Fungsi Tiap-Tiap Ruangan Rumah Tipe Kampung

kiri dan kanan untuk tidur sedangkan sentong tengah untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat sakral. Hierarki ruangnya memperlihatkan adanya gradasi berurut dari depan ke belakang. Organisasi ruangnya menganut pola closed ended plan , 58 yaitu simetri keseimbangan yang berhenti pada suatu ruang, dalam hal ini senthong tengah. Bilamana ada kepentingan yang lain, maka kamar bisa ditambah lagi yang diletakkan di ruang tengah. Biasanya kamar tambahan ini hanya diberi batas dengan rana atau kain saja. Dan ruang terbuka memanjang di depan deretan sentong atau yang berada di bagian tengah disebut dalem sedangkan bagian depan disebut emperan. Pada rumah Kampung umumnya tidak memiliki pendapa dan pringgitan, sehingga rumah terdiri atas dalem saja. 59 Dapur terletak di belakang rumah dan kamar mandi terpisah dengan rumah, kamar mandi terletak di kiri belakang rumah, sehingga dinamakan pekiwan kiwo atau kiri. Tidak jarang di belakang rumah juga terdapat kandang hewan piaraan.

D. Fungsi Tiap-Tiap Ruangan Rumah Tipe Kampung

Pada bentuk rumah kampung ruangan itu sudah dibagi-bagi menjadi kamar-kamar yang fungsional. Di samping adanya ruangan teras, yang terletak di depan. Biasanya teras ini untuk menerima tamu laki-laki, sedangkan untuk tamu perempuan ada di ruangan dalam. 58 Pola hubungan ruang menganut prinsip closed ended plan, adalah dimana sumbu simetri keseimbangan yang membagi susunan ruang menjadi kiri dan kanan terhenti pada suatu ruang. 59 Iwan Suprijanto, ”Rumah Tradisional Osing : Konsep Ruang dan Bentuk”, Dimensi Teknik Arsitektur , vol. 30 , no. 1 Juli 2002, h. 12. Susunan ruangan dalam yang ada di bagi menjadi beberapa kamar, yaitu kamar kiri sentong kiwa, kamar tengah sentong tengah dan kamar kanan sentong tengen. Untuk golongan petani sentong kiwa berfungsi untuk menyimpan senjata atau barang-barang keramat, sentong tengah untuk menyimpan benih atau bibit akar-akaran dan gabah, sedangkan sentong tengen untuk untuk tempat tidur. Pada konfigurasi ruang rumah Jawa dikenal adanya dualisme oposisi binair, antara luar dan dalam, antara kiri dan kanan, antara daerah istirahat dan daerah aktivitas, antara spirit laki-laki tempat placenta yang biasanya diletakkan sebelah kanan dan spirit wanita tempat placenta yang biasanya diletakkan pada bagian kiri, sentong kanan dan sentong kiri. Konsep ruang dalam konteks budaya Jawa banyak dipengaruhi oleh kepercayaan terdahulu dan secara konkret sering dihubungkan dengan tempat place . Nama-nama ruang menunjukkan keadaan spesifik masing-masing ruang yang berhubungan dengan ciri fisik, fungsi, hubungan, letak atau posisi. 60 Masyarakat Jawa Tengah pada masa periode sebelum agama Hindu sudah memiliki agama asli yang berintikan ajaran keseimbangan dengan alam. Agar manusia dapat hidup terus maka harus berdamai dengan lingkungannya. Masyarakat jawa mempunyai pedoman berarsitektur yang dinamakan Primbon Petungan. Oleh sebab itu setiap benda yang berhubungan langsung dengan benda-benda lainnya, maka masuk akal bahwa setiap perubahan pada suatu titik tertentu membutuhkan suatu deretan peristiwa dalam makrokosmis 60 Gunawan Tjahjono, “Cosmos, Center and Duality in Javanese Architectural Tradition : The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kotagede and Surrounding” Disertasi S3, University of California, 1989, h. 71. yang bersangkutan harus didamaikan di dalam tembok yang mengelilingi rumah tradisional. Jadi tembok yang mengelilingi rumah tinggal tradisional melambangkan batasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Kosmologi Jawa adalah horisontal, maksudnya menghubungkan suatu konsep budaya dengan alam sekitarnya. Alam ini dipandang sebagai “Wadhah” yang besar dan merupakan kesatuan serta keadaannya tetap. Isi alam semesta ini terdiri dari dua kelompok elemen yaitu kelompok elemen yang tidak tampak roh, lelembut dan yang tampak bumi beserta isinya. Dalam usaha menjaga keseimbangan dikenal adanya poros sakral Utara-Selatan. Dimana Utara merupakan simbol keraton penguasa daratan dan Selatan sebagai simbol Ratu Kidul, dewi Laut Selatan dan dewi pelindung kerajaan Mataram. 61 Dalam kaitan dengan rumah Jawa sebagai manifestasi kesatuan makro dan mikrokosmos serta pandangan hidup masyarakatnya, Koentjaraningrat menyebutkan adanya klafisifikasi simbolik berdasarkan 2 kategori berlawanan yang saling melengkapi dan mendukung, disebut dualitas duality. Kategori ini membagi rumah menjadi kanan-kiri, luar-dalam, sakral-profan, publik- privat. Lebih jauh juga menyebutkan adanya centralitas centre, yaitu pemusatan atau penyatuan dalam tata ruang bangunan, dimana senthong merupakan pusat dari dalem. Kadang-kadang sentong tengah yang terletak dibagian Omah dipakai pula untuk mengheningkan cipta dan berdoa kepada Tuhan, karena ruangan tersebut merupakan tempat bagi pemilik rumah untuk berhubungan dan 61 J. Lukito Kartono, ”Manusia dan Rumah Tinggal ; Suatu Tinjauan Perspektif Kebudayaan Timur dan Barat”, Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 27 , no. 2 Desember 1999, h. 12. menyatu dengan Illahi. Di samping itu juga dipergunakan sebagai tempat pemujaan kepada Dewi Sri atau Dewi Kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga. Oleh karena itu sentong tengah disebut juga pasren atau petanen. Sentong tengah tersebut diberi batas dengan kain yang disebut lengse atau dari gedhek berhias anyaman yang disebut patang-aring. 62 Seperti disinggung di atas bahwa inti dari rumah tradisional Jawa adanya sentong tengah atau yang biasa disebut krobongan, suatu ruang untuk aktifitas pemujaan kepada roh leluhur, penghormatan kepada Dewi Sri, dan penyimpanan beras. Tempat untuk menyimpan beras biasa dinamakan pedaringan , yaitu sebuah gentong kecil. Yang biasa mengurusi pedaringan adalah bagian kaum perempuan, orang laki-laki tidak boleh masuk ruangan dimana pedaringan berada. Kedudukan sentong tengah sangat dominan dalam aktifitas kehidupan masyarakat Jawa, yaitu menjadi sandaran kehidupan sehari-hari bagi penghuni rumah. 63 Kemakmuran di dunia disandarkan kepada kebaikan dari Dewi Sri, Dewi Padi, Dewi Kesuburan, maka penghuni rumah berusaha agar pedaringan tidak kosong. Keselamatan dan ketenteraman disandarkan kepada kebaikan dari roh-roh leluhur, berusaha agar leluhur mereka tetap berkenan, tidak marah terhadap mereka. Untuk itu pada saat-saat tertentu dilakukan selamatan dan disiapkanlah sesaji, biasanya berupa satu porsi makanan lengkap dengan minumannya. Makanan diletakkan di dalam 62 Sugiarto Dakung, “Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981, h. 57. 63 Ashadi, “Mencari Korelasi antara Arsitektur Masjid dengan Rumah Tinggal Tradisional di Kudus, Jawa Tengah : dengan Pendekatan Historis dan Deskriptif”, Laporan Penelitian Fakultas Tekhnik, Universitas Pancasila, 2000, h. 20. takir , 64 dan wadah minumannya berupa sebuah kendi 65 kecil. Keduanya diletakkan di dalam ruangan yang dianggap sakral, yaitu sentong tengah. Demikianlah pengertian ruang dalam rumah tinggal Jawa ini mencakup aspek tempat, waktu dan ritual. Rumah tinggal merupakan tempat menyatunya jagad-cilik micro cosmos yaitu manusia Jawa dengan jagad- gede macro-cosmos yaitu alam semesta dan kekuatan gaib yang menguasainya. Bagi orang Jawa rumah tinggalnya merupakan poros dunia axis-mundi dan gambaran dunia atau imago-mundi dan memenuhi aspek kosmos dan pusat. 64 Takir merupakan sebuah wadah yang terbuat dari daun pisang. 65 Kendi merupakan tempat untuk menyimpan air dan berfungsi sebagai tempat minum, terbuat dari tanah liat. 59

