katolik 5.207 orang, Protestan 8.970 orang, Hindu 84 orang, Buddha 1.302 orang, dan

39

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), h. 322.

40

Triyanto, “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, (Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992), h. 75.


(50)

lainnya 72 orang.41 Karena itu tidak mengherankan, apabila dalam soal perkawinan dan pembagian harta pusaka, yang berlaku bukanlah hukum adat, melainkan Hukum Islam.

Sebagian besar penduduk yang memeluk agama Islam itu bermukim di wilayah Kudus Kulon, yang meliputi atau tersebar di Desa Kauman, Kerjasan, Langgar Dalem, Demangan, Janggalan, Damaran, dan Kajeksan. Sementara sebagian kecil lainnya bermukim di wilayah Kudus Wetan, yang meliputi atau tersebar di Desa Panjunan, Kramat, Wergu, Nganguk, Glantengan, Barongan, Mlati, Rendeng, Demakan, Burikan, dan Kaliputu.

Wilayah Kudus Kulon, oleh karena sebagian besar penduduknya beragama Islam, maka tidak mengherankan jika mendapat sebutan sebagai suatu kawasan kaum santri dengan Desa Kauman sebagai pusatnya. Sementara wilayah Kudus Wetan, walaupun terdapat cukup banyak kaum santri, namun mempunyai penduduk yang lebih heterogen bila dilihat dari segi agama yang dipeluknya. Hal ini, karena di wilayah tersebut sebagian diantaranya terdapat orang-orang Cina, beberapa orang Kristen dan Katolik yang kebanyakan dari mereka dapat dikategorikan dalam kelompok priyayi dan abangan.

Kudus Kulon, memang merupakan suatu kawasan yang warga masyarakatnya sebagian terdiri dari kaum santri fanatik dan masih mengacu pendapat kyai atau tokoh masyarakatnya. Dijadikannya figur kyai sebagai tokoh panutan masyarakat Kudus Kulon itu menunjukkan bahwa dalam proses perjalanan sejarahnya, pengaruh ajaran Sunan Kudus begitu besar dan mampu

41

Badan Pusat Statistik Jawa Tengah, “Hasil Sensus Penduduk Menurut

Agama”, artikel diakses pada 30 Oktober 2008 dari


(51)

menembus batas waktu hingga sekarang. Dalam melakukan aktivitas kerja sehari-hari, misalnya, motivasi warga masyarakat Kudus Kulon bukan sekedar untuk mencari keuntungan materi semata, melainkan lebih dimotivasi semangat untuk beribadah, yaitu menjalankan perintah ajaran agama.

Di segi yang lain, gaya hidup yang Islami tersebut, bukan saja tampak mewarnai kehidupan sehari-hari warga masyarakat Kudus Kulon secara individual, tetapi juga tampak tercermin dalam kehidupan yang bersifat kolektif. Mengakarnya secara kuat lembaga sosial keagamaan, seperti Nu dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi masyarakat yang mereka miliki adalah bukti mengenai hal tersebut. Bertahan dan berkembangnya pondok-pondok pesantren, madrasah-madrasah, dan lembaga-lembaga pendidikan formal lainnya yang bercirikan dan bernafaskan Islam yang dikelola oleh dua organisasi tersebut merupakan bukti perwujudan tindakan kolektif mereka yang bersifat Islami. Mereka benar-benar fanatik dalam menghayati dan mengaktualisasikan nilai-nilai kepercayaan yang dipeluknya.

Bahwa dalam kehidupan kesehariannya warga masyarakat Kudus Kulon begitu fanatik dalam menjalankan ajaran agamanya, hal tersebut memang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Hal ini, karena secara historis telah melalui proses pewarisan nilai-nilai yang cukup panjang, terutama di dalam lingkungan keluarga mereka masing-masing. Meski fanatik, namun mereka tetap dapat mengembangkan sikap toleransi terhadap warga yang bukan termasuk dalam kelompok agamanya. Sebagai suatu contoh sikap toleransi itu, tercermin dalam sikap mereka yang tidak mau


(52)

menyembelih ternak sapi meskipun mereka tahu bahwa sesuai dengan ajaran Islam, hal tersebut tidak diharamkan.42 Terbentuknya sifat tersebut karena mereka mengikuti ajaran yang diberikan oleh Sunan Kudus, yaitu menghormati keyakinan orang-orang yang beragama Hindu.

Seperti diketahui bahwa lembu ataupun sapi adalah binatang yang dianggap suci oleh orang-orang yang beragama Hindu. Secara politis hal tersebut dapat dilihat sebagai salah satu strategi Sunan Kudus dalam mengembangkan ajaran agama Islam yang pada waktu itu masih banyak orang yang beragama Hindu. Namun secara obyektif, ajaran tersebut tetap menunjukkan adanya maksud untuk menghormati atau menghargai unsur keyakinan orang lain.

Sampai sekarang mitos tersebut masih dipercayai dan dipegang teguh. Menurut masyarakat, bila ada orang Kudus Kulon yang melanggar pantangan tersebut, maka akan mendapatkan sebuah bala’ atau petaka yang akan menimpa.43 Terlepas dari benar dan tidaknya mitos dan kepercayaan tersebut, yang jelas ada semacam “kearifan lokal” yang dilakukan Sunan Kudus, dalam rangka mewujudkan masyarakat multikultural untuk hidup bersama secara damai.

Kehidupan beragama di wilayah ini kelihatan harmonis, antara satu umat dengan umat lainnya terjadi saling hormat menghormati. Paling tidak sikap toleransi ini terlihat antara pemilik perusahaan, yang sebagian besar

42

Haram adalah istilah dalam agama Islam yang dipergunakan oleh masyarakat setempat sebagai suatu pengklasifikasian terhadap hal-hal yang terlarang atau harus dihindari.

43

M. Mustaqim, “Kudus Kulon, Akar Kesadaran Multikultural”, artikel diakses pada 21 Agustus 2008 dari http://belajarsejarahsosial.blogspot.com/2006/10/kudus-kulon-akar-kesadaran.html


(53)

berbeda agama dengan para karyawan. Namun demikian pihak perusahaan tidak menghalangi kesempatan beribadat bagi para karyawan, misalnya bila akan menunaikan shalat lima waktu dan sebagainya. Kendatipun sikap toleransi ini cukup tinggi, namun apabila disentuh oleh permasalahan SARA, maka sikap toleransi tersebut dapat berubah menjadi kemarahan besar. Salah satu contoh adalah kejadian yang terjadi pada tahun 1918; waktu itu ada perayaan ummat Tionghoa dengan Leang-leong berjalan dari Klenteng melewati depan Menara Kudus. Leang-leong adalah salah satu pertunjukan karnaval dengan memakai media ular naga besar yang diangkat beberapa orang dan di atas ular tersebut ada orang yang duduk. Dalam Leang-leong tersebut ada adegan seseorang dengan berpakaian santri (seperti seorang kyai) yang berdansa / bercumbu dengan seorang gadis seksi (prostitutes). Atraksi ini dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap kyai dan ummat Islam, yang berakibat kepada kemarahan ummat Islam sampai terjadi peristiwa pembakaran beberapa rumah-rumah para penduduk yang dianggap berkebangsaan Tionghoa

yang berada di sekitar Menara Kudus.

Kejadian tersebut nampak merupakan akumulasi dari ketegangan dan konflik antara orang-orang minoritas Cina dengan penduduk Muslim pribumi di Kudus. Ketegangan dan konflik tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain perbedaan etnik, persaingan dagang dan perasaan keagamaan. Jumlah penduduk Kudus waktu itu terdiri dari 38800 penduduk pribumi, 4000 orang Cina, 230 orang Eropa dan 40 orang bangsa asing lainnya. Secara umum


(54)

diketahui bahwa orang-orang Cina status ekonominya lebih tinggi dan karena itu mereka lebih disenangi oleh Belanda.44

Selanjutnya, dalam pergaulan hidup sehari-hari, tampak bahwa masyarakat Kudus Kulon tidak begitu mempersoalkan tingkat pelapisan sosial. Konsep tentang wong cilik (rakyat jelata) atau priyayi tidak berlaku di sini. Oleh karena itu, sikap saling menghargai dalam pergaulan hidup antar tetangga tampak dalam kesehariannya. Kyai dan haji, adalah status sosial yang dianggap memiliki derajat lebih tinggi dan dihormati dalam struktur sosial masyarakat setempat. Hal ini karena orientasi kehidupan mereka adalah berusaha mencapai derajat sebagai orang yang bertaqwa atau muttaqin.

Kyai dan haji, dengan demikian, adalah simbol status orang yang memiliki predikat sebagai muttaqin, untuk memperoleh status tersebut tidaklah mudah karena memerlukan pemilikan ketaqwaan yang tinggi. Untuk menjalankan ibadah haji, misalnya, tidak cukup hanya dengan tersedianya persyaratan material semata, melainkan yang lebih menentukan adalah kadar persyaratan ketaqwaannya.

44

Fatah Syukur, “Tradisi Masyarakat dan Pendidikan Islam di kudus Jawa Tengah”, artikel diakses pada 21 Agustus 2008 dari http://citraedukasi.blogspot.com/2008/02/tradisi-masyarakat-kudus.html


(55)

40 BAB III

RUMAH TRADISIONAL KUDUS SEBELUM MASUKNYA ISLAM DI KUDUS

A. Tinjauan Sejarah

Untuk mengawali topik pembahasan ini, terlebih dahulu perlu disinggung secara singkat beberapa aspek historis mengenai kemunculan rumah tradisional Kudus pada masa ”Indianisasi” yang berarti membicarakan juga rumah Jawa, karena pada masa-masa tersebut bentuk-bentuk rumah tidak terlalu berbeda di seluruh tanah Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sehingga nantinya diharapkan dapat memahami lebih lanjut mengenai latar belakang berkembangnya perwujudan bentuk rumah tersebut.

Membicarakan awal perkembangan atau sejarah rumah Jawa, bukanlah suatu hal yang mudah. Sulitnya pembicaraan mengenai hal ini terutama karena tidak adanya keterangan tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan kepastian bagaimana asal usulnya, kapan mulai diciptakan, dan siapa perancang pertamanya,45 dan sampai saat ini masih merupakan hal yang belum jelas karena kurangnya sumber-sumber tertulis pada jaman sebelum ”Indianisasi”. Rumah Jawa termasuk dalam kelompok yang disebut dengan the folk tradition, yaitu bersifat anonim, berkembang secara turun temurun melalui media lisan dalam lingkungan masyarakat setempat tanpa dapat diketahui kapan mulai diciptakan dan siapa perancang atau pemilik pertamanya.

45

R. Ismunandar K, Joglo, Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, 3th ed. (Semarang : Dahara Prize, 1990), h. 11, dan Hamzuri, “Rumah Tradisional Jawa”, Proyek Pengembangan Permuseuman DKI Jakarta (T.tp. : Departemen pendidikan dan Kebudayaan RI, t.t.), h. 1.


(56)

Data dan kodifikasi arsitektur tradisional Jawa yang terekam dengan jelas adalah pada saat mulai ”Indianisasi” sedangkan sebelumnya sangat sulit sekali ditelusuri kebenaran perwujudan arsitekturnya. Sangat miskin data yang ada, baik yang berupa inskripsi maupun artefak yang tertinggal. Banyak hipotesis yang mengacu kepada gambar-gambar bangunan yang terpampang di dinding percandian Hindu gaya Jawa Tengah. Hipotesa inipun patut dipertanyakan kebenarannya, sebab gambar-gambar tersebut apakah merupakan bentukan yang telah hadir sebelum Hindu masuk atau pada saat Hindu berkembang. Salah satu indikator dari akibat kuatnya ”Indianisasi” mempengaruhi Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah kehadiran bentuk bangunan yang tidak mempunyai kolong (rumah panggung). Bentuk ini berbeda dengan bentuk yang dimiliki daerah tetangganya seperti Jawa Barat, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan kawasan Indonesia Timur yang memiliki kolong pada bangunannya. Menurut Parmono Atmadi, hal ini bisa saja akibat terpengaruh kebudayaan India yang berbentuk bangunan percandian yang ada di India. Menurut suatu naskah tentang rumah Jawa koleksi museum pusat Dep. P&K No.Inv.B.G.608 disebutkan bahwa rumah orang Jawa pada mulanya dibuat dari bahan batu, teknik penyusunannya seperti batu-batu candi. Tetapi bukan berarti rumah orang Jawa meniru bentuk candi, bahkan beberapa ahli menduga bahwa candi meniru bentuk rumah tertentu pada waktu itu.46

46

Hamzuri, “Rumah Tradisional Jawa”, Proyek Pengembangan Permuseuman DKI Jakarta (T.tp. : Departemen pendidikan dan Kebudayaan RI, t.t.), h. 1.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos, 1999.

Ashadi, “Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal Tradisional di Kudus, Jawa Tengah : dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”. Laporan Penelitian Fakultas Tekhnik, Universitas Pancasila, 2000.

Atmadi, Parmono. “Beberapa Patokan Perencanaan Bangunan Candi”. Desertasi S3 Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada, 1979.

Azra, Azyumardi. Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1989.

Baker, Anton dan Zubair, Charis. Metode Penelitian Filsafat. Yogyakarta : Kanisius, 1990.

Budiharjo, Eko. Arsitektur Sebagai Warisan Budaya. Jakarta : Djambatan, 1997. Castles, Lance. Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa : Industri

Rokok Kudus. Jakarta : Sinar Harapan, 1982.

Dakung, Sugiarto. “Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981.

De Graaf, H.J dan Th.G.Th. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1986.

---. Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI antara Historisitas dan Mitos, terjemahan dari Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th centuries:


(2)

The Malay Annals of Semarang and Cirebon. Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 1998.

Faruqi, Ismail R. dan Al Faruqi, Lois Lamya. The Cultural Atlas of Islam. New York : Macmillan Publishing Company, 1986.

Gazalba, Sidi. Islam dan Kesenian, Relevansi Islam dengan Seni Budaya Karya Manusia. Jakarta : Alhusna, 1988.

Geertz, Clifford. Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, 2nd ed. Jakarta : Pustaka Jaya, 1983.

Gottschalk, Louis. Penerjemah : Nugroho Notosusanto. Mengerti sejarah : Pengantar Metode Sejarah. Jakarta : Yayasan Penerbit UI, 1975. Hamzuri. “Rumah Tradisional Jawa”, Proyek Pengembangan Permuseuman DKI

Jakarta. T.tp. : Departemen pendidikan dan Kebudayaan RI, t.t.

Ismunandar K, R. Joglo, Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, 3th ed. Semarang : Dahara Prize, 1990.

Kartono, J. Lukito. ”Manusia dan Rumah Tinggal ; Suatu Tinjauan Perspektif Kebudayaan Timur dan Barat”. Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 27 , no. 2 (Desember 1999).

---. ”Konsep Ruang Tradisional Jawa dalam Konteks Budaya”. Dimensi Interior, vol. 3 , no. 2 (Desember 2005).

Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka, 1984.

Munfarida, Elya. ”Formulasi Konsep Estetika Seni Islam dalam Perspektif Ismail Raji al-Faruqi”. Jurnal Studi Islam dan Budaya, vol. 3, no. 2 (Juli-Desember 2005).


(3)

Mu’tasim, Radjasa dan Mulkhan, Abdul Munir. Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998. Nabhani, Taqyuddin. Penerjemah M. Maghfur Wachid. Membangun Sistem

Ekonomi Alternatif-Perspektif Islam. Surabaya : Risalah Gusti, 1999. Pasha, Musthafa Kamal. dkk. Fikih Islam. Yogyakarta : Citra Karsa Mandiri,

2002.

Priatmodjo, Danang. ”Anatomi Rumah Adat Kudus”. Laporan Penelitian, Fakultas Tekhnik, Universitas Tarumanegara, 1988.

Prijotomo, Josef. Petungan : Sistem Ukiran Dalam Arsitektur Jawa. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1995.

Reksodiharjo, Soegeng. Dkk. “Arsitektur Tradisional daerah Jawa Tengah”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jawa Tengah. T.tp. : T.pn., 1982.

Rochym, Abdul. Sejarah Arsitektur Islam, Sebuah Tinjauan. Bandung : Angkasa, 1983.

Salam, Solichin. Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam. Kudus : Menara Kudus, 1977.

Setiawan, Alim J. “Rumah Tinggal Orang Jawa; Suatu Kajian Tentang Dampak Perubahan Wujud Arsitektur Terhadap Tata Nilai Sosial Budaya dalam Rumah Tinggal Orang Jawa di Ponorogo”. Tesis S2, Universitas Indonesia, 1991.

Soesilo. Sekilas Tentang Ajaran Kejawen Sebagai Pedoman Hidup. Surabaya : Medayu Agung, 2000.


(4)

Suprijanto, Iwan. ”Rumah Tradisional Osing : Konsep Ruang dan Bentuk”. Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 30 , no. 1 (Juli 2002).

Syafawi, Ahmad. Sarekat Islam dan Perubahan Sosial : Peranan Sarekat Islam pada Industri Kretek Kudus Tahun 1911-1940. T.tp. : T.pn., 2005. Syafwandi. Menara Mesjid Kudus, Dalam Tinjauan Sejarah dan Arsitektur.

Jakarta : Bulan Bintang, 1985.

Tjahjono, Gunawan. “Cosmos, Center and Duality in Javanese Architectural Tradition : The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kotagede and Surrounding”. Disertasi S3, University of California, 1989.

Triyanto. “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”. Tesis S2, Universitas Indonesia, 1992.

Wijayakusuma, Hembing. Hikmah Shalat Untuk Pengobatan dan Kesehatan. Jakarta : Pustaka Kartini, 1997.

Wikantari, Ria Rosalia. “Safeguarding A Living Heritage, A Model for the Architecture Conservation of an Historic Islamic Distric of Kudus, Indonesia”. Tesis S2, University of Tasmania, 1994.

Dokumen elektronik dari internet

Badan Pusat Statistik Jawa Tengah. “Hasil Sensus Penduduk Menurut Agama”. Artikel diakses pada 30 Oktober 2008 dari http://jateng.bps.go.id/2006/web06bab104/web06_1040301.htm Bindy. “Proses masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia”. Artikel diakses


(5)

http://bindyandthedamn.blogspot.com/2008/02/proses-masuk-dan-berkembangnya-islam-di.html

Kab. Kudus. “Wilayah Administrasi”. Artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://www.kuduskab.go.id/

---. “Keadaan Geografis”. Artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://www.kuduskab.go.id/

---. “Rumah Adat Kudus”. Artikel diakses pada 20 April 2008 dari http://www.indonesia.go.id/id

Mustaqim, M. “Kudus Kulon, Akar Kesadaran Multikultural”. Artikel diakses

pada 21 Agustus 2008 dari

http://belajarsejarahsosial.blogspot.com/2006/10/kudus-kulon-akar-kesadaran.html

Samantho, Ahmad. “Seni, Falsafah dan Agama”. Artikel diakses pada 30 April 2009 dari http://ahmadsamantho.wordpress.com/2008/08/09/islam-tradisi-estetik-dan-sastranya/

Suptandar, J. Pamudji. “Seni ukir dan Ornamen dalam Rumah Adat Kudus”. Artikel diakses pada 20 April 2008 dari http://www.gebyokcenter.com Syukur, Fatah. “Tradisi Masyarakat dan Pendidikan Islam di kudus Jawa

Tengah”. Artikel diakses pada 21 Agustus 2008 dari

http://citraedukasi.blogspot.com/2008/02/tradisi-masyarakat-kudus.html

Wikipedia. “Peta Lokasi kabupaten Kudus”. Artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kudus


(6)

Zulfikri. ”Ruang Dalam dan Ornamen”. Artikel diakses pada 30 April 2009 dari http://zulfikri.wordpress.com/2008/11/07/konsep-dasar-arsitektur-masjid/

“Ornamen Burung Hong”. Artikel diakses pada 30 April 2009 dari http://purbakala.jawatengah.go.id/detail_berita.php?act=view&idku=9 “Ornamen Burung Phoenix”. Artikel diakses pada 30 April 2009 dari

http://www.wikipedia.org

“Sejarah Islam Nusantara”. Artikel diakses pada 23 Agustus 2008 dari http://swaramuslim.net/galery/islam-indonesia/index.php?page=sabili-1c-risalah_islam_indonesia