BAB IV RUMAH TRADISIONAL KUDUS SETELAH BERKEMBANGNYA

ISLAM DI KUDUS

A. Tinjauan Sejarah

Seperti rumah Jawa pada umumnya, sampai sekarang, belum ada catatan sejarah yang memberikan keterangan dengan pasti kapan dimulai kemunculan dan berkembangnya rumah Kudus. Dari sebuah sumber lisan, diperoleh informasi bahwa perkembangan rumah Kudus mengalami puncak kejayaan di sekitar abad ke-17 dan ke-18 M. Rumah adat Kudus asli pada awalnya hanya terdapat di Kudus Kulon di sekeliling masjid Menara Kudus. Rumah adat Kudus biasa kebanyakan terdapat pada jarak 10-25 km dari masjid Menara Kudus. Pembagian tata letak tersebut diambil dengan tinjauan historis, sesuai dengan sejarahnya. Dalam Tesis yang berjudul “Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus”, pada lampiran, Triyanto menampilkan sebuah gambar rumah tradisional Kudus milik bapak Haji Saleh Syakur. Pada salah satu elemen gebyok atau dinding rumah memperlihatkan angka tahun pembuatannya, yaitu tahun 1828 M. Angka tahun pendirian ini terpahat pada salah satu dinding tersebut. Sementara pada rumah-rumah yang lain, yang tidak terdapat angka tahun pembuatannya, bisa jadi dibuat sebelum, pada, atau sesudah masa-masa tahun tersebut. Kemudian penjelasannya bahwa pada sekitar tahun 1700-an hingga 1800-an M sekelompok orang-orang Kudus